“Pak Carlisle.” Damar terkejut melihat lelaki yang adalah ayah Audrey, kini duduk di tempatnya.
“Carl saja, Damar.” Lelaki paruh baya itu bangkit dari duduknya dan membuat sekretaris yang duduk bersebelahan dengannya menghembuskan nafas lega. “Terlalu sulit menyebut namaku dengan benar.” “Tapi Saya menyebutkan dengan benar kan? Kharlay.” Damar hanya ingin mengkonfirmasi saja. “Tentu saja sudah benar, tapi bukan itu yang akan kita bicarakan. Ke mana Audrey?” tanya Carl dengan senyum lembut. “Bu Audrey sedang pergi ke toilet. Ada yang bisa saya bantu?” “Tentu saja ada.” Carl mengangguk pelan. “Aku butuh bicara denganmu, jadi tolong katakan pada Audrey kalau aku membajak asistennya.” Kalimat yang terakhir, tentu saja ditujukan pada sekretaris sang putri. Walau bingung, Damar memilih untuk mengikuti lelaki paruh baya yang berstatus sebagai ayah mertuanya itu. Dia tentu tidak bisa melawan karena biar bagaimana, Carlisle masih atasannya juga. Makin bingung lagi, ketika dia dibawa ke salah satu ruang rapat. “Aku hanya ingin bicara dengan lebih privat karena ini menyangkut Audrey.” Carl tentu saja akan menjelaskan. “Tentu saja.” Sebagai sopan santun, Damar membiarkan lelaki yang lebih tua itu duduk lebih dulu. Sesuatu yang membuat Carl tersenyum tipis karena senang dengan kesopanan itu. “Bagaimana hubunganmu dengan Audrey?” tanya Carl tanpa basa-basi. “Baik.” Damar menjawab dengan kejujuran. “Benarkah?” tanya pria yang sudah hampir enam puluh itu dengan tatapan sendu, membuat Damar makin mengerutkan kening. “Sebenarnya, aku cukup yakin kau melakukan pernikahan ini dengan sedikit terpaksa,” lanjut Carl tanpa terduga. Jujur saja, saat mendengar kalimat itu, Damar benar-benar terkejut. Padahal dia pikir pria di depannya membiarkan pernikahan ini karena percaya dengan bualan Audrey, tentang cinta pada pandangan pertama. “Kenapa Pak Carl bisa berpikir seperti itu?” Damar mencoba untuk tenang. “Aku tahu bagaimana tabiat putriku, Mar. Dia adalah tipe orang yang gila kerja dan pengakuan. Audrey akan melakukan apa pun untuk mendapatkan hak waris perusahaan.” Damar langsung terdiam mendengarkan hal itu. Dia jelas tidak akan menyangka, kalau hubungannya dengan Audrey akan ketahuan secepat ini. Padahal, tidak ada yang membocorkan rahasia. Bahkan kontrak pun belum dibuat. “Kalau begitu, kenapa Pak Carl tidak menentang pernikahan ini?” Pada akhirnya, Damar memberanikan diri untuk bertanya. “Bagaimana ya aku mau bilangnya.” Carl tidak langsung menjawab dan terlihat berpikir. “Mungkin karena jauh di lubuk hatiku, aku ingin Audrey merasakan kebahagiaan,” jawab lelaki yang bermata sama dengan perempuan yang sedang mereka bicarakan. Biru jernih. “Kalau mau jujur, semasa kecilnya Audrey itu bisa dibilang kurang bahagia. Itu terjadi karena aku dan ibunya tidak pernah akur dan berujung perceraian. Apalagi setelah itu aku sibuk mencari uang di negara orang dan berakhir menikahi perempuan lain.” “Bukannya ibu tiri Audrey tidak menyayangi dia, tapi mungkin anak itu sudah terlanjur menutup diri dan tidak percaya pada yang namanya cinta. Aku berharap dengan membiarkannya menikah, mungkin dia bisa menemukan kebahagiaan dan berhenti gila kerja. Makanya syarat mewarisi perusahaan adalah menikah.” Damar mengangguk mengerti mendengar penjelasan itu. Dia tentu tidak sepenuhnya mengerti, tapi masih bisa memaklumi apa yang pria paruh baya di depannya katakan. Setiap orang tua, tentu punya cara sendiri untuk mendidik anaknya.