Share

6

GADIS

Aku memasukkan iPad-ku ke dalam tas setelah aku mendengar panggilan untuk segera masuk ke ruang tunggu bandara. Aku melirik sekitarku, kupastikan bahwa keadaan aman, tanpa ada Kavaleri!

“Dis lu nggak ke duty free dulu beliin oleh-oleh?" Tanya Valerie dengan menenteng berbagai merk tas belanja. Aku menggeleng dan tersenyum. Yang aku inginkan sekarang adalah kembali bersarang di apartemenku yang super nyaman, dan terlindungi dari bahaya luar (baca: Kavaleri). Tapi aku teringat sesuatu, dan membuatku ingin mati saja.

“Apa gue harus pindah apartemen ya?”

Velerie melirikku dan mengerutkan dahinya sekilas. “Why?”

“Gue pengen hidup tenang, tanpa ada gangguan dari Kava maupun Asha. Gue pengen ngubur semua masa lalu gue. Apartemen itu kan juga sering ditiduri Kava kalo dia nginep di sana. Belum lagi yang setiap pagi ketemu Asha di lift. Gue bisa gila!” Tak ada respon. Membuatku menoleh ke arah Valerie. Dia tersenyum jahil.

“Apa?!” Tanyaku galak.

“Nggak papa. Gue cuma mencium rasa cemburu di sini.”

Aku langsung memasang earphone-ku dan memencet tombol play di iPhone-ku. Aku berjalan mendahului Valerie dan tidak ingin membicarakan tentang Kavaleri atau Asha lagi. Enough is enough.

Valerie berusaha mengejarku. “Iya iya maaf deh… Mana mungkin seorang Gadis cemburu sama Kava dan Asha? Nggak mungkin kan? Iyalah nggak mungkin!”

Aku menghentikan langkahku dan menatap Valerie sambal mencubit lengannya karena dia masih saja mengejekku. Kalau saja dia bukan sahabatku, sudah ku tendang dia sampai Indonesia!

☺☺☺

“Indonesia!!!” Aku menghirup sebanyak-banyaknya udara yang mampu ditampung paru-paruku.

“Aneh ya, baru tiga hari di negeri orang udah kangen banget sama negara sendiri.” celotehku sambil mendorong troli koperku.

“Nasionalis banget sih lu? Mondar-mandi luar negeri masih aja cinta Indonesia.”

Aku menoleh ke arah Valerie, “Indonesia is the best deh pokoknya. Walaupun, you know lah.” Kami tertawa bersama. Aku melihat Radit melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan membalas lambaiannya.

“Hai nona-nona cantik pembawa kabar gembira.” katanya sembari mengambil alih troli dari tanganku.

“Spesial banget nih yang jemput langsung si Bos!” Ujar Valerie girang.

“Dit, thanks ya udah kasih surprise. Nggak tau kenapa walaupun ada rasa sakit ketemu dia karena sekarang statusnya beda tapi masih ada rasa deg-deg annya.” kataku lirih agar Valerie tidak mendengar. Radit tersenyum ke arahku.

“It means you still loves him. Don't pretend your heart.”

Aku memandangi dadaku. Ya walaupun hati bukan disitu letaknya, tapi orang-orang bilang hati itu ada di dada kan?

Sebentar lagi kita semua bakal dateng di pernikahan dia Dit. Sama orang lain...” tertusuk seribu pisau rasanya hatiku, saat mengatakan kalimat itu. 

.

Aku tersenyum pada staf apartemen yang menyapaku hangat. Tubuhku terasa sangat lelah dan hanya ingin tidur di kasur empukku.

Ting

Aku segera masuk saat pintu lift terbuka. Saat aku hendak memencet tombol close, ada teriakan seorang perempuan yang membuatku mengurungkan niat tersebut.

“Tunggu!”

Saat wanita itu masuk, seketika tubuhku membeku dan merutuki nasibku.

“Eh, elo ya ternyata.” Suaranya sangat terdengar mengejek. Camkan, sangat mengejek. Aku hanya menoleh sekilas lalu memencet tombol close.

To the point aja ya Dis. Pernikahan gue sama Kava diajuin. Tepat satu bulan dari hari ini, kita akan meresmikan ikatan cinta kita. Lo harus dateng. Nih undangannya.”

