Share

Suami Istri

“Kau tidak perlu setegang itu. Prosesnya tidak akan lama.”

“Bagaimana mungkin saya tidak tegang?” pekik Damar dengan wajah yang sangat pucat. “Bagaimana mungkin kita menikah hanya dalam waktu seminggu saja dan sekarang Anda sedang merokok?”

Audrey yang tampak tidak peduli dengan lelaki di depannya, malah menghembuskan asap rokok pada sang calon suami. Itu jelas saja membuat Damar yang tidak pernah menyentuh nikotin, jadi terbatuk-batuk cukup keras.

“Semua bisa terjadi, Damar.” Setelah dua kali menghembuskan asap berbau nikotin, Audrey akhirnya berbicara. “Apalagi pernikahan ini sudah lama disiapkan oleh ibuku.”

“Bagaimana mungkin sudah disiapkan tanpa adanya mempelai pria?” desis Damar ingin sekali mengumpat, tapi dia tahan.

“Sebelumnya aku punya calon tunangan,” jawab Audrey dengan entengnya. “Sayang sekali dia tidak mau patuh padaku, jadi kuputuskan saja. Lagi pula tidak akan ada pesta. Hanya makan malam keluarga saja.”

Kedua alis Damar terangkat. Dia jelas saja tidak menyangka, jika apa yang dia gunakan sekarang adalah bekas orang. Setidaknya, konsep pernikahan ini bukanlah miliknya. Bukankah korsase bunga dan warna jas yang dia gunakan bisa dibilang hasil pilihan lelaki entah siapa?

“Walau tidak ada pesta, tapi tetap saja ada keluarga besar Anda kan?” tanya Damar yang masih terlihat frustrasi. “Bagaimana Bu Audrey akan menjelaskan ini semua?”

“Cinta pada pandangan pertama?” jawab Audrey dengan santainya, tapi dia sendiri juga tidak yakin. Terdengar jelas dari nada tanya pada jawabannya.

“Apa Bu Audrey pikir masih ada yang percaya seperti itu?” Sang asisten makin frustrasi saja mendengar tanggapan dari atasan, sekaligus calon istrinya.

“Lupakan saja soal sesuatu yang tidak masuk akal itu.” Audrey mengibaskan tangan, kemudian mematikan batang rokok yang masih tersisa kurang dari setengah dengan sembarangan. “Lebih baik, kau perbaiki cara bicaramu itu.”

“Ada apa dengan cara bicara saya?”

“Cara bicaramu terlalu sopan untuk ukuran seseorang yang akan menjadi suamiku dalam beberapa jam atau bahkan beberapa menit lagi.”

Damar mengedipkan matanya beberapa kali. Yang dikatakan perempuan di depannya tidak salah, tapi juga bukanlah hal yang mudah. Biar bagaimana, Audrey adalah atasannya dan kedepannya pun masih akan menjadi atasan.

Untung saja keresahan itu dengan cepat menghilang karena waktunya sudah tiba. Lebih tepatnya, ibu dari Audrey masuk dan memberi tahu.

“Astaga, apa yang kalian lakukan berduaan di sini?” tanya perempuan paruh baya berwajah oriental itu. “Seharusnya kalian tidak boleh bertemu sebelum resmi.”

“Itu hanya mitos, Mom. Lagi pula, kami pasti bertemu setiap hari di kantor.” Bukannya mengalah, tapi Audrey malah melawan ibunya dan membuat perempuan paruh baya itu mendesah pelan.

“Sudahlah. Lebih baik Damar keluar saja dulu, nanti Audrey menyusul dijemput Daddy. Kali ini jangan kabur.”

Yang ditegur hanya menaikkan kedua alisnya sebagai tanggapan, sementara Damar tidak lagi heran dengan keanehan sang atasan dan keluarganya. Terjadinya pernikahan yang amat sederhana ini adalah buktinya. Mana ada seorang ayah yang setuju menikahkan putrinya, dengan lelaki yang baru ditemui?

Yah, walau sebenarnya mereka sedikit berbohong juga. Tapi tetap saja terasa sangat aneh bagi Damar. Sayang sekali, lelaki itu tidak kuasa menolak. Dia merasa harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi malam itu.

“Terima kasih ya karena sudah mau menerima Audrey.” Tiba-tiba saja, ibu dari Audrey berbicara.

“Kenapa Ibu berterima kasih?” tanya sang mempelai pria dengan sangat sopan.

