GADIS
Aku memasukkan iPad-ku ke dalam tas setelah aku mendengar panggilan untuk segera masuk ke ruang tunggu bandara. Aku melirik sekitarku, kupastikan bahwa keadaan aman, tanpa ada Kavaleri!
“Dis lu nggak ke duty free dulu beliin oleh-oleh?" Tanya Valerie dengan menenteng berbagai merk tas belanja. Aku menggeleng dan tersenyum. Yang aku inginkan sekarang adalah kembali bersarang di apartemenku yang super nyaman, dan terlindungi dari bahaya luar (baca: Kavaleri). Tapi aku teringat sesuatu, dan membuatku ingin mati saja.
“Apa gue harus pindah apartemen ya?”
Velerie melirikku dan mengerutkan dahinya sekilas. “Why?”
“Gue pengen hidup tenang, tanpa ada gangguan dari Kava maupun Asha. Gue pengen ngubur semua masa lalu gue. Apartemen itu kan juga sering ditiduri Kava kalo dia nginep di sana. Belum lagi yang setiap pagi ketemu Asha di lift. Gue bisa gila!” Tak ada respon. Membuatku menoleh ke arah Valerie. Dia tersenyum jahil.
“Apa?!” Tanyaku galak.
“Nggak papa. Gue cuma mencium rasa cemburu di sini.”
Aku langsung memasang earphone-ku dan memencet tombol play di iPhone-ku. Aku berjalan mendahului Valerie dan tidak ingin membicarakan tentang Kavaleri atau Asha lagi. Enough is enough.
Valerie berusaha mengejarku. “Iya iya maaf deh… Mana mungkin seorang Gadis cemburu sama Kava dan Asha? Nggak mungkin kan? Iyalah nggak mungkin!”
Aku menghentikan langkahku dan menatap Valerie sambal mencubit lengannya karena dia masih saja mengejekku. Kalau saja dia bukan sahabatku, sudah ku tendang dia sampai Indonesia!
☺☺☺
“Indonesia!!!” Aku menghirup sebanyak-banyaknya udara yang mampu ditampung paru-paruku.
“Aneh ya, baru tiga hari di negeri orang udah kangen banget sama negara sendiri.” celotehku sambil mendorong troli koperku.
“Nasionalis banget sih lu? Mondar-mandi luar negeri masih aja cinta Indonesia.”
Aku menoleh ke arah Valerie, “Indonesia is the best deh pokoknya. Walaupun, you know lah.” Kami tertawa bersama. Aku melihat Radit melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan membalas lambaiannya.
“Hai nona-nona cantik pembawa kabar gembira.” katanya sembari mengambil alih troli dari tanganku.
“Spesial banget nih yang jemput langsung si Bos!” Ujar Valerie girang.
“Dit, thanks ya udah kasih surprise. Nggak tau kenapa walaupun ada rasa sakit ketemu dia karena sekarang statusnya beda tapi masih ada rasa deg-deg annya.” kataku lirih agar Valerie tidak mendengar. Radit tersenyum ke arahku.
“It means you still loves him. Don't pretend your heart.”
Aku memandangi dadaku. Ya walaupun hati bukan disitu letaknya, tapi orang-orang bilang hati itu ada di dada kan?
“Sebentar lagi kita semua bakal dateng di pernikahan dia Dit. Sama orang lain...” tertusuk seribu pisau rasanya hatiku, saat mengatakan kalimat itu.
.
Aku tersenyum pada staf apartemen yang menyapaku hangat. Tubuhku terasa sangat lelah dan hanya ingin tidur di kasur empukku.
Ting
Aku segera masuk saat pintu lift terbuka. Saat aku hendak memencet tombol close, ada teriakan seorang perempuan yang membuatku mengurungkan niat tersebut.
“Tunggu!”
Saat wanita itu masuk, seketika tubuhku membeku dan merutuki nasibku.
“Eh, elo ya ternyata.” Suaranya sangat terdengar mengejek. Camkan, sangat mengejek. Aku hanya menoleh sekilas lalu memencet tombol close.
“To the point aja ya Dis. Pernikahan gue sama Kava diajuin. Tepat satu bulan dari hari ini, kita akan meresmikan ikatan cinta kita. Lo harus dateng. Nih undangannya.”
Asha menyodorkan undangan yang sangat mewah. Aku hanya meliriknya dan dengan terpaksa mengambil undangan itu. Entah, rasanya aku seperti dihantam ribuan pisau yang sekarang sudah bersarang di seluruh tubuhku.