Asha menyodorkan undangan yang sangat mewah. Aku hanya meliriknya dan dengan terpaksa mengambil undangan itu. Entah, rasanya aku seperti dihantam ribuan pisau yang sekarang sudah bersarang di seluruh tubuhku.

“Thanks.” ucapku lirih. Dia tertawa, sontak aku menoleh padanya.

“Untuk apa? Untuk keberhasilanku ngerebut posisi kamu? Untuk kemenanganku? Hah, you're such a sucks!” Asha keluar dari lift, meninggalkan aku yang masih sangat kaget dengan perkataannya. Aku menatap punggungnya, mulai menjauh, dan tak terlihat lagi setelah pintu lift tertutup sempurna.

Aku menatap kosong ke depan, pandangan mataku mulai kabur tertutup air yang kapan saja bisa tumpah dari mataku. Mulutku tidak terkatup dengan sempurna, tanganku yang sedari tadi memegang undangan pernikahan gemetar hebat. Saat akhirnya aku tersadar lift terbuka di lantai apartemenku. Aku segera berlari ke arah kamarku dan memencet pin kamarku.

Aku menatap bayanganku di cermin. Meraba wajahku, dan sesekali air mata jatuh membasahi pipiku. Aku menangis, tanpa suara.

“Kav... kenapa kita harus bertemu tetapi akhirnya seperti ini?” Air mataku mulai deras saat memori otakku memutar segala kenangan bersama lelaki yang sekarang menjadi seorang pilot itu. Aku terduduk lemas di karpet bludru kamarku. Menangis histeris karena aku gagal melupakannya.

“Kav kenapa gue nggak bisa ngelupain masa lalu kita??!! Gue masih nggak bisa percaya kalo kita udah nggak kaya dulu lagi!” Aku mengusap wajahku kasar, aku lelah. Sangat lelah.

☺☺☺

KAVALERI

“Apa?! Kamu udah kasih undangannya ke Gadis?!”

“Iya. Kenapa?” ucapnya dengan nada santai.

Oh God! Suaranya terdengar enteng sekali, dan aku bisa menangkap nada kesengajaan yang tersirat di sana. Ya, Asha sengaja memberikan undangan itu ke Gadis dengan maksud ingin mencibir wanita itu.

“Kamu apain Gadis?!” tanyaku dengan nada tinggi.

“Apa sih kamu? Jangan lebay deh Kav! Aku nggak ngapa-ngapain dia! Apa dia lapor ke kamu? Iya? Dia ngada-ngada kalo aku sakitin dia?”

"Lebay? Bahkan wanita yang sangat kucintai sekalipun belum pernah mengatakan aku lebay!" batinku.

“Aku kan udah pernah bilang jangan kasih undangan it uke Gadis tanpa seizin aku! Kamu juga mengiyakan waktu itu, sekarang kenapa kamu ngelanggar janji kamu?” tanyaku dengan nada penuh amarah.

“Ya gimana, abis aku sering banget ketemu dia di apart. Lagian pernikahan kita juga diajuin, kamu nya nggak pernah libur, yaudah aku kasihin aja waktu ketemu dia tadi.”

“Kamu tuh bener-bener ya Sha, nggak bisa menghormati aku sebagai seorang laki-laki. Kamu seenaknya aja jalan dengan aturan kamu sendiri tanpa minta persetujuan aku. Apa kaya gitu pantes dijadiin istri?” aku mulai tidak bisa mengontrol kata-kataku karena memikirkan Gadis yang telah menerima undangan pernikahan itu.

Aku merasa tidak berguna dan tidak berdaya, baru kemarin di Merlion aku menanyakan perihal perasaannya terhadapku, tapi hari ini dia harus menerima kenyataan pahit yang aku sendiri pun tidak ingin menjalaninya.

“Terserah kamu! Aku nggak mau tau minggu depan kamu harus libur dan temenin aku nge-fix-in semua acara pernikahan kita!” tuntutnya tanpa ampun.

Tut

Aku mematikan handphone-ku dengan kasar. Aku langsung mencoba untuk menghubungi Gadis. Supir airlines telah menungguku di luar karena saat ini aku dijadwalkan untuk terbang ke Samarinda. Aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Gadis karena aku tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya. Tengil memang aku ini, tapi aku tidak ingin menambah kesedihannya dengan suaraku di telepon.

“Entah apa yang dipikirkan wanita itu dan entah bagaimana keadaannya sekarang.” gumamku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status