"Habis ini kamu ikut ke tempat karaoke ya, Ris. Kamu wajib liat biduan kita, si Devi Sukaesih, yang mau manggung. Kamu cukup nonton aja. Marwah sama Nela juga kerjaannya cuma duduk-duduk sama makan jajan aja kok di sana," kata Wawa begitu dosen yang baru saja mengajar di kelas kami keluar dari ruangan. "Devi Sukaesih?" kutipku geli. "Iya. Nonton aku nyanyi, ya. Sama Febri tuh, suaranya bagus. Bagus banget dia kalau lagi nyanyi lagu campur sari. Nggak kayak Wawa. Suaranya kayak ember plastik meledak," timpal Devi sembari mencibir ke arah Wawa. "Emangnya kamu tau bunyi ember plastik meledak kayak apa? Sok tau lu," sambar Wawa dengan bibir dimonyongkan. "Ya udah deh, nanti aku ikut. Tapi aku nggak bisa lama-lama," cetusku.Sorak-sorai ramai terdengar dari mulut Febri cs. Mereka menyambut kesediaanku ikut ke tempat karaoke bersama mereka dengan senang. "Nah, gitu dong, Ris. Tenang aja, ukhti kita tercinta yang bayarin semuanya," celetuk Febri. "Apaan sih?" dengkus Marwah. Tetapi dia
"Ng... Nggak kok, Feb. Aku baik-baik aja," jawabku gugup. Diam-diam aku berupaya keras menahan diri agar tak memegang-megang perutku lagi untuk mengajak bicara bayiku. "Ya udah, aku mau pipis dulu, ya. Tolong tungguin, Ris. Ntar kita bareng balik ke ruangannya," kata Febri. Dia berdiri dan berjalan ke salah satu bilik toilet. 'Maaf ya, Dek. Mungkin Ibu nanti nggak bisa sering-sering ngajak kamu ngobrol kalau lagi ada temen Ibu. Soalnya Ibu bakal otomatis pegang perut Ibu kalau ngajak ngobrol kamu. Yang penting kamu tau 'kan Ibu sayang kamu, Dek?' Aku mengusap sekilas perutku sementara Febri masih berada di dalam bilik toilet. Ketika cewek itu sudah selesai buang air kecil, aku sudah selesai juga berkomunikasi dengan anakku. "Yuk," ujar Febri. Lagi-lagi dia menggamit lenganku selama kami berjalan bersama menyusuri sebuah lorong melewati banyak ruangan tempat karaoke seperti ruangan yang sedang kami tuju. "Kalian pipis apa boker sih? Lama amat," ceplos Wawa begitu melihatku dan Febr
Serentetan kelas hari itu sudah selesai. Tapi Febri cs masih juga membahas keseruan kami di tempat karaoke kemarin. "Risa, kemaren kamu keren banget, deh. Penghayatan kamu itu, lho. Berhasil bikin kita nyesek," cetus Nela. "Doi masih inget soalnya kemaren dia sampai mewek," celetuk Wawa sambil mengedikkan dagu ke arah Nela dengan tampang mengejek. "Marwah juga kok, bukan cuma aku!" kelit Nela. "Ya jelaslah aku sampai mewek. Emang Risa dari hati banget sih nyanyinya," timpal Marwah kalem. "Iya, setuju!" ceplos Devi menyela. "Kapan-kapan kalau kita ke karaokean lagi berarti kamu ikut lagi, ya. Oke?" kata Febri. "Ya. Moga-moga aja pas aku nggak lagi harus pulang cepet," sahutku. "Amiiinnn...!" timpal teman-temanku kompak. Kemudian kami berenam tertawa riang. Bahkan di saat kami berpisah jalan pun masih ada sisa tawa yang terdengar. Itu hakku. "Kamu pulang sama aku aja, Ris?" tawar Wawa. Dia menghentikan mobilnya di depanku yang sedang menunggu ojek online pesananku. "Nggak usah
Ya. Aku ingin move on dari Boy. Itu hakku. 'Tapi... Kok kayaknya aku nggak tau diri banget, ya? Seenaknya aja mau nempel-nempel ke Romi sementara aku lagi hamil anaknya cowok lain begini?' pikirku. Aku lesu lagi. Kedua bahuku turun lagi. Suatu kesadaran bahwa aku bukan cewek single biasa menderaku. Aku ini cewek single berbadan dua. Rasanya aku bakal tak adil pada Romi, bahkan untuk sekedar menyukainya sekalipun. - Kayaknya aku nggak mau mikirin cowok lagi deh, Va. Udah cukup aku pusing sama cowok satu yang br*ngsek itu. Aku cuma mau hidup damai sama anakku. Aku bisa tanpa cowok kok. - ketikku. Lalu ku kirimkan pada Nava sambil mengembuskan napas berat. - Ya, Ris. Terserah kamu aja. 'Kan kamu yang menjalani. Kamu yang tau mana yang terbaik buat kamu mana yang jangan dilakuin. Aku sebagai sahabat cuma bisa dukung keputusan kamu aja, Ris. Lagian, kita jadi cewek emangnya nggak bisa survive tanpa cowok, huh? Tapi tetep doaku kamu segera ketemu jodoh kamu. - Banyak emotikon hati berw
