Wanita itu tertidur seperti kerbau, dia bahkan tidak terbangun ketika aku meletakkannya di tempat tidurku. Ternyata walau dia terlihat mungil dan langsing, membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggendongnya itu sulit sekali.
"Cih, tidurnya pulas sekali!" gumamku kesal, setelah menaruhnya di tempat tidurku. Badanku terasa pegal, ternyata dia berat sekali! Wajahnya terlihat tenang dengan rambutnya yang terurai di belakang kepalanya. Terdapat beberapa helai rambut yang masuk ke dalam mulutnya.
Aku menatapnya sebentar lalu duduk di sampingnya, tanganku bergerak sendiri untuk menarik rambut itu, dia bergerak sedikit ketika merasa rambutnya tertarik, dan tersenyum, entah bermimpi apa. Jika dia diam seperti ini, dia terlihat seperti bidadari, tetapi jika dia sudah mulai berbicara, wanita ini dengan mudahnya membuat emosiku memuncak.
Aku kembali berdiri dan membersihkan diriku. Selesai mandi aku merasa sangat lelah, Aku kembali menatap wanita itu yang dengan lelapnya tertidur di tempat tidurku. Ada kamar lain di atas, kamar tamu, tapi mengapa aku yang harus mengalah, dia yang tamu seharusnya dia yang tidur di atas.
Aku kembali duduk di sebelahnya sambil menatap wajahnya yang cantik. Aku tidak mau mengangkatnya lagi ke atas, aku lelah dan ini kamarku, maka aku segera merebahkan diriku di sebelahnya dan jatuh ke alam mimpi, sebenarnya aneh karena aku biasanya susah tidur.
Mimpiku selalu sama, aku berjalan di lorong rumahku, mencari mama yang berjanji akan membacakan buku cerita untukku. Buku itu baru, aku belum pernah membacanya.
Tapi mama menghilang di rumah yang besar ini. Kaki kecilku membawaku menuju kamar Mama, tapi dia tidak ada di sana dan aku mulai merasa takut.
Aku melangkah menuju kamar dimana mama selalu berada jika dia tidak mau diganggu. Seharusnya aku tidak ada di sana, seharusnya aku tidak perlu membuka pintu itu, tapi aku sudah melakukan semua itu lalu menatap kaki mamaku yang melayang, kepalanya terkulai aneh karena terikat tali di langit-langit rumah.
Aku membeku ketakutan, mamaku kenapa? tanpa terasa air seniku keluar karena aku terlalu takut, aku berlari menjauh, berlari dan terus berlari sampai akhirnya aku terbangun.
Aku membenci diriku karena aku selalu memimpikan hal itu, aku begitu lemah karena tidak bisa mengontrol diriku, napasku terengah-engah, dan terasa berat. Tiba-tiba ada tangan yang memelukku dan seketika aku merasa aman dan akhirnya bisa kembali tertidur tanpa mimpi.
Aku terbangun dengan rasa puas yang tak pernah kurasakan sejak lama. Baru kali ini aku merasakan nyamannya tempat tidurku. Aku bangkit dari tempat tidurku dan menyadari kalau dia sudah pergi, ada rasa kehilangan aneh yang langsung kuhapus dari hatiku.
"Cih cepat sekali dia sudah bangun, tanpa permisi, dasar wanita tidak tahu ditolong!" gumamku kesal lalu segera mandi dan bersiap ke kantor.
---
"Pak Ethan sebaiknya anda segera ke rumah sakit, keadaan opa Jacob tidak baik!" seru Daniel dari balik telepon, aku yang sedang menyetir ke arah kantor segera berbalik arah menuju rumah sakit.
Saat aku masuk rumah sakit, hatiku terus terasa tidak enak, firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan ada peristiwa yang menyedihkan, tapi aku terus membuang pikiran itu jauh-jauh.
Daniel menjemputku di depan pintu ICU, ternyata opa Jacob kembali mengalami serangan saat subuh tadi dan sekarang sedang ditindak dalam ICU, operasi tidak dapat ditunda lagi, secepatnya aku menandatangani pernyataan persetujuan operasi, agar operasi segera dilakukan.
Aku ikut mengantar opa ke ruang operasi, dengan takut aku memanggilnya, tapi dia sudah tidak sadar, hatiku mencelos ketika menyadari bahwa kemungkinan ini adalah saat terakhirku melihat opa Jacob.
"Kenapa... kenapa bisa begini!" teriak panik wanita di belakangku, aku menoleh dan terkejut karena dia bisa ada di sini.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanyaku marah tanpa sebab.
"Aku di telepon!" Matanya yang kecoklatan membesar semakin memancing amarahku.
"Kamu... siapa kamu sampai kamu yang di telepon!" Aku baru menyadari bahwa seharusnya aku yang di telepon pihak rumah sakit bukannya dia.
"Kemarin kan opa masuk bersama aku, jadi nomor teleponku yang tercatat." Anna terlihat kesal, dia ikut berdiri di depan pintu operasi.
