Aku mengabaikan lagi panggilan telepon yang berulang kali berbunyi, dan mendengus dengan kesal, telepon itu sudah berulang kali aku angkat dan matikan tapi kakek tua itu pantang menyerah, dia masih terus menerorku sepanjang hari.
Aku mencoba mengetik di laptopku, dan membaca tulisan kecil itu dengan hati-hati. Konsentrasi Ethan, kamu harus fokus! perintahku dalam hati. Tapi telepon itu terus berdering, aku mengangkat dengan kesal gagang telepon itu dan langsung menaruhnya di meja. Terdengar suara Daniel memanggil, tapi aku tidak ada waktu untuk menghiraukannya, aku tersenyum senang, kenapa cara ini tidak terpikirkan olehku dari tadi.
Aku segera mengalihkan jemariku kembali ke laptop, beberapa menit lagi, selesai, aku memandang dokumen di hadapanku dengan puas, akhirnya selesai, dokumen yang dibutuhkan besok.
Baru saja aku mau membuka file yang baru, handphone-ku berdering, nomor opa lagi, dengan kesal aku langsung mematikan handphone-ku, selesai, aku tidak akan diganggu lagi, pikirku senang.
Jemariku kembali mengetik dengan cepat di atas laptop, ada masalah sedikit di bagian pemasaran, tidak masalah, aku bisa menghubungi bagian marketing, semua selesai, pikirku senang. Tiba-tiba sekretaris ku mengetuk pintu. Emily, hanya muncul di depan pintu tanpa berani masuk.
"Ah... begini pak, saya terima telepon,-" ucapnya takut-takut tak berani menatapku. Aku segera memotong ucapannya yang tak penting itu.
"Saya sudah bilang saya tidak mau diganggu!" ujarku kesal, berharap dia segera keluar dari ruanganku. Tapi dia malah masuk kedalam walau kepalanya masih tertunduk.
"Tapi pak..." sergahnya sambil menatapku, dia berjalan ke tengah ruanganku, berdiri di samping sofa.
"Apa lagi?" Aku meliriknya kesal karena dia mulai menggangguku.
"Tapi ini ada telepon dari Singapura?" ucapnya mendesak. Aku menatapnya kaget, telepon dari Singapura yang dari kemarin aku tunggu?
"Saya sudah bilang kalau ada telepon dari Singapura segera kasih tau saya!" seruku dengan gusar. Dia segera menunduk takut.
"Saya sudah coba memberitahu bapak, tapi teleponnya sibuk." Wajahnya mengkerut karena takut sambil menunjuk telepon kantorku yang kuletakkan di meja.
Aku menatap telepon yang aku taruh di sampingku itu, ada sedikit rasa bersalah menghinggapi hatiku, tapi aku tetap memasang wajah datar, dan memandang Emily sekretarisku itu.
"Baik, ... hubungkan segera!" seruku cepat, Emily segera keluar dan menghubungkan telepon itu. Semua ini karena kakek tua itu, dia berulang kali menelepon ku dari pagi tadi mengingatkan diriku agar muncul ke makan siang keramat yang dia sudah tunggu-tunggu.
Sejak dari kecil kakekku sudah menceritakan berbagai kisah cintanya dengan cinta pertamanya, Anya, anehnya kakek walau cintanya direbut oleh sahabatnya, dia tetap mencintai wanita itu.
Yang lebih menyebalkannya lagi, hal itu berbuntut padaku, entah apa alasannya kedua kakek tua itu malah berjanji untuk menikahkan anak mereka, tapi karena kedua anak mereka perempuan, jadi Aku yang terkena imbasnya. Aku yang harus menikah dengan keturunan wanita itu.
Aku segera mengangkat telepon penting itu pada dering pertama. Fokus, tetap fokus Ethan! seruku dalam hati.
Matahari yang bersinar terik kini sudah digantikan oleh sinar bulan yang temaram, aku akhirnya menyelesaikan seluruh dokumen yang masuk ke mejaku hari ini. Aku segera menutup laptopku dengan puas. Aku berdiri dan merenggangkan tubuhku yang pegal karena duduk seharian. Aku melirik ke arah keluar, kantor telah sepi, sudah saatnya aku kembali ke apartemenku.
Aku segera keluar dan mematikan lampu ruanganku, lalu mencari handphone ku, aku harus memberi tanda pada to do notes ku, semua pekerjaan hari ini selesai, pikirku senang. Aku lupa kalau aku tadi mematikan handphone ku, dengan segera aku menyalakannya.
