Share

BAB 6. Ramalan Kakek Dan Dongeng Turun Temurun

    Asoka tidak bisa berhenti untuk bertanya-tanya dan merasa penasaran setengah mati. Jika Asoka tak menuntaskannya sekarang, nanti malam Asoka pasti tidak akan bisa tidur nyenyak dan terbayang-bayang. Dan itu akan berpengaruh pada performa aktingnya besok pagi. Asoka harus memastikan bahwa kejadian tadi hanyalah imajinasinya semata, atau kebetulan yang tidak disengaja.

    Karena itulah, didorong oleh keinginan implusif, Asoka mendatangi Kyra di parkiran basement dan membawanya pergi. Ia harus bicara pada Kyra agar semuanya jelas.

    Asoka kemudian menyandarkan punggung Kyra di tembok yang berada paling sudut tempat parkir, terlindung oleh bayang-bayang tembok besar dan cahaya yang remang. Asoka tidak bisa meresikokan dirinya tertangkap oleh paparazi sedang berduaan dengan Kyra, atau citranya sebagai aktor papan atas akan tercoreng. Selama ini, Asoka selalu menjadi aktor dengan image baik dan tak pernah terkena skandal pacaran dengan kalangan aktris maupun orang biasa. Asoka adalah dewa penolong yang rajin mendermakan hartanya pada orang-orang miskin.

    "Ad... ada apa?" tanya Kyra akhirnya, buka suara. Nadanya jelas terdengar gugup. Cewek itu kemudian memberanikan diri untuk menatap Asoka. Bola matanya tampak bersinar. "Kak Soka mau bicara apa? Kalau masalah tadi, aku bakal tegasin sekali lagi kalau aku bukan Kyra. Kak Soka salah orang. Wajah kita berdua kebetulan mirip aja. Aku juga sering kok dikira Kyra, padahal aslinya enggak."

    Kyra terkekeh kecil untuk mencairkan suasana, padahal degup jantungnya sudah melompat-lompat kegirangan. Kyra jelas tak pernah membayangkan jika Asoka akan menariknya ke tempat sepi hanya agar mereka bisa berbicara berdua.

    Bukankah, terasa sangat manis? Seperti mini drama yang sering ia tonton di waktu senggang? Kyra tak keberatan terlibat kisah cinta dengan Asoka dan menjalani drama romansa-komedi.

    "Gue harus mastiin sesuatu," kata Asoka tiba-tiba, datar. Kedua tangannya berada dalam saku celana dan matanya memandang Kyra lekat, seolah sedang mengintimidasi. "Coba sekarang lo nyuruh gue berhenti."

    Kening Kyra berkerut dalam. Ia menggeleng tidak paham. "Maksudnya?"

    "Bilang ke gue, berhenti," Kata Asoka, masih mencoba untuk bersikap sabar.

    "Berhenti?" Kyra balik bertanya dengan nada bodoh.

    Asoka mendesah dan melipat kedua tangannya di depan dada. Mata yang biasa bersinar teduh, kini memandang Kyra tajam, menusuk seperti sebilah pisau yang kelewat tajam. Hanya saja, Kyra tak pernah merasa tatapan Asoka menakutkan. "Sekarang, ulangi kata-kata gue, Vanila. Coba bilang; Asoka, berhenti!"

    "Kenapa aku harus bilang begitu?" Kyra memiringkan kepala. Tersenyum tipis, bertingkah seolah Asoka sedang mengajaknya bermain-main. "Dan apa yang mau Kak Asoka pastikan? Aku beneran nggak paham."

    "Kenapa lo nggak nurut aja supaya ini cepat selesai?" Asoka melemparkan tatapan kesal. "Gue janji nggak bakal ngungkapin identitas lo selama lo nurutin gue kali ini."

    Kyra menggeleng keras kepala. "Udah kubilang kalau aku ini Vanila, bukan Kyra."