Hari ini dia terlihat lebih segar daripada kemarin, mungkin karena wajahnya yang bebas make-up dan hanya mengenakan jeans dan lagi-lagi kaus oblong berwarna kuning muda. Rambutnya diikat jadi satu di belakang.
"Kalau mau tetap disini jangan berisik!" ucapku duduk di kursi tunggu.
"Tapi kenapa bisa begini, kemarin Opa baik-baik saja saat kita pulang? kenapa tiba-tiba kondisi Opa jadi memburuk begini?" Anna kembali bertanya, wanita itu tidak bisa berhenti bertanya, aku mulai merasa pusing dengan suaranya yang terus bertanya.
"Berisik!" tukasku kesal. Dia berbalik menatapku dengan kesal, lalu tiba-tiba duduk di sebelahku. Dia membuka handphone-nya yang ternyata sedang bergetar, dengan kasar.
"Yak? gue lagi di rumah sakit, iya ntar siangan, kali gue bisa masuk, tolong ijinin ke Bu Ema yak," ucapnya dengan logat yang aku baru dengar. Terdengar suara balasan laki-laki tapi aku tidak bisa menangkap kata-katanya.
"Iye, gampang, dah ah berisik banget lo ye?" ucapnya lagi. Aku memandangnya dengan bingung.
"Kenapa?" tanyanya cepat melirik ke arahku.
"Nggak, kenapa-kenapa," jawabku langsung memandang kearah lain.
"Ngomong-ngomong kenapa tadi pagi kamu pergi begitu saja?" tanyaku tanpa melihatnya, hening tak ada jawaban.
Aku mengerutkan keningku lalu menoleh untuk melihatnya, ternyata tanpa kusadari dia sudah pindah duduk di hadapanku, wajahnya merah padam karena malu. Bodoh sekali baru merasa malu sekarang, harusnya kemarin saat kamu memelukku! pikirku dalam hati sambil mendengus geli. Setelah beberapa lama yang menegangkan, dokter akhirnya keluar dan aku segera menghampirinya.
"Bagaimana Dok?" tanyaku segera, Anna segera berdiri mendekati kami juga.
"Prosedurnya berjalan lancar, ring nya sudah terpasang dengan baik, kini kita hanya tinggal menunggu Opa siuman ya?" ucapnya tersenyum lalu segera kembali masuk ke ruang bedah.
Hatiku langsung merasa lega. Tanpa sadar aku dan Anna saling tatap dan tersenyum karena berita baik yang dikatakan dokter. Tapi aku segera tersadar dan mengendalikan perasaanku.
"Hmm, aku akan kembali kerja, aku ada rapat jam 10 dengan Singapura, Daniel saya tinggal dulu ya," ucapku kepada Daniel yang berdiri di samping Anna.
"Kamu sungguh akan pergi?" tanyanya tidak percaya.
"Iya, kamu nggak dengar tadi, meeting jam 10, Singapura?" ulangku kesal. Mengapa aku merasa harus menjelaskan segala sesuatu kepadanya? pikirku dalam hati.
"Nanti kalau Opa bangun bagaimana?" tanyanya menatapku sungguh-sungguh.
"Ada Daniel." jawabku asal lalu segera meninggalkannya. Wanita itu harus belajar untuk tidak mengurus orang lain! pikirku kesal.
"Tapi Daniel tidak bisa menggantikanmu. Cucunya kan kamu!" teriaknya di belakangku, tapi aku pura-pura tidak mendengarnya.
Aku harus ingat nanti, aku harus menghapus nomor teleponnya dari daftar rumah sakit. Dia seharusnya tidak ada disini.
