“Sepertinya aku salah sudah datang ke sini ya.” Damar menggaruk pipinya, tepat di depan pintu gym.
Waktu bangun tadi pagi, lelaki itu melihat ada catatan yang ditinggalkan istrinya. Catatan itulah yang membuatnya turun untuk bergabung di tempat gym. Dari lokasi dia berdiri, Damar bisa melihat ke arah istrinya. Audrey yang sedang berbicara dengan seorang lelaki adalah pemandangan yang bisa dia lihat dengan jelas. Melihat situasinya, Damar yakin kedatangannya adalah sebuah kesalahan. “Apa aku harus kembali atau aku menghampiri mereka saja?” Damar bergumam dalam hati, dengan raut wajah sangat bingung. “Maaf, permisi.” Belum juga memutuskan, seseorang menegur Damar. “Bisa jangan berdiri di tengah jalan? Saya mau lewat.” “Maaf.” Lelaki yang ditegur pun meringis dan segera menyingkir. Sayangnya, perempuan yang dia halangi jalannya tidak puas dengan menegur seperti itu saja. Dia mengomel dari pintu masuk, sampai dengan ketika sudah bersiap untuk berlari di atas alat olahraga. Kebetulan, lokasinya bersebelahan dengan Audrey. Membuat perempuan itu menoleh ke arah pintu. Ringisan makin lebar saja, ketika dia melihat sang istri sekaligus atasannya itu tersenyum tipis. Audrey pun tidak lupa untuk melambaikan tangan, meminta Damar untung datang dan mendekat. “Aku tidak mengganggu kan?” Sang asisten bertanya, ketika sudah berada di samping atasannya. Walau sudah menikah, tapi Damar masih tahu diri. Dia tahu dirinya hanya dinikahi demi perusahaan, jadi Damar tidak akan keberatan kalau Audrey ternyata punya kekasih. “Lagi pula, dia juga bukan tipeku,” gumam Damar di dalam hati. “Tentu saja tidak, Sayang.” Walau dengan ekspresi yang tidak banyak berubah dan sangat tidak terduga, Audrey mengatakan sesuatu yang romantis. “Mana mungkin suamiku menjadi pengganggu.” “Suami? Kau sudah menikah?” Lelaki di depan pasangan itu bertanya dengan raut wajah terkejut. “Tentu saja.” Audrey yang mengambil alih percakapan. “Kami menikah kemarin dan sebentar siang baru akan berangkat pergi bulan madu. Pagi ini, kami memilih olah raga lebih dulu.” “Wow, selamat!” Lelaki yang tidak dikenali itu bertepuk tangan pelan dan bibir tersenyum, tapi matanya masih terlihat sangat terkejut. “Akhirnya ada yang mau menikah denganmu.” “Terima kasih.” Audrey kembali tersenyum tipis. “Tapi mungkin sekarang ini kami harus kembali ke kamar dulu untuk bersiap-siap.” “Tentu. Tentu saja. Silakan pergi bersiap-siap. Maaf karena mengganggu dan selamat bulan madu.” Audrey tidak membuang waktu dan segera menyeret suaminya pergi. Membuat Damar merasa tidak enak pada lelaki tak dikenal tadi, tapi tidak mungkin juga menentang sang istri. Biar bagaimana, mereka sudah berjanji untuk menjadi pasangan romantis di depan umum. Itu dilakukan karena banyak mata yang memperhatikan Audrey. “Tadi itu siapa?” Damar bertanya dengan nada ragu-ragu. “Hanya seseorang yang kebetulan kukenal.” “Oh, begitu ya.” Lelaki dengan rahang tegas itu mengangguk. “Lalu apa yang Anda maksud soal bulan madu tadi?” “Kau tidak tahu?” Audrey yang baru saja menekan tombol lift, menatap sang suami dengan kening berkerut. “Saya tidak tahu apa pun.” Damar jelas saja akan menggeleng. “Saya tahu kita akan menikah kemarin saja baru dua hari yang lalu.” “Benar juga.” Audrey memijat pangkal hidungnya. Kejadian beberapa hari ini bisa dibilang sangat tiba-tiba. Memang bisa dibilang sudah