“Permisi.” Saat ada jeda pada pembicaraan dua lelaki yang ada di ruang rapat, ketukan dan suara lembut terdengar. “Apa aku bisa mengganggu?” “Hai, Audrey.” Carl menatap putrinya dengan tatapan lembut dan senyum cerah. “Apa kau sudah merindukan suamimu?” “Dad, tolong kecilkan suaranya.” Perempuan yang disapa malah mendesis pelan. “Sampai kapan sih kau berniat menutupi pernikahanmu?” Kali ini, Carl bertanya dengan nada sedih. “Padahal katanya kau menikah karena cinta pandangan pertama.” Damar berdehem pelan ketika mendengar kalimat sang ayah mertua. Dia jelas tahu kalau itu adalah kalimat sindiran, tapi tidak bisa seenaknya tertawa karena Audrey pasti akan mengamuk. Alhasil, dia hanya bisa menyamarkan dengan pura-pura membersihkan tenggorokan. “Aku bukan menyembunyikan.” Audrey tentu saja berkilah. “Lagi pula, tidak ada yang bertanya tentang ini kan? Juga rasanya tidak perlu mengumbar kehidupan pribadi ke publik.” “Giliran berdalih saja kau bisa bicara panjang lebar.” Carl hanya bisa menggeleng melihat tingkah sang putri. “Istrimu ini memang aneh, jadi kau perhatikan dia ya.” Damar hanya bisa mengangguk disertai senyum tipis ketika menerima tepukan pelan di punggung. Dia kemudian membiarkan ayah mertuanya pergi duluan dan Audrey yang malah masuk ke dalam ruangan rapat itu. Tentu saja pintu ruangan akan ditutup dengan rapat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Audrey tanpa basa-basi. “Pak Carl bertanya tentang hubungan kita.” Damar menjawab dengan jujur. “Oh, ya? Tepatnya seperti apa?” “Sepertinya beliau sudah tahu tentang hubungan kita yang sebenarnya.” Sang asisten menjawab dengan sejujur-jujurnya dan membuat Audrey menaikkan sebelah alis. “Pak Carl sudah tahu hubungan kita kurang lebih seperti apa,” ulang Damar. “Biar bagaimana, beliau adalah ayah BU Audrey dan sangat mengenal kepribadian Anda.” “Tapi kau tidak mengaku kan?” “Untuk apa saya mengaku, ketika beliau sudah tahu?” Damar membalas dalam nada tanya. “Kalau begitu, biarkan saja. Toh kita sudah menikah sekarang dan aku akan mendapat hak waris dalam waktu dekat ini.” Sang asisten mendesah pelan mendengar balasan sang atasan. Padahal bukan itu yang ingin Damar dengar dari perempuan yang berstatus sebagai istri kontraknya. Dia hanya ingin Audrey untuk jujur pada keluarga, setidaknya pada keluarga inti. “Tapi saya merasa tidak nyaman harus membohongi orang tua,” ucap lelaki blasteran itu terlihat tidak nyaman. “Maksud saya, tidakkah ini berlebihan? Selain sudah mempermainkan pernikahan, kita juga sudah membohongi banyak orang.” “Tidak ada yang dibohongi karena Daddy sudah tahu kan?” Sayang sekali, Audrey terlihat enggan untuk jujur dan membuat asistennya mendesah pelan. Sepertinya ini akan sulit. Jujur saja, Damar agak merasa bersalah. Walau yatim piatu, tapi dia adalah anak yang dibesarkan penuh kasih. Berbohong pada orang tua, jelas akan membuatnya gusar. “Saat ini kita belum benar-benar terikat kontak kan?” Tiba-tiba saja Damar bertanya. “Bagaimana kalau kita batalkan saja pernikahan ini?”***To be continued***“Kenapa aku merasa jadi seperti gigolo masokis?” gumam Damar dengan ekspresi wajah antara kesal dan gemas sendiri. Lelaki itu menoleh dan menemukan istrinya yang tertidur dengan sangat lelap, setelah aktivitas panas mereka beberapa jam yang lalu. Tapi bukannya senang, Damar malah sedikit kesal dan tak berdaya di hadapan Audrey. Bagaimana tidak. Setelah dia mengajukan ide untuk membatalkan pernikahan, Damar malah diberi hukuman. Mulai dari pekerjaan yang tiba-tiba saja menumpuk, sampai disiksa di atas ranjang. Tangannya bahkan diikat dengan borgol kulit yang entah berasal dari mana. Tentu saja Damar seharusnya bisa melawan, tapi dia tertipu. Pikirnya tadi Audrey hanya ingin mempermainkan dirinya dengan meminta kedua tangan lelaki itu bertaut di belakan punggung. Siapa yang mengira kalau Audrey malah memborgol kedua tangan (yang mana dikira hanya sekedar bercanda oleh Damar) sang suami di bagian belakang tubuhnya. Setelah itu, bisa diba
