“APA? TUNANGAN!?”
Hanna hampir saja melotot, jika tidak ingat wanita di depan ini adalah ibu yang telah membesarkannya selama ini. Begitu mendapat isyarat mata dari sang ibu, Hanna kembali menyandarkan punggungnya di bangku meja makan dengan berat hati.
“Iya, tunangan, Nak. Maafkan ibu yang baru memberitahumu sekarang. Soalnya, ini wasiat dari almarhum ayahmu.”
Hanna menghela napas panjang dan memijat keningnya yang seketika pening. Daging panggang di depannya tak lagi menggugah selera. Diliriknya sang ibu yang kembali memakan steak ayam dengan elegan, tak terlihat raut bersalah sedikit pun di sana.
Pantas saja ibunya mengajaknya ke suatu restoran mewah tanpa mengajak kedua adiknya—sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh ibunya selama ini. Apalagi sampai memesan daging panggang kesukaannya yang lumayan mahal.
Sekarang semua logis. Ternyata, ibunya menginginkan dirinya untuk bertunangan dengan seseorang yang telah dipilih oleh almarhum ayah. Seketika Hanna merasa menyesal telah mengiyakan ajakan ibunya malam ini. Rasanya seperti sogokan manis.
“Tenang aja, ibu yakin kok pilihan ayah adalah pilihan yang terbaik. Lagian selama ini kamu belum punya pacar, kan?” lanjut sang ibu dengan tenang. Sama sekali tak ada sesal ataupun iba pada putri sulungnya ini.
“Tapi Hanna kan belum selesai kuliah, Bu. Masa udah mau tunangan aja? Nanti apa kata teman-teman Hanna, Bu?” kilah Hanna, berharap kalau sang ibu bisa mengubah pikirannya.
“Memang belum, tetapi kamu sebentar lagi kan bakal lulus. Tinggal satu semester aja, kan?”
Hanna merenggut tidak suka. “Tapi Hanna lagi ngurus skripsi, Bu. Mikirin skripsi aja udah pusing tujuh keliling, apalagi ngurusin orang lain.”
“Enggak masalah, dong. Lagian kalau ngurus skripsi biasanya harus ada support system, kan? Nah, pas banget tunangan kamu yang bakal jadi support system kamu.”
Hanna menggeleng keras, masih tidak sependapat dengan sang ibu. Mungkin bagi segelintir orang, support system dari orang-orang tertentu itu memang penting. Tetapi bagaimana bisa support systemnya sekarang adalah orang yang sama sekali tidak dikenalnya?
Apa itu yang dinamakan support system?
“Lagipula, ini kan baru tunangan, jadi kalian bisa pendekatan dulu. Ibu rasa juga enggak masalah habis lulus kamu langsung nikah.”
“Tapi, Bu ….”
“Hanna, ini adalah wasiat ayahmu. Kamu lupa bagaimana ayah menaruh harapan banyak untukmu, hm?” Intonasi sang ibu akhirnya berubah tajam, sengaja menusuk kelemahan terbesar anaknya.
Hanna pun menunduk, kembali memotong daging panggang di hadapannya dengan lesu. Kali ini ia tak bisa membantah, mengingat dirinya adalah gadis tertua dari tiga bersaudara sekaligus penopang keluarganya saat ini.
Setelah ayahnya meninggal sebulan yang lalu, bebannya terasa begitu berat. Rasanya semakin tak ada kebebasan untuk dirinya sendiri. Hanya ada paksaan dari sang ibu yang menuntutnya untuk lebih dewasa.
“Ini untuk kebaikanmu dan kebaikan kita semua. Pikirkan dua adikmu saat ini, Hanna. Kamu tidak boleh egois. Kamu mau membantu ibu, kan?”
Hanna terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Setiap kali ibunya memaksa, pasti alasan klise ini yang selalu digunakan hingga Hanna merasa jenuh.
Padahal dari kecil Hanna sudah menuruti kemauan orang tuanya. Ia sudah bersikap layaknya anak gadis yang selalu berusaha berbakti pada orang tua, sekalipun harus menuruti sesuatu yang tidak ia sukai. Bahkan, ia sampai merelakan impiannya menjadi pianis dan masuk ke jurusan manajemen yang sesuai dengan permintaan orang tuanya.
