Share

Bab 4 : Platonic

Terkadang ada sesuatu yang tidak bisa Hanna jelaskan pada dua teman dekatnya ini tentang hidupnya. Bukan karena tidak percaya, melainkan karena ia tahu mana batasan yang harus diceritakan dan mana yang tidak. Karena terkadang, seseorang tak butuh nasihat, tetapi hanya butuh didengar.

Hanna kembali melihat layar ponselnya setelah tertera nama “Aufan” di notice paling atas. [Tidak apa kalo kamu mau ke sini besok. Kondisiku sudah membaik. Kamu bisa bebas bercerita apapun besok.]

Hanna tersenyum tipis dan hanya membalas pesan tersebut dengan stiker acungan jempol. Ia jadi tidak sabar bertemu dengan sang empunya nama.

“Lagi senyum sama siapa?”

Hanna terlonjak kaget, menyadari Solar yang telah menunggunya dari tadi. Buru-buru ia memasukkan ponsel ke dalam tasnya kemudian terkekeh canggung.

“Bukan siapa-siapa. Ah, maaf ya aku lama. Kamu udah nunggu dari tadi?” tanya Hanna, berusaha merubah topik pembicaraan mereka.

Solar menggeleng. “Enggak, barusan.”

Hanna hanya menggangguk-angguk dan mengikuti langkah calon tunangannya ini ke arah parkiran mobil. Untuk pertama kalinya, Hanna merasakan bagaimana dijemput oleh seorang lelaki selain bapaknya.

Sejujurnya, Hanna sempat kaget setelah melihat pesan Solar yang mau menjemputnya tadi siang. Bahkan Hanna sampai mengira kalau ponsel Solar dibajak, mengingat bagaimana sosok Solar yang begitu dingin dan irit bicara, rasanya mustahil Solar mengirimkan pesan seperti itu.

Tapi kali ini, Solar benar-benar nyata. Dia benar-benar datang menjemputnya, masih dengan menggunakan kemeja kantor dan nametagnya. Sungguh sulit dipercaya.

“Kamu enggak apa-apa menjemputku?” tanya Hanna setelah Solar mulai melajukan mobilnya. Menyadari kerutan di kening Solar, Hanna buru-buru menambahkan, “Maksudku, emm … apa enggak capek kalau kamu pulang ke kantor terus menjemputku?”

“Enggak.”

 Cuma dijawab satu kata? Bagus sekali, keluh Hanna dalam hati. Meski sudah berbaik hati menawarkan tumpangan pulang, ternyata sikap Solar masih sedingin es batu.

“Memangnya kantor kamu enggak jauh?” Hanna mencoba kembali membuka topik, berusaha keluar dari kecanggungan ini.

“Hm, lumayan.”

“Lumayan? Kalau begitu, kamu enggak perlu repot-repot menjemputku. Aku bisa pulang sendiri, kok.”

Kali ini, Solar melirik Hanna. “Kamu enggak suka?”

“Bukannya enggak suka. Cuma … aku enggak terbiasa aja dijemput begini sama cowok. Apalagi kamu pasti udah capek di kantor, kan? Rasanya … aku jadi kayak memanfaatkan kebaikan kamu,” ujar Hanna pelan, merasa sedikit bersalah. 

“Bukan masalah. Santai aja,” sahut Solar sambil mengibaskan-ngibaskan tangannya.

Hanna menghela napas pasrah. Sejujurnya, ia masih kurang nyaman dengan perlakuan Solar yang selalu menyuruhnya untuk santai. Tidak di restaurant, tidak sekarang, Solar memperlakukannya seolah mereka telah kenal sejak dulu. Padahal mereka baru bertemu semalam, tetapi Solar sudah sangat memanjakannya.

Apa ini enggak terlalu berlebihan?

Bukannya Hanna tidak suka, tetapi rasanya ada yang ganjil. Mereka belum kenal dekat dan perlakuan Solar yang tiba-tiba seperti ini menjebak mereka dalam situasi canggung.

“Solar.”

“Hm?”

“Kamu enggak perlu memaksakan diri, kamu tahu?”

Solar tertegun, sebelum kembali melirik Hanna yang tengah melirik keluar jendela mobil, mengamati gedung-gedung pencakar langit yang mereka lewati. Solar menghela nafas dan menggeleng pelan.

“Aku bukan memaksakan diri, Hanna,” ujar Solar pelan. Ada jeda sesaat sebelum Solar kembali melanjutkan, “Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Apa enggak boleh?”

