“Apa ada masalah?” tanya Audrey dengan tatapan yang menajam, setelah mendengar hinaan untuk lelaki yang baru saja jadi suaminya.
“Tentu saja ada masalah.” Tante yang berbicara. “Kau akan diwarisi perusahaan, tapi malah menikahi asistenmu sendiri? Itu sama sekali tidak sepadan.” "Apa yang akan dikatakan orang-orang, mendengar kau menikahi pegawai rendahan?" “Lebih baik menikah dengan asistenku sendiri dari pada istri atau suami orang kan?” Audrey tidak segan untuk menghina. “Setidaknya masih lebih terhormat.” "Pelacur saja masih sedikit lebih baik karena mereka bekerja, tidak dipakai dengan gratis," lanjut Audrey tidak peduli kalau dia kurang ajar. Bukan hanya orang yang mengejek yang terpana mendengar balasan itu. Damar pun terpana karena hal yang sama. Dia sangat takjub pada perempuan yang sudah sah menjadi istrinya secara hukum itu. Kalimat tadi terdengar sangat luar biasa di telinganya. “Kurasa aku jadi tidak nafsu makan.” Audrey memberi tahu semua orang yang ada di tempat acara dengan cukup lantang. “Mungkin aku mau menikmati malam pertamaku sedikit lebih cepat.” “Audrey.” Sang ayah yang juga mendengar, langsung menegar putrinya. Dia bahkan mendekati sang putri. “Jangan bicara sevulgar itu.” “Kami sudah resmi menikah, Dad. Ini percakapan yang biasa saja, bagi pasangan yang sudah menikah dengan resmi.” Hanya itu yang dikatakan oleh Audrey, setelahnya dia menarik lelaki yang menggandengnya untuk pergi. “Bu Audrey.” Merasa tidak seharusnya mereka pergi, Damar memanggil sang istri ketika mereka sudah keluar dari ruangan acara. “Apa tidak apa-apa kalau kita pergi begitu saja?” “Tidak akan ada masalah.” Audrey menjawab dengan tegas, sembari menekan tombol lift. “Ini acaraku dan aku berhak untuk pergi kapan pun.” “Tapi bagaimana kalau keluarga Anda malah mengecap kita buruk?” Damar masih merasa apa yang mereka lakukan itu tidak benar. “Itu juga pasti akan membuat Anda merasa tidak nyaman. Mereka bisa terus menghina.” “Dari dulu pun mereka hanya menganggapku sebagai benalu tidak penting,” jawab Audrey yang sudah masuk ke dalam kotak lift. “Jadi kenapa sekarang aku harus menganggap apa yang mereka katakan penting.” “Lagi pula, lebih penting itu apa yang akan kita lakukan sesaat lagi.” Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari ini, Damar akhirnya melihat sang atasan tersenyum tipis. *** “Aduh! Kenapa malah badanku yang sakit?” Audrey yang baru terbangun dari tidurnya, langsung mengeluh. Perempuan dengan rambut cokelat terang yang berantakan itu, menoleh ke sebelah dan menemukan lelaki yang sejak kemarin resmi menjadi suaminya masih tertidur lelap. Saking lelapnya, mulut Damar sampai terbuka. Untung saja tidak sampai ileran. “Sialan! Padahal dia tidak banyak bergerak, tapi malah dia yang tertidur seperti orang mati.” Perempuan yang polos tanpa sehelai benang pun pada tubuhnya itu, beranjak untuk bangun hanya untuk kembali menatap sang suami. Tatapan Audrey jatuh pada rambut cokelat gelap milik sang suami yang terlihat lebat. Rambut yang kemarin dan beberapa hari lalu dia jambak. Kemudian turun ke rahang persegi dengan bintik-bintik bekas bercukur yang ada di dagu. “Padahal bentuk mukanya bagus. Seperti orang Italia. Badannya juga lumayan, tapi kenapa tidak jadi model ya?” Audrey menggumamkan itu dalam hati, sembari memungut pakaiannya yang berserakan di lantai. “Apa