Berbagai pesan, email masuk berebutan di handphone ku, aku membiarkannya bergetar sambil berjalan menuju mobilku.
Tiba-tiba masuk telepon dari nomor Kakek lagi, sebaiknya aku mengangkatnya sekarang daripada dia menggangguku lagi besok.
"Apa lagi kakek tua?" tanyaku sedikit bercanda.
"Kamu cucunya kan? Segera kemari kami membutuhkan tanda tanganmu!" Suara dingin perempuan yang menjawabnya. Aku melirik kembali layar handphone ku, ini benar handphone Opa? tapi kenapa yang menjawab malah perempuan aneh ini?
"Kamu siapa?" betakku kasar, jangan-jangan ini penipuan? pikirku dalam hati.
"Kakekmu ada di UGD RS Jantung Harapan Kami, segera datang!" balasnya lagi tidak menjawab kata-kataku. Terdengar suara mesin konstan di belakangnya, seketika rasa panik masuk kedalam hatiku.
Tidak mungkin Opa sakit? Kemarin saat dia datang ke kantor dia tampak sehat saja, dia pasti berakal lagi, dia sering melakukan segala tipu daya agar aku melakukan apa yang dia kehendaki, tapi kali ini aktrisnya berhasil membuatku panik. Aku segera masuk ke mobilku dan mengarahkannya ke rumah sakit.
Pasti bercanda, tidak mungkin, pikirku ketika memasuki ruang UGD, mendengar suasana UGD dan sedu sedan orang yang ada di sana membuat hatiku sedikit bergetar. Aku baru mau menghampiri tempat suster, Daniel segera menghampiriku.
"Ada apa ini? becandanya ga lucu?" ujarku kepada sekretaris Opa ku. Pria itu tidak bergeming, tapi dia membawaku menuju tempat tidur Opa.
Hatiku mencelos ketika melihat Opa Jacob ku yang terbaring disana, tubuhnya penuh kabel dan infus sudah masuk di tangannya. Ada seorang wanita berbaju kuning duduk disebelahnya, menangis.
"Ada apa? ucapku panik kepada Daniel.
"Mereka baru saja melakukan EKG, tapi hasilnya kurang baik," ucap Daniel lirih, Ada suster datang untuk melepaskan kabel-kabel yang menempel di tubuh Opa ku.
"Sepertinya mereka harus melakukan echo," bisik Daniel lagi.
Aku memandang tubuh Opa yang tertidur, lalu pandangan ku tertuju pada wanita berambut panjang itu.
"Siapa dia?" tanyaku bingung karena wanita itu masih menangis dalam diam.
"Dia... calon istri mu." jawab Daniel berbisik lebih lirih ke telingaku.
"Istri...?" Ah dia kah turunan dari cinta pertama Opa? Cih buat apa dia menangis seperti itu, kenal juga tidak? Apakah dia sedang berakting agar semua jatuh hati kepadanya? Sayang aku tidak akan terpengaruh, pikirku dalam hati.
"Kenapa dia menangis, dia kan ga ada hubungan apa-apa dengan opa?" tanyaku kesal ke arah Daniel.
"Opa jatuh sakit ketika dia menolak pernikahan ini, mungkin dia merasa bertanggung jawab." jelas Daniel kembali berbisik.
Entah kenapa ucapan Daniel membuatku marah, wanita mana yang berani menolak dinikahkan oleh Ethan Samuel? Siapa dia, bisa-bisanya dia menolak menikah denganku! pikirku gusar.
Aku mendekati tempat tidur Opa, wanita itu menyangga wajahnya dengan tangannya di keningnya, rambutnya yang panjang menutupi separuh wajahnya, hanya air mata yang mengalir di pipinya.
"Hmm," kataku menunjukan kehadiranku. Tapi wanita itu tetap tidak bergeming.
"Ehem!" Aku mengeraskan suaraku, wanita itu tersadar lalu menatapku.