Hanna tersentak, kaget karena lelaki yang dari kemarin bersikap dingin, tiba-tiba bisa menunjukkan sisi manisnya. Pipinya memanas saat Solar kembali meliriknya. Buru-buru Hanna memalingkan wajahnya ke jendela mobil, berharap Solar tidak melihat semburat tipis di kedua pipinya.

“Bo-boleh, sih … cuma aku enggak terbiasa,” jawab Hanna seraya mengusap tengkuknya, canggung. “Kupikir … ini terlalu tiba-tiba. Maaf ya, mungkin aku masih syok karena semalam ibuku mengumumkan masalah pertunangan denganmu. Jadi, aku masih belum tahu harus bagaimana bersikap di depanmu.”

“Kalau begitu, biasakan aja,” sahut Solar tanpa melirik Hanna. Sudut bibir kanannya tertarik, membentuk sebuah senyuman sangat tipis yang tak Hanna sadari.

“Eh? Maksudmu?”

“Besok dan seterusnya, aku akan menjemputmu.”

Hanna mengerjap. Biasanya para gadis akan senang kalau pasangannya menjanjikan seperti itu, tetapi Hanna sebaliknya. Ia tidak tahu harus merespon apa.

Seumur hidup, baru kali ini Hanna mencoba untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Ia pun tidak tahu apakah ini hal bagus atau justru sebaiknya. Meskipun terdengar menguntungkan, tetapi ada saja sisi ‘tidak enakan’ di dalam hatinya.  

“Ka-kamu serius?” tanya Hanna pelan. “Aku benar-benar enggak ngerepotin, nih?”

Solar mengangguk sekenanya. “Iya.”

Lagi-lagi, Hanna menatap Solar penuh keraguan. Ia ingin menolak, tetapi ia yakin kalau Solar pasti akan kembali memaksanya dengan halus. Akhirnya, Hanna memilih untuk menyerah dan membiarkan Solar bertindak semaunya.

“Baiklah, asal kamu enggak kerepotan.”

*****

“Wah, ada Abang Solar!”

Hanna mengernyitkan dalam-dalam ketika Zeze, adik bungsunya itu langsung menyambut mereka saat sedang bermain di teras rumah. Layaknya seorang anak kecil yang antusias sama mainannya, Zeze langsung memeluk kaki Solar dengan riang.

Sejak kapan mereka sangat akrab? Seketika Hanna merasa iri. Padahal ia saja butuh waktu lebih untuk bisa akrab dengan Solar, bahkan ia yang notabenenya kakak kandung Zeze ini tidak pernah disambut sebegitunya saat pulang ke rumah.  

“Kamu … udah pernah ketemu Zeze sebelumnya?” tanya Hanna heran.

“Udah.”

Hanna mengerjap. “Kapan?”

“Lusa kemarin saat aku membicarakan pertunangan itu dengan ibumu,” jawab Solar seraya membelai kepala Zeze. Sorot matanya berubah teduh, begitu pun dengan ekspresinya yang melunak ketika Zeze mulai mengoceh engggak jelas pada Solar.

“Lusa kemarin …?” gumam Hanna, tak percaya.

Lusa kemarin itu artinya sehari sebelum ibunya membicarakan pertunangan pada Hanna. Hanna mengerjap, mulai memahami situasi yang telah terjadi. Pantas saja ibunya bisa merencanakan sematang mungkin dalam semalam. Rupanya diam-diam mereka telah bertemu dan membicarakan semuanya.

Seketika Hanna jadi merasa kesal dengan ibunya. Bukankah seharusnya ia diberi tahu terlebih dahulu soal wasiat sang ayah? Kalau seperti itu kan, setidaknya ia bisa mempersiapkan diri dan berpikir matang-matang sebelum bertemu dengan Solar.

“Kamu enggak masuk, Hanna?” tanya Solar, memecah lamunan Hanna. “Soalnya aku mau pulang.”

“A-ah! Iya, ini mau masuk,” jawab Hanna cepat. Menyadari Zeze berada digendongan Solar, Hanna segera mengambil Zeze. Ia berusaha tersenyum senatural mungkin, sekalipun dirinya masih syok dengan apa yang Solar katakan tadi. 

“Sampai ketemu besok.” Solar melambaikan tangan pada dua orang di hadapannya.

“Dadah, Abang Solar!” Zeze yang justru bersorak kegirangan.

Hanna hanya tersenyum dan membalas lambaian tangan Solar melihat kepergian Solar. Tatapannya terpaku hingga mobil itu pun lenyap dari pandangan. Kemudian Hanna menghela napas panjang dan membawa Zeze masuk. Kini pikirannya berkecamuk. Ia biarkan Zeze kembali bermain di ruang tamu selagi ia berusaha untuk mencari ibunya. 