Tapi apa balasannya? Mengapa pada akhirnya ia selalu dikekang? Apa ia tidak akan pernah diberikan kebebasan untuk memilih?
Sungguh, tidak pernah terpikir oleh Hanna kalau ia akan dijodohkan oleh seorang lelaki pilihan ayahnya. Meskipun ini baru pertunangan, tapi tetap saja ini adalah salah satu prosedur yang akan mengantarkannya ke pernikahan sakral suatu hari nanti.
Sesuatu yang harusnya indah, bukan karena keterpaksaan.
“Setelah kamu bertunangan dengannya, ibu akan menyerahkan pilihannya di tanganmu, Nak,” ucap sang ibu pada akhirnya. Ia tersenyum lembut, membuat Hanna kembali mengangkat kepalanya.
“Maksudnya Ibu?” tanya Hanna dengan hati-hati.
“Kalau kamu memang cocok dengannya, menikahlah. Tetapi kalau ternyata ia adalah pria yang kasar, tidak apa kalau kamu meninggalkannya. Itu pesan ibu.”
Hanna mengerjap tak percaya. “Memang boleh, Bu?”
“Tentu saja boleh. Kalau memang tidak cocok dan dia pria yang kasar, untuk apa menikahinya? Ibu tidak mau kamu menjadi janda muda, ya!”
Hanna tertawa pelan, kembali merasa rileks. Ada sebuah kelegaan di dalam hati kecilnya. Setidaknya, ia tidak benar-benar akan menikah paksa. Masih ada kesempatan baginya untuk lari atau bertahan di situasi ini.
Atau bisa saja ia kabur di saat pertemuan pertama mereka, kan? Itu akan menjadi sangat mudah baginya.
“Baiklah kalau itu yang ibu inginkan,” ucap Hanna, kembali menikmati daging panggang yang telah dingin.
“Tapi ibu tidak mau ya kalau kamu langsung menolak mentah-mentah saat bertemu nanti. Soalnya first impression itu sering sekali menipu. Jadi, jangan menilai dari sampulnya, mengerti?”
Seketika Hanna tersenyum kaku. Baru saja ia memikirkan apa yang dipikirkan ibunya, tetapi rencananya telah terbongkar duluan. Jika seperti ini, berarti ia memang harus mencobanya terlebih dahulu. Tidak ada pilihan lain.
“Baik, Bu,” jawab Hanna pada akhirnya. Ia kembali mencoba menikmati daging panggang kesukaannya, berusaha untuk merilekskan pikiran. “Memangnya kapan Hanna bisa bertemu dengannya?”
“Hmm, sebentar lagi juga datang.”
“UHUK! UHUK!” Seketika Hanna merasa ada daging panggang besar menyangkut di kerongkongannya. Buru-buru ia meneguk segelas air putih hingga habis, kemudian menatap ibunya dengan tak percaya. “Sebentar lagi!? Ibu bercanda, kan?”
“Enggak, kok. Kamu ini gugup banget, ya?” sahut sang ibu dengan tenang. Ia melirik arloji tangannya kemudian tersenyum penuh arti pada Hanna. “Jaga sikapmu ya, Sayang. Kalau kamu macam-macam, ibu tidak akan mengampunimu.”
Hanna mendesah pasrah. Restoran mewah, dandanan cantik, dan hanya berdua dengan ibunya. Sekarang semua sudah sangat jelas, terlebih saat sang ibu melambaikan tangan pada seorang lelaki berjas coklat mahal yang baru saja datang.
Hanna meneguk ludah susah payah. Duh, ia benar-benar tidak percaya kalau ibunya telah merencanakan semuanya sematang ini.
Setelah ini, ia harus apa?