Raut wajahnya yang kecil hampir tertutup dengan rambutnya yang tebal kecoklatan, badannya kurus dan kulit nya putih pucat, bibirnya kecil dengan hidung mungil, tetapi yang mengejutkan adalah bola matanya yang bulat kecoklatan. Tanpa sadar aku menahan napas saat dia menatapku
"Oh Anna," desah Ethan terengah-engah merasakan sentuhan Anna yang semakin mendesak. Dia semakin bersemangat untuk meninggalkan jejak di cerukan leher Anna, tapi wanita itu segera menghindar."Jangan, ah kita kan mau ke dokter, nanti malu ah," seru Anna sambil terkikik geli merasakan bibir suaminya di lehernya yang jenjang."Ish, biar saja, biar mereka semua tahu kamu ada yang punya," ujar Ethan masih mau menikmati kulit putih sempurna milih istrinya itu, tapi Anna menggeliat dengan sedemikian rupa sehingga Ethan tetap tak bisa menyesap leher sempurna itu.Dia lalu memegang kedua tangan istrinya sambil tersenyum miring. Wanita itu menatapnya dengan mata coklat mudanya yang cantik. Matanya membulat karena terkejut."Kareba bergerak terus aku akan ikat kamu!" Ethan bergaya tegas, tapi tatapan mata Anna yang memelas membuatnya tidak tega, dia mendengus lalu menyerah."Aku menc
Saat Daniel menanyakan hal itu, Anna keluar dari kamar dan mengambil alih Jacob. Anna hanya mendengar sekilas ucapan Daniel, tapi dia mengerti apa yang sedang dibicarakan."Aku ikut, saat kamu ke dokter aku ikut!" ujarnya cepat lalu meletakkan Jacob kembali ke kursinya. Batita itu kembali merenggut dan merengek, dia maunya di gendong, dia tak suka berada di kursi. Dia mulai meraung, tapi ketiga orang dewasa di sekitarnya tak ada yang peduli padanya."Oh... haruskah hari ini?" tanya Ethan sambil meletakkan daging asap mengepul di tengah meja."Ethan, kita tak tahu sampai kapan kamu akan sadar, nanti kalau kamu tiba-tiba menghilang bagaimana?" tanya Daniel dengan penuh kekhawatiran. Anna, membuat makanan untuk Jacob, lagi-lagi instan karena dia belum belanja. Ethan mencari pengalihan perhatian."Makan apa dia? Mengapa instan begitu? Seharusnya kamu masak makanan sehat untuknya jangan yang instan, Dani,
“Aku akan selalu bersamamu sayang.” Mereka menyatu dengan sempurna, Anna mengangguk setitik air mata terjatuh di pipinya.“Kamu sangat sempurna untukku, Anna. Aku mencintaimu.” Mereka saling terengah-engah memuaskan diri dan emosi mereka yang kini saling berpadu. Napas mereka memburu dengan detak jantung yang saling bertalu-talu. “Oh, betapa aku mencintainya, jangan lupakan aku, Ethan!” pinta Anna dalam hati. Dia memekik bersamaan dengan Ethan yang melenguh panjang. Pria itu menatapnya lalu mengecup air matanya.“Terima kasih sayang, karena kembali kepadaku.” Anna bergelung di dada suaminya. “Terima kasih karena telah mengingatku.” desah Anna dalam hati.Ethan berdiri untuk mengambil kaosnya dan mengenakannya kembali merebahkan dirinya di samping Anna. Pria itu menarik pinggang Ana yang ramping. Istrinya masuk kedalam pelukannya, namun walaupun Anna
Dia berdiri diatas bangku berusaha mengikat tali di bagian atas langit-langit ruangan. Namun palang yang dulunya ada untuk mamanya mengikat kini bisa tidak ada. Tadi ada, namun kini hilang, lalu saat dia sadari, tali yang dia pegang pun tak ada? Kemana itu semua? Dia berteriak dengan frustasi sampai pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Wanita tadi masuk dengan air mata bercucuran di pipinya."Sayang, jangang sayang maafkan aku, oh Tuhan, maafkan aku, sayang turunlah!" pekik Anna dengan sangat takut. Wajah Ethan begitu gelap. Dia berdiri diatas bangku dengan canggung, wajahnya bingung seperti mencari sesuatu yang tiba-tiba menghilang."Ethan Samuel, turun kamu dari situ!" teriak Anna berusaha dengan tegas seakan dia sedang memarahi Jacob yang membuang-buang makanannya. Pria itu menoleh dengan bingung."Aku bilang turun, kamu harus turun!" Walau air mata Anna mengalir deras, dia merasa, Ethan harus dikagetkan, dengan ca