“Apa kau tahu? Aku terlihat seperti wanita murahan yang tergila-gila dengan hubungan ranjang.” Audrey mengeluhkan hal itu dengan ponsel menempel di telinganya. “Kau memang selalu punya pikiran tentang hubungan ranjang. Kau saja yang tidak pernah sadar.” Audrey langsung menggeram mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak menyangka, kalau sahabatnya malah terang-terangan mengejek seperti ini. Padahal, dia sedang ingin ditenangkan. Ingin diberi tahu kalau dirinya masih termasuk normal. “Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya fantasimu tidak seaneh itu juga. Kau kan tidak sampai mengikat suamimu dengan tali dan memukulnya kan?” Suara kembali terdengar lagi dari ponsel. “Tidak memukul, tapi menggunakan borgol.” “Apa kau pecinta BDSM?” Suara pekikan yang terdengar dari ponselnya, membuat Audrey refleks menjauh. Dia tidak ingin menjadi tuli, hanya karena mendengarkan sahabatnya yang berteriak-teriak tidak jelas di ujung
“AUDREY ALEXANDRA ALLEN.” Suara teriakan itu begitu membahana, bahkan rasanya bisa terdengar di seluruh penjuru rumah. Padahal yang empunya nama baru saja sampai dari kantor dan ingin mandi, tapi kini dia malah harus dihadapkan dengan pemilik suara. “Mbak? Ada apa ya?” Ibu Audrey yang memang ada di lantai bawah, menyambut tamu dengan suara menggelegar itu. “Ke mana anakmu yang kurang ajar itu? Sini biar aku kasih pelajaran.” Bukannya bicara baik-baik, sang tamu malah makin berteriak. “Bisa bicara dulu baik-baik kan, Mbak Lan?” Kini Carl yang muncul entah dari mana. “Bagaimana aku bisa bicara baik-baik, ketika anakmu menganiaya putraku.” Kening Carl berkerut mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak mendengar ada laporan yang masuk, perihal keributan di kantor atau apa pun yang disebutkan mantan adik iparnya itu. Ingin membela pun, rasanya dia tidak bisa karena belum mengerti betul duduk perkaranya. “Kenapa ribut sekali sih?” Audrey turun dari tangga dengan gerakan santai,
“Apakah aku harus mencantumkan tentang anak dalam kontraknya?” tanya Audrey dengan tatapan yang menerawang. “Lebih tepatnya seperti apa?” Damar balas bertanya dengan tatapan horor. “Kita punya satu anak saja dan setelah bercerai, hak asuhnya akan kuambil?” Audrey sama sekali tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Yang ada dia malah balas bertanya dan justru membuat Damar makin bertanya-tanya saja. Untungnya saja, sang asisten masih bisa berpikir dengan baik dan tidak melontarkan pertanyaan. “Menurut saya itu masih harus dipikirkan.” Pada akhirnya, Damar malah menasihati. “Anak bukanlah sesuatu yang sepele. Itu adalah tanggung jawab seumur hidup.” “Masa sih?” Kening Audrey berkerut mendengar suaminya itu. “Aku pernah merasakan bagaimana rasanya tidak punya orang tua, Re.” Begitu mendengar kalimat lelaki di depannya, Audrey langsung terdiam. Dia juga pernah mengalami hal yang serupa, walau tidak leb
