Home / Romansa / My Bad Doctor / Pacar Dadakan

Share

My Bad Doctor
My Bad Doctor
Author: 5Lluna

Pacar Dadakan

Author: 5Lluna
last update Last Updated: 2023-07-31 05:51:02

“Apa sekarang kau sudah percaya?”

Vanessa mendongak ketika mendengar suara bernada tanya itu. Dia langsung meringis, ketika melihat dokter yang tadi dia tendang berdiri di depannya. Kali ini, sudah lengkap dengan sneli dan stetoskop.

“Maaf.” Hanya itu yang bisa Vanessa katakan dengan kepala menunduk.

“Kalau sudah tahu kesalahanmu, mungkin kau bisa mengembalikan tanda pengenalku?” Sang dokter kini mengulurkan tangan.

Dengan gerakan hati-hati, Vanessa meletakkan lanyard beserta kartu ID dokter milik lelaki di depannya. Ada nama Joviandri William N tertulis di sana. Kartu ID yang jelas sangat sakti, dan berlaku di rumah sakit yang Vanessa datangi.

“Maaf.” Vanessa sekali lagi mengatakan hal yang sama. “Aku benar-benar malu karena sudah salah sangka padamu.”

“Apa kau salah sangka karena melihat tatoku?” tanya Jovi tampak mencemooh. “Memangnya kenapa dengan tato? Apa aku terlihat buruk dengan itu?”

“Oh, tidak!” Vanessa menggeleng dengan cepat. “Aku bahkan tidak terlalu memperhatikan tato itu di awal. Aku hanya berpikir kau mesum karena berusaha membuka baju seorang anak remaja, apalagi di tempat sepi.”

Ya. Vanessa menyerang lelaki di depannya dengan membabi buta, karena salah sangka kalau lelaki itu adalah orang mesum. Padahal aslinya, dia hanya ingin menolong orang yang pingsan dan sesak napas.

Tapi bukankah wajar kalau Vanessa salah sangka? Dokter bernama Jovi ini tampak berusaha membuka kemeja seorang anak sekolah di tempat sepi. Itu jelas mencurigakan.

“Maafnya diterima, jadi tolong jangan diulangi lagi.”

Jovi mengembuskan napas pelan. Dia tentu saja tidak bisa lagi berkata banyak, apalagi yang perempuan gempal di depannya katakan bisa dibilang benar. Mungkin, nanti Jovi hanya perlu lebih hati-hati saat mau menolong orang.

“Karena sepertinya semua sudah selesai, mungkin aku pergi saja.” Vanessa pamit dengan suara kecil, tapi masih bisa didengar lelaki di depannya itu.

“Ya, silakan. Kau juga tidak akan dikenakan biaya apa pun, karena keluarga pasien tadi sudah datang.” Jovi tentu akan mengangguk.

“Jovi.”

Baru saja Vanessa berbalik dan ingin melangkah pergi, dia mendengar suara perempuan yang memanggil sang dokter. Tentu saja dia tidak akan peduli dan memutuskan untuk melangkah pergi saja, tapi rupanya tidak semudah itu.

Tiba-tiba saja, tangan Jovi mencekal pergelangan tangan perempuan gempal yang hendak pergi itu. Hal yang jelas akan membuat Vanessa menatap sang dokter dengan mata melotot.

“Tinggallah dulu sebentar,” bisik sang dokter, dengan tatapan yang tertuju pada seseorang yang sedang berjalan mendekat.

“Apa ini pasienmu?” Seorang perempuan dengan baju kulit serba hitam dan riasan tebal, datang mendekat dan menatap Vanessa dari atas ke bawah.

Jujur saja, Vanessa amat sangat tidak suka dengan tatapan itu. Tatapan perempuan itu tidak menyembunyikan cemoohan yang terlihat jelas di wajahnya. Dia memang gendut, tapi haruskan ditatap seperti itu?

“Bukan.” Akhirnya Jovi menjawab perempuan tadi. “Tapi ada masalah apa kau datang ke sini?”

“Ada apa denganmu sih?” Perempuan yang serba hitam tadi balas bertanya. “Aku ini pacarmu loh, Vi. Masa aku harus punya masalah dulu baru bisa datang ketemu kamu.”

Vanessa menaikkan kedua alis mendengar pernyataan barusan. Entah kenapa, dia punya firasat yang tidak enak. Terutama karena tangan si dokter, kini sudah merangkul bahunya yang penuh lemak itu.

