Share

8. Malaikat Pelindung Carissa

Rossa semakin membenci Carissa, terlebih ketika mengetahui jika gadis itu nampak semakin dekat dengan Daniel, dan karena itu lah Rossa semakin memusuhinya tak hanya di sekolah tapi juga di rumah.

Ibu Carissa sama sekali tidak tahu, karena waktunya selama seharian ia habiskan di tempat kerjanya. Dia hanya tahu jika anaknya itu lebih bahagia dibanding dengan kehidupan sebelumnya.

"Sekolah kamu lancar kan, Ris?" tanya ibunya ketika malam itu melihat anaknya masih terjaga dan terpekur di meja belajar.

Dia berusaha memahami pelajarannya karena tak ingin membuat Daniel susah.

"Lancar, Bu," jawab Carissa sambil menatap wajah ibunya yang nampak letih tersebut. "Ibu tidur aja, Carissa masih mau belajar."

"Hubungan kamu sama Rossa, baik-baik aja kan?" Entah mengapa ibunya tiba-tiba bertanya seperti itu pada Carissa.

Tak seperti biasanya juga dia masuk ke dalam kamar anaknya hanya untuk bertanya hal itu padanya.

Carissa hanya tersenyum. Dia tidak mungkin mengatakan jika dia sedang ada masalah dengan Rossa, bukan?

"Jangan bikin masalah ya, soalnya kita di sini cuma numpang." Kalimat yang membuat Carissa langsung sadar diri, jika dia di sana bukanlah siapa-siapa dan hanyalah orang yang menumpang di rumah pamannya.

"Jangan buat Rossa marah."

"Pasti ibu sudah denger ya?" tanya Carissa tersenyum pahit.

Sebenarnya setelah pulang bekerja tadi, Rossa sudah menunggunya di ruang tamu. Sengaja. Dia ingin memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya dan Carissa saat ini.

"Tante, itu namanya berlebihan bukan? Sudah cukup Carissa belajar di sekolah yang sama dengan Ocha, masa' dia harus les dengan guru privat juga?" Rossa sengaja mengadukannya pada ibu Carissa.

"Dan yang paling parah adalah dia mendekati kakak kelas yang selama ini Ocha suka," tandasnya dengan mata berkaca-kaca khas anak kecil yang sedang merajuk pada ibunya.

"Iya nanti tante bilang sama Carissa, Cha. Pasti dia gak ada niatan buat pacaran sama kakak kelas kamu itu."

"Tapi kan bisa aja mereka pacaran dan tante gak tahu!"

Ibu Carissa membeku di tempatnya berdiri, melihat keponakannya itu berlari ke atas dan masuk ke dalam kamarnya.

Ie menghela napasnya. Belum lama mereka ada di sana tapi sudah ada saja kekacauan yang dialami. 

"Kapan kita bisa keluar dari rumah ini, Bu?" tanya Carissa menyadarkan ibunya. "Carissa—pengen keluar dari rumah ini," lanjutnya pelan.

Masalah pamannya dia sembunyikan untuk sementara waktu, karena ibunya sepertinya sudah pusing duluan memikirkan masalahnya dengan Rossa.

"Nanti ya."

"Nanti kapan?"

"Kalau ayah sudah bayar utang ke bank." 

Dan sejak saat itu Carissa sadar, jika dia akan berada di sana untuk waktu yang lebih lama.

Ingin rasanya dia pergi saja menyusul ayahnya. Tak usah sekolah di sekolahan yang elit asalkan dia bisa sekolah dengan tenang di sana.

Tak hanya di rumah, di sekolah Carissa juga merasa tidak tenang. Itu karena Rossa menyebarkan berita jika orang tua Carissa punya utang pada bank sampai rumahnya disita.

Lalu dia juga mengatakan jika ibu dan ayahnya Carissa bergantung hidup pada ayahnya Rossa. Jika tidak ada Papanya Rossa mungkin mereka sudah menjadi gelandangan.

Dan kalimat terakhir itu cukup membuat hati Carissa sakit. Pandangan Rossa terhadapnya langsung berubah semenjak Daniel menjadi guru lesnya.

"Semuanya gara-gara aku ya?" Daniel duduk di atas batu di mana sampingnya ada Carissa yang sedang melihat ikan-ikan gemuk di dalam kolam ikan.

Ia menoleh dan melihat Daniel mengangsurkan minuman kaleng padanya.

"Aku harus bagaimana, Kak?"

"Apanya?"

"Semua murid di sini tahu kalau orang tuaku punya utang di bank."