katanya tempo hari? Cita-cita ingin jadi asisten?” Perempuan yang sudah rapi itu, mencibir ke arah sang suami. “Dan dia mengatakan itu dengan sangat bangga.” “Apa yang kau lakukan Audrey?” Yang empunya nama masih bicara sendiri dan kali ini menggelengkan kepala. “Tidak perlu mengurusi dia, lebih baik kau pergi gym saja.” Untuk acara makan-makan keluarga kemarin, Audrey memang menggunakan fasilitas hotel. Tentu saja dia juga akan menyewa kamar hotel, agar tidak perlu kesulitan nantinya. Paling penting, Audrey menyewa kamar yang ada balkonnya. Itu makin memudahkan dirinya untuk bisa merokok. Sebenarnya, Audrey juga bukan perokok yang sangat aktif. Dia hanya akan melakukannya ketika sedang suntuk atau banyak pikiran. Seperti kemarin. “Aku juga tidak menyangka Daddy langsung setuju dan membiarkanku menikah.” Perempuan yang kini hanya menggunakan bra dan legging pendek khusus untuk berolahraga, tengah berjalan pelan di atas treadmill. Rambut panjangnya pun diikat tinggi agar tidak mengganggu. “Memang cuma menikah secara sipil saja, tapi tetap saja. Rasanya ada yang aneh.” Kini Audrey mulai berlari pelan. “Apa jangan-jangan Daddy merencanakan sesuatu ya?” Banyak yang dipikirkan oleh perempuan blasteran itu, sambil berolahraga. Kebetulan saja di hotel tempatnya menginap, disediakan fasilitas olah raga dan tentu saja Audrey akan menggunakannya secara maksimal. Setidaknya, sampai seseorang datang mengganggu. “Kamu Audrey bukan sih?” Seseorang datang mendekat. “Ya, tapi jelas saja banyak yang bernama Audrey,” jawab yang empunya nama, tanpa melihat siapa yang mendatanginya. “Ya, tapi kurasa Audrey yang berambut cokelat terang dan bermata biru hanya ada satu di dunia ini,” jawab suara yang terdengar seperti lelaki itu. “Rambut bisa diwarnai dan mata bisa menggunakan kontak lensa.” Audrey menjawab, masih tanpa melihat orang yang bicara dengannya dan sambil terus berlari. Jujur saja, Audrey merasa sangat terganggu. Dia tidak suka dengan kedatangan lelaki itu, tapi entah kenapa mulutnya juga tidak bisa berhenti untuk menanggapi. Sekali pun dia hanya menanggapi dengan ketus. “Kau benar.” Lelaki tadi terdengar sedang tertawa. “Tapi kau jelas Audrey yang aku cari. Dalam hidupku, hanya ada satu Audrey yang seperti kau, apalagi dengan jawaban ketus. Kau jelas Rey.” Kedua tangan Audrey refleks memegang pegangan yang ada pada treadmill yang dia gunakan. Itu dia lakukan karena dia perlu berhenti secara tiba-tiba. Perempuan itu bahkan tidak menghentikan laju alat olah raganya, saking terkejutnya dirinya. “Tidak mungkin,” bisik Audrey yang menunduk dengan nafas terengah. “Kau mengatakan sesuatu, Rey?” Lelaki tadi kembali bertanya karena tidak mendengar gumaman pelan perempuan di depannya. “Hanya satu orang lelaki yang berani memanggilku Rey.” Kini perempuan itu menegakkan tubuh dan menghentikan laju alat olah raganya. “Dan rasanya orang itu sudah pergi jauh. Sangat jauh.” “Ya, tapi aku sudah kembali lagi. Tidakkah kau merindukanku?” Audrey menoleh dan menemukan seorang lelaki yang tengah merentangkan tangan, seolah menunggu pelukan. Wajah lelaki itu, jelas adalah wajah seseorang yang amat sangat dikenali Audrey. Wajah yang sebenarnya ingin dia lupakan. “Kak Felix?” ucap Audrey dengan kening berkerut. “Ya, Rey. Ini aku Felix.”***To be continued***“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas