Share

My Another Boss
My Another Boss
Author: Niara7

Bab 1 : Percakapan

Diandra yang tergesa-gesa karena tak kuasa menahan perutnya yang sakit ingin buang air besar, dengan cepat memasuki ruang toilet. Sembari memegangi perutnya, dia duduk di kloset. Mengeluarkan sisa makanan yang tercerna, hingga perutnya merasa lega.

Namun, ketika ia hendak keluar dari bilik, langkahnya terhenti mendadak dan tangannya tergantung di udara. Dia ragu-ragu untuk membuka pintu, seolah-olah terhipnotis oleh suara pria yang tiba-tiba terdengar di luar. Dalam keadaan terjebak, Diandra memutuskan untuk tetap berada di dalam bilik toilet, merenung dengan cemas sambil mendengarkan pembicaraan yang terjadi di luar sana, di antara ketidakpastian dan kegelisahan yang merasukinya.

"Darren, bagaimana keadaan perusahaanku?"

Suara berat seseorang menghamburkan perhatian Diandra. Suara air yang mengalir dari wastafel di depan membuat Diandra makin mempertajam pendengaran di balik pintu bilik ini. Diandra mulai mengangkat kakinya sedikit agar orang yang sedang berbincang tidak menyadari keberadaannya.

"Cukup baik, Tuan Juan," kata seseorang yang lain.

"Bahkan beberapa mitra ingin bekerja sama dengan kita," katanya lagi.

Diandra seolah harus menahan napasnya saat mendengar suara dua orang laki-laki yang berada tepat di balik pintu. Dia menggigit bibirnya, merasa suhu semakin panas di sekitar. Ditambah dia mulai berkeringat dingin, tidak cukup hanya mengusapnya.

"Aku harus keluar," batinnya.

"Bukankah seharusnya Tuan yang jadi wajah di perusahaan?" tanya seseorang yang mungkin bernama Darren.

Pria yang hanya memakai kemeja bermotif bunga dan celana pendek putih itu tertawa kecil, "Apa maksudmu? Kita sudah membahas dan sepakat," katanya.

"Kenapa menanyakannya" tanyanya lagi.

Pria berjas hitam dan rapi itu terdiam sejenak, "Saya rasa kurang pantas saya berada di posisi ini dari awal berdiri hingga mulai berkembang, anda otak di balik semua ini. Anda juga yang ikut berkontribusi untuk perusahaan, saya hanya menjalankan tugas."

Pria berbaju kemeja motif bunga itu berkata, "Bukannya kamu terlalu merendah Darren?"

"Sampai waktunya tiba, perusahaan Diamond Company akan tetap dipimpin olehmu. Aku hanya akan mengawasi kinerja dan memberikan saran atau perintah mutlak jika diperlukan," sambungnya.

"Aku tidak bisa terlalu mencolok di sini, Darren. Itu berbahaya untuk orang di perusahaan kita, aku tidak tau kapan mereka akan keluar," paparnya.

Darren menatap Juan sebentar, "Kapan mereka akan muncul, Tuan?"

Juan mengedikan bahunya sambil tersenyum, "Entahlah, tapi kita harus siap dalam segala kondisi."

Juan kemudian mematikan wastafelnya, menatap dirinya dalam pantulan cermin. Dari situ dia pun menyadari ada yang aneh dengan bilik toilet di belakangnya. Bayangan samar-samar yang terlihat di sela bawah pintu membuatnya mengalihkan perhatian.

"Darren," panggilnya.

"Aku rasa kita harus melakukan transaksi lain di luar pekerjaan hari ini," katanya kemudian.

Di tengah pembicaraan mereka, suara dering ponsel yang cukup keras mengejutkan Diandra. Semakin panik, dia bahkan tidak dapat menekan layar ponselnya dengan baik, harus memerlukan waktu beberapa sekian detik lebih lama. Sampai-sampai seseorang mengetuk pintu biliknya.

"Permisi, apa ada orang?"

Mereka berdua menunggu jawaban, tapi tidak ada suara dari dalam. Selain keheningan setelah dering ponsel yang lantang terdengar. Pria itu melirik Darren, Darren mengangguk seolah tahu apa yang dimaksudkan.

Sementara itu, detak jantung berdegup cukup kencang, Diandra menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tidak berani mengambil napas terlalu dalam. Suhu menjadi semakin dingin untuknya, "Gawat," ucapnya dalam hati.

"Namaku Juan dan temanku satu lagi Darren, siapa namamu, nona?" tanya Juan.

Diandra membisu, merekatkan bibirnya rapat-rapat, di balik bilik toilet itu, Diandra resah dengan suara yang dia dengar. Pria itu malah memperkenalkan dirinya dan rekannya kepada Diandra.