"Sayang…," desah Ethan sambil menciumi kelopak telinga Anna sehingga Anna tekikik geli. Tubuhnya mulai bergoyang tak terkendali, merespon tiap sentuhan Ethan. Jemari Anna mulai meraih kancing kemeja kerja Ethan. Dan dengan terampil kancing demi kancing dilepaskannya. Ethan tersenyum miring saat merasakan kemejanya sudah terlepas semua, dan jemari Anna mulai merasakan dadanya."Hmm, geli Anna," Ethan mendesah saat Anna terus menyusuri kulit perutnya yang berkotak-kotak.Anna tersenyum nakal, sambil terus merasakan hangatnya tubuh Ethan. pria itu dengan cepat melepas kemejanya sehingga kedua tangan Anna bebas menyentuhnya. Mata wanita itu berbinar-binar melihat tubuh Ethan yang kurus namun berotot itu."Kamu harus makan lebih banyak ya? Tubuhmu kurus sekali," Anna menyu
"Sayang, maafkan aku, kamu sudah pulang dan aku malah membuatmu takut, kembalilah padaku, aku sangat merindukanmu," desah Ethan di telinga Anna, pelukannya terasa nyata. Anna tak lagi berusaha melepaskan diri. Dia menoleh untuk menatap Ethan, dan menilai.Mata pria itu kembali hangat sebagaimana Anna mengingatnya. Dia tersenyum sedih, memandang Anna penuh harap. Anna menatap Jacob yang sudah kembali merasa aman di pelukan mamanya, batita itu sudah sibuk bermain dengan kancing baju mamanya. Tapi tiba-tiba dia menyentuh hidung papanya"Pa….pa," cengirnya memperlihatkan gusi yang kemerahan."Iya sayang, aku papamu." Ethan menangis menatap bayinya, bukan dia sudah besar sudah bukan bayi lagi. Betapa dia sudah kehilangan waktu, apa yang terjadi? Anna terk
"Aku Anna, Anna Federica, istrimu, ibu dari Jacob anakmu. Aku berhak ke lantai tiga, atau kemanapun aku mau karena aku… ini… istri...mu!" pekiknya marah sambil memukul Ethan yang terlihat linglung. Anna marah dan kecewa, baru saja dia berpikir, Ethan sembuh dan mereka bisa kembali seperti sedia kala. Namun dalam sekejap semua harapannya pecah berkeping-keping.Dia terus memukuli Ethan sampai kedua tangannya dipegang Ethan dengan kuat sehingga dia tidak bisa memukulnya."Apa, kamu kamu apa?" teriak anna marah berusaha melepaskan diri yang percuma."Aku mau ini." Pria itu lalu menunduk mengecupnya lagi. Dia terus mendorongnya ke dinding, sambil terus menciumnya dengan panas. Anna menerima ciuman itu dengan bingung, namun gairahnya muncul dan kem
Ethan tak dapat berpikir, untuk sementara dia hanya mengagumi kecantikan alami wanita di hadapannya. Dia bergerak otomatis mendekati wanita itu saat dia sedang sibuk mengeringkan rambutnya. matanya membesar saat menyadari Ethan sudah ada dihadapannya."Mau apa kamu?" tanya Anna mundur. Tapi Ethan semakin mendekat, dan dia sudah menempel di dinding kaca boks mandi."Mengapa kamu sangat mengganggu?" Dia mengangkat tangannya dan mengelus pipi Anna dengan lembut, wanita itu terperangah, merasakan sentuhan Ethan setelah beberapa lama, rasanya luar biasa. Mereka saling pandang yang terasa sangat intens dan ketika insting membawa Ethan untuk menunduk dan merasakan bibir wanita itu dia mundur. Kaget dengan apa yang ada di kepalanya."Astaga, apa yang baru saja dia pikirkan?" batin Ethan, bagaimana dia bisa mau mencium wanita lain selain Anna. Wanita itu menatapnya lalu segera meninggalkannya yang bingung di dalam kam
Daniel menatap Ethan yang kini makan dengan lahapnya di meja makan. Walaupun pikirannya belum sembuh setidaknya hari ini sudah ada makanan yang masuk."Dani, chef-nya pintar yang kali ini, boleh dipertahankan. Nanti siang aku mau masakan dia lagi," ucap Ethan mengambil lagi nasi goreng dari bakul. Daniel mengangguk dengan senyuman di bibir karena mengetahui kalau itu adalah masakan Anna. Semoga dengan keberadaan Anna, Ethan bisa pulih."Dani, kamu bisa jadwalkan dokter buat Anna? Dia sepertinya kesakitan sekali kemarin, punggungnya pegal, dia kan sudah masuk bulan ke-7?" Dan harapan Daniel kembali pupus. Entah kenapa, ingatan Ethan selalu berhenti di Anna hamil 7 bulan. Setiap hari perintahnya selalu sama. Namun Daniel hanya mengangguk dan meninggalkannya masih asyik makan.