“Aku tidak menyangka kalau bisa bertemu denganmu lagi.” Felix duduk di salah satu kursi yang kosong. Kebetulan, mejanya memang untuk berempat.
“Bagaimana Kak Felix bisa ada di sini?” tanya Audrey dengan mata yang sedikit menyipit. “Apa kau lupa?” tanya lelaki yang beberapa waktu lalu pernah bertemu dengan Audrey di tempat gym. “Aku lulusan DKV.” “Ah, hal yang membuatmu memutuskanku.” Audrey mengangguk seolah mengerti dengan wajah datarnya. “Ayolah, Rey. Kau masih dendam karena itu? Hal itu hanya masa lalu yang sudah lama berlalu,” balas Felix dengan raut yang menyiratkan sedikit rasa bersalah dan rasa tidak nyaman. “Itu kenyataan. Tapi untuk saat ini, kita tidak akan membahas masa lalu.” Audrey kembali menekuri benda segi empat yang ada di pangkuannya. Itu membuat Felix juga langsung bergerak untuk mengeluarkan benda serupa dari tasnya, sementara Damar hanya menatap dua orang di depannya dengan tatapan bingung. Entah bagaimana, takdir membawa dua orang di depannya untuk bertemu kembali hanya dalam beberapa hari saja. Damar sungguh tidak berpikir kalau lelaki yang baru saja datang adalah orang dari masa lalu sang istri. Jujur saja, itu membuatnya sedikit tidak nyaman. “Damar?” “Ya, Bu?” “Apa kau akan jadi manekin?” “Maaf?” Felix menatap dua orang di depannya dengan bingung. Beberapa waktu lalu, dia bertemu dua orang itu penuh dengan romantisme. Jadi kenapa sekarang rasanya terlihat berbeda? “Ini suamimu kan?” Felix tidak ragu untuk bertanya. “Yang tempo hari kau kenalkan.” “Ada masalah dengan itu?” Alih-alih menjawab, Audrey justru membalas dengan pertanyaan lain. “Tidak.” Merasa sedikit tertekan, Felix menggeleng. “Aku hanya merasa kagum karena kalian bisa berbisnis berdua? Jarang ada lelaki yang mau mengurusi bisnis istrinya kan?” Ekspresi Audrey tidak datar lagi. Bibirnya yang terpoles lipstik merah bata, kini menjadi miring. Perempuan itu menjadi gusar karena tidak menyangka kalau ada orang yang mempertanyakan hubungan kerjanya dengan Damar. “Kami hanya profesional saja,” jawab Damar dengan percaya diri. “Biar bagaimana, Pak Felix adalah salah satu mitra bisnis kami.” “Benar juga.” Untungnya, Felix langsung percaya. “Tapi tidak perlu sampai seperti itu. Kalian bisa bersikap biasa saja di depanku, apalagi kita masih bisa dibilang sepantaran.” “Bisakah kita kembali pada pekerjaan saja?” tanya Audrey terlihat tidak begitu suka. “Aku tidak punya banyak waktu untuk mengobrol.” Mendengar itu, tentu saja semua orang langsung terdiam. Damar segera memberikan materi yang perusahaan inginkan sebagai kemasan produk mereka, sementara Felix mulai memberi berbagai macam masukan. Untung saja, situasinya terlihat cukup kondusif. Felix sama sekali tidak membicarakan masalah pribadi lagi dan Audrey juga terlihat lebih fokus pada pekerjaannya. Perempuan itu ingin kesempurnaan pada produk baru yang akan dikeluarkan dalam waktu dekat ini. “Karena produknya ini berupa lipstik, menurutku akan lebih baik menggunakan warna yang lembut.” Felix mencoba untuk menjelaskan. “Tapi aku ingin kemasannya terlihat elegan dan berkelas.” Sayang sekali, Audrey punya pemikiran yang lain. “Nama brand-nya Skinovel ya?” Felix terlihat mengamati logo berupa tulisan yang tercetak dengan cantik di tablet miliknya. “Apa punya arti tersendiri?” “Karena perawatan wajah itu adalah sesuatu yang bersambung.” Kali ini, Damar yang menjawab. Itu pun dia lakukan secara refleks. “Seperti halnya novel bersambung, maka perawatan wajah pun seperti itu. Make-up pun seperti itu kan? Selalu ada yang menjadi pendahuluan dan akhir. Harus dilakukan bertahap dan terus menerus, agar bisa maksimal.” “Selayaknya membaca novel bersambung, kita tidak akan tahu bagaimana akhirnya, jika tidak dibaca sampai habis atau ada bagian yang dilangkahi. Perawatan wajah juga begitu, kalau ada yang dilangkahi, kemungkinan hasilnya tidak begitu bagus.” Audrey cukup terkejut mendengar penjelasan asistennya. Penjelasan itu sama sekali tidak salah sebenarnya, tapi jarang ada orang awam yang mengerti tentang filosofi dibalik nama itu. Terpampang jelas di beberapa produk, tapi tidak banyak yang mau membacanya. “Wow, penjelasan yang luar biasa.” Felix saja tidak segan untuk memuji. “Saya hanya mengatakan apa yang memang harus dikatakan. Lagi pula, ini perusahaan tempat saya bekerja. Tentu saja saya harus tahu filosofinya,” jawab lelaki blasteran itu dengan. “Tapi baru kau yang bisa menjelaskan sampai seperti itu.” Kali ini, Audrey tidak tahan untuk tidak berbicara. “Yang lain kadang malah tidak tahu, terutama anak baru.” “Begitukah?” tanya Damar terlihat malu-malu. “Padahal itu sesuatu yang mudah ditebak.” “Baiklah.” Felix mengangguk cukup yakin. “Kurasa aku sudah menemukan sesuatu yang cocok dengan keinginan Rey dan juga penjelasan Damar kan?” Felix agak ragu-ragu ketika menyebut nama lelaki di depannya. Damar sama sekali tidak terlihat seperti orang lokal, tapi namanya sangat melokal. Itu yang membuat Felix tidak begitu yakin ketika menyebutnya. Rasanya tidak cocok. “Benar nama saya Damar.” Yang empunya menjawab disertai dengan senyuman. “Kalau Pak Felix sudah ada gambaran, kira-kira kapan kami bisa mendapatkan sampel?” “Sesegera mungkin.” Felix sudah mulai mengatur barang-barangnya. “Kebetulan sekali aku tidak mengambil pekerjaan yang lain, jadi kupikir aku bisa membuat sampel dengan lebih cepat. Mungkin besok atau lusa. Yang jelas, sebelum hari Jumat sudah ada minimal satu atau dua sampel.” Audrey mengangguk pelan ketika mendengar hal itu. Dia sudah cukup puas dengan apa yang dijanjikan sang ilustrator, sekaligus desainer kemasan produknya . Sayangnya, lelaki itu tampak belum puas. Felix menatap pasangan di depannya dengan tatapan ingin tahu. “Ada lagi yang ingin dikatakan?” Audrey yang menyadari tatapan itu, langsung bertanya. “Aku boleh meminta nomor ponsel kalian berdua kan?” tanya Felix terlihat agak ragu. “Nomor bisnis dan pribadi kalau boleh. Siapa tahu saja aku butuh menghubungi kalian di luar jam kerja. Tentu saja itu kalau kalian tidak keberatan.”***To be continued***Hai, selamat datang di buku AUdrey dan Damar. Kalau suka, jangan lupa komen, beri nilai dan vote. Makasih banyak. 😘
“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas