Arin menghela napas lega ketika selesai menata semua makanan di meja. Tadi Arin pulang lebih cepat dari restauran karena dia harus mempersiapkan makan malam. Malam ini keluarganya dan juga keluarga Bagas akan makan malam bersama di rumah. Sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka menikah kalau mereka harus berkumpul setidaknya sebulan sekali. Dan kali ini tempat berkumpulnya adalah di rumah Bagas dan juga Arin.
Karena sudah selesai, Arin pun pergi mandi sebelum keluarganya datang. Tak butuh waktu lama untuk Arin selesai mandi.
Arin menatap layar ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi Bagas belum juga pulang. Padahal Bagas sudah tahu kalau hari ini mereka akan makan malam bersama keluarga. Sebelum mandi tadi Arin sudah menghubungi Bagas untuk mengingatkan, tapi tidak ada balasan darinya.
"Coba telfon deh." Arin pun menelepon Bagas, namun tidak diangkat.
Ketika sedang sibuk dengan ponselnya, terdengar bel rumah berbunyi.
"Sebentar." Arin segera pergi untuk membuka pintu.
Arin tersenyum lebar menyambut kedatangan keluarganya dan juga keluarga Bagas.
"Sayang." Arin menyalim tangan mereka kemudian memeluk kedua orangtuanya.
"Gak meluk gue, kak?" tanya Aaron yang merupakan adik satu-satunya Arin.
"Ogah!"
"Aku gak dipeluk, kak?" Kini giliran Safira, adik Bagas yang bertanya.
"Kalau kamu boleh dong." Arin segera memeluk Safira membuatnya tersenyum.
"Parah banget, giliran Safira aja dibaik-baikin," cibir Aaron.
"Ayo masuk dulu." Arin mengajak mereka semua masuk.
***
"Wah, masakannya banyak banget, Rin. Ini semua kamu yang masak?" tanya Karina yang merupakan ibunya Bagas.
"Iya, bun. Aku yang masak semuanya. Tadi sengaja pulang cepat biar bisa siapin."
"Hebat banget anak bunda."
"Dari tampilannya aja udah keliatan enak," ucap Beni memuji.
"Ayah bisa aja." Arin tersenyum simpul.
"Gak heran, mamanya aja jago masak."
Rika, ibunya Arin tersenyum sipu. "Ah, kamu, Na, bisa aja."
"Ngomong-ngomong, Bagas di mana? Kok gak keliatan?" Hery, ayah Arin bertanya sembari mengedarkan pandangannya mencari sosok Bagas.
"Belum pulang, pa. Mungkin bentar lagi."
"Bagas tuh kebiasaan. Udah tahu malam ini kita mau kumpul-kumpul malah mentingin kerjaan. Mau ketemu dia aja susah banget," dumel Karina.
"Bun, kamu harus ngertiin Bagas juga dong. Perusahaan kan akhir-akhir ini sibuk karena mau buka cabang baru. Pasti Bagas sibuk," ujar Beni.
"Iya bun, paling bentar lagi juga mas Bagas balik." Safira menimpali.
Mereka pun menunggu Bagas hingga kurang lebih satu jam, namun yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang.
"Bagas belum datang juga. Mana ditelfon gak diangkat lagi."
"Gimana kalau kita makan duluan aja. Sambil nunggu Bagas." Beni memberi saran.
"Ya udah, kita makan dulu aja."
***
Bagas sampai di rumah sekitar jam sebelas malam. Ketika dia tiba, keadaan rumah tampak sepi. Apa mungkin makan malam keluarga sudah selesai? Karena mendengar suara di dapur, Bagas pun pergi untuk memeriksa. Ternyata Arin sedang mencuci piring.
"Baru pulang?"
Bagas mengangguk. "Tadi masih meeting."
"Kamu ingat kalau hari ini ada makan malam bareng keluarga?"
"Ingat."
"Bagus kalau kamu ingat. Setidaknya kamu gak lupa. Aku tadi sempat telfon kamu, tapi gak diangkat."
Selesai mencuci piring, Arin hendak pergi ke kamar namun baru beberapa langkah dia berhenti karena ucapan Bagas.
"Maaf."
Arin membalikkan badan. "Gak perlu minta maaf sama aku. Kamu bisa minta maaf ke ayah, bunda, papa, mama, Safira, sama Aaron karena mereka nungguin kamu berjam-jam. Oh iya, kalau kamu laper lauknya aku taruh di lemari kamu bisa makan. Itupun kalau kamu mau makan." Setelah berucap demikian Arin pun pergi ke kamar.
Rasa bersalah menyelimuti diri Bagas. Sebenarnya Bagas ingat kalau akan ada makan malam bersama di rumah, tapi karena rapat yang berlangsung lama membuat Bagas seketika lupa dengan semuanya.
***
"Kamu ngapain?" Bagas terkejut ketika Arin bertanya.
"Sarapan."
Arin menghela napas melihat telur dadar buatan Bagas yang kelebihan matang atau lebih tepatnya gosong.
"Kenapa gak sarapan roti aja?"
"Rotinya habis."
Arin menepuk keningnya. "Oh iya, aku lupa belanja."
"Ya udah, bentar." Arin mengambil dua butir telur dan juga susu dari kulkas. Dia akan membuat telur dadar yang baru untuk Bagas.
"Nih, omelet nya." Arin menaruhnya di hadapan Bagas.
Karena Bagas masih diam, Arin jadi gemas sendiri. "Dimakan, jangan diliatin doang."
"Gak. Makasih." Bagas menolak membuat Arin cukup kesal. Sebenarnya ada apa dengan Bagas? Kenapa dia selalu menolak untuk memakan masakannya?
"Kenapa sih gak pernah mau makan makanan yang aku bikin? Takut diracunin?" Arin meluapkan rasa kesalnya.
"Saya gak pernah minta kamu masakin buat saya."
Ucapan Bagas membuat Arin semakin kesal. Bagas benar-benar menguji kesabarannya. Arin mengambil kembali piring berisi omelet yang tadi dia masak untuk Bagas lalu menaruhnya dengan kasar di wastafel. "Ya udah gak usah makan sekalian!"
***
"Tumben kamu ke sini. Udah gak sibuk lagi?" sindir Karina ketika Bagas datang ke rumah.
"Bunda. Anaknya datang kok malah ngomong gitu sih?" Beni menegur.
"Bagas mau minta maaf, bun, karena kemarin gak ikut makan malam. Bagas kelupaan karena ada meeting buat bahas pembukaan cabang baru. Bunda sama ayah mau maafin aku, kan?"
"Ayah sama sekali gak marah kok karena ayah ngerti. Cuma bunda kamu aja nih yang dari kemarin ngomel-ngomel mulu."
"Gimana gak marah-marah, bunda itu gak enak sama papa mama Arin. Kalau cuma kita sih bunda gak masalah."
"Habis dari sini Bagas langsung temuin papa sama mama buat minta maaf."
"Pokoknya lain kali kalau kamu lagi sibuk atau apapun bilang ke kita. Jangan malah bikin orang nunggu. Emang kamu pikir enak nunggu?"
"Iya, bun, Bagas minta maaf."
"Bunda juga kasihan sama Arin. Kemarin dia nyiapin semuanya sendiri. Kamu gak ada kontribusinya sama sekali."
Sepertinya hari ini Bagas harus menerima ceramahan yang cukup lama dari bundanya.
***
"Gimana Fir dessertnya? Enak gak?"
Safira mengangguk. "Enak banget, kak. Aku yakin bakal jadi menu best seller sih."
Saat ini Arin kedatangan Safira di restaurannya.
"Ah, bisa aja kamu."
"Kak Arin tuh definisi wanita yang sempurna. Udah cantik, pintar, jago masak lagi."
Arin tersenyum sipu. "Kamu bisa aja mujinya."
"Harusnya mas Bagas bersyukur dapatin kak Arin."
Kening Arin mengerut ketika menyadari ekspresi Safira yang berubah. "Kok kamu ngomong gitu? Aku bersyukur punya Bagas dan begitu juga Bagas."
Safira tersenyum kecut. "Aku tahu kok kalau selama ini mas Bagas sama kak Arin cuma pura-pura bersikap romantis di depan keluarga kita."
"Enggak, kamu kayaknya salah paham. Aku sama Bagas ...."
Safira langsung menyela. "Kak Arin gak perlu khawatir. Aku gak bakal bilang ke ayah sama bunda kok. Aku tahu mas Bagas orangnya dingin, tapi aku yakin kalau dia udah sayang sama kak Arin pasti dia gak bakal kayak gitu lagi. Jadi aku harap kak Arin bisa bertahan sama mas Bagas, ya. Karena aku yakin banget kak Arin adalah orang yang tepat buat mas Bagas."