“Thanks.” ucapku lirih. Dia tertawa, sontak aku menoleh padanya.
“Untuk apa? Untuk keberhasilanku ngerebut posisi kamu? Untuk kemenanganku? Hah, you're such a sucks!” Asha keluar dari lift, meninggalkan aku yang masih sangat kaget dengan perkataannya. Aku menatap punggungnya, mulai menjauh, dan tak terlihat lagi setelah pintu lift tertutup sempurna.
Aku menatap kosong ke depan, pandangan mataku mulai kabur tertutup air yang kapan saja bisa tumpah dari mataku. Mulutku tidak terkatup dengan sempurna, tanganku yang sedari tadi memegang undangan pernikahan gemetar hebat. Saat akhirnya aku tersadar lift terbuka di lantai apartemenku. Aku segera berlari ke arah kamarku dan memencet pin kamarku.
Aku menatap bayanganku di cermin. Meraba wajahku, dan sesekali air mata jatuh membasahi pipiku. Aku menangis, tanpa suara.
“Kav... kenapa kita harus bertemu tetapi akhirnya seperti ini?” Air mataku mulai deras saat memori otakku memutar segala kenangan bersama lelaki yang sekarang menjadi seorang pilot itu. Aku terduduk lemas di karpet bludru kamarku. Menangis histeris karena aku gagal melupakannya.
“Kav kenapa gue nggak bisa ngelupain masa lalu kita??!! Gue masih nggak bisa percaya kalo kita udah nggak kaya dulu lagi!” Aku mengusap wajahku kasar, aku lelah. Sangat lelah.
☺☺☺
KAVALERI
“Apa?! Kamu udah kasih undangannya ke Gadis?!”
“Iya. Kenapa?” ucapnya dengan nada santai.
Oh God! Suaranya terdengar enteng sekali, dan aku bisa menangkap nada kesengajaan yang tersirat di sana. Ya, Asha sengaja memberikan undangan itu ke Gadis dengan maksud ingin mencibir wanita itu.
“Kamu apain Gadis?!” tanyaku dengan nada tinggi.
“Apa sih kamu? Jangan lebay deh Kav! Aku nggak ngapa-ngapain dia! Apa dia lapor ke kamu? Iya? Dia ngada-ngada kalo aku sakitin dia?”
"Lebay? Bahkan wanita yang sangat kucintai sekalipun belum pernah mengatakan aku lebay!" batinku.
“Aku kan udah pernah bilang jangan kasih undangan it uke Gadis tanpa seizin aku! Kamu juga mengiyakan waktu itu, sekarang kenapa kamu ngelanggar janji kamu?” tanyaku dengan nada penuh amarah.
“Ya gimana, abis aku sering banget ketemu dia di apart. Lagian pernikahan kita juga diajuin, kamu nya nggak pernah libur, yaudah aku kasihin aja waktu ketemu dia tadi.”
“Kamu tuh bener-bener ya Sha, nggak bisa menghormati aku sebagai seorang laki-laki. Kamu seenaknya aja jalan dengan aturan kamu sendiri tanpa minta persetujuan aku. Apa kaya gitu pantes dijadiin istri?” aku mulai tidak bisa mengontrol kata-kataku karena memikirkan Gadis yang telah menerima undangan pernikahan itu.
Aku merasa tidak berguna dan tidak berdaya, baru kemarin di Merlion aku menanyakan perihal perasaannya terhadapku, tapi hari ini dia harus menerima kenyataan pahit yang aku sendiri pun tidak ingin menjalaninya.
“Terserah kamu! Aku nggak mau tau minggu depan kamu harus libur dan temenin aku nge-fix-in semua acara pernikahan kita!” tuntutnya tanpa ampun.
Tut
Aku mematikan handphone-ku dengan kasar. Aku langsung mencoba untuk menghubungi Gadis. Supir airlines telah menungguku di luar karena saat ini aku dijadwalkan untuk terbang ke Samarinda. Aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Gadis karena aku tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya. Tengil memang aku ini, tapi aku tidak ingin menambah kesedihannya dengan suaraku di telepon.
“Entah apa yang dipikirkan wanita itu dan entah bagaimana keadaannya sekarang.” gumamku.