“Panggil Mommy saja. Biar sama dengan Audrey yang manja itu.”

Damar menaikkan sebelah alisnya. Jujur saja, dia tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Audrey tidak mungkin manja.

“Jadi kenapa Mommy berterima kasih?” Alih-alih memikirkan soal kemanjaan, calon pengantin itu memilih untuk mengulang pertanyaannya.

“Karena kau mau menerima Audrey, walau sebenarnya dia itu aneh.”

“Bu ... maksud saya, Audrey sama sekali tidak aneh.” Damar nyaris saja menyebut calon istrinya sebagai ‘ibu’.

“Kau mungkin belum menemukan keanehannya, tapi sudah banyak orang yang mengatakan seperti itu,” balas sang Mommy dengan raut wajah sendu. “Bukannya ingin mengejek anak sendiri, tapi memang begitulah adanya.”

“Tapi mungkin masalah itu nanti saja dibahas.” Sang Mommy tersenyum pada calon menantunya. “Walau sangat disayangkan karena tidak ada keluargamu yang bisa datang dan ini sebenarnya sangat tiba-tiba, tapi ini pernikahanmu. Hari bahagia, jadi kita tidak perlu membahas hal yang bikin sakit kepala.”

“Tentu saja.”

Ibu dari Audrey menepuk pelan lengan calon menantunya, sebelum memberi tahu Damar harus menunggu di mana. Setelah itu, perempuan paruh baya itu kembali ke tempatnya duduk. Menunggu acara benar-benar dimulai.

Damar ditinggalkan sendiri di kursi. Ada kursi kosong di sebelahnya dan itu milik Audrey. Itu membuat sang mempelai menatap ke sekelilingnya. Tidak ada dekorasi mewah atau tamu berlimpah. Lagi pula, mereka hanya mengadakan acara secara kenegaraan saja. Setelah ini, baru acara makan dengan keluarga besar Audrey.

“Apa yang membuatmu melamun seperti itu?” Tanpa terduga, Audrey sudah duduk di kursinya.

“Hanya memikirkan masa depanku,” jawab sang asisten dengan jujur.

“Tidak perlu khawatir.” Audrey menjawab dan mengabaikan apa yang dikatakan petugas catatan sipil. “Masa depanmu akan terjamin.”

“Benarkah?” Damar kini mengambil pulpen karena diminta menandatangani berkas. “Saya tidak begitu yakin.

“Apa mau membuat kontrak saja?” tanya Audrey lebih rasional. “Kita bisa membicarakannya setelah acara berakhir.”

“Itu terdengar cukup masuk akal, tapi mari kita fokus saja dulu.” Damar pada akhirnya menandatangani berkas yang perlu dia tanda tangani, setelahnya barulah menyerahkan pulpen kepada perempuan di sebelahnya.

Setelah proses penandatanganan yang sangat singkat dan sedikit petuah dari petugas catatan sipil, selesai sudah acara pernikahan yang sangat sederhana itu. Bahkan Audrey tidak berganti gaun untuk acara makan-makan bersama. Hanya gaun putih polos berbahan satin dengan rambut digerai.

“Wah, akhirnya sepupu kita tercinta ini menikah juga.” Sambutan yang terdengar hangat menyapa telinga kedua mempelai yang saling bergandengan.

“Terima kasih.” Audrey menjawab seadanya, dengan wajah datarnya yang seperti biasa.

“Tapi cowok baru nih.” Sepupu yang lain menyambut. “Aku belum pernah melihat yang ini.”

“Tante juga tidak pernah lihat.” Seorang perempuan paruh baya ikut bergabung. “Kamu gak mungkin asal menarik lelaki untuk dinikahi, hanya karena ultimatum Daddy kamu kan?”

“Tentu saja tidak.” Audrey melebarkan senyumnya. “Kami memang belum lama saling mengenal, tapi sudah cocok.” Hanya sang mempelai wanita yang menjawab. Damar memilih untuk tersenyum saja karena takut salah bicara.

“Bule ya? Atau campuran?”

“Sebenarnya ....” Damar agak ragu untuk menjawab dan melirik pada istrinya untuk meminta izin. “Saya yatim piatu, tapi lahir dan besar di sini,” lanjutnya ketika mendapat anggukan persetujuan.

“Pekerjaan?”

“Dia asistenku dan akan terus menjadi asistenku.” Audrey kembali menjawab.

“Asisten? Yang benar saja.”

***To be continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status