"Kemaren kamu udah minum susunya?" Satu kalimat pertanyaan itu membuatku diam mematung di bangku yang ku duduki. Apakah Romi tahu susu ibu hamil itu untuk ku konsumsi sendiri? Hanya memikirkannya saja mampu membuat bulu kudukku meremang. "Hmm?" cecar Romi saat aku tak kunjung menjawabnya. "Ssshhh! Diem, Rom! Aku mau konsen nyatet penjelasannya Pak Iyan nanti. Kamu jangan berisik terus dong!" Teguran keras Febri pada Romi menyelamatkanku dari tuntutan cowok itu.'Dek. Maafin Ibu, ya. Ibu kaget denger pertanyaan om Romi barusan, jadinya Ibu deg-degan banget. Kamu pasti terganggu, ya?' Diam-diam aku mengajak bicara si kecil di dalam perut. Romi tak bertanya ataupun mengatakan apapun lagi kepadaku. Bahkan sampai kelas dibubarkan oleh Pak Iyan. Cowok itu hanya berjalan keluar dari ruangan. Mungkin dia ingin ke toilet atau malah ke kantin menunggu jam mata kuliah berikutnya yang memang terjeda sekitar 90 menit lagi baru dimulai. "Rom! Mau ke mana?" panggil Febri. "Mau keluarlah," jaw
"Iyakah? Wow! Itu tandanya dia suka sama kamu 'kan, Ris!" kata Nava antusias. Dia menanggapi ceritaku tentang kejadian tadi siang di kampus. Soal Romi yang menanyakan apakah aku sudah meminum susu ibu hamil yang ku beli dan Romi yang membelikan gorengan untukku dan Febri cs. "Tapi aku nggak mau GR, Va. Bisa aja yang dia lakuin itu nggak ada maksud apa-apa ya, 'kan?" cetusku. "Tapi aku curiga itu ada apa-apanya. Biasanya bener. Buktinya pas dulu kamu sama..." Nava menghentikan ucapannya. Dia mungkin sadar hendak menyebutkan nama yang tabu itu. "Aku tau diri aja, Va. Aku nggak kayak cewek kebanyakan. Misalnya Romi suka beneran sama aku sekalipun, aku bakal nolak dia. Aku sadar aku nggak level sama dia," kataku. Sedih. Tapi berusaha mengatur intonasi agar terdengar tegar. "Ris..." lirih Nava. Sepertinya dia tahu beban sebesar apa yang tengah mengelayuti hatiku saat ini. "Kuliah kamu gimana, Va?" tanyaku untuk mengalihkan topik pembicaraan. Sekalian aku memang ingin mengetahui kabar
Aku menatap Romi dengan tatapan takjub plus terharu. Haruskah aku bilang 'Terima kasih, orang baik!'? "Habisin makannya. Kalau masih ada sisa di piring kamu, nanti aku bilangin ke semua temen kamu," tukas Romi. "Bilangin apa?" tanyaku panik. Katanya aku tak punya rahasia apapun? Kenapa sekarang dia mengancam? "Bilangin kalau kamu kayak bocil. Makan sepiring ajanggak dihabisin," timpal Romi. Matanya menatapku tajam. Tapi entah kenapa ada kilatan usil juga di sana. Aku tersenyum malu. Ketahuan deh, aku sudah berprasangka buruk padanya. "Masih bisa senyum-senyum kamu? Kalau punya waktu buat cengengesan mending habisin nasinya sekarang juga," celetuk Romi. Aku tahu, dia cuma bersikap sok galak. "Ya..." sahutku riang sembari melanjutkan makanku yang sempat tertunda karena pembicaraan penting barusan. Terima kasih, Tuhan. Engkau sudah mempertemukan aku dengan banyak orang baik seperti Nava, Febri cs, dan juga Romi. Pakde Joko dan keluarganya juga baik terhadapku dengan cara mereka s
