Home / Romansa / My Chilly Fiance / Bab 1 : Wasiat Sang Ayah

Share

My Chilly Fiance
My Chilly Fiance
Author: Akarihikarii

Bab 1 : Wasiat Sang Ayah

Author: Akarihikarii
last update Last Updated: 2021-06-30 21:22:08

“APA? TUNANGAN!?”

Hanna hampir saja melotot, jika tidak ingat wanita di depan ini adalah ibu yang telah membesarkannya selama ini. Begitu mendapat isyarat mata dari sang ibu, Hanna kembali menyandarkan punggungnya di bangku meja makan dengan berat hati.

“Iya, tunangan, Nak. Maafkan ibu yang baru memberitahumu sekarang. Soalnya, ini wasiat dari almarhum ayahmu.”

Hanna menghela napas panjang dan memijat keningnya yang seketika pening. Daging panggang di depannya tak lagi menggugah selera. Diliriknya sang ibu yang kembali memakan steak ayam dengan elegan, tak terlihat raut bersalah sedikit pun di sana.  

Pantas saja ibunya mengajaknya ke suatu restoran mewah tanpa mengajak kedua adiknya—sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh ibunya selama ini. Apalagi sampai memesan daging panggang kesukaannya yang lumayan mahal.

Sekarang semua logis. Ternyata, ibunya menginginkan dirinya untuk bertunangan dengan seseorang yang telah dipilih oleh almarhum ayah. Seketika Hanna merasa menyesal telah mengiyakan ajakan ibunya malam ini. Rasanya seperti sogokan manis.  

“Tenang aja, ibu yakin kok pilihan ayah adalah pilihan yang terbaik. Lagian selama ini kamu belum punya pacar, kan?” lanjut sang ibu dengan tenang. Sama sekali tak ada sesal ataupun iba pada putri sulungnya ini.

“Tapi Hanna kan belum selesai kuliah, Bu. Masa udah mau tunangan aja? Nanti apa kata teman-teman Hanna, Bu?” kilah Hanna, berharap kalau sang ibu bisa mengubah pikirannya.

“Memang belum, tetapi kamu sebentar lagi kan bakal lulus. Tinggal satu semester aja, kan?”

Hanna merenggut tidak suka. “Tapi Hanna lagi ngurus skripsi, Bu. Mikirin skripsi aja udah pusing tujuh keliling, apalagi ngurusin orang lain.”

“Enggak masalah, dong. Lagian kalau ngurus skripsi biasanya harus ada support system, kan? Nah, pas banget tunangan kamu yang bakal jadi support system kamu.”

Hanna menggeleng keras, masih tidak sependapat dengan sang ibu. Mungkin bagi segelintir orang, support system dari orang-orang tertentu itu memang penting. Tetapi bagaimana bisa support systemnya sekarang adalah orang yang sama sekali tidak dikenalnya?

Apa itu yang dinamakan support system?

“Lagipula, ini kan baru tunangan, jadi kalian bisa pendekatan dulu. Ibu rasa juga enggak masalah habis lulus kamu langsung nikah.”

“Tapi, Bu ….”

“Hanna, ini adalah wasiat ayahmu. Kamu lupa bagaimana ayah menaruh harapan banyak untukmu, hm?” Intonasi sang ibu akhirnya berubah tajam, sengaja menusuk kelemahan terbesar anaknya.

Hanna pun menunduk, kembali memotong daging panggang di hadapannya dengan lesu. Kali ini ia tak bisa membantah, mengingat dirinya adalah gadis tertua dari tiga bersaudara sekaligus penopang keluarganya saat ini.

Setelah ayahnya meninggal sebulan yang lalu, bebannya terasa begitu berat. Rasanya semakin tak ada kebebasan untuk dirinya sendiri. Hanya ada paksaan dari sang ibu yang menuntutnya untuk lebih dewasa.

“Ini untuk kebaikanmu dan kebaikan kita semua. Pikirkan dua adikmu saat ini, Hanna. Kamu tidak boleh egois. Kamu mau membantu ibu, kan?”

Hanna terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Setiap kali ibunya memaksa, pasti alasan klise ini yang selalu digunakan hingga Hanna merasa jenuh.

Padahal dari kecil Hanna sudah menuruti kemauan orang tuanya. Ia sudah bersikap layaknya anak gadis yang selalu berusaha berbakti pada orang tua, sekalipun harus menuruti sesuatu yang tidak ia sukai. Bahkan, ia sampai merelakan impiannya menjadi pianis dan masuk ke jurusan manajemen yang sesuai dengan permintaan orang tuanya.

Tapi apa balasannya? Mengapa pada akhirnya ia selalu dikekang? Apa ia tidak akan pernah diberikan kebebasan untuk memilih?   

Sungguh, tidak pernah terpikir oleh Hanna kalau ia akan dijodohkan oleh seorang lelaki pilihan ayahnya. Meskipun ini baru pertunangan, tapi tetap saja ini adalah salah satu prosedur yang akan mengantarkannya ke pernikahan sakral suatu hari nanti.

Sesuatu yang harusnya indah, bukan karena keterpaksaan.

“Setelah kamu bertunangan dengannya, ibu akan menyerahkan pilihannya di tanganmu, Nak,” ucap sang ibu pada akhirnya. Ia tersenyum lembut, membuat Hanna kembali mengangkat kepalanya.

“Maksudnya Ibu?” tanya Hanna dengan hati-hati.

“Kalau kamu memang cocok dengannya, menikahlah. Tetapi kalau ternyata ia adalah pria yang kasar, tidak apa kalau kamu meninggalkannya. Itu pesan ibu.”

Hanna mengerjap tak percaya. “Memang boleh, Bu?”

“Tentu saja boleh. Kalau memang tidak cocok dan dia pria yang kasar, untuk apa menikahinya? Ibu tidak mau kamu menjadi janda muda, ya!”

Hanna tertawa pelan, kembali merasa rileks. Ada sebuah kelegaan di dalam hati kecilnya. Setidaknya, ia tidak benar-benar akan menikah paksa. Masih ada kesempatan baginya untuk lari atau bertahan di situasi ini.

Atau bisa saja ia kabur di saat pertemuan pertama mereka, kan? Itu akan menjadi sangat mudah baginya.

“Baiklah kalau itu yang ibu inginkan,” ucap Hanna, kembali menikmati daging panggang yang telah dingin.

“Tapi ibu tidak mau ya kalau kamu langsung menolak mentah-mentah saat bertemu nanti. Soalnya first impression itu sering sekali menipu. Jadi, jangan menilai dari sampulnya, mengerti?”

Seketika Hanna tersenyum kaku. Baru saja ia memikirkan apa yang dipikirkan ibunya, tetapi rencananya telah terbongkar duluan. Jika seperti ini, berarti ia memang harus mencobanya terlebih dahulu. Tidak ada pilihan lain.

“Baik, Bu,” jawab Hanna pada akhirnya. Ia kembali mencoba menikmati daging panggang kesukaannya, berusaha untuk merilekskan pikiran. “Memangnya kapan Hanna bisa bertemu dengannya?”

“Hmm, sebentar lagi juga datang.”

“UHUK! UHUK!” Seketika Hanna merasa ada daging panggang besar menyangkut di kerongkongannya. Buru-buru ia meneguk segelas air putih hingga habis, kemudian menatap ibunya dengan tak percaya. “Sebentar lagi!? Ibu bercanda, kan?”

“Enggak, kok. Kamu ini gugup banget, ya?” sahut sang ibu dengan tenang. Ia melirik arloji tangannya kemudian tersenyum penuh arti pada Hanna. “Jaga sikapmu ya, Sayang. Kalau kamu macam-macam, ibu tidak akan mengampunimu.”

Hanna mendesah pasrah. Restoran mewah, dandanan cantik, dan hanya berdua dengan ibunya. Sekarang semua sudah sangat jelas, terlebih saat sang ibu melambaikan tangan pada seorang lelaki berjas coklat mahal yang baru saja datang. 

Hanna meneguk ludah susah payah. Duh, ia benar-benar tidak percaya kalau ibunya telah merencanakan semuanya sematang ini. 

Setelah ini, ia harus apa?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Chilly Fiance   Bab 18 : I Am His Fiance, So Why?

    Tiga hari setelah pertunangan, Hanna mulai merasakan perubahan dalam kehidupan kampusnya. Setiap kali ia melangkah, punggungnya serasa dihujani tatapan tajam bersamaan dengan bisikan-bisikan yang tak bisa ia dengar dengan jelas. Bahkan di perpustakaan atau di kantin pun, orang-orang di seberang mejanya akan kembali berbisik-bisik.Hanna tahu kalau hampir semua mahasiswa manajemen bisnis mengenali Hamid Coorperation, perusahaan terkaya se-Asia Tenggara. Perusahaan itu seringkali diungkit oleh dosen mereka sebagai contoh nyata. Tetapi ia tidak tahu kalau ternyata berita-berita tentang perusahaan itu seringkali diungkit sebagai bahan gibahan mahasiswa.Dan sekarang, namanya seolah menjadi trending topik di jurusan, sebagai tunangan resmi dari calon penerus perusahaan Hamid Coorperation. Bukannya berita itu tidak benar, tetapi Hanna begitu risih. Kalau mereka membicarakan diam-diam atau di belakang Hanna, sih, tidak apa. Tetapi ini ia gibahin orang tak jauh d

  • My Chilly Fiance   Bab 17 : Please, Don't Talk About Him

    Hanna tak bisa tidak terpukau setiap kali Solar mengajaknya ke suatu tempat berkelas. Kali ini, ia mengajaknya ke suatu restaurant bintang lima yang berada di suatu hotel berkelas. Sesuatu yang belum pernah ia masuki sepanjang hidupnya.Baru masuk satu langkah ke sini pun, rasanya Hanna kembali minder dengan penampilannya. Lihatlah orang-orang yang berpakaian mahal nan bermerk dan terlihat begitu elegan. Mereka semua adalah orang-orang berkelas yang setiap hari menghabiskan puluhan juta untuk makan dan minum. Sangat berbeda dari Hanna yang selalu hidup dengan kesederhanaan.“Apa … aku enggak apa-apa ke sini?” bisik Hanna sebelum melangkah lebih jauh.“Kenapa enggak? Ini cabang perusahaanku juga, kok,” jawab Solar begitu santai. Sorot mata yang biasanya begitu dingin, kini terlihat begitu teduh. Diulurkannya tangan kanannya pada Hanna. “Ayo.”Hanna meneguk ludah dan meraih tangan Solar yang terasa begitu hangat. T

  • My Chilly Fiance   Bab 16 : Overthinking

    Berhubungan dengan seseorang yang baru seharusnya tidak selamanya sulit, tetapi Hanna tidak pernah merasakan bagaimana terpaksanya seorang anak yang memiliki saudara non-biologis seatap dengannya. Sekalipun hidup Hanna selalu diwarnai dengan keterpaksaan, tetapi ia tak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Solar yang harus menerima keberadaan Aufan sebagai saudara tirinya.Teringat bagaimana mereka saling sindir-menyindir dingin saat acara pertunangan pun, membuat Hanna berpikir masalah mereka tidak sesederhana itu. Apalagi sampai Papa turun tangan, mengingatkan bagaimana Solar yang harus bertindak dewasa. Entah sudah berapa lama pertengkaran itu berlangsung, Hanna hanya bisa berharap kalau keduanya bisa cepat akur.Berada di tengah-tengah orang yang berselisih bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika menghadapinya satu per satu, Hanna masih bisa bersikap biasa saja. Tetapi jika ia bertemu di tengah dua orang itu di saat yang bersamaan, momen itulah yang membuat

  • My Chilly Fiance   Bab 15 : Saudara Tiri

    “Selamat atas pertunangannya, ‘Kakakku Tersayang’. Ah, aku jadi iri melihatmu bisa bersanding dengan cewek secantik ini,” Aufan berucap dengan penuh penekanan. Sebuah senyuman miring terbentuk di bibirnya dengan ekspresi yang begitu terpaksa. Diliriknya Hanna yang seketika membuat gadis itu tak nyaman.“Makasih. Kalau iri, cari jodoh sana,” balas Solar, terdengar sedikit ketus. Ia balas menjabat tangan itu kemudian melepasnya kembali hanya dalam beberapa detik.“Aw, sakitnya hatiku, Kak. Seperti biasa, kakak begitu dingin, ya. Padahal aku ini udah repot-repot ke sini, loh.” Aufan menyeringai tipis begitu menyadari kedutan di kening Solar.“Ck, menjengkelkan,” gumam Solar pelan, tetapi Hanna masih bisa mendengarnya.“Ish, ish, jangan dingin begitu. Padahal aku ke sini bukan hanya karena kakak, tetapi karena sahabatku telah berhasil ‘diikat’ oleh seseorang.” Aufan bera

  • My Chilly Fiance   Bab 14 : Engagement Day

    Balutan jas dan gaun warna-warni menghiasi keramaian pesta malam ini. Seharusnya, suatu pesta yang terlihat mewah dan megah tak lagi mengherankan bagi orang-orang kaya di luar sana. Namun, beda halnya dengan Hanna yang notabenenya adalah kaum biasa. Ia cukup terperangah, sampai tak bisa berkedip ketika menyaksikan sesuatu yang sangat jarang dilihatnya. Padahal ini hanya acara pertunangan yang biasanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat, tetapi rasanya ini sudah sangat-sangat berlebihan. Rasanya seperti perkumpulan orang-orang konglomerat, sementara ia hanyalah upik abu terpilih yang bisa bersanding dengan orang semacam Solar. Hanna tidak habis pikir, jika dia benar-benar menikah dengan Solar, seberapa megah lagi acara pernikahannya nanti? Buru-buru Hanna menghapus pikiran tersebut dan mengendalikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin ketika acara dimulai. Karena kecamuk dalam kepalanya begitu riuh, ia hampir melupakan fakta kalau mereka sedang

  • My Chilly Fiance   Bab 13 : Egois

    Helaan napas panjang kembali keluar dari bibir gadis itu, meratapi beban di punggung yang terasa begitu berat. Ditatapnya pantulan cermin yang menampilkan sosok gadis yang kacau. Hidungnya memerah, kelopak matanya sedikit membengkak, dan sisa-sisa bulir air mata masih membekas di pipi.Aneh rasanya. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, bukan pula dua orang yang saling jatuh cinta dengan sendirinya. Mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu karena sebuah wasiat pertunangan. Namun, kenapa rasanya begitu sakit setelah menatap punggung Solar yang pergi begitu saja?Hanna menggelengkan kepala pasrah dan mulai membasahi wajahnya yang kusam. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan hanya karena memikirkan Solar dan pertunangan mereka besok. Rasanya, ia tidak bisa menguasai perasaannya sendiri yang penuh kecamuk. Perasaan yang penuh akan kemarahan, bersalah, dan kesedihan itu menjadi satu begitu saja, sehingga Hanna pun tak tahu alasan ia menangis sebenarnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status