Audrey menatap dengan tajam ke depan. Sudah lewat beberapa menit, tapi tatapan tajam dan aura penuh kemarahan itu tidak surut juga. Membuat orang-orang yang ada di dalam ruangan menjadi canggung.
“Anu, Bu Audrey.” Damar mencoba untuk mencairkan suasana, terutama karena semua orang melirik padanya. “Bagaimana kalau kita mulai saja wawancara kerjanya?” “Wawancara kerja katamu?” tanya Audrey, yang kini melotot pada asistennya. “Saya berada di sini untuk wawancara kerja.” Tiba-tiba saja, suara lain terdengar dari arah depan Audrey. Arah yang sejak tadi dipelototi Audrey. “Saya sudah dipanggil seperti ini, tentu saja saya harus diwawancarai dengan benar kan?” tanya Mathilda dengan berani. Ya, Mathilda. Entah bagaimana, perempuan muda yang baru lulus itu malah melamar pekerjaan di perusahaan yang dipimpin Audrey. Tindakan yang bisa dibilang berani, tapi juga sedikit ceroboh. Kebetulan saja salah satu anggota tim yang“Kau tidak apa-apa?” Audrey menanyakan itu dengan tatapan tajam pada asisten, sekaligus suami kontraknya. “Sama sekali tidak apa-apa,” jawab Damar tanpa ragu. “Memangnya ada sesuatu sampai kau menanyakan hal seperti itu?” Audrey hanya bisa mendesah pelan. Padahal jelas-jelas tadi Damar terlihat sangat tidak sehat, tapi coba lihat sekarang? Lelaki itu sudah terlihat seperti biasa, bahkan sudah bisa tersenyum lebar. “Apa kau tidak mau makan?” tanya Damar memotong ikan yang menjadi bagian dari fish and chip miliknya. “Katanya tadi kau lapar.” “Iya.” Audrey menjawab, sembari melempar rambutnya ke belakang. “Tadinya aku lapar, tapi sekarang tidak lagi. Itu semua gara-gara kau.” “Aku tidak mengerti kenapa bisa aku yang menjadi masalahnya, tapi kalau kau tidak mau itu, boleh kuambil saja? Aku sangat lapar.” Damar menunjuk menu yang persis sama dengan miliknya, yang ada di hadapan Audrey. “Makan saja,” jawab Audrey den
“Berani sekali kau memanggilku datang.” Audrey melirik ke samping, hanya untuk menemukan tamunya sudah datang. Hal yang membuatnya tersenyum miring, karena merasa menang. Sombong sedikit tidak masalah kan? “Hai, Mathilda. Senang bertemu lagi denganmu.” “Aku sama sekali tidak senang.” Perempuan berdarah Italia itu, menghempaskan diri di sofa, tepat di depan Audrey. “Sekarang cepat katakan apa maumu sebenarnya?” “Tidak usah buru-buru seperti itu. Coba pesan sesuatu dulu, kebetulan Damar sedang memimpin rapat, jadi tidak masalah kalau agak lama.” “Apa lagi yang kau rencanakan?” tanya Mathilda dengan kedua alis naik. “Tidak ada,” jawab Audrey dengan jujur. “Tapi aku butuh informasi.” Kening Mathilda berkerut mendengar hal itu. Dia jelas bingung dengan pernyataan Audrey barusan. Untuk apa pula perempuan itu ingin meminta informasi dan tentang siapa? “Apa yang kau tahu tentang Damar.”
“Jadi? Apa yang membuatmu tiba-tiba mengajakku ke klub malam?” Melanie tetap mengeluh, walau dia bersedia datang dengan sukarela. “Entahlah.” Audrey mengedikkan bahunya. “Aku juga tidak begitu yakin.” “Apa kau sudah gila?” tanya sahabat Audrey satu-satunya itu. “Kau yang memanggil, tapi tidak yakin? Kau itu kesurupan atau apa sih?” Audrey tidak menjawab dan memilih menenggak minuman yang sejak tadi dia pesan. Hanya satu gelas kecil minuman keras, tapi itu membuatnya sedikit mendesis. Rasanya enak, tapi tetap menusuk dan sedikit pahit. “Mungkin aku memang kesurupan.” Audrey mengangguk yakin, seraya mengangkat gelas. Dia meminta gelas kecilnya diisi lagi. “Jadi apa yang membuatmu kesurupan?” Melanie bergabung dan ikut memesan minuman. “Aku merasa kalau suamiku itu punya sesuatu yang dia sembunyikan,” jawab Audrey tanpa ragu sedikit pun. “Paling anehnya, aku kepikiran.” “Wow, itu sebuah kemajuan. Kau a
“Dasar perempuan sialan.” Patricia berteriak, sembari menendang botol minuman terdekat. “Hanya karena punya suami tampan dan romantis saja dia sudah belagu.” “Babe, tidakkah kau kelewatan?” tanya lelaki yang sejak tadi mendampingi sepupu dari Audrey itu. “Kau terang-terangan merayu lelaki lain di depanku.” “So what?” teriak Patricia makin kesal saja. “Memangnya kenapa? Kau itu jauh dibandingkan dengan Damar, jadi tidak usah sok cemburu.” “Memangnya kau pikir aku ini apa?” tanya lelaki tadi mulai marah juga. “Aku ini pacarmu loh.” “Aku minta putus,” hardik Patricia dengan tegas. “Aku tidak mau lagi bersama denganmu yang jelek dan kurus tak berotot.” Lelaki yang dihina barusan melotot. Dia sebenarnya sangat marah dengan kelakuan Patricia, tapi masih cukup tahu diri untuk tidak memukul perempuan. Alhasil, dia hanya pergi dengan wajah masam dan menendang meja. “Pacarmu itu pemarah juga ya.” Seorang lelaki lain yang berada di sofa yang sama terkekeh. “Ini salahmu, Raden,” desi