Pagi itu mbak Poppy muntah-muntah. Hampir setiap pagi dia begitu. Begitu pula saat dia mencium bau bumbu masakan, atau bau nasi matang di magic com, atau apapun juga yang baunya tak enak bagi indera penciumannya. Aku pernah menyeduhkan teh hangat yang manis untuk diminum mbak Poppy sehabis dia memuntahkan semua isi perutnya di kamar mandi. Tapi dia malah muntah lagi. Bahkan bau teh juga membuat kakak sepupuku itu mual. Berbanding terbalik denganku yang doyan semua makanan sampai-sampai aku merasa tidak enak sendiri karena takut tanpa sadar sudah menghabiskan jatah makanan untuk mbak Poppy, meski aku kadang-kadang aku membeli makanan di luar sebagai tambahan. "Setiap orang hamil itu beda-beda, Nduk. Poppy tiap pagi muntah-muntah kayak gitu bukan berarti dia atau bayinya lemah, bukan juga kandungannya bermasalah," kata Bude Rahmi dengan tajam seperti sedang menegurku."Ya, De," sahutku singkat. Meskipun pikiran ingin sekali membantah ucapan bude. Aku tidak sedang membandingkan kandunga
"Capek ya, Dek?" kataku pada Xander yang berada di gendongan Boy. Kami baru saja keluar dari wahana It's A Small World Tokyo Disneyland. "Kita makan dulu. Habis itu naik kereta keliling taman ini, mau nggak?" tanya Boy kepadaku dan Xander sekaligus. "Oke," timpalku. Ku ikuti saja langkah Boy yang panjang-panjang menuju ke sebuah restoran yang ada di taman hiburan tersebut. "Enak nggak waffle-nya?" Boy menanyai Xander yang tengah menggigit waffle berbentuk kepala Mickey Mouse dengan topping mangga kocok dan saus maple. "Enak," jawab Xander. "Lebih enak waffle itu atau kue pancong?" tanyaku iseng. Xander pernah makan kue pancong dan bilang kue itu enak sekali. Aku ingin tahu penilaiannya sekarang. Apakah kue pancong masih jadi kue favoritnya? "Kue pancong," kata Xander. Sontak aku dan Boy tertawa mendengar jawabannya yang bernada polos itu. "Emang ya, lidah lokal." Boy mengacak-acak rambut Xander dengan sayang.
Boy membukakan pintu kamar kami menggunakan key card. Mataku sukses dibuat terbeliak lebar begitu berjalan memasuki ruangan yang super mewah itu, yang sepertinya merupakan kamar yang termewah dan termahal di Java Star Hotel.Aku melewati mini bar dan berbagai fasilitas eksklusif yang ada di kamar itu dengan batin yang tak kunjung berhenti mengagumi. "Mau minum sesuatu?" Boy membuka pintu kulkas yang berada di dapur. Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku udah banyak minum cocktail di ballroom tadi."Boy menenggak isi minuman kaleng di tangannya, kemudian dia bergabung duduk denganku di sofa yang ada di seberang meja TV. Kami berdua menonton film dokumenter mengenai kehidupan sekelompok gajah di Afrika dalam keheningan yang terasa aneh dan sedikit mencekam. Sampai-sampai, ketika laki-laki di sampingku mengatakan sesuatu, hampir saja badanku melonjak karena kaget. "Besok kita ke makam Bapak sama Ibu ya," kata Boy. Aku terpana men
Acara pemberkatan dan penandatanganan surat nikah sudah usai. Para tamu undangan bergiliran naik ke atas panggung untuk menyalamiku dan Boy yang berdiri diapit para orang tua. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tak ku kenal sama sekali. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Papa dan kenalan Mama. Hanya Nava, beberapa tetangga, dan teman-teman dari Yogyakarta yang merupakan tamu dari circle-ku. Bahkan, Boy juga cuma mengundang Riga. Selebihnya, dia bilang dia tak mempunyai teman dekat lain.'Seandainya Bapak sama Ibu hadir di sini sekarang.' batinku sedih.Di urutan terakhir dari antrean tamu sepanjang rel kereta api itu, Febri cs menyapaku dengan heboh begitu mereka sampai di hadapanku. "Hai, Risaaa! Selamat ya, Ris! Btw, kamu cantik bangeettt pake gaun kayak gituuu!" Febri menjabat tanganku dan mencium kedua belah pipiku dengan kalap.Wawa, Devi, Nella, dan Marwah mengikuti apa yang dilakukan oleh Febri itu dengan gaya yang sama persis. Bahkan, Nella yang pendiam sepe