    Asoka memutar bola matanya dan mengukir senyuman sinis. "Lo kepala batu banget, ya? Lo pikir gue cowok bodoh, yang bisa dibohongin gitu aja? Gue nggak bakalan ngomong tanpa bukti!" Asoka kemudian mengambil ponselnya dari saku celana, menggeser layar untuk menampilkan biodata Kyra yang ia minta dari Fian tempo hari, beserta foto Kyra yang terpampang nyata tak bercela. Asoka kemudian mengarahkan layar ponselnya pada Kyra, agar cewek itu bisa melihatnya dengan jelas. "Lihat? Ini adalah bukti valid kalau lo adalah Patibrata."

    Mata Kyra seketika membulat terkejut, didera rasa panik. Kenapa, Asoka bisa tahu soal ini? Padahal, Kyra sudah berusaha sekuat tenaga untuk menutupi identitasnya. Ia bahkan sudah membayar orang untuk menghapus semua artikel yang yang membahas namanya sebagai putri kedua Patibrata.

    "Tolong, jangan kasih tahu orang-orang soal ini." Kyra menenagkupkan kedua tangannya, memohon. Matanya sudah berkaca-kaca. "Aku nggak mau orang-orang tahu dan deketin aku hanya karena aku adalah Patibrata. Aku nggak mau dikelilingi sama orang-orang munafik yang cuma mau manfaatin aku doang."

    Asoka tanpa sadar mengangguk dan berujar, seolah lidahnya bergerak sendiri. "Gue nggak akan kasih tahu sama siapa pun. Rahasia ini, hanya kita berdua yang tahu."

    Asoka mengerjab, matanya sejenak kehilangan orientasi. Padahal bukan kalimat tadi yang ingin Asoka ucapkan. Asoka justru ingin mengolok-olok Kyra dan menyebutkan jika Kyra-lah yang munafik dengan berpura-pura menyembuyikan identitas. Tetapi, kenapa justru yang keluar adalah kalimat itu? Asoka... benar-benar tidak mengerti.

    Sementara itu, senyum Kyra seketika melebar. Dan ia menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukan Asoka. Kyra tentu masih punya rasa malu dan harga diri. Ia dan Asoka, hubungan mereka bahkan tidak bisa dikatakan sebagai teman. "Baiklah. Kalau begitu, aku bakal nurutin maunya Kak Soka. Cuma bilang berhenti aja kan?" Kyra tersenyum lagi. Matanya semakin menyipit ketika ia tersenyum kian lebar. "Kak Soka, berhenti!"

    Asoka mendesah dan menyugar rambutnya, kemudian menggerakkan kaki dan berjalan di depan Kyra. Tidak terjadi apa-apa. Asoka bisa dengan bebas menggerakkan kakinya. Ia bahkan melompat-lompat untuk memastikan. Asoka bisa bergerak meski Kyra bilang tidak. Bukankah, dengan begini, Asoka bisa memastikan bahwa yang tadi hanya kebetulan?

    Namun, kenapa Asoka justru semakin gelisah? Kenapa tadi dia iyakan saja saat Kyra memintanya untuk merahasiakan identitas meski bertentangan dengan kehendaknya? Apa yang salah dengan Asoka? Apa ia perlu konsultasi dengan psikiater?

   "Kak Soka kenapa?" Kyra bertanya ketika melihat Asoka yang hanya diam saja.

    "Udah lah, gue mau pulang," Asoka mengibaskan tangan dan berbalik. Ia memutuskan untuk tidak lagi memikirkan keanehan yang menimpanya akibat ucapan Kyra. Asoka harus menjaga kesehatan mentalnya supaya tidak stres.

    Tapi kemudian,

    Asoka teringat dengan perkataan kakek,

    Tentang kutukan pelayan yang menimpa keluarga Bagaskara yang sudah turun-temurun selama ribuan tahun lamanya. Kutukan itu hanya akan menimpa keturunan yang mempunyai kualifikasi seorang pelayan, dan hanya muncul setiap seratus tahun sekali. Karena saking lamanya, tidak ada yang tahu pasti, pada siapa 'pelayan terpilih' ini akan mengabdi. Kata kakek, Asoka adalah anak yang lahir setelah seratus tahun kutukan itu bersembunyi. Asoka memiliki tanda-tandanya.