“Damar. Sampai kapan getaran ponselmu akan mengganggu?” Mendengar hal itu, sang asisten segera mengambil benda pipih yang tadi dia letakkan di atas meja. Tak lupa, lelaki itu juga meminta maaf karena acara makan siang dengan salah satu influencer papan atas jadi terganggu. “Maaf.” Lelaki itu dengan cepat mematikan ponselnya yang tidak berhenti berdering. “Kenapa tidak diangkat saja dulu.” Influencer yang berjenis kelamin perempuan itu memberi kesempatan pada Damar. “Mungkin saja penting kan. Aku gak apa-apa kok.” “Saya merasa gak enak, Mbak. Silakan dilanjut saja diskusinya.” Sayang sekali, Damar tetap menolak. “Ya udah. Kalau aku disuruh orang ganteng mah, nurut aja.” Kedua alis Audrey langsung terangkat mendengar kalimat bernada menggoda itu. Padahal dirinya sudah repot-repot meluangkan waktu hanya untuk bertemu perempuan yang katanya terkenal di depannya, tapi perempuan yang dimaksud hanya menggombal saja. “Bisa kita teruskan diskusinya, Mbak Nana?” tanya Audrey dengan eksp
“Bagaimana menurutmu?” Audrey yang ditanyai, tidak langsung menjawab. Dia terlihat memperhatikan tablet yang dia pegang di tangannya, melakukan gerakan memperbesar dan memperkecil, untuk melihat beberapa detail. Setelahnya, barulah mengangguk pelan. “Boleh aku cukup suka dengan desain awalnya.” Felix nyaris saja meninju ke udara bebas karena design awal untuk lipstik yang dibuat sendiri oleh Audrey sudah mendapat persetujuan perempuan itu. Apalagi, dia melakukannya hanya dalam satu kali percobaan. “Jadi biar kujelaskan ulang.” Felix mendekat untuk menunjukkan beberapa detail. “Konsepnya adalah pensil. Bentuk case lipstiknya akan dibuat sedikit memanjang, tapi ramping. Akan ada gambar pensil di bagian luar case, untuk menunjukkan warna dari lipstik itu sendiri. Untuk kardusnya, aku membuat ilustrasi serupa buku. Memang agak lebar dibanding lipstiknya, tapi kurasa masih bisa diakali.” “Ya. Kurasa memang masih bisa diakali. Jadi tidak ada masalah sama sekali. Lanjutkan saja untuk
“Damar.” “Ya.” Lelaki yang tadi dipanggil itu tersentak. Audrey yang memanggil tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatap asistennya saja. Itu membuat Damar menatap ke sekelilingnya dan menemukan kalau semua orang di dalam ruang rapat tengah menatap dirinya. Itu cukup membuat lelaki itu tahu kalau dia membuat masalah. “Maaf.” Damar mengatakannya, disertai dengan ringisan pelan. “Tadi Bu Audrey bilang apa?” “Kalau kau tidak bisa melakukan tugasmu dengan baik, mungkin kau bisa keluar saja.” Bukannya menjawab, Audrey malah mengusir. “Tidak, Bu. Saya bisa bekerja,” balas Damar berusaha untuk lebih fokus. “Bu Audrey mau apa?” Perempuan yang ditanyai tidak langsung menjawab. Dia malah menatap sang asisten dengan tajam, sampai membuat semua orang yang ada di dalam ruang rapat menjadi tegang. Untung saja, ketegangan itu tidak berlangsung lama. “Design yang diberikan Felix.” Audrey mengatakannya dengan singkat, karena masih merasa kesal. “Baik.” Damar dengan cepat mengambil al
“Tunggu sebentar.” Damar mengucapkannya dengan terbata-bata. “Aku belum benar-benar siap lagi, Audrey.” “Rey,” bisik perempuan itu tepat di telinga sang asisten, merangkap suami. “Panggil aku Rey.” “Rey,” desah Damar mengikuti permintaan istri kontraknya. “Pelan-pelan saja.” “Kita tidak punya banyak waktu, Sayang.” Tidak ada angin, tidak ada hujan. Audrey malah memanggil suami kontraknya dengan panggil baru. “Setelah ini masih harus bekerja.” Damar menggeram pelan. Lelaki itu tidak marah, tapi sedang tersulut gairahnya. Padahal, pasangan itu baru saja menyelesaikan satu sesi bercinta di atas meja kerja Audrey, tapi perempuan itu meminta lebih lagi. Setelah tadi Damar berkesempatan memimpin, makan kini Audrey yang meminta untuk memimpin. Karena itulah, sang asisten diminta untuk di kursi dan Audrey duduk di atas lelaki itu. Hal itu bahkan dia lakukan, sebelum keadaan sang suami kontrak benar-benar siap lagi. Lak