direncanakan sejak lama dan hanya dirombak sedikit saja, tapi tetap saja membuat lelah. Dia tidak menyangka kalau mengubah pesta pertunangan, menjadi acara pernikahan sederhana bisa memakan waktu yang cukup lama. “Sekarang malah ditambah bulan madu. Kalau bukan Daddy mengancamku, aku mana mau,” gumam Audrey dengan tangan yang menutup sebagian mulutnya. “Anda mengatakan sesuatu?” tanya Damar yang tidak terlalu mendengar. “Tidak, tapi kita akan pergi ke Italia.” Audrey malah memberi tahu tempat bulan madu mereka. “Aku juga tidak ingin melakukan ini, tapi harus.” “Ke mana pun itu asal bukan Italia. Saya tidak mau ke sana.” Sang asisten dengan tegas menolak. “Maksudnya apa?” Tentu saja perempuan yang bertanya tadi merasa bingung, walau wajahnya tetap datar. Damar yang tampak frustrasi, kesulitan untuk mengutarakan keinginannya. Dia malah merasa gelisah dan menyugar rambut sampai beberapa kali. “Intinya, saya punya masalah dengan negara itu.” Setelah cukup lama berpikir, Damar akhirnya berbicara juga. “Tidak, mungkin saya tidak bisa mengunjungi Eropa.” “Aku harus tahu alasannya, apa pun yang terjadi,” balas Audrey tanpa mengubah ekspresinya. “Kalau kau tidak mau mengatakan apa pun, maka aku akan mencari tahu,” lanjut sang atasan dengan kedua tangan terlipat di dada. Inginnya sih Damar berpikir dulu, tapi lift tidak mengizinkan. Pintu kotak besi itu sudah terbuka dan membuat sang istri keluar dari sana. “Waktumu sudah habis,” gumam Audrey sambil berjalan keluar. “Aku akan mencari tahu sendiri dan ketika aku menemukan sesuatu yang salah, maka tamat riwayatmu.” Mata Damar membesar mendengar itu. Hal yang membuatnya makin panik dan segera mengejar sang istri. “Tunggu dulu!” Damar menarik lengan perempuan ramping di depannya. “Saya akan bilang, tapi tolong jangan menertawakanku.” “Akan kudengarkan.” Audrey mengatakan itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia sebenarnya agak merasa aneh, tapi akan didengarkan dulu. Biar bagaimana, tiap orang punya masa lalu yang berbeda dan mungkin saja trauma yang berbeda juga. Tapi, ketika mendengar alasan sang suami sekaligus asisten, rasanya Audrey merasa aneh. Mungkinkah lelaki tampan yang tampak jantan ini seperti itu?***To be continued***“Alasan tidak masuk akal apa itu.” Audrey memukul meja, walau tidak begitu keras. “Apa ada yang salah, Bu?” Seseorang yang sedang menjelaskan sesuatu di depan ruang rapat langsung bereaksi. “Lanjutkan saja.” Setelah mengatakan hal itu, Audrey kembali menunduk menekuri tablet yang dia pegang di tangannya. Sudah lewat beberapa hari sejak kejadian di tempat olah raga dan Audrey masih saja merasa tidak habis pikir. Dia memang tidak mencari tahu lebih lanjut karena sibuk membuang waktu dengan berfoto dan bercinta saat bulan madu, tapi tetap saja kepikiran. Kalau mau lebih tepatnya, Audrey dan Damar dipaksa untuk pergi berbulan madu. Tentu saja harus ada bukti kalau mereka berdua menikmati bulan madunya, berupa foto dan kadang video. Damar adalah orang yang paling gencar mengambil gambar. “Bu Audrey.” Sang asisten yang baru masuk beberapa waktu lalu itu, memanggil atasan dan juga sekaligus istri kontraknya. “Ada masalah?” Hanya itu yang empunya nama ucapkan sebagai balasan. “Apa ada