“Apa-apaan pakaianmu itu?” desis Audrey tampak begitu marah. “Apa kau pikir ini klub malam?” “Oh, ayolah Audrey.” Patricia memutar bola matanya karena merasa gemas. “Aku hanya pakai crop top dan hot pants. Ini masih termasuk biasa saja.” “Ini kantor, Sialan,” geram Audrey makin kesal saja. “Aku tidak mengizinkan hal tidak senonoh di sini.” Sebenarnya, wajar saja jika Audrey marah. Pasalnya, Patricia membuat perhatian sebagian orang yang ada di sekitar mereka teralihkan. Memang tidak terlalu banyak orang di area ruangan Audrey, tapi tetap saja mengganggu. Perempuan normal saja tidak bisa mengalihkan pandangan, apalagi lelaki kan? Itu jelas akan mengganggu pekerjaan orang-orang. “Oke, baiklah.” Patricia mengangkat tangan, seolah ingin menyerah. Tapi rupanya, tidak seperti itu. “Biarkan aku membawa Damar dan aku akan pergi,” lanjutnya dengan senyum lebar. “Siapa yang ingin kau bawa?” Bukan Audrey yang memekik, tapi Jennie. Perempuan yang sudah mengenakan jas lab di pagi ha
“Damar.” Seorang perempuan berusia sekitar dua puluhan tahun memanggil. “Kemarilah, Sayang.” “Tidak mau.” Damar kecil menggeleng pelan. “Aku tidak mau.” “Tidak apa-apa, Nak. Ini tidak akan sakit, jadi kemarilah.” Perempuan tadi kembali memanggil dengan suara manja yang mendayu. “Tidak.” Damar memekik makin keras. Bukan hanya Damar kecil yang memekik, tapi juga Damar dewasa yang sedang tertutup matanya. Pekikan tertahan yang membuat Audrey menjadi sedikit waspada dan sampai beranjak dari tempatnya duduk. “Damar.” Audrey mencoba memanggil. “Hei, ada apa denganmu?” Audrey mulai panik ketika melihat lelaki yang terbaring di ranjang itu mengernyit dan mengeluarkan keringat dingin. Jelas ada yang salah dan Audrey tidak tahu apa. Alhasil, dia menekan bel untuk memanggil perawat. “Lakukan sesuatu padanya,” ucap Audrey terdengar agak panik, ketika perawat datang. Tentu saja para perawat akan mendekat dengan panik, tapi hanya sebentar saja. Mereka pun dengan cepat menyadari kalau
“Madre.” Damar berlari mendekati perempuan paruh baya yang terlihat sedikit kesal. Saking terburu-burunya, dia bahkan menabrak seorang penumpang lelaki dengan cukup keras. “Kenapa kau lama sekali?” Perempuan paruh baya tadi menghardik pelan. “Ini sudah lebih dari satu jam, sejak aku menelepon. Bahkan mungkin sudah dua jam lebih.” “Maaf, tapi tadi aku sedang bekerja. Aku tidak mungkin pergi begitu saja tanpa minta izin kan? Lagi pula, tadi jalanan macet.” Tentu saja Damar akan menjelaskan. “Lalu kenapa kau pucat dan keringatan seperti itu?” Ibu Damar masih betah menghardik. “Memangnya kau berlari sejauh apa? Atau mungkin kau disiksa di kantor?” “Dari tempat parkir ke sini memang tidak begitu jauh, tapi cuaca sedang panas Bibi Fiana.” Tiba-tiba saja, Mathilda muncul entah dari mana. “Menggunakan kemeja lengan panjang, pasti membuat Damar makin kepanasan.” Kening damar berlipat melihat perempuan yang dijodohkan dengannya itu. Rasanya tadi dia tidak diberi tahu kalau ada Mathil
“Kenapa aku terdengar seperti perempuan posesif pada pacarnya?” geram Audrey dengan suara pelan. “Tidak bisa begini.” “Ibu ngomong sesuatu?” tanya Tere yang baru saja masuk ke ruangan Audrey. “Mau apa?” Alih-alih menjawab, Audrey malah bertanya. “Saya cuma mau membawakan invoice rumah sakitnya Pak Damar tadi.” Tere mendekat dan meletakkan map. “Sesuai perintah, ini dibayar menggunakan kartu yang Bu Audrey sempat berikan tadi.” “Taruh dan pergi saja.” Audrey yang sedang kesal, jelas saja akan mengusir. Sayangnya, Tere tetap diam di tempat. Perempuan yang tampak ragu-ragu itu, tampak ingin mengatakan sesuatu. Hanya saja, Tere tidak tahu bagaimana harus memulai. “Katakan saja kalau mau bicara atau segera keluar.” Pada akhirnya, Audrey harus menghardik lebih dulu. “Soal yang pernah Ibu bilang beberapa waktu lalu,” gumam Tere pelan. “Saya ingin tahu apa yang dimaksud.” “Yang mana ya?” tanya Audrey sok bego. “Yang ketika Bu Audrey meminta saya untuk berhati-hati, terutama s