“Ibu!” Hanna menemukan sang ibu yang tengah memotong wortel di dapur. Sang ibu pun menghentikan kegiatannya dan menyambut Hanna dengan sumringah.

“Wah, sudah pulang anakku? Tadi ibu dengar suara Solar, kamu diantar lagi sama dia, ya?” goda ibunya sambil tersenyum geli.

“Iya, Bu. Tapi ada yang mau aku tanyain sebelumnya,” ucap Hanna, memotong godaan sang ibu supaya tidak salah paham. Semua yang terjadi secara tiba-tiba hingga detik ini membuat Hanna jadi gemas sendiri karena hanya ia yang tidak tahu apa-apa.

“Soal apa? Pertunangan itu lagi?” tebak sang ibu seraya menarik bangku meja makan, mengisyaratkan Hanna untuk duduk di seberangnya.

“Iya! Kenapa ibu tidak memberitahuku kalau ibu sudah berbicara soal pertunangan itu dengan Solar? Kenapa justru membicarakannya duluan ke Solar, Bu? Kan aku yang bakal tunangan, Bu! Kenapa cuma sepihak?!”

“Hanna, ibu melakukannya demi kebaikanmu,” jawab sang ibu dengan tenang.

“Demi kebaikan apanya? Yang ada, aku lama-lama hanya bisa malu-maluin ibu doang, Bu!” Hanna hampir saja meninggikan intonasi bicaranya. Melihat ibunya yang masih tersenyum penuh makna, rasanya Hanna ingin menjambak rambutnya sendiri saking gemasnya.

“Sebelumnya, ibu minta maaf lagi karena telah merahasiakannya darimu. Tapi, seorang ibu tidak mungkin menyerahkan anak putrinya begitu saja, bukan?”

Hanna mulai terdiam, berusaha mencerna apa yang tengah ibunya katakan.

“Sebelum memberitahumu, ibu juga harus memastikan kalau Solar memiliki wasiat yang sama dari keluarganya. Ibu juga harus memastikan latar belakang, pekerjaan, hingga bagaimana pribadi Solar. Oleh karena itu, ibu tidak langsung bilang kepadamu karena ibu ingin memastikan semuanya terlebih dahulu.”

Hanna tertegun, mulai menyadari maksud sang ibu.

“Pertunangan ini juga bukan keinginan Solar sendiri, Nak. Beliau memiliki wasiat yang sama dari kakeknya. Jadi, sederhananya kakeknya dan ayahmu memang biang keladi dari perjodohan ini.”

“Ibu ….”

Hanna menggigit bibir bawahnya, tidak menyangka kalau sang ibu telah berpikir sejauh itu. Ia kira, ibunya langsung menjodohkannya semata hanya karena kekayaan Solar, tetapi ternyata ia salah. Ibunya telah memikirkan matang-matang dan jauh dari apa yang Hanna kira selama ini. 

Sekarang, Hanna jadi merasa bersalah karena telah berpikir yang tidak-tidak.

“Hanna, ibu tahu pertunangan ini terasa berat bagimu. Tapi, tidak ada salahnya kalau kamu menjalankan tunangan ini sebagai bentuk hormatmu pada ayah, bukan?”

“Tapi aku belum ada perasaan apa-apa sama dia ….”

Sang ibu terkekeh pelan dan membelai punggung tangan Hanna yang menyatu di atas meja makan.

“Tentu saja belum ada. Namanya perjodohan, pasti ada saja salah satu atau bahkan dua belah pihak yang belum memiliki rasa sama sekali.”

Hanna terdiam sejenak, kemudian mengangguk dengan berat hati, menyetujui ucapan sang ibu yang benar adanya.

“Tapi, ibu yakin kalau perasaan itu akan tumbuh dengan sendirinya, Hanna. Kamu memang tidak bisa memaksakan perasaan itu, tetapi kamu bisa mulai membuka hati dengan Solar.”

Hanna tertegun, teringat ucapan serupa oleh kedua temannya tempo lalu. Membuka hati dan mencoba. Sejujurnya, ia pun belum pernah merasakan perasaan khusus pada seorang pria karena terlalu fokus dengan pendidikannya. Selama ini ia selalu menutup pintu hatinya setiap kali ada lelaki yang mengajaknya untuk berhubungan lebih.

Masalahnya sekarang, bisakah ia menumbuhkan perasaan cinta itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status