GADISAku membuka mataku, mengerjap sesekali untuk membiasakan cahaya yang menusuk pupilku. Gelap. Aku melihat pergelanganku, 19.20 WIB. Aku terperanjat kaget dan langsung terduduk di tengah-tengah kasurku.Berantakan. Aku melihat bayanganku di cermin dekat kasur. Eyeliner-ku luntur, rambutku kusut terikat seadanya. Aku menghela nafas kasar. Mencoba meraba dimana iPhone-ku berada.8 Missed Call2 New MessagesAku menggeser layar kunci, dan membuka satu persatu notifikasi tadi. Valerie dan kak Celine yang menelepon. Dan Radit yang mengirim sms.“Dis, lu sama Valerie dapet off day seminggu ya. Gunain waktu dengan maksimal, holiday maybe. Jangan terlalu capek dan jangan terlalu mikirin seseorang^.^”Aku tersenyum membaca secuil perhatiannya. Dulu, yang sering begini ya Kavaleri. Lebih manis dan lebih perhatian dari ini. “Ah...” aku mendesah kecil saat menyadari
GADISAku menikmati semilir angin Kuta yang menerpa rambutku. Ibu duduk di sampingku sambil mengelus pelan rambutku. Kak Celine sedang ada di kasir bersama Bapak. Memesan menu mungkin.“Tumben Dis kamu nggak ganti warna rambut? Dua bulan lalu kamu ke sini rambutnya masih ini kan?” Suara Ibu memecah keheningan dan aku memegang ujung rambutku.“Belum nemu warna yang bagus dan cocok buat aku Bu, mungkin kalo besok ke salon nemu yang cocok langsung ganti."“Oh begitu ya, Ibu pikir karena Kavaleri suka yang warna ini.”DEG.Aku masih belum memberitahu Ibu maupun Bapak perihal undangan pernikahan itu.“Kavaleri kabarnya baik-baik aja kan Dis? Ini kedua kalinya ya kamu ke Bali tanpa dia.”Aku membeku. Tubuhku menegang. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya bukan pilihan tepat aku berada di Bali dalam kondisi dan situasi seperti ini. Bapak dan Ibu pasti akan selalu mena
Kata-kata Kavaleri masih membekas di telingaku. Aku mencari jawaban ke segala penjuru otakku. Nafasku terasa berat sekarang, Kavaleri masih berdiri di depanku, dan aku mendongakkan kepalaku untuk tetap menatap mata indahnya. Nafasnya bisa kurasakan menyapu hangat wajahku, dan tangannya masih setia menangkup kedua pipiku.“Aku mohon Dis, kamu mau nemenin aku berjuang.” Aku menangkap nada memohonnya dengan sangat jelas. Ada harapan yang digantungkan di sana. Aku menghelas nafas panjang. Menyingkirkan tangannya dan mencoba berdiri untuk menyeimbangkan tinggi kami.“Gimana sama Asha? Aku nggak mau buat dia kecewa.” Balasku seraya berjalan ke arah jendela balkon kamarku. Aku mendengar decakan yang sangat jelas dari belakangku.“Tsk, kamu ngapain mikir dia? Dia aja waktu ngrebut aku dan berhasil ngedoktrin Papa nggak mikirin perasaan kamu.” Aku merasakan kedua tangan melingkar di pinggulku, Kavaleri memelukku dari belakang. Na
GADISAku sangat bosan, ingin rasanya pergi bersama Kak Celine. Tapi Kak Celine sendiri juga sedang pergi bersama Ibu dan Bapak. Aku melihat Kavaleri mematikan sambungan teleponnya dan berjalan ke arahku.“Gimana, udah nentuin?” Ah suara itu lagi. Aku lupa jika sedang satu atap dengannya. Aku menggeleng pelan. Dia nampaknya gemas dengan jawabanku.“Dari dulu tuh kamu selalu ya kalo dikasih pilihan nggak bisa milih.” Kavaleri duduk di sampingku sambil memandangiku intens.“Apa?” Tanyaku saat kami bertemu pandang.“Kamu nambah cantik deh perasaan. Apa kamu juga belum punya pacar selama putus sama aku kemarin?” tanyanya menyelidik diselingi dengan senyuman jahilnya.Pertanyaan bodoh!“Kalo aku punya cowok di luar sana aku nggak mungkin mau kamu ajak ketemu Papa kamu! Nggak mungkin mau berjuang buat cinta kita!” jawabku kesal. Tanpa sengaja aku menamp