“Aku tidak menyangka kalau bisa bertemu denganmu lagi.” Felix duduk di salah satu kursi yang kosong. Kebetulan, mejanya memang untuk berempat. “Bagaimana Kak Felix bisa ada di sini?” tanya Audrey dengan mata yang sedikit menyipit. “Apa kau lupa?” tanya lelaki yang beberapa waktu lalu pernah bertemu dengan Audrey di tempat gym. “Aku lulusan DKV.” “Ah, hal yang membuatmu memutuskanku.” Audrey mengangguk seolah mengerti dengan wajah datarnya. “Ayolah, Rey. Kau masih dendam karena itu? Hal itu hanya masa lalu yang sudah lama berlalu,” balas Felix dengan raut yang menyiratkan sedikit rasa bersalah dan rasa tidak nyaman. “Itu kenyataan. Tapi untuk saat ini, kita tidak akan membahas masa lalu.” Audrey kembali menekuri benda segi empat yang ada di pangkuannya. Itu membuat Felix juga langsung bergerak untuk mengeluarkan benda serupa dari tasnya, sementara Damar hanya menatap dua orang di depannya dengan tatapan bingung. Entah bagaimana, takdir membawa dua orang di depannya untuk b
“Pak Carlisle.” Damar terkejut melihat lelaki yang adalah ayah Audrey, kini duduk di tempatnya. “Carl saja, Damar.” Lelaki paruh baya itu bangkit dari duduknya dan membuat sekretaris yang duduk bersebelahan dengannya menghembuskan nafas lega. “Terlalu sulit menyebut namaku dengan benar.” “Tapi Saya menyebutkan dengan benar kan? Kharlay.” Damar hanya ingin mengkonfirmasi saja. “Tentu saja sudah benar, tapi bukan itu yang akan kita bicarakan. Ke mana Audrey?” tanya Carl dengan senyum lembut. “Bu Audrey sedang pergi ke toilet. Ada yang bisa saya bantu?” “Tentu saja ada.” Carl mengangguk pelan. “Aku butuh bicara denganmu, jadi tolong katakan pada Audrey kalau aku membajak asistennya.” Kalimat yang terakhir, tentu saja ditujukan pada sekretaris sang putri. Walau bingung, Damar memilih untuk mengikuti lelaki paruh baya yang berstatus sebagai ayah mertuanya itu. Dia tentu tidak bisa melawan karena biar bagaimana, Carlisle masih atasannya juga. Makin bingung lagi, ketika dia dibawa ke
“Kenapa aku merasa jadi seperti gigolo masokis?” gumam Damar dengan ekspresi wajah antara kesal dan gemas sendiri. Lelaki itu menoleh dan menemukan istrinya yang tertidur dengan sangat lelap, setelah aktivitas panas mereka beberapa jam yang lalu. Tapi bukannya senang, Damar malah sedikit kesal dan tak berdaya di hadapan Audrey. Bagaimana tidak. Setelah dia mengajukan ide untuk membatalkan pernikahan, Damar malah diberi hukuman. Mulai dari pekerjaan yang tiba-tiba saja menumpuk, sampai disiksa di atas ranjang. Tangannya bahkan diikat dengan borgol kulit yang entah berasal dari mana. Tentu saja Damar seharusnya bisa melawan, tapi dia tertipu. Pikirnya tadi Audrey hanya ingin mempermainkan dirinya dengan meminta kedua tangan lelaki itu bertaut di belakan punggung. Siapa yang mengira kalau Audrey malah memborgol kedua tangan (yang mana dikira hanya sekedar bercanda oleh Damar) sang suami di bagian belakang tubuhnya. Setelah itu, bisa diba
“Apa kau tahu? Aku terlihat seperti wanita murahan yang tergila-gila dengan hubungan ranjang.” Audrey mengeluhkan hal itu dengan ponsel menempel di telinganya. “Kau memang selalu punya pikiran tentang hubungan ranjang. Kau saja yang tidak pernah sadar.” Audrey langsung menggeram mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak menyangka, kalau sahabatnya malah terang-terangan mengejek seperti ini. Padahal, dia sedang ingin ditenangkan. Ingin diberi tahu kalau dirinya masih termasuk normal. “Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya fantasimu tidak seaneh itu juga. Kau kan tidak sampai mengikat suamimu dengan tali dan memukulnya kan?” Suara kembali terdengar lagi dari ponsel. “Tidak memukul, tapi menggunakan borgol.” “Apa kau pecinta BDSM?” Suara pekikan yang terdengar dari ponselnya, membuat Audrey refleks menjauh. Dia tidak ingin menjadi tuli, hanya karena mendengarkan sahabatnya yang berteriak-teriak tidak jelas di ujung