"Emangnya mau dipanggil apa lagi selain 'kak'?" Seorang laki-laki muncul di belakang Kak Valerie. Badannya lebih tinggi dari Boy, tetapi lebih berisi dibandingkan badan adiknya. Soal wajah, mereka berdua mirip sekali, bahkan sampai ke tingkah-lakunya. "Dari mana aja kamu?" sentak Kak Valerie dengan ekspresi muka bak emak-emak menginterogasi anaknya yang baru pulang subuh. "Dari ruang makan. Tadi ada telpon dari pak hakim," jawab laki-laki itu dengan nada acuh tak acuh. "Oh," timpal Kak Valerie singkat. Dia kembali ke setelan anggunnya, kemudian mengalihkan pandangan kepada Xander. Badannya sedikit dia bungkukkan agar bisa sejajar dengan anak itu. "Kalau kamu namanya siapa? Aunty boleh tau nggak?" tanya Kak Valerie ramah. Namun Xander bukannya menjawabnya, malah bergegas bersembunyi di balik kaki Boy. "Dia takut tuh sama kamu. Kamu sih, nakutin." Kakaknya Boy meledek istrinya dengan bicara sok serius, padahal tanpa sepengetahuan wanita itu dia meringis lebar seraya mengulurka
Aku keluar dari ruang ganti dengan wajah tertunduk. Rasa malu menyerangku, padahal aku tengah memakai gaun pengantin yang ku impi-impikan sejak aku baru mengenal cinta monyet. Gaun berbahan tile berwarna putih dengan hiasan payet-payet dan renda, dengan model kerah Sabrina yang menampakkan kedua bahuku. Belum lagi ekor gaun yang panjang menjuntai di lantai, serta tak lupa kerudung dari bahan veil yang melengkapi gaun itu. Cantik, bukan? Tapi aku merasa tak nyaman memakainya karena terlalu terbuka. Kalau aku yang dulu memakainya, pasti bakalan suka. Berbeda sekali dengan aku yang sekarang. Kejadian yang sudah menjungkirbalikkan kehidupanku itu telah mengubah seleraku juga dalam hal berpakaian. "Cantik banget kamu, Ris!" cetus Mama. Otomatis kepalaku terangkat menatapnya. Dan secara tak sengaja pula, aku dan Boy jadi bersirobok mata.Boy memperhatikanku hampir tanpa berkedip. Tatapannya begitu sulit ku artikan. Yang jelas, efeknya membuatku serasa dikuliti. "Ya 'kan, Boy?" Mama menole
"I... ini... maksudnya apa ya, Tan?" kataku penuh rasa terkejut luar biasa ketika Tante Merry berhenti di depan sebuah boneka manekin yang memakai gaun pengantin kepadaku. Tante Merry tersenyum menatapku. "Tanya aja sendiri sama calon mama mertua kamu. Itu orangnya."Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tante Merry lewat kerlingan matanya. "Ma..." panggilku dengan nada bingung. "Maafin Mama ya, Ris. Mama pikir, lebih baik kalian cepet-cepet nikah aja dibandingkan tunangan dulu. Kelamaan nanti. Mama udah nggak sabar pengin jadiin kamu menantu Mama, Sayang. Nggak apa-apa, 'kan? Toh, Xander juga udah akrab sama Papa dan Mama. Apa lagi yang mau kalian tunggu?" jawab Mama dengan raut wajah polos versi anggunnya. Dia menggandeng tangan Xander selagi mendekatiku, kemudian menyunggingkan senyuman terlembutnya. "Tapi kalau Risa nggak mau sama aku habis ini, berarti itu salah Mama ya." Boy tahu-tahu muncul dari balik tirai ruang ganti. Penampilannya sangat-sangat berbeda jauh dibandingka
Ini jalan ke pantai yang waktu itu bukan?" celetukku saat mobil yang kami tumpangi memasuki jalan raya yang tampak familiar bagiku, berkaitan dengan ingatan masa lalu. Boy tersenyum sambil tetap fokus menatap ke depan. "Ya. Kamu belum pernah ke sini pagi-pagi, 'kan? Sunrise-nya juga bagus lho diliat di sana."Ya, memang. Saat ini masih subuh menjelang matahari terbit. Kenapa aku tidak menyadari maksud dan tujuan Boy sebelumnya ya? "Jadi nggak sabar liatnya," jawabku antusias sembari memalingkan wajah menatap pemandangan di luar kaca jendela mobil di sisi kiriku. "Papa," panggil Xander. Mendadak saja anak itu terbangun. Dia yang tadinya setengah tiduran di pangkuanku sekarang beringsut mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mengusap mata yang merah khas orang baru bangun. "Kamu kaget nggak, tau-tau ada di mobil?" tanya Boy. Dia mengulas senyum lebar pada Xander yang tampak bingung celingukan melihat-lihat keadaan di se
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere