Share

Bab 3 : Coba-coba, Katanya?

Hanna tahu kalau setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing, tetapi ia masih tidak menyangka kalau hidupnya akan terus ditentukan oleh kedua orang tuanya, termasuk soal perjodohan.

Setelah semua yang terjadi begitu mendadak hanya dalam beberapa jam, Hanna tidak bisa tidur semalaman. Benaknya terus mengulang kejadian di restauran layaknya kaset rusak. Ia tidak tahu bagaimana Solar memandangnya semalam, yang pasti ia hanya bisa berharap kalau tingkahnya enggak malu-maluin.

Setelah mengantarnya semalam, Hanna tahu kalau Solar sempat berbincang sesuatu pada sang ibu, tetapi ia keburu masuk ke dalam kamar. Dan sekarang Hanna hanya bisa berharap kalau Solar tidak mengatakan hal yang aneh-aneh pada ibunya.

Karena terus kepikiran, akhirnya Hanna baru bisa terlelap saat jam tiga subuh. Sialnya lagi, ia lupa kalau ada kelas pagi. Alhasil, ia melewatkan sarapannya dan hampir saja telat pada kelas si dosen killer nan pelit nilai, Pak Johan.

“Duh, lapar banget,” gumam Hanna seraya memijit kepalanya yang agak pusing. Melihat kuis dadakan di hadapannya semakin membuat perutnya keroncongan. “Apa pula soal dadakan begini? Ya Tuhan, aku enggak mau nambah semester lagi ….”

Hanna heran, perasaan semalam ia sudah makan banyak, tapi kenapa sekarang rasanya ia sangat lapar sampai lambungnya sakit? Kemana perginya semua makanan itu? Apa karena ia tidak bisa tidur? Duh, perutnya semakin lapar.

“Ya, silahkan dikumpulkan. Waktunya telah habis. Saya cukupkan kuliah hari ini dan jangan lupa untuk mengerjakan tugas mencari jurnalnya, ya.”

Begitu Pak Johan menyudahi kelas pagi, Hanna langsung menelungkupkan wajahnya di antara kedua tangan. Setelah lambung terasa nyeri, sekarang kepalanya ikut nyut-nyutan seselesainya ia mengerjakan soal kuis dadakan. Sungguh pagi yang buruk.

“Kamu kenapa, Han? Sakit?”

“Mau balik pulang aja? Atau mau lanjut nanti kelas siang?”

Hanna mengangkat kepalanya dan menggeleng pelan. Dilihatnya wajah Elora dan Via, dua orang teman dekatnya yang tengah menatapnya cemas. Hanna pun tersenyum, menenangkan mereka yang agak cemas.

“Stress biasa. Kuisnya susah banget, mana aku enggak belajar lagi,” sahut Hanna sambil menggeleng pasrah. Kemudian ia beranjak dari bangkunya dan merangkul kedua temannya itu. “Makan, yuk! Lapar banget, nih!”

Masih ada jeda empat puluh menit sebelum jam kuliah kedua dimulai, Hanna masih memiliki banyak waktu untuk sarapan di kantin. Awalnya rasa lapar membuat sarapannya begitu nikmat. Namun ketika Elora dan Via terus saja membahas jawaban kuis dadakan di sampingnya, seketika kenikmatan itu berangsur lenyap. Soalnya, Hanna paling tidak suka membicarakan jawaban soal setelah kuis berlangsung.

Yang namanya ujian itu ‘masuk, kerjakan, dan lupakan’, kan? Tidak perlu membahas soal lagi, apalagi sampai mencocokkan jawaban. Duh, bikin overthinking aja, pikir Hanna.

“Udahlah, guys! Enggak perlu dibahas lagi soal yang tadi,” ucap Hanna pada akhirnya. Ia mendengkus saat kedua temannya ini menatapnya bingung. “Please lah, aku yang enggak belajar aja biasa aja. Makin mumet ini kepala dengerin ocehan soal kalian.”

“Maaf-maaf, Na. Kebiasaan,” sahut Elora sambil menjulurkan lidahnya.

“Hmm, kalau begitu ngobrol yang lain aja, deh,” celutuk Via tiba-tiba. Gadis berponi panjang itu tampak berpikir sejenak, kemudian menyeringai dan menatap Hanna jahil. “Gimana kalau bicarain soal perjodohan kamu itu?”

Hanna yang lagi meneguk jus stroberinya itu hampir saja menyemburkan minumannya ke wajah Via. Ia langsung mengusap bibirnya dan merenggut kesal.

“Kamu tahu darimana?” tanya Hanna, sedikit ketus. Perasaan ia belum pernah menyinggung soal ini pada siapapun, tapi kenapa Via bisa langsung tahu?

“Dengar ibu-ibu gosip tadi pagi. Soalnya, katanya semalam kamu diantar naik avanza hitam sama cowok ganteng! Kyaaa, bikin iri, deh!” sahut Via yang seketika berubah histeris.

“Astaga, kamu dijodohin!? Kok enggak bilang-bilang!?” seru Elora, semakin histeris.

Buru-buru Hanna membungkam dua bibir temannya itu dengan telapak tangan sambil celingak-celinguk, memastikan tidak ada oknum luar yang mendengarnya saat ini. Beruntung suasana kantin masih sepi. 

“Jangan histeris begitu, woi! Malu banget punya temen kayak kalian,” gerutu Hanna dengan kesal. Wajahnya udah bete, tetapi kedua temannya ini hanya membalasnya dengan cengiran tanpa merasa berdosa.

“Jadi benar, nih?” bisik Via, gayanya udah mirip kayak ibu-ibu mau gibahin tetangga sebelah.

“Cerita-cerita, dong! Kamu ini punya hot news diam-diam sendiri aja,” tambah Elora, sengaja mengompori Hanna.

Hanna menarik napas panjang dan memijat keningnya kembali. Sungguh, tadinya ia mau sarapan dengan tenang tanpa memikirkan soal pertunangannya. Tetapi kenapa jadi seperti ini? Seketika Hanna menyesal udah memaksa mereka merubah topik soal ujian Pak Johan tadi. 

Setelah mengunyah suapan terakhir sarapan, Hanna pun menceritakan peristiwa semalam, mulai dari ibunya yang menjelaskan wasiat sang ayah, pertunangan, hingga kedatangan Solar. Hanna berharap kalau dua orang ini akan merasa iba atau seenggaknya merasa kasihan. Namun ternyata, mereka malah menatap Hanna antusias, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.

“Gila, dia itu … anaknya direktur Hamid Coorperation bukan, sih?” seru Elora dengan mata yang berbinar-binar. Tangannya terangkat, tampak sangat bersemangat. “Aku pernah baca beritanya! Katanya, saham perusahaannya lagi naik banget! Gila, kamu bisa dapatin cowok tajir kayak gitu!”

“Emang rejeki nomplok banget ya, Na. Kalau rejeki emang enggak kemana. Nanti kalau kamu udah resmi jadi istrinya, sering-sering traktir kita, ya,” tambah Via sambil menepuk-nepuk bahu Hanna, merasa bangga atas pencapaian sohibnya satu ini.

“Iya! Pasti barang-barang kamu bakal jadi branded semua! Sisain buat aku satu, ya!”

“Benar, tuh! Pakai bekas kamu juga enggak apa-apa. Hahaha.”

Hanna mendengkus dan memutar bola mata, seketika enggan untuk merespon ucapan dua temannya ini. Ia memang tahu kalau Solar itu anaknya direktur perusahaan, tetapi ia tidak pernah berpikir sampai ke sana. Maksudnya, ia hanya menganggap Solar layaknya pria biasa, bukan karena ketajirannya.

Begini-begini Hanna juga punya harga diri tinggi, tahu!

“Aku itu enggak mau dianggap matre ya, kawan-kawanku tercinta. Aku ini hanya mau dicintai apa adanya,” ucap Hanna dengan penuh penekanan.

Via dan Elora saling berpandangan kemudian kembali menatap Hanna dengan bingung.

“Lagipula aku juga masih belum tahu hubungan kami bertahan sampai berapa lama. Kalau memang aku enggak menemukan kecocokan ama dia, aku bakal menghentikan pertunangan ini.”  

“Na, kalau udah ada rezeki itu jangan disia-siain. Kesempatan itu enggak bakal datang dua kali, loh!” sahut Via sambil menghela napas panjang, tidak habis pikir dengan pemikiran temannya satu ini.

“Iya, jangan sia-siakan Solar, Na. Lagipula aku yakin dia enggak seburuk yang kamu kira,” ucap Via, berusaha menyemangati Hanna sambil merangkul temannya itu.

Hanna mengerucutkan bibirnya. “Tapi aku ….”

“Tadi kamu bilang mau dicintai apa adanya, kan?” celutuk Via yang tiba-tiba mencubit pipi Hanna gemas. “Kalau kamu mau dicintai apa adanya, maka kamu juga harus belajar bagaimana cara mencintai dia. Jangan cuma nunggu hatinya dia doang! Benar nggak, Ra?”

“Benar banget!” Elora mengacungkan dua ibu jari di depan muka Hanna.

Hanna tertegun. Ia ingin membantah, tetapi apa yang dikatakan Via benar. Bukan cuma dicintai, tetapi ia harus mau untuk mencintai.

Namun, kenapa rasanya hatinya masih terasa begitu berat untuk menerima Solar? Apa karena ia masih melakukan semua ini dengan keterpaksaan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status