Seorang pria bernama Juan itu kembali menoleh ke arah rekannya yang memakai setelan jas rapi, "Aku pikir sudah diperiksa semuanya," ucapnya sambil tersenyum.

"M-Maaf Tuan, tapi aku memang sudah memeriksanya tadi," katanya berusaha meyakinkan.

Juan kembali beralih menatap pintu yang tertutup rapat, "Tok-tok, aku ingin mengajakmu bicara," ajaknya dengan nada suara seperti ingin mengajak bermain.

"P-Pergi!" titah Diandra.

"Suara wanita?" gumam Juan sembari melirik Darren.

"Kalian gak sopan masuk toilet wanita, lebih baik pergi sebelum aku ..., sebelum aku menelepon polisi!"

Keringat dinginnya membasahi pelipis, kedua matanya mengawasi bayangan kaki yang nampak di sela bawah pintu. Tidak sedikit pun gerakan dari sana, mereka bahkan tidak pergi. Diandra menggigit bibir bawahnya, hingga dia mendengar tawa kecil dari luar sana.

"Apa kamu gak akan menghubungi polisi kalo kami pergi?" tanya pria itu dengan santai.

Diandra mengiyakan dengan terbata-bata, dia berusaha berpikir mengusir atau kabur dari sana. Sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Namun, pemikiran berubah menjadi pertanyaan yang ambigu ketika Juan berkata, "Polisi tidak akan menangkap kami, nona."

"Apa maksudnya?" begitulah yang dipikirkan Diandra.

"Begini, nona. Aku akan menjelaskan tapi aku juga ingin menjaga harga dirimu, apa keberatan jika ke luar dan ikuti kami?" tawar pria itu.

Diandra mulai gelisah, tawarannya membuat wanita seperti Diandra curiga, "Kalo aku di apa-apain gimana? Ini orang bener gak, sih? Kenapa suruh ngikut? Sial banget hari ini," gerutunya dalam hati.

Akhirnya setelah berpikir agak lama, dia angkat suara, "Kalian masuk toilet wanita, kalian laki-laki gak boleh asal masuk. Aku bisa menuntut kalian!" ancam Diandra.

Juan menghela napasnya panjang, "Bisakah turuti kami sebentar?"

"Kenapa aku harus menuruti kalian?" tanya balik Diandra.

"Karena aku orang yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya," kata Juan percaya diri.

Darren yang mendengar Juan berbicara hanya dapat menggelengkan kepalanya. Negosiasi yang begitu buruk dan sulit dipercaya, namun Juan terus berusaha membujuknya keluar. Beruntung keadaan toilet dalam restoran ini begitu sepi.

"Apa gak bisa kalian biarin aku pergi?" tanya Diandra mulai kesal.

"Aku rasa harus ada yang dibicarakan di meja, nona."

"Aku bahkan gak tau namanya dia siapa," gumam Juan.

Juan memegang dagunya menatap pintu yang tertutup rapat, "Apa dia lebih suka dipanggil, nona?" katanya lirih berbicara lirih.

Tentu saja semua itu dapat didengar Diandra, karena jaraknya begitu dekat dengannya, "Mimpi apa aku semalam bisa kejadiam kayak gini," pikir Diandra.

"Tuan, apa sebaiknya kita tidak mempercepat ini dengan ...." kata-kata Darren yang menggantung membuat Juan menoleh kepadanya.

Juan menggeleng, "Jangan, lakukanlah dengan lembut. Dia seorang wanita," katanya.

Diandra takut keluar, tetapi dia juga kesal karena orang mencurigakan ini tak mau segera pergi. Pemikiran mereka saling bertolak belakang, "Ini toilet wanita, aku bilang pergilah, sebelum aku menelepon polisi!"

Pria bernama Juan itu tertawa lagi, "Aku rasa kamu salah mengira, nona."

Dalam bilik toilet itu, Diandra memikirkan cara keluar dari zona dua orang yang menurutnya cukup mencurigakan. Orang bernama Juan seolah berusaha meyakinkannya bahwa dia orang yang baik. Namun, di pikiran Diandra begitu berbeda. Seolah dia bisa tamat jika menuruti orang-orang ini. Meskipun suhu meningkat, Diandra berusaha berpikir jernih di tengah kegelisahan yang dia alami.

Apa pun yang terjadi, Diandra akan berusaha melindungi dirinya. Mungkin ini adalah hari yang siap baginya, tapi setidaknya dia ingin hari sialnya tidak berlipat ganda. Dia ingin pulang dengan selamat.

"Ayo, pikirkan sesuatu Diandra!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status