Semuanya terjadi begitu cepat. Hanya dalam satu jam, ibunya mengungkapkan masalah perjodohan Hanna dengan seorang lelaki mapan, calon penerus perusahaan ternama. Lalu sekarang, tiba-tiba saja lelaki yang dimaksud sang ibu telah datang dan duduk di depan Hanna.Hanna sampai bengong karena otaknya yang biasanya cerdas ini tiba-tiba terasa begitu sulit untuk menangkap apa yang tengah terjadi.“Nah, ini yang tadi Ibu bilang ke kamu, Hanna. Namanya Solar Alexandre, calon tunangan kamu,” ucap sang ibu sambil mempersilahkan lelaki itu untuk duduk. “Nah, sekarang ibu tinggal dulu, ya. Kalian bisa kenalan dulu atau ngobrol dulu. Oke?”“Baik, Tante. Terima kasih, ya.”Hanna mendelik pada lelaki di depannya yang tengah tersenyum sopan. Kemudian ia beralih pada sang ibu yang hendak beranjak pergi. Bibirnya kembali terbuka, tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya lebih lama lagi.Sungguh, Hanna tidak mau ditinggalkan di s
Hanna tahu kalau setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing, tetapi ia masih tidak menyangka kalau hidupnya akan terus ditentukan oleh kedua orang tuanya, termasuk soal perjodohan.Setelah semua yang terjadi begitu mendadak hanya dalam beberapa jam, Hanna tidak bisa tidur semalaman. Benaknya terus mengulang kejadian di restauran layaknya kaset rusak. Ia tidak tahu bagaimana Solar memandangnya semalam, yang pasti ia hanya bisa berharap kalau tingkahnya enggak malu-maluin.Setelah mengantarnya semalam, Hanna tahu kalau Solar sempat berbincang sesuatu pada sang ibu, tetapi ia keburu masuk ke dalam kamar. Dan sekarang Hanna hanya bisa berharap kalau Solar tidak mengatakan hal yang aneh-aneh pada ibunya.Karena terus kepikiran, akhirnya Hanna baru bisa terlelap saat jam tiga subuh. Sialnya lagi, ia lupa kalau ada kelas pagi. Alhasil, ia melewatkan sarapannya dan hampir saja telat pada kelas si dosen killer nan pelit nilai, Pak Johan.“Duh, lapar
Terkadang ada sesuatu yang tidak bisa Hanna jelaskan pada dua teman dekatnya ini tentang hidupnya. Bukan karena tidak percaya, melainkan karena ia tahu mana batasan yang harus diceritakan dan mana yang tidak. Karena terkadang, seseorang tak butuh nasihat, tetapi hanya butuh didengar.Hanna kembali melihat layar ponselnya setelah tertera nama “Aufan” di notice paling atas. [Tidak apa kalo kamu mau ke sini besok. Kondisiku sudah membaik. Kamu bisa bebas bercerita apapun besok.]Hanna tersenyum tipis dan hanya membalas pesan tersebut dengan stiker acungan jempol. Ia jadi tidak sabar bertemu dengan sang empunya nama.“Lagi senyum sama siapa?”Hanna terlonjak kaget, menyadari Solar yang telah menunggunya dari tadi. Buru-buru ia memasukkan ponsel ke dalam tasnya kemudian terkekeh canggung.“Bukan siapa-siapa. Ah, maaf ya aku lama. Kamu udah nunggu dari tadi?” tanya Hanna, berusaha merubah
Hanna menatap cemas pada ikon baterai di layar ponselnya yang menunjukkan angka 5%. Sebelum ponselnya benar-benar mati, ia harus mengirimkan pesan singkat pada Solar supaya tidak menjemputnya di kampus. Bisa gawat jika Solar menunggunya selama berjam-jam.[Solar, maaf aku lagi enggak di kampus sekarang. Kamu enggak perlu repot-repot menjemputku. Lalu, bateraiku tinggal 5% jadi aku enggak bisa menghubungi kamu nanti. Maaf, ya.]Setelah mengirimkan pesan tersebut, ponselnya benar-benar mati. Hanna pun merutuki dirinya yang ceroboh karena tidak membawa charger di saat genting seperti ini. Andaikan saja ia punya powerbank, pasti ia tak perlu risau dengan keadaan baterainya.Hanna menghela nafas panjang, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali menyusuri pada lorong rumah sakit. Dilihatnya beberapa pasien yang tengah berlalu lalang ditemani perawat. Biasanya, jam sore adalah waktu yang paling ramai untuk membesuk. Namun, sekarang rasan