Daniel mengamati wajah itu dari samping. "Semua orang pasti punya utang, hanya saja berbeda nominal. Dan mereka mau mengumbarnya atau tidak."

"Kamu malu?" tanya Daniel dan Carissa mengangguk.

"Orang tua kamu bekerja dengan pamanmu, bukan mencuri. Jadi apa yang membuat kamu malu."

Kalimat Daniel membuat ia merasa lega. Masih ada seseorang yang membelanya saat ini. Tapi setidaknya sampai saat Daniel bersekolah di sekolah yang sama dengannya.

Setelah lulus? Siapa lagi yang mampu menghiburnya seperti ini?

"Hari ini mau belajar di luar ruangan?" tanya Daniel tiba-tiba.

"Heh?" Carissa terkejut. "Di mana?"

"Perpustakaan kota, di sana sangat luas dan banyak buku yang menarik," jawab Daniel.

Carissa tersenyum.

"Apa itu artinya kamu mau?"

"Aku nurut sama omongan guru."

Dan itu membuat Daniel terkekeh. Ternyata Daniel tidak sedingin yang Carissa kira, dia cukup hangat dan menghibur. Bahkan dia tipe pria yang bukan bermuka dua.

"Aku akan berikan kamu soal, dan kalau kamu bisa menjawabnya dengan benar aku akan traktir kamu es krim," tantang Daniel.

"Kakak bisa bilang begini karena tahu aku gak akan bisa jawab kan?"

"Bukan." Daniel menggelengkan kepalanya. "Aku mau kasih kamu motivasi."

Rossa yang melihat pemandangan itu tentu saja kesal. Setelah ada seorang temannya memberi tahu jika ada Daniel dan Carissa di kolam ikan, dia langsung ke sana. Dan baru kali ini, dia melihat Daniel tersenyum sangat lebar pada seorang gadis.

Matanya sempat ia usap dengan kasar, berharap kalau itu adalah ilusinya. Tapi ternyata bukan, itu adalah benar Daniel yang dingin dan cuek sedang tersenyum pada Carissa.

Jadi, apakah benar kalau Daniel menyukai sepupunya sendiri?

**

"Sudah kubilang kamu bisa," kata Daniel. Satu gelas es krim sudah ada di meja Carissa. Daniel menepati janjinya untuk menraktirnya es krim di kafe.

Kafe tempat dulu dia pernah datang dengan Rian, tapi kini dengan suasana hati yang berbeda.

"Mungkin aku lagi beruntung," sahut Carissa, ia tersenyum.

"Oh ya, aku lupa bilang sama kamu."

"Apa, Kak?" Carissa memandang serius wajah itu. sepertinya ada hal serius yang ingin ia katakan padanya.

"Aku akan melanjutkan sekolah di luar negeri," kata Daniel tiba-tiba dengan ekspresi yang tak bisa ditebak oleh Carissa.

Apa dia bahagia? Atau—dia ragu melanjutkan ke sana.

"Kuliah—di mana?" Ada perasaan yang nyeri menelusup ke dada Carissa, perasaannya mulai bercampur aduk. Apakah ini artinya dia akan kehilangan seseorang yang akan selalu membelanya itu?

"Sydney," jawab Daniel. "Aku dapat beasiswa ke sana," jawabnya.

"Sebelum ada kamu di sekolah ini—aku sangat bersemangat untuk menuju hari itu. Tapi—setelah kamu tiba-tiba muncul, kupikir kebahagiaanku tidak sama seperti dulu."

Kalimat yang berputar dan membuat Carissa tidak mengerti.

"Awalnya, aku hanya kasihan padamu."

Mata Carissa membulat sempurna.

"Tapi—perasaan itu lambat laun berubah menjadi rasa suka," ucap Daniel pelan.

Mendadak sekujur tubuh Carissa menegang, bahkan dadanya berdebar lebih kencang.

Apa ini sebuah pengakuan?

"Aku menyukaimu, Carissa," ucap Daniel tiba-tiba.

"Tapi Kak."

"Iya aku tahu, aku akan pergi, jadi aku gak akan meminta apa-apa sama kamu." Daniel tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Aku cuma minta sama kamu, tolong bahagia Ris, jangan sedih," katanya kemudian.

Baru kali ini ada yang mengatakan hal tersebut pada Carissa, sangat peduli dan bersikap hangat padanya sejak dia pindah ke sekolah sepupunya.

"Kalau kamu mau menungguku—tunggu sampai empat atau mungkin lima tahun lagi, aku akan menjadi seseorang yang bisa membawamu pergi dari rumah pamanmu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status