Tiga pria dengan pakaian serba hitam berdiri. Di tangan mereka masing-masing terdapat satu set pakaian yang terlihat sangat rapi dan pastinya mahal.
“Pakaian mana yang paling kalian rekomendasikan?” tanya Aiden yang sudah duduk di sofa. Kedua tangannya bersandar di kepala sofa dan kaki seksinya menyilang. Dengan sikap seperti ini, aura diktator dari Aiden sangat kontras.
Tiga pria itu juga terlihat gugup dikarenakan mata Aiden yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Ingin membuka suara saja terlihat sangat sulit.
“Ini adalah pakaian pertama yang mereka keluarkan saat saya datang, Tuan,” jawab Alex yang lalu berjalan ke arah mereka. Kali ini dia mengambil ahli. Alex dapat maklum dengan mereka, pasalnya ini adalah kali pertama mereka berhadapan dengan seorang Chayton.
Alex menunjukkan satu set jas dengan warna abu-abu bermotif kotak-kotak. Jahitannya terlihat sangat rapi. Jas yang dapat mengikuti bentuk bandan itu akan terlihat sangat sempurna di tubuh Aiden yang penuh dengan otot.
Tringgg ...
Handphone Aiden berbunyi tiba-tiba. Sontak saja Aiden mengeluarkannya dari kantong saku. Alisnya terlihat menyatu kala melihat nomor yang menelepon dirinya tidak ada di daftar kontak.
“Apa kau memberikan nomor ku ke orang lain?” tanya Aiden kepada Alex dengan nada tak suka. Aiden adalah pria dengan privasi yang sangat terjaga. Dia hanya memberikan nomor pribadinya kepada orang terdekat.Tentu saja hal ini cukup mengejutkan.
Pernah sekali ada orang asing yang mengetahui nomor Aiden. DIa terus meneror Aiden. Oleh sebab itu Aiden mengganti nomornya dan menjadi sangat sensitif masalah ini. Baginya cukup masalah keluarga, masa lalu, dan pekerjaan yang bisa membuat Aiden harus berpikir.
“Saya tidak pernah memberikan nomor Tuan tanpa izin,” jawab Alex. Takut? Tentu saja. Tapi karena wajahnya yang datar membuat semuanya tertutup. Dirinya hampir sama dengan Aiden. Mampu menyembunyikan sejuta ekspresi.
Karena handphone itu terus saja berbunyi, akhirnya Aiden memutuskan untuk menjawab. Dia mendekatkan benda pipih itu ke telinga. Sedangkan Alex, dia sudah menyuruh tiga pria pergi keluar dari ruangan.
“H ... Halo.”
Satu hal yang Aiden dapat simpulkan. Ini adalah suara perempuan. Terdengar sangat lembut dan tak asing di telinganya.
“Aku ... Stephanie.”
“Stephanie,” gumam Aiden lalu tersenyum miring. Dia mengurungkan niat untuk bertanya dari mana perempuan itu bisa mendapatkan nomornya. Kalau tidak dari keluarganya, mungkin dari Sean. Hanya Sean dari keluarga Casey yang mengetahui nomor Aiden.
“Aku ....”
“Kalau kau terus menjeda kalimatmu lebih baik aku menutup telepon ini,” kata AIden. “Kau harus tahu, Mr. Chayton ini punya banyak urusan.”
“Tunggu sebentar saja—”
“Baiklah. Katakan apa maumu, Cantik?”
Mata Aiden menajam ketika melihat Alex yang sudah membulatkan matanya terkejut. Dengan cepat Alex menetralkan raut wajahnya lalu kembali menunduk. Bukan tanpa sebab, Aiden yang Alex kenal adalah sangat anti dengan memberikan pujian-pujian seperti itu.
Di seberang, Stephanie terdiam beberapa saat hingga akhirnya dia kembali bersuara. “Aku ... tidak bisa ikut denganmu malam ini.”
“Kenapa?” tanya Aiden yang masih berusaha bersikap biasa. Sejujurnya dia tidak suka dengan orang yang membatalkan pertemuan secara mendadak. Tapi untuk kali ini Aiden harus tahu apa alasannya.
“Aku sudah diundang lebih dulu ke pesta bersama dengan temanku. Aku tidak mungkin membatalkannya.”
“Perempuan atau laki-laki?”
“K-kenapa? Apa urusannya dengan gender?”
Aiden menghela napas. “Aku hanya bertanya. Lebih baik kau menjawabnya.”
“Dua-duanya. Ada perempuan dan juga laki-laki. Sudah ... aku harus bersiap—”
“Siapa laki-laki itu?” potong Aiden. Terdengar helaan napas kesal dari seberang yang lucunya membuat Aiden tersenyum tipis.
“Percuma, kau tidak akan mengenalnya—”
“Katakan saja. Aku hanya bertanya.”
“Joshua Oliver—”
“Kau ikut denganku,” potong Aiden tegas. Rahangnya mengetat ketika mendengar nama itu. Tidak akan Aiden biarkan Stephanie ikut ke sana bersama dengan musuhnya. “Tidak ada bantahan! Kau harus menuruti calon suamimu. Aku akan menjemputmu malam ini.
“Aid—”
“Berdandanlah dengan cantik. Tunjukkan kalau calon menantu Chayton memang berkualitas,” potong Aiden yang lalu memutuskan telepon tersebut.
“Aku pilih pakaian pertama. Kau bisa membawanya ke ruangan pribadiku,” jelas Aiden kepada Alex. Dia tidak lagi memikirkan pakaian itu karena sejatinya pakaian apapun yang AIden gunakan akan terlihat sempurna ketika sudah membalut tubuhnya.