"Oh Anna," desah Ethan terengah-engah merasakan sentuhan Anna yang semakin mendesak. Dia semakin bersemangat untuk meninggalkan jejak di cerukan leher Anna, tapi wanita itu segera menghindar."Jangan, ah kita kan mau ke dokter, nanti malu ah," seru Anna sambil terkikik geli merasakan bibir suaminya di lehernya yang jenjang."Ish, biar saja, biar mereka semua tahu kamu ada yang punya," ujar Ethan masih mau menikmati kulit putih sempurna milih istrinya itu, tapi Anna menggeliat dengan sedemikian rupa sehingga Ethan tetap tak bisa menyesap leher sempurna itu.Dia lalu memegang kedua tangan istrinya sambil tersenyum miring. Wanita itu menatapnya dengan mata coklat mudanya yang cantik. Matanya membulat karena terkejut."Kareba bergerak terus aku akan ikat kamu!" Ethan bergaya tegas, tapi tatapan mata Anna yang memelas membuatnya tidak tega, dia mendengus lalu menyerah."Aku menc
Saat Daniel menanyakan hal itu, Anna keluar dari kamar dan mengambil alih Jacob. Anna hanya mendengar sekilas ucapan Daniel, tapi dia mengerti apa yang sedang dibicarakan."Aku ikut, saat kamu ke dokter aku ikut!" ujarnya cepat lalu meletakkan Jacob kembali ke kursinya. Batita itu kembali merenggut dan merengek, dia maunya di gendong, dia tak suka berada di kursi. Dia mulai meraung, tapi ketiga orang dewasa di sekitarnya tak ada yang peduli padanya."Oh... haruskah hari ini?" tanya Ethan sambil meletakkan daging asap mengepul di tengah meja."Ethan, kita tak tahu sampai kapan kamu akan sadar, nanti kalau kamu tiba-tiba menghilang bagaimana?" tanya Daniel dengan penuh kekhawatiran. Anna, membuat makanan untuk Jacob, lagi-lagi instan karena dia belum belanja. Ethan mencari pengalihan perhatian."Makan apa dia? Mengapa instan begitu? Seharusnya kamu masak makanan sehat untuknya jangan yang instan, Dani,
“Aku akan selalu bersamamu sayang.” Mereka menyatu dengan sempurna, Anna mengangguk setitik air mata terjatuh di pipinya.“Kamu sangat sempurna untukku, Anna. Aku mencintaimu.” Mereka saling terengah-engah memuaskan diri dan emosi mereka yang kini saling berpadu. Napas mereka memburu dengan detak jantung yang saling bertalu-talu. “Oh, betapa aku mencintainya, jangan lupakan aku, Ethan!” pinta Anna dalam hati. Dia memekik bersamaan dengan Ethan yang melenguh panjang. Pria itu menatapnya lalu mengecup air matanya.“Terima kasih sayang, karena kembali kepadaku.” Anna bergelung di dada suaminya. “Terima kasih karena telah mengingatku.” desah Anna dalam hati.Ethan berdiri untuk mengambil kaosnya dan mengenakannya kembali merebahkan dirinya di samping Anna. Pria itu menarik pinggang Ana yang ramping. Istrinya masuk kedalam pelukannya, namun walaupun Anna
Dia berdiri diatas bangku berusaha mengikat tali di bagian atas langit-langit ruangan. Namun palang yang dulunya ada untuk mamanya mengikat kini bisa tidak ada. Tadi ada, namun kini hilang, lalu saat dia sadari, tali yang dia pegang pun tak ada? Kemana itu semua? Dia berteriak dengan frustasi sampai pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Wanita tadi masuk dengan air mata bercucuran di pipinya."Sayang, jangang sayang maafkan aku, oh Tuhan, maafkan aku, sayang turunlah!" pekik Anna dengan sangat takut. Wajah Ethan begitu gelap. Dia berdiri diatas bangku dengan canggung, wajahnya bingung seperti mencari sesuatu yang tiba-tiba menghilang."Ethan Samuel, turun kamu dari situ!" teriak Anna berusaha dengan tegas seakan dia sedang memarahi Jacob yang membuang-buang makanannya. Pria itu menoleh dengan bingung."Aku bilang turun, kamu harus turun!" Walau air mata Anna mengalir deras, dia merasa, Ethan harus dikagetkan, dengan ca
"Sayang…," desah Ethan sambil menciumi kelopak telinga Anna sehingga Anna tekikik geli. Tubuhnya mulai bergoyang tak terkendali, merespon tiap sentuhan Ethan. Jemari Anna mulai meraih kancing kemeja kerja Ethan. Dan dengan terampil kancing demi kancing dilepaskannya. Ethan tersenyum miring saat merasakan kemejanya sudah terlepas semua, dan jemari Anna mulai merasakan dadanya."Hmm, geli Anna," Ethan mendesah saat Anna terus menyusuri kulit perutnya yang berkotak-kotak.Anna tersenyum nakal, sambil terus merasakan hangatnya tubuh Ethan. pria itu dengan cepat melepas kemejanya sehingga kedua tangan Anna bebas menyentuhnya. Mata wanita itu berbinar-binar melihat tubuh Ethan yang kurus namun berotot itu."Kamu harus makan lebih banyak ya? Tubuhmu kurus sekali," Anna menyu
"Sayang, maafkan aku, kamu sudah pulang dan aku malah membuatmu takut, kembalilah padaku, aku sangat merindukanmu," desah Ethan di telinga Anna, pelukannya terasa nyata. Anna tak lagi berusaha melepaskan diri. Dia menoleh untuk menatap Ethan, dan menilai.Mata pria itu kembali hangat sebagaimana Anna mengingatnya. Dia tersenyum sedih, memandang Anna penuh harap. Anna menatap Jacob yang sudah kembali merasa aman di pelukan mamanya, batita itu sudah sibuk bermain dengan kancing baju mamanya. Tapi tiba-tiba dia menyentuh hidung papanya"Pa….pa," cengirnya memperlihatkan gusi yang kemerahan."Iya sayang, aku papamu." Ethan menangis menatap bayinya, bukan dia sudah besar sudah bukan bayi lagi. Betapa dia sudah kehilangan waktu, apa yang terjadi? Anna terk