Matilah aku. Mereka benar-benar sudah menungguku lama dari tadi! batin Hanna panik.Hanna tersenyum paksa di tengah dua keluarga yang berbincang hangat. Di sebelah kirinya, ada sang ibunda tercinta yang selalu memasang senyuman manis, terlihat sangat senang akan kedatangan kedua tamunya ini. Bolak-balik ia selalu mempersilahkan tamunya untuk mencicipi camilan dan meminum teh selagi hangat.Sementara di sofa seberang, ada calon tunangan beserta bapaknya yang tengah menyesap teh panas hangat. Keduanya mengenakan balutan kemeja hitam yang tampak mahal dan sangat rapi. Aroma parfum khas pria kaya tercium sampai di tempatnya. Hanna semakin minder jika menyandingkan dirinya dengan mereka. Bahkan cara minumnya pun benar-benar penuh tata krama.Duh, Hanna jadi tidak bisa membayangkan kalau ia benar-benar menjadi istri dari seorang calon pewaris perusahaan ternama. Ia sangat-sangat minder. Soalnya, bau rakyat jelata dan konglomerat itu beda jauh!“K
Hanna tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Setelah Solar membalas pesan singkatnya dan mengajaknya untuk bertemu setelah makan siang, sosok pria tampan itu langsung memenuhi isi kepalanya. Memikirkan apa yang sepatutnya mereka bahas, atau bagaimana mereka berbincang nantinya, Hanna terus mencari cara agar percakapan mereka tidak lagi canggung dan awkward sampai ia gemas sendiri dengan pikirannya itu.Dan sekarang, ia bahkan berpenampilan rapi dan memoleskan make up tipis. Surai hitam sepunggungnya itu ia biarkan tergerai rapi. Karena jam kuliahnya hari ini berakhir tepat sebelum jam makan siang, ia sampai membawa pouch make up yang jarang sekali ia sentuh jika tidak ada urgensi untuk bertamu.Menatap pantulan wajahnya di cermin, Hanna sudah lupa kapan ia terakhir kali mendandani dirinya serapi ini sebelum kuliah. Biasanya, ia tidak terlalu memedulikan penampilannya. Namun, kali ini tentu saja berbeda. Hanna harus memantaskan penampilannya setara
“Halo, Mas Solar! Perkenalkan, kami teman-temannya Hanna! Aku Via dan di sebelahku Elora! Salam kenal, ya!” “Salam kenal, calon tunangan temen saya yang paling ganteng!” Hanna mengusap wajah gusar saat dua teman gilanya ini memaksakan diri untuk berkenalan dengan Solar. Lihatlah sekarang wajah Solar yang tampak bingung, bahkan sampai menatap Hanna, seolah meminta penjelasan atas kekacauan semua ini. Seharusnya, Hanna tinggalkan saja dua orang itu setelah ia selesai salat dzuhur tadi. Kalau tahu bakal malu-maluin begini, ia enggak akan sudi menunggu mereka dari tadi. Sekarang Hanna benar-benar menyesal. Sungguh, Hanna malu punya teman enggak tahu diri kayak mereka! “I-iya, ini teman-teman aku. Teman kuliah,” ucap Hanna dengan ogah-ogahan. “Oh, kalau begitu salam kenal.” Sudut bibir Solar terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman formalitas. “Salam kenal juga, Mas! Mas tau, enggak? Hanna pas menceritaka
“Hee? Solar enggak menjemputmu hari ini? Kalian enggak berantem, kan?” Via dengan suara cemprengnya kembali mengheboh-hebohkan keadaan. Sengaja ia besar-besarkan suara, memanas-manasi Hanna yang tengah menyantap mie ayam spesial.“Kenapa, nih? Kenapa? Ada sesuatu, kah?” Elora yang tak mau kalah itu langsung ikut-ikutan mengompori situasi.Hanna menghela napas panjang dan memutar bola mata jemu. Ekspresinya kembali jengkel melihat bagaimana respon dari dua teman gilanya ini. Makan siang yang tadinya damai, berakhir ribut hanya karena Hanna mengatakan Solar tidak ke sini. Seketika ia menyesal sudah mengungkit nama Solar di tengah makan siang mereka. “Bukan begitu. Aku ini mau bimbingan dulu, woi! Udah tiga hari skripsiku terlantar, belum ada progressan. Aku ini enggak mau nambah semester lagi!” Hanna mengacung-acungkan garpunya pada dua gadis di depannya itu dengan geram.Iya, sudah tiga hari berturut-turut Solar s