Share

My Chilly Fiance
My Chilly Fiance
Penulis: Akarihikarii

Bab 1 : Wasiat Sang Ayah

“APA? TUNANGAN!?”

Hanna hampir saja melotot, jika tidak ingat wanita di depan ini adalah ibu yang telah membesarkannya selama ini. Begitu mendapat isyarat mata dari sang ibu, Hanna kembali menyandarkan punggungnya di bangku meja makan dengan berat hati.

“Iya, tunangan, Nak. Maafkan ibu yang baru memberitahumu sekarang. Soalnya, ini wasiat dari almarhum ayahmu.”

Hanna menghela napas panjang dan memijat keningnya yang seketika pening. Daging panggang di depannya tak lagi menggugah selera. Diliriknya sang ibu yang kembali memakan steak ayam dengan elegan, tak terlihat raut bersalah sedikit pun di sana.  

Pantas saja ibunya mengajaknya ke suatu restoran mewah tanpa mengajak kedua adiknya—sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh ibunya selama ini. Apalagi sampai memesan daging panggang kesukaannya yang lumayan mahal.

Sekarang semua logis. Ternyata, ibunya menginginkan dirinya untuk bertunangan dengan seseorang yang telah dipilih oleh almarhum ayah. Seketika Hanna merasa menyesal telah mengiyakan ajakan ibunya malam ini. Rasanya seperti sogokan manis.  

“Tenang aja, ibu yakin kok pilihan ayah adalah pilihan yang terbaik. Lagian selama ini kamu belum punya pacar, kan?” lanjut sang ibu dengan tenang. Sama sekali tak ada sesal ataupun iba pada putri sulungnya ini.

“Tapi Hanna kan belum selesai kuliah, Bu. Masa udah mau tunangan aja? Nanti apa kata teman-teman Hanna, Bu?” kilah Hanna, berharap kalau sang ibu bisa mengubah pikirannya.

“Memang belum, tetapi kamu sebentar lagi kan bakal lulus. Tinggal satu semester aja, kan?”

Hanna merenggut tidak suka. “Tapi Hanna lagi ngurus skripsi, Bu. Mikirin skripsi aja udah pusing tujuh keliling, apalagi ngurusin orang lain.”

“Enggak masalah, dong. Lagian kalau ngurus skripsi biasanya harus ada support system, kan? Nah, pas banget tunangan kamu yang bakal jadi support system kamu.”

Hanna menggeleng keras, masih tidak sependapat dengan sang ibu. Mungkin bagi segelintir orang, support system dari orang-orang tertentu itu memang penting. Tetapi bagaimana bisa support systemnya sekarang adalah orang yang sama sekali tidak dikenalnya?

Apa itu yang dinamakan support system?

“Lagipula, ini kan baru tunangan, jadi kalian bisa pendekatan dulu. Ibu rasa juga enggak masalah habis lulus kamu langsung nikah.”

“Tapi, Bu ….”

“Hanna, ini adalah wasiat ayahmu. Kamu lupa bagaimana ayah menaruh harapan banyak untukmu, hm?” Intonasi sang ibu akhirnya berubah tajam, sengaja menusuk kelemahan terbesar anaknya.

Hanna pun menunduk, kembali memotong daging panggang di hadapannya dengan lesu. Kali ini ia tak bisa membantah, mengingat dirinya adalah gadis tertua dari tiga bersaudara sekaligus penopang keluarganya saat ini.

Setelah ayahnya meninggal sebulan yang lalu, bebannya terasa begitu berat. Rasanya semakin tak ada kebebasan untuk dirinya sendiri. Hanya ada paksaan dari sang ibu yang menuntutnya untuk lebih dewasa.

“Ini untuk kebaikanmu dan kebaikan kita semua. Pikirkan dua adikmu saat ini, Hanna. Kamu tidak boleh egois. Kamu mau membantu ibu, kan?”

Hanna terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Setiap kali ibunya memaksa, pasti alasan klise ini yang selalu digunakan hingga Hanna merasa jenuh.

Padahal dari kecil Hanna sudah menuruti kemauan orang tuanya. Ia sudah bersikap layaknya anak gadis yang selalu berusaha berbakti pada orang tua, sekalipun harus menuruti sesuatu yang tidak ia sukai. Bahkan, ia sampai merelakan impiannya menjadi pianis dan masuk ke jurusan manajemen yang sesuai dengan permintaan orang tuanya.

Tapi apa balasannya? Mengapa pada akhirnya ia selalu dikekang? Apa ia tidak akan pernah diberikan kebebasan untuk memilih?   

Sungguh, tidak pernah terpikir oleh Hanna kalau ia akan dijodohkan oleh seorang lelaki pilihan ayahnya. Meskipun ini baru pertunangan, tapi tetap saja ini adalah salah satu prosedur yang akan mengantarkannya ke pernikahan sakral suatu hari nanti.

Sesuatu yang harusnya indah, bukan karena keterpaksaan.

“Setelah kamu bertunangan dengannya, ibu akan menyerahkan pilihannya di tanganmu, Nak,” ucap sang ibu pada akhirnya. Ia tersenyum lembut, membuat Hanna kembali mengangkat kepalanya.

“Maksudnya Ibu?” tanya Hanna dengan hati-hati.

“Kalau kamu memang cocok dengannya, menikahlah. Tetapi kalau ternyata ia adalah pria yang kasar, tidak apa kalau kamu meninggalkannya. Itu pesan ibu.”

Hanna mengerjap tak percaya. “Memang boleh, Bu?”

“Tentu saja boleh. Kalau memang tidak cocok dan dia pria yang kasar, untuk apa menikahinya? Ibu tidak mau kamu menjadi janda muda, ya!”

Hanna tertawa pelan, kembali merasa rileks. Ada sebuah kelegaan di dalam hati kecilnya. Setidaknya, ia tidak benar-benar akan menikah paksa. Masih ada kesempatan baginya untuk lari atau bertahan di situasi ini.

Atau bisa saja ia kabur di saat pertemuan pertama mereka, kan? Itu akan menjadi sangat mudah baginya.

“Baiklah kalau itu yang ibu inginkan,” ucap Hanna, kembali menikmati daging panggang yang telah dingin.

“Tapi ibu tidak mau ya kalau kamu langsung menolak mentah-mentah saat bertemu nanti. Soalnya first impression itu sering sekali menipu. Jadi, jangan menilai dari sampulnya, mengerti?”

Seketika Hanna tersenyum kaku. Baru saja ia memikirkan apa yang dipikirkan ibunya, tetapi rencananya telah terbongkar duluan. Jika seperti ini, berarti ia memang harus mencobanya terlebih dahulu. Tidak ada pilihan lain.

“Baik, Bu,” jawab Hanna pada akhirnya. Ia kembali mencoba menikmati daging panggang kesukaannya, berusaha untuk merilekskan pikiran. “Memangnya kapan Hanna bisa bertemu dengannya?”

“Hmm, sebentar lagi juga datang.”

“UHUK! UHUK!” Seketika Hanna merasa ada daging panggang besar menyangkut di kerongkongannya. Buru-buru ia meneguk segelas air putih hingga habis, kemudian menatap ibunya dengan tak percaya. “Sebentar lagi!? Ibu bercanda, kan?”

“Enggak, kok. Kamu ini gugup banget, ya?” sahut sang ibu dengan tenang. Ia melirik arloji tangannya kemudian tersenyum penuh arti pada Hanna. “Jaga sikapmu ya, Sayang. Kalau kamu macam-macam, ibu tidak akan mengampunimu.”

Hanna mendesah pasrah. Restoran mewah, dandanan cantik, dan hanya berdua dengan ibunya. Sekarang semua sudah sangat jelas, terlebih saat sang ibu melambaikan tangan pada seorang lelaki berjas coklat mahal yang baru saja datang. 

Hanna meneguk ludah susah payah. Duh, ia benar-benar tidak percaya kalau ibunya telah merencanakan semuanya sematang ini. 

Setelah ini, ia harus apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status