Kali ini AIden hanya butuh menenangkan diri sekaligus menyusun rencana untuk nanti.
***
Kaki Stephanie yang sudah dibalut dengan heels setinggi 5 cm itu menyentuh lantai marmer. Dirinya berhenti melangkah ketika melihat Aiden yang sudah berdiri dengan gagah sambil bersandar di mobil sport. Tangan Aiden yang dimasukkan ke dalam saku sambil melihat ke arah Stephanie membuatnya terasa sangat gugup. Kali ini Aiden jauh lebih tampan dengan tatanan rambut yang dibantu dengan gel agar terlihat kokoh.
Sedangkan Aiden, dia akui Stephanie cukup cantik kali ini. Tubuh seksi itu dibalut dengan cocktail dress yang sangat mini. Bahkan panjangnya berada jauh di atas paha. Dress berwarna perak dengan taburan berlian sangat cocok di kulitnya yang putih. Apalagi ketika melihat belahan dada Stephanie yang cukup membuat tubuhnya mendadak panas. Stephanie bukan berlebihan. Dia hanya mengikuti tema undangan yang Aiden kirim.
Aiden akhirnya tersadar cepat. Dia lalu menjemput Stephanie. Mengarahkan tangannya yang lalu disambut baik oleh Stephanie. Lalu mereka berjalan bersama ke arah mobil.
“Jangan tampilkan raut tertekukmu itu. Aku tidak menyukainya.”
“Lantas aku harus menuruti apa yang kau suka, begitu?” tanya Stephanie balik sesudah pintu mobil terbuka. Dia mengurungkan niat untuk masuk.
“Tentu saja,” sahut Aiden. Apa Aiden harus menjelaskan itu? Dia adalah Chayton! Sejak kecil sampai sekarang, apa yang ia mau harus tercapai.
Aiden tersenyum tipis. Bibir seksi pink itu berhasil membuat Stephanie terdiam beberapa saat. “Sebentar lagi kau akan menyandang gelar Mrs. Chayton. Sebaiknya kau harus bersikap seperti perempuan anggun pada umumnya. Tidak menjawab atau bahkan membantah.”
Stephanie tersenyum remeh. Dia mengangkat wajahnya lebih tinggi agar bisa melihat Aiden lebih jelas. “Kau meragukan diriku?”
“Tentu.” Aiden tidak tahu kalau jawaban yang ia berikan adalah penghinaan yang cukup berat bagi Stephanie.
“Aku adalah putri Casey, Tuan Aiden,” tutur Stephanie. “Kau tidak harus mengeluarkan pernyataan merendahkan seperti itu. Saat orang tuamu datang ke mansion ini dan meminta seorang putri untuk dijadikan menantu, maka itu sudah menjawab semuanya. Kalau aku, Stephanie Michelle Casey, adalah perempuan yang layak dan anggun. Kau tidak akan menemukan seorang perempuan seperti diriku di dunia ini. Orang tua ku sudah mendidikku sangat baik. Jadi kuharap dirimu berpikir sebelum bersuara.”
Aiden tersenyum mendengar kalimat Stephanie. Dia tahu kalau Stephanie sudah marah tapi anehnya, nadanya saat berbicara sangat lembut sekali.
“Aku tidak butuh perkataan, yang kubutuhkan adalah tindakan.” Aiden menjawab dengan tenang. “Maka buktikan malam ini. Buktikan kalau kau memang layak untuk menyandang gelar Mrs. Chayton. Buat semua orang di pesta itu merasa terpana dengan kecantikan dari putri Casey.”
“Jadi kau membawaku hanya untuk mengujiku, begitu?”
“Benar,” jawab Aiden.
Stephanie tersenyum. Senyumannya sangat sopan dan lembut. “Dengan senang hati. Akan aku tunjukkan bagaimana pesona dari Stephanie Casey. Tapi ... satu hal yang harus kau tahu, aku cukup sakit hati mendengar kalimatmu tadi. Dengan kau mengatakan begitu, itu sama saja kau merendahkan keluargaku dan juga calon istrimu ini.” Tak mau mendengar jawaban dari Aiden, Stephanie langsung masuk ke dalam.
***
Sebuah ballroom milik salah satu hotel bintang lima menjadi tempat penyelenggaraan pesta yang Aiden dan Stephanie hadiri.
Dua manusia yang memiliki wajah ciamik itu berjalan bersamaan. Tangan Aiden berada di pinggang Stephanie, merangkulnya dengan sangat mesra. Begitu juga dengan Stephanie. Mereka terlihat sangat mesra dan cocok sekali.
Rambut Stephanie digerai dengan ujung yang dibuat bergelombang. Rambut itu terlihat bervolume, sangat cantik sekali. Senyuman manis yang Stephanie keluarkan juga berhasil membius banyak pasang mata.
Setiap orang yang sedang berbicara satu sama lain reflek memberhentikan kegiatannya. Mereka semua fokus kepada satu pasangan itu. Terkejut? Tentu saja. Seorang penerus nama Chayton akhirnya terlihat menggandeng perempuan di depan publik. Tak hanya itu, perempuan yang Aiden gandeng bukanlah perempuan biasa. Dia adalah putri dari Erland Casey! Seorang pria yang masuk ke jajaran 5 orang terkaya di dunia.
Kilatan flash terlihat bersahutan dengan sangat cepat. Awak media yang memang diperuntukan untuk menjadi seksi dokumentasi di acara ini terlihat sibuk mengabadikan momen langka ini. Ini adalah salah satu hal yang luar biasa menguntungkan bagi mereka.
“Selamat malam, Mr. Chayton.”
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga