Semuanya terjadi begitu cepat. Hanya dalam satu jam, ibunya mengungkapkan masalah perjodohan Hanna dengan seorang lelaki mapan, calon penerus perusahaan ternama. Lalu sekarang, tiba-tiba saja lelaki yang dimaksud sang ibu telah datang dan duduk di depan Hanna.
Hanna sampai bengong karena otaknya yang biasanya cerdas ini tiba-tiba terasa begitu sulit untuk menangkap apa yang tengah terjadi.
“Nah, ini yang tadi Ibu bilang ke kamu, Hanna. Namanya Solar Alexandre, calon tunangan kamu,” ucap sang ibu sambil mempersilahkan lelaki itu untuk duduk. “Nah, sekarang ibu tinggal dulu, ya. Kalian bisa kenalan dulu atau ngobrol dulu. Oke?”
“Baik, Tante. Terima kasih, ya.”
Hanna mendelik pada lelaki di depannya yang tengah tersenyum sopan. Kemudian ia beralih pada sang ibu yang hendak beranjak pergi. Bibirnya kembali terbuka, tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya lebih lama lagi.
Sungguh, Hanna tidak mau ditinggalkan di situasi awkward seperti ini!
“Tunggu, Ibu—”
“Kenapa, Hanna? Kamu tidak apa-apa kan ditinggal sama Solar?”
Senyuman sang ibu merekah penuh makna, seakan membungkam bibir Hanna yang ingin berkilah. Kalau sudah seperti ini, Hanna tak akan pernah bisa membantah. Ia pun mengurungkan niatnya dan hanya bisa mengangguk pasrah.
“Kalau begitu ibu pergi dulu. Solar, saya titip Hanna, ya.”
“Baik, Tante.”
Begitu melihat ibunya keluar dari restaurant, tanpa sadar Hanna menghela napas berat dan memijit keningnya yang kembali pening. Sungguh, rasanya Hanna ingin teriak karena tidak tahan dalam suasana yang tiba-tiba seperti ini.
“Maaf, ya.” Lelaki di depannya itu tiba-tiba berucap, tetapi tak menunjukkan senyuman sedikit pun di bibirnya. Tak ada ekspresi yang tersirat di wajahnya.
Hanna kembali menarik napas panjang dan balik bertanya, “Kenapa minta maaf?”
“Sepertinya kamu sangat-sangat terpaksa berada di dekatku.”
“Eh? Erng … bukan begitu maksudku. Aku … aku cuma ….” Hanna menunduk, tidak berani melihat Solar. Seketika lidahnya terasa begitu kelu. Ia ingin beralasan, tetapi tak ada satupun ide yang melintas di benaknya.
“Kamu tidak pandai berbohong, ya?” Lelaki itu menghela napas panjang, kemudian mengulurkan tangan. “Kita kenalan dulu aja.”
Hanna mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap lelaki tampan di hadapannya ini. Kemudian menjabat tangannya dengan sedikit canggung.
“Namaku … Hanna Adelia. Kamu bisa memanggilku Hanna.”
“Solar Alexandre Hamid. Panggil saja Solar.”
“Solar …?” ulang Hanna tanpa sadar.
“Iya, kenapa?”
“A-ah, enggak! Enggak apa-apa, hehehe!” Hanna mengibas-ngibaskan tangan sambil tertawa canggung, hampir saja salah mengartikan nama yang begitu ‘unik’.
Dari berjuta-juta nama bagus di dunia ini, kenapa orang tuanya memilih nama S-o-l-a-r? Apa maksudnya mengacu pada matahari, ya? pikir Hanna. Nama yang begitu aneh, tetapi juga unik. Ia penasaran darimana orang tuanya mengambil referensi nama seperti itu.
Entah kenapa, Hanna jadi teringat SPBU jika mendengar nama Solar.
“Jadi, kamu … juga disuruh bertunangan denganku oleh orang tuamu?” tanya Hanna dengan hati-hati. Menyadari tatapan bingung Solar, Hanna buru-buru melanjutkan, “Maaf, maksudku … ini terlalu mendadak buatku. Jadi, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana di depanmu.”
“Oh, santai aja.”
Hanna menggangguk sambil melepaskan tangannya. Dilihatnya Solar yang tengah memanggil pelayan, memesan suatu untuknya.
Tanpa sadar, ia memperhatikan lelaki di depannya ini dengan lamat-lamat. Wajahnya tampan, kulit sawo matang, hidung mancung, serta rambut hitam yang tertata spike. Balutan jas coklat yang berpadu dengan kemeja hitam, serta kacamata tipis yang bertengger di batang hidungnya membuat Solar terlihat begitu elegan dan berkharisma, sangat berbeda dengan dirinya yang jelata.
Duh, Hanna jadi berpikir dua kali. Apa ia si rakyat jelata bakal cocok disandingkan dengan Solar si konglomerat ini?
“Ada sesuatu di wajahku?”
“E-enggak!” Buru-buru Hanna memalingkan wajahnya yang memerah, malu karena kepergok memperhatikan wajah Solar. “Maaf, tadi aku tiba-tiba melamun. Ehehehe.”
Solar tampak sedikit terkejut. Hanna mengira kalau Solar akan meresponnya dengan santai atau mempercandainya. Tapi ternyata ia kembali bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa.
Dia ini memang dingin, ya? pikir Hanna.
Duh, Hanna jadi takut kalau Solar bakal ilfil di pertemuan pertama mereka. Sebenarnya, Hanna sih tidak apa-apa kalau ternyata Solar berniat membatalkan pertunangan mereka, tetapi ia tidak mau mempermalukan ibunya hanya karena kelakuannya yang malu-maluin.
Bisa-bisa Hanna dipecat jadi anak setelah ini.
“Em, Solar?” panggil Hanna dengan ragu. “Kalau boleh tahu … kenapa keluargamu memilih keluargaku untuk … bertunangan denganmu?”
“Hm? Salah, ya?” tanya Solar sambil mengangkat kepala, seketika membuat Hanna merasa tidak enak.
“A-ah, bukan! Maksudku, keluarga yang eum … lebih pantas itu kan banyak. Aku ini … cuma kalangan bawah. Kamu … mengerti maksudku, kan?”
Solar terdiam sejenak, membuat Hanna merutuki dirinya dalam hati karena tidak bisa merangkai kalimat dengan jelas. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Solar tidak salah paham dengan maksudnya.
“Entahlah.” Solar mendengkus.
“Entah?” ulang Hanna tanpa sadar. “Maksudmu?”
“Tanyakan saja ke mereka,” lanjut Solar.
Hanna tercengang, tidak menyangka respon Solar yang begitu dingin. Sejujurnya, ia tidak masalah kalau Solar tidak tahu alasannya, tetapi intonasi cuek dengan wajah tanpa ekspresi itu membuat Hanna jadi kesal sendiri.
Seharusnya, Solar bisa menjawabnya lebih sopan dan elegan seperti tadi, kan? Kalau seperti ini, Hanna lama-lama merasa kalau Solar adalah pangeran es terkutuk. Sialnya lagi, hanya ia yang menderita di situasi menyebalkan ini.
Hanna menarik napas dalam-dalam, mengingatkan dirinya supaya tidak meledak-ledak atau ibunya akan malu punya anak seperti dia. Akhirnya Hanna kembali menatap Solar di depannya yang tengah menikmati dessert.
“Kenapa kamu enggak makan steak atau yang lain?” tanya Hanna, masih berusaha keluar dari situasi canggung seperti ini.
“Tidak lapar,” jawab Solar singkat.
“Kamu lagi program diet, ya?” tanya Hanna lagi. Sadar akan pertanyaan bodohnya, Hanna langsung membungkam bibirnya yang asal ceplas-ceplos. “Maaf-maaf! Aku enggak bermaksud—”
“Enggak apa,” potong Solar dengan cepat. “Cuma enggak terbiasa makan malam.”
Hanna mengerjap, berusaha memahami calon tunangannya ini. Tidak terbiasa makan malam? Apa pekerjaannya sangat menumpuk sampai tidak sempat makan? Atau memang terbiasa seperti itu? Sungguh pola makan yang buruk!
“Kalau begitu, kenapa enggak makan sekarang aja? Atau mau aku pesankan sesuatu untuk mengganjal perut?” tanya Hanna seramah mungkin.
Solar hanya menatapnya beberapa saat kemudian menggeleng sambil memakan suapan dessert terakhirnya. Hanna kembali mengelus dada, berusaha untuk tetap bersabar menerima tanggapan dingin dari calon tunangannya ini.
Sepertinya sikap Solar yang sangat irit bicara ini akan sedikit merepotkan ke depannya.
Karena tidak tahu harus berbicara apa lagi, Hanna diam saja sambil memperhatikan bagaimana cara lelaki itu makan. Sebenarnya, ia tidak tahan dengan situasi canggung, tetapi setiap percakapannya selalu berakhir awkward. Ia menyerah.
Daripada nanti calon tunangannya ini malah ilfil, lebih baik Hanna diam saja, kan? Katanya juga, diam itu lebih baik daripada tong kosong nyaring bunyinya.
“Permisi, ini billnya,” ucap seorang pelayan yang tiba-tiba menempelkan secarik kertas di meja mereka. “Silahkan bayar di kasir. Saya permisi dulu.”
Hanna yang awalnya iseng melihat bill itu, langsung melotot ketika melihat nominal yang tertera di ujung sana. Rupanya sang ibu belum membayar makanan mereka tadi dan meninggalkannya begitu saja pada Hanna. Buruknya lagi, Hanna tidak membawa kartu atm andalannya.
Duh, bagaimana ia bisa membayar ini semua? Masa ia mau bayar pakai cuci piring? Habis sudah first impressionnya di mata Solar. Pasti setelah ini, Hanna akan dimaki oleh sang ibu karena sudah mengacaukan semuanya.
“Eum … Solar? Eh?” Hanna melirik Solar yang ada didepannya, kemudian mengerjap setelah menyadari Solar tidak ada di tempatnya. “Kemana Solar? Solar?”
Hanna celingak-celinguk, takut kalau Solar juga akan meninggalkannya. Habis sudah harga dirinya jika ia ditinggalkan sendirian di sini. Tuhan, ia tidak mau cuci piring sendirian!
Namun, setelah menyadari tas selempang Solar yang masih menggantung di bangku, Hanna kembali bernapas lega. Ternyata Solar hanya pergi ke kasir.
Eh, kasir? Hanna mengerjap, menyadari apa yang Solar lakukan. Ia tidak mungkin membayar makanannya dan ibunya juga, kan? Seketika Hanna resah.
“Aku sudah bayar semua,” ucap Solar yang tiba-tiba berdiri di samping Hanna dan mengambil tasnya. “Yuk, aku antar pulang.”
Hanna memucat, semakin tidak enak dengan Solar yang telah berjalan mendahuluinya. Bahkan saat memasuki mobil hitam Solar, Hanna semakin merasa masuk ke dunia yang seharusnya tidak ia pijaki.
Duh, masa baru ketemu tiba-tiba udah dibayarin dengan nominal segitu mahalnya? Hanna tidak suka berhutang budi dengan orang baru. Ia harus membereskan kekacauan ini sebelum hutangnya semakin banyak.
“Maaf, Solar. Soal bayaran, lain kali aku akan menggantinya ….” ucap Hanna pelan, mati-matian menahan jantungnya yang berdegup kencang. Bukan karena terpesona, tetapi karena ia takut setengah mati.
“Hm? Itu enggak usah dibayar,” jawab Solar tanpa melihat Hanna.
“Tapi, yang kamu bayar tadi kan seharusnya punya kamu doang,” sesal Hanna, merasa sangat bersalah. “Kamu malah jadi bayar makananku sama ibuku juga. Maaf, ya? Nanti aku bayar, deh ….”
“Enggak usah, itu enggak seberapa.”
Enggak seberapa, katanya? Hanna jadi kesal sendiri mengingat nominal angka yang bahkan tak sanggup ia bayar pakai uang cash. Memang anak konglomerat itu beda kasta, tetapi ia tak pernah menyangka kalau perbedaannya akan membuatnya sangat minder.
Menyadari perubahan ekspresi Hanna, Solar langsung melanjutkan, “Santai aja. Lagian, nanti kita bakal lebih sering bertemu, kok.”
Sebenarnya bayaran restaurant dan bakal sering ketemu itu enggak ada hubungannya, tetapi karena Hanna lelah berdebat, akhirnya ia hanya memilih untuk menghela napas berat dan mengangguk.
Sambil mengamati jalan yang gelap, Hanna jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah pilihannya untuk mencoba bertunangan dengan Solar adalah pilihan yang tepat?
Tiga hari setelah pertunangan, Hanna mulai merasakan perubahan dalam kehidupan kampusnya. Setiap kali ia melangkah, punggungnya serasa dihujani tatapan tajam bersamaan dengan bisikan-bisikan yang tak bisa ia dengar dengan jelas. Bahkan di perpustakaan atau di kantin pun, orang-orang di seberang mejanya akan kembali berbisik-bisik.Hanna tahu kalau hampir semua mahasiswa manajemen bisnis mengenali Hamid Coorperation, perusahaan terkaya se-Asia Tenggara. Perusahaan itu seringkali diungkit oleh dosen mereka sebagai contoh nyata. Tetapi ia tidak tahu kalau ternyata berita-berita tentang perusahaan itu seringkali diungkit sebagai bahan gibahan mahasiswa.Dan sekarang, namanya seolah menjadi trending topik di jurusan, sebagai tunangan resmi dari calon penerus perusahaan Hamid Coorperation. Bukannya berita itu tidak benar, tetapi Hanna begitu risih. Kalau mereka membicarakan diam-diam atau di belakang Hanna, sih, tidak apa. Tetapi ini ia gibahin orang tak jauh d
Hanna tak bisa tidak terpukau setiap kali Solar mengajaknya ke suatu tempat berkelas. Kali ini, ia mengajaknya ke suatu restaurant bintang lima yang berada di suatu hotel berkelas. Sesuatu yang belum pernah ia masuki sepanjang hidupnya.Baru masuk satu langkah ke sini pun, rasanya Hanna kembali minder dengan penampilannya. Lihatlah orang-orang yang berpakaian mahal nan bermerk dan terlihat begitu elegan. Mereka semua adalah orang-orang berkelas yang setiap hari menghabiskan puluhan juta untuk makan dan minum. Sangat berbeda dari Hanna yang selalu hidup dengan kesederhanaan.“Apa … aku enggak apa-apa ke sini?” bisik Hanna sebelum melangkah lebih jauh.“Kenapa enggak? Ini cabang perusahaanku juga, kok,” jawab Solar begitu santai. Sorot mata yang biasanya begitu dingin, kini terlihat begitu teduh. Diulurkannya tangan kanannya pada Hanna. “Ayo.”Hanna meneguk ludah dan meraih tangan Solar yang terasa begitu hangat. T
Berhubungan dengan seseorang yang baru seharusnya tidak selamanya sulit, tetapi Hanna tidak pernah merasakan bagaimana terpaksanya seorang anak yang memiliki saudara non-biologis seatap dengannya. Sekalipun hidup Hanna selalu diwarnai dengan keterpaksaan, tetapi ia tak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Solar yang harus menerima keberadaan Aufan sebagai saudara tirinya.Teringat bagaimana mereka saling sindir-menyindir dingin saat acara pertunangan pun, membuat Hanna berpikir masalah mereka tidak sesederhana itu. Apalagi sampai Papa turun tangan, mengingatkan bagaimana Solar yang harus bertindak dewasa. Entah sudah berapa lama pertengkaran itu berlangsung, Hanna hanya bisa berharap kalau keduanya bisa cepat akur.Berada di tengah-tengah orang yang berselisih bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika menghadapinya satu per satu, Hanna masih bisa bersikap biasa saja. Tetapi jika ia bertemu di tengah dua orang itu di saat yang bersamaan, momen itulah yang membuat
“Selamat atas pertunangannya, ‘Kakakku Tersayang’. Ah, aku jadi iri melihatmu bisa bersanding dengan cewek secantik ini,” Aufan berucap dengan penuh penekanan. Sebuah senyuman miring terbentuk di bibirnya dengan ekspresi yang begitu terpaksa. Diliriknya Hanna yang seketika membuat gadis itu tak nyaman.“Makasih. Kalau iri, cari jodoh sana,” balas Solar, terdengar sedikit ketus. Ia balas menjabat tangan itu kemudian melepasnya kembali hanya dalam beberapa detik.“Aw, sakitnya hatiku, Kak. Seperti biasa, kakak begitu dingin, ya. Padahal aku ini udah repot-repot ke sini, loh.” Aufan menyeringai tipis begitu menyadari kedutan di kening Solar.“Ck, menjengkelkan,” gumam Solar pelan, tetapi Hanna masih bisa mendengarnya.“Ish, ish, jangan dingin begitu. Padahal aku ke sini bukan hanya karena kakak, tetapi karena sahabatku telah berhasil ‘diikat’ oleh seseorang.” Aufan bera
Balutan jas dan gaun warna-warni menghiasi keramaian pesta malam ini. Seharusnya, suatu pesta yang terlihat mewah dan megah tak lagi mengherankan bagi orang-orang kaya di luar sana. Namun, beda halnya dengan Hanna yang notabenenya adalah kaum biasa. Ia cukup terperangah, sampai tak bisa berkedip ketika menyaksikan sesuatu yang sangat jarang dilihatnya. Padahal ini hanya acara pertunangan yang biasanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat, tetapi rasanya ini sudah sangat-sangat berlebihan. Rasanya seperti perkumpulan orang-orang konglomerat, sementara ia hanyalah upik abu terpilih yang bisa bersanding dengan orang semacam Solar. Hanna tidak habis pikir, jika dia benar-benar menikah dengan Solar, seberapa megah lagi acara pernikahannya nanti? Buru-buru Hanna menghapus pikiran tersebut dan mengendalikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin ketika acara dimulai. Karena kecamuk dalam kepalanya begitu riuh, ia hampir melupakan fakta kalau mereka sedang
Helaan napas panjang kembali keluar dari bibir gadis itu, meratapi beban di punggung yang terasa begitu berat. Ditatapnya pantulan cermin yang menampilkan sosok gadis yang kacau. Hidungnya memerah, kelopak matanya sedikit membengkak, dan sisa-sisa bulir air mata masih membekas di pipi.Aneh rasanya. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, bukan pula dua orang yang saling jatuh cinta dengan sendirinya. Mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu karena sebuah wasiat pertunangan. Namun, kenapa rasanya begitu sakit setelah menatap punggung Solar yang pergi begitu saja?Hanna menggelengkan kepala pasrah dan mulai membasahi wajahnya yang kusam. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan hanya karena memikirkan Solar dan pertunangan mereka besok. Rasanya, ia tidak bisa menguasai perasaannya sendiri yang penuh kecamuk. Perasaan yang penuh akan kemarahan, bersalah, dan kesedihan itu menjadi satu begitu saja, sehingga Hanna pun tak tahu alasan ia menangis sebenarnya