    Asoka tertawa kencang.

    Mana mungkin, takhayul masih mempan sampai sekarang? Indonesia sudah menjadi negara maju! Bukan lagi negara berkembang yang warganya masih ada yang buang air besar di empang. Iya kan?

    ****

    Asoka memasuki apartemennya, langsung menuju kamar untuk beristirahat. Persetan tentang apa yang terjadi hari ini. Asoka lelah sekali sampai rasanya mau mati. Hanya saja, rupanya takdir memilih saat yang paling tepat untuk mengganggu waktu istirahatnya.

    Asoka nyaris terjengkang ke belakang saat melihat kakeknya, duduk bersila di atas ranjang, dengan kedua tangan ditaruh di atas lutut, bagai pertapa hebat yang sedang bersemedi. Matanya juga terpejam erat. Sementara itu, aroma bunga melati segar dan dupa seketika menyeruak di selikeliling ruangan, membuat Asoka menyeritkan hidungnya menahan mual.

    Kenapa, kakek harus kumat penyakitnya hari ini? Kenapa kakek datang tiba-tiba dan mengganggu ketentraman jiwa Asoka?

    Asoka, benar-benar tidak berselera mendengar ucapan kakek jika sedang dalam mode 'paranaormal' seperti sekarang. Lebih banyak ngaco ketimbang benernya.

    Mata kakek tiba-tiba terbuka dan bersibobrok dengan mata Asoka yang lelah. Kakek langsung menyelesaikan semedinya dengan menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia kemudian turun dari ranjang dan menatap Asoka dalam, "Kakek tahu kalau kamu sudah bertemu dengan 'Yang Mulia dalam ramalan'."

    Asoka mengibaskan tangannya tak acuh. Sepertinya, malam ini Asoka terpaksa tidur di sofa dan menyewa jasa cleaning service untuk membersihkan ranjangnya besok pagi. Asoka benar-benar tidak tahan dengan bau melati.

   "Asoka capek, mau mandi terus tidur," balas Asoka, hendak memasuki kamar mandi. Tetapi lengan tua kakek menahannya.

    "Kamu pasti sudah bertemu dengannya. Wanita itu. Wanita yang sudah kakek ramalkan sejak kamu kelas satu SD," kata Kakek kemudian, nadanya terdengar begitu serius.

    Asoka mendengus, menahan untuk tidak menyemburkan tawanya dan membuat Kakek tersinggung. Ia kemudian menyingkirkan tangan keriput Kakek dari atas bahunya perlahan. Asoka menghormati dan menyayangi Kakek lebih dari apapun, jadi ia tak bisa membentak atau memarahi Kakek. Namun, akal sehat Asoka juga tidak bisa mempercayainya begitu saja. Sihir, kekuatan supranatural dan kutukan, hanya ada dalam drama saja.

    "Udah kubilang kalau ramalan kakek untuk yang satu ini tidak tepat," balas Asoka datar. "Mending kakek sekarang pulang. Biar dianterin sama Fian. Aku beneran lelah hari ini."

    "Kamu adalah keturunan ke seratus tahun, Asoka," kata Kakek, nadanya memperingati, masih belum juga mau melepaskan Asoka. "Sudah takdirmu untuk menjadi pelayan. Kamu tidak akan bisa terus-menerus menghindar dari kutukan itu. Jangan berbuat sesuatu yang akan merugikan dirimu sendiri, Asoka."

    Asoka mengabaikan Kakek dan memasuki kamar mandinya dengan membanting pintu. Seharian ini, Asoka sudah dibuat kebingungan dengan Kyra, lelah dengan jadwal syuting yang padat, dan hari ini, Kakek ikut-ikutan menambah bebannya. Asoka ingin mengabaikan semuanya. Ia tidak akan percaya dengan takhayul atau apapun itu, sialan!

    Mana mungkin, aktor papan atas seperti dirinya ditakdirkan untuk menjadi seorang pelayan? Yang benar saja. Asoka lebih memilih mati daripada harus memenuhi takdir sialan itu! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status