“Sayangnya iya,” gumam Jovi dengan senyum tipis. “Kau tahu aku sangat sibuk.”

“Saking sibuknya, sampai selama seminggu aku tidak diberi kabar sama sekali?” tanya perempuan tadi, menatap rangkulan sang dokter di bahu Vanessa.

“Anu! Mungkin saya bisa pergi saja dulu.” Tidak ingin ikut campur, Vanessa memindahkan tangan kurang ajar si dokter, dan bersumpah akan memukulnya jika bertemu lagi.

“Kenapa kau harus pergi?” tanya Jovi malah makin mengeratkan rangkulannya. “Kau tidak perlu pergi, Sayang. Kita kan masih ada janji setelah ini.”

“Maksudnya apa?” geram Vanessa dengan suara, kecil agar tidak terlalu menimbulkan kericuhan yang tidak berarti.

“Sayang?” tanya perempuan serba hitam tadi dengan mata melotot. “Kau memanggil dia dengan sebutan sayang? Tidak salah?”

“Sama sekali tidak. Ada masalah dengan itu?” tanya Jovi dengan santai, sementara Vanessa tidak terlihat santai sama sekali.

“Tentu saja ada masalah,” hardik perempuan tadi tampak marah. “Kau memanggil perempuan lain dengan sebutan sayang.”

“Tapi dia ini bukan perempuan lain. Dia pacarku,” balas Jovi yang makin membuat wajah Vanessa jadi pucat.

***To Be Continued***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Bad Doctor   155. Akhirnya (TAMAT)

    "Kenapa kau tampak pucat?" Jovi menanyakan itu dengan kening berkerut. "Apa kau sakit?" "Tidak kok." Vanessa dengan cepat menggeleng. "Aku hanya belum memakai lipstik." "Yakin?" tanya Jovi, sembari memperhatikan istrinya yang pergi ke meja rias dan memakai lipstik. "Apa kita tidak usah pergi saja?" "Jangan begitu dong. Yang menikah ini kan teman kita berdua dan salah satu dokter di rumah sakit juga. Masa kita berdua tidak hadir." "Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja." Jovi benar-benar khawatir ketika melihat istrinya. "Atau kita singgah ke rumah sakit saja dulu? Kebetulan stetoskopnya aku tinggal di sana." "Tidak perlu Joviandri." Kali ini, Vanessa berbicara dengan lebih jelas. "Sebaiknya, kita berangkat sekarang. Karena kalau tidak, nanti terlambat." Walau masih keberatan, Jovi pada akhirnya hanya bisa mengalah. Vanessa benar-benar merajuk ingin segera berangkat ke tempat acara, karena rumah mereka kebetulan agak jauh juga. Apalagi, kali ini mereka menginap di rumah ora

  • My Bad Doctor   154. Bukan Rahasia Lagi

    "Kau itu kenapa?" tanya Vanessa, pada lelaki di depannya. "Kenapa wajahmu berantakan begitu?" "Aku dipukuli Ayah," jawab Ardy dengan nada kesal. "Kau melakukan apa lagi?" Kali ini giliran Jovi yang bersuara, sembari mempersiapkan beberapa hal untuk mengobati pasiennya itu. "Pasti melakukan hal yang aneh kan?" "Aku memang melakukan sesuatu, tapi bukan sesuatu yang harus dipukuli seperti sekarang," gerutu Ardy mencebik kesal. "Pelan-pelan ya," lanjutnya ketika Jovi sudah akan mengobati wajahnya. "Tidak akan ada seorang ayah yang akan memukuli putranya seperti ini, jika tidak melakukan hal yang tidak sepatutnya." Vanessa mengatakan itu dengan kedua tangan terlipat di dada. "Jadi katakan saja. Kami akan mendengar dan tidak akan menghakimi." Ardy mengembuskan napas cukup keras. Dia tidak bisa langsung menjawab, karena selain sedang diobati di bagian sudut bibir, Ardy juga tidak bisa mengatakan alasannya dengan jujur. Bia