“AUDREY ALEXANDRA ALLEN.” Suara teriakan itu begitu membahana, bahkan rasanya bisa terdengar di seluruh penjuru rumah. Padahal yang empunya nama baru saja sampai dari kantor dan ingin mandi, tapi kini dia malah harus dihadapkan dengan pemilik suara. “Mbak? Ada apa ya?” Ibu Audrey yang memang ada di lantai bawah, menyambut tamu dengan suara menggelegar itu. “Ke mana anakmu yang kurang ajar itu? Sini biar aku kasih pelajaran.” Bukannya bicara baik-baik, sang tamu malah makin berteriak. “Bisa bicara dulu baik-baik kan, Mbak Lan?” Kini Carl yang muncul entah dari mana. “Bagaimana aku bisa bicara baik-baik, ketika anakmu menganiaya putraku.” Kening Carl berkerut mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak mendengar ada laporan yang masuk, perihal keributan di kantor atau apa pun yang disebutkan mantan adik iparnya itu. Ingin membela pun, rasanya dia tidak bisa karena belum mengerti betul duduk perkaranya. “Kenapa ribut sekali sih?” Audrey turun dari tangga dengan gerakan santai,
“Apakah aku harus mencantumkan tentang anak dalam kontraknya?” tanya Audrey dengan tatapan yang menerawang. “Lebih tepatnya seperti apa?” Damar balas bertanya dengan tatapan horor. “Kita punya satu anak saja dan setelah bercerai, hak asuhnya akan kuambil?” Audrey sama sekali tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Yang ada dia malah balas bertanya dan justru membuat Damar makin bertanya-tanya saja. Untungnya saja, sang asisten masih bisa berpikir dengan baik dan tidak melontarkan pertanyaan. “Menurut saya itu masih harus dipikirkan.” Pada akhirnya, Damar malah menasihati. “Anak bukanlah sesuatu yang sepele. Itu adalah tanggung jawab seumur hidup.” “Masa sih?” Kening Audrey berkerut mendengar suaminya itu. “Aku pernah merasakan bagaimana rasanya tidak punya orang tua, Re.” Begitu mendengar kalimat lelaki di depannya, Audrey langsung terdiam. Dia juga pernah mengalami hal yang serupa, walau tidak leb
“Damar. Sampai kapan getaran ponselmu akan mengganggu?” Mendengar hal itu, sang asisten segera mengambil benda pipih yang tadi dia letakkan di atas meja. Tak lupa, lelaki itu juga meminta maaf karena acara makan siang dengan salah satu influencer papan atas jadi terganggu. “Maaf.” Lelaki itu dengan cepat mematikan ponselnya yang tidak berhenti berdering. “Kenapa tidak diangkat saja dulu.” Influencer yang berjenis kelamin perempuan itu memberi kesempatan pada Damar. “Mungkin saja penting kan. Aku gak apa-apa kok.” “Saya merasa gak enak, Mbak. Silakan dilanjut saja diskusinya.” Sayang sekali, Damar tetap menolak. “Ya udah. Kalau aku disuruh orang ganteng mah, nurut aja.” Kedua alis Audrey langsung terangkat mendengar kalimat bernada menggoda itu. Padahal dirinya sudah repot-repot meluangkan waktu hanya untuk bertemu perempuan yang katanya terkenal di depannya, tapi perempuan yang dimaksud hanya menggombal saja. “Bisa kita teruskan diskusinya, Mbak Nana?” tanya Audrey dengan eksp