Soekarno Hatta International Airport, 13.52 WIBAku dan Kavaleri berjalan hendak turun. Tapi teman-teman seprofesi Kavaleri memanggilnya dan itu membuat ia berbincang sejenak.“Kav! Lu habis bulan madu ya?” Tebak salah satu temannya yang berseragam pilot.“Gue belum nikah woy! Eh Rick, lu masih inget Gadis kan? Cewek gue yang dulu gue kenalin ke elu?”Aku tersenyum ke arahnya, dan dia pun membalasnya. Aku sedikit canggung saat Kavaleri mengenalkan aku sebagai pacarnya, seperti dahulu. Ya walaupun saat ini aku memang pacarnya, tapi yang sah di mata Papanya adalah Asha. Bukan aku.“Yaudah gue duluan ya Rick, udah ditungguin Bokap. Lu ati-ati kerjanya!”Kami berdua keluar dari bandara. Aku menata hati dan perasaanku. Aku berusaha membaca doa yang aku bisa agar nanti tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kavaleri yang menyadari kegugupanku langsung menggenggam erat jariku.“Rileks don
GADISAku memasukkan beberapa pin di mesin yang menempel di pintu apartemenku.“Mau mampir dulu?” Tanyaku saat aku berhasil membuka pintu.“Pastilah.” Ucapnya yakin dan penuh semangat.Aku berjalan ke arah sofa dengan langkah gontai. Memijat pelipisku dengan gerakan perlahan sambil memejamkan mataku.“Sayang, kenapa?” Kavaleri menghampiriku dan berusaha menuntunku ke sofa. Aku menggeleng cepat. “Capek Kav. Sedikit pusing.” Aku duduk di sofa dan jarak kami sangatlah dekat.“Mau aku buatin sesuatu? Kamu udah minum obat kamu belum?”Aku lupa! Aku belum meminum obatku sejak tadi pagi! Sebenarnya, aku ini menderita suatu penyakit, tapi entahlah aku tidak mau mengumbarnya disini.“Aku ambilin obat kamu ya, di tas kan?” Aku mengangguk. Hatiku merasa damai saat kehadirannya mengisi apartemenku lagi. Wanginya menguar ke seluruh penjuru apartemenku.
Aku melihat sekali lagi undangan pernikahan yang menampilkan kedua nama mempelainya. Kavaleri Avicenna Sadega dan Asha Putri Aurora. Aku menghembuskan nafasku entah sudah yang ke berapa kali.“Aku harap namaku yang bersanding dengan namamu, Kav. Secepatnya...”Panggilan skype membuyarkan lamunanku.“Hai!” Sapaku bersemangat setelah wajah di seberang sana terlihat di layar handphone-ku. Ya Tuhan! Dia sangat tampan dengan baju kebesarannya dan rambut yang sedikit berantakan.“Hai sayang, udah makan?” tanyanya sembari menyisir rambutnya menggunakan jari.“Tiap ngehubungin aku pasti nanyanya makan. Ntar kalo aku gendut gimana? Kamu mau punya istri gendut?” Aku berpura-pura cemberut. Dia tertawa.“Gendut atau enggak yang penting itu kamu. Bukan yang lain.” Pertahananku yang sok cemberut runtuh saat laki-laki di layar handphone-ku mencium layarnya, berniat menciumku.
CELINEAku tidak tau harus berbuat apa saat mendapat kabar bahwa Gadis mengalami kecelakaan fatal di daerah Kebayoran. Valerie terdengar sangat histeris di telepon, dan aku tidak berani mengabari Bapak atau Ibu. Aku segera menginjak pedal gas mobilku dan menuju RSPP Jakarta.Pikiranku kalut, membayangkan sesuatu menakutkan yang akan menimpa adik semata wayangku itu. Entahlah, aku rasa akhir-akhir ini terlalu banyak cobaan yang datang padanya. Aku tidak memikirkan lagi berapa kecepatan mobilku. Yang aku butuhkan sekarang adalah sampai di tempat adikku dirawat. Untung jalanan Jakarta agak lengang.Rumah Sakit Pusat Pertamina, 19.02 WIBAku segera berlari ke ruang IGD karena Valerie mengatakan Gadis dirawat di sana. Aku menangis di sepanjang lorong rumah sakit ini. Tidak kupedulikan pandangan orang-orang yang berpapasan denganku.Aku melihat Valerie duduk di kursi panjang depan pintu IGD. Dia menangis, sama sepertiku.