  • My Bad Doctor   153. Hasil

    "Bisa jelaskan ini pada Kakak, Ra?" tanya seorang lelaki berkacamata pada Aurora. Sayangnya, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu pun tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, Aurora membatu dengan mulut terbuka saking terkejutnya melihat kehadiran orang-orang di rumahnya. "Kok malah bengong sih. Ra?" Kali ini seorang perempuan yang sedang menggendong anak bayi yang berbicara. "Ini pacarmu kan? Tapi kenapa malah datangnya rombongan?" "Maaf." Tiba-tiba saja Aurora memekik. "Tapi boleh saya bicara berdua dulu dengan Ardy?" Dua orang tua yang duduk di atas sofa saling melirik, sebelum menatap putra mereka. Tentu saja dua orang tua ini merasa tindakan Aurora barusan sedikit tidak sopan, apalagi mereka seperti tidak disambut dengan baik. "Biar aku bicara dengan Aurora dulu ya." Untung saja Ardy cukup cepat tanggap dan segera beranjak dari tempatnya duduk. "Maaf, ya Om dan Tante." Tahu dirinya terlihat sedikit kurang ajar, Aurora tak lupa mengucap maaf. "Saya pinjam anaknya d

  • My Bad Doctor   152. Melamar

    "Aku tidak hamil, Ar. Jadi tolong jangan terus menggangguku," desis Aurora terlihat sangat kesal, dengan ponsel menempel di telinga. "Apa kau sudah periksa?" Sayangnya, Ardy tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau sudah, perlihatkan hasilnya. Aku hanya akan menerima hasil dari rumah sakit dan tidak dengan test pack." "Yang benar saja. Kalau aku memeriksa ke rumah sakit tempatku bekerja, nanti aku akan digosipi orang-orang. Aku tidak mau itu terjadi." Sang dokter masih bersikeras. "Itu memalukan." "Kau merasa malu karena teman-temanmu tahu, atau tidak mau sampai Jovi tahu?" Ardy membalas dengan pertanyaan. "Kenapa tiba-tiba membicarakan Jovi?" "Tentu saja karena dia adalah calon penerus rumah sakit tempatmu bekerja. Sedikit banyak, dia pasti akan tahu kalau kau memeriksakan diri kan? Lagi pula, rumah sakit tidak hanya satu." Aurora memijat pangkal hidungnya, merasa terlalu banyak hal yang membuatnya sakit kepala belakangan ini. Tentu saja Ardy adalah salah satunya. Lelaki it

  • My Bad Doctor   151. Gejala Hamil

    "Jadi bagaimana dengan perjalananmu dengan Ardy?" Aurora langsung melirik kesal ke arah suara yang dia dengar. Padahal dirinya baru masuk ke dalam ruang praktik, tapi malah sudah menemukan seseorang yang menyebalkan di sana. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa. "Bukankah kau harusnya bertanya pada dirimu saja dulu?" tanya Aurora yang kemudian menyimpan tasnya. "Bagaimana dengan program kehamilanmu?" "So far so good." Vanessa mengangguk tanpa ragu. "Cuma memang belum ada hasil saja. Mungkin setelah kuliah Jovi di semester ini berakhir, kami mau mencoba inseminasi saja." "Secepat itu?" Aurora menaikkan sebelah alisnya, menghentikan kegiatan menggunakan sneli. "Apa tidak mau menunggu lebih lama lagi? Bukankah katanya kau mau sekolah lagi?" "Iya sih, tapi entah kenapa pengennya begitu." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Akan lebih baik aku hamil saat sedang kuliah, dibanding melahir

  • My Bad Doctor   150. Gara-Gara Setan

    "Apa yang terjadi di sini," gumam Aurora sembari menempelkan selimut dengan erat ke tubuhnya. "Aku juga tidak tahu," gumam Ardy dengan mata melotot. "Apanya yang tidak tahu brengsek." Dengan kekuatan penuh, Aurora melemparkan bantal ke arah lelaki yang dia temani. "Kau jelas-jelas melakukan sesuatu padaku." "Ya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Ardy menjawab, sembari berusaha menghindar. Dia bahkan sampai keluar dari dalam selimut. "Jangan memperlihatkan tubuh telanjang sialanmu itu," pekik Aurora sembari memejamkan mata dengan sangat rapat. "Maaf." Ardy segera berjongkok dan bersembunyi di dekat ranjang. Entah bagaimana, dua orang itu pagi ini berakhir di atas ranjang yang sama dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuh. Padahal kemarin mereka hanya berniat untuk berlibur di daerah sekitar pegunungan yang bisa dijangkau tanpa mendaki, tapi malah berakhir di hotel. Padahal, kemarin rasanya semua baik-baik saja. Setidaknya, sampai huj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status