Arin hanya tersenyum kaku. Dia tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dengan Bagas karena sampai saat ini Bagas masih tidak membuka hati untuk Arin. Memang saat ini Arin juga belum memiliki perasaan pada Bagas, tapi setidaknya Arin berusaha membuka hatinya, tidak seperti Bagas.
******************************
"Gas! Bagas!"Arin mencari Bagas di ruang kerjanya, karena Bagas tidak berada di ranjang, namun dia tidak ada di sana. Arin pun memeriksa ke toilet kalau-kalau Bagas sedang mandi untuk bersiap ke kantor, tapi tetap tidak ada."Apa mungkin di dapur, ya?" Arin segera berlari ke dapur. Tidak mau kalau sampai Bagas memasak lagi yang ada dapur mereka penuh dengan asap dan jadi berantakan.Ketika sampai di dapur, Arin tetap tidak menemukan keberadaan Bagas. Hingga hidung Arin mencium bau hangus. Arin yakin bau hangus ini bukan berasal dari dapur karena tidak ada kompor yang menyala. Arin pun berjalan mencari asal bau tersebut."Kok baunya kayak dari ruang ganti, ya." Kebetulan rumah mereka memiliki satu ruangan yang di biasanya tempat mereka menaruh pakaian-pakaian mereka yang tidak muat di lemari kamar, sekaligus tempat menyetrika pakaian."Setrika!" Arin bergegas ke ruang ganti. Dan ternyata Bagas berada di sana."Gas? Kamu ngapain?"Bagas berbalik, dia terlihat ketakutan melihat Arin. "
"Bucin aja terus. Heran gue gak di rumah sendiri, gak di rumah mertua kerjaannya bucin mulu. Gak bosen apa?" sindir Aaron melihat Bagas dan Arin yang sedaritadi mengobrol sembari berpegangan tangan, seolah tak ingin saling melepas satu sama lain."Biarin! Sirik aja lo. Makanya punya cewek.""Kan cewek yang dia suka nolak dia, kak." Safira menimpali membuat Arin tersenyum miring menatap Aaron."Oh iya, ya, lupa gue."Aaron melirik sinis Safira. "Lo tuh gak diajak. Gak usah nyahut.""Yang ada juga lo yang gak diajak. Kerjaan lo tuh cuma gangguin gue sama Bagas tahu gak.""Parah banget lo, kak."Safira menepuk-nepuk pelan pundak Aaron. "Sabar, Ron. Aku yakin kamu pasti bakal dapat cewek yang jauh lebih baik.""Tapi dalam mimpi," sahut Arin lalu tertawa diikuti Safira.Aaron berdecak lalu bangkit berdiri. Ekspresinya terlihat kesal, tapi dia sudah malas untuk menanggapi sang kakak. Ujung-ujungnya dia pasti akan di-roasting lagi."Mau ke mana, Ron?" tanya Bagas."Mau balik. Males gue lama-
"Gas." Arin yang baru bangun tidur menghampiri Bagas yang sedang sarapan."Morning, Rin." Bagas menyapa sembari tersenyum lebar."Kok kamu gak bangunin aku? Kan semalam aku udah bilang bangunin agak pagian biar aku buatin sarapan.""Tadinya mau aku bangunin, tapi aku liat kamu tidurnya pulas banget. Makanya aku gak enak buat banguninnya. Lagian aku juga lagi sarapan.""Kamu sarapan apa emang?""Ketoprak."Arin mengernyitkan keningnya. Terkejut sekaligus heran. "Bentar, aku gak salah dengar?" "Emang iya kok. Aku juga beliin buat kamu. Ayo makan dulu," suruh Bagas.Meskipun masih bingung, Arin tetap menurut. Dia menarik kursi lalu mendudukkan bokongnya. "Kok tiba-tiba banget ketoprak? Emang kamu suka makan ketoprak?""Tadinya mau order bubur ayam, terus karena muncul ketoprak di aplikasi aku jadi penasaran pengin nyobain. Dan ternyata enak juga.""Jadi kamu pesan karena belum pernah cobain?"Bagas mengangguk. "Kamu udah pernah makan?""Udah sering."Bagas manggut-manggut. "Syukurlah ka
"Ekhem! Guys! Sorry, ya, kalau ganggu sebelumnya, tapi gue sama Juan ada di sini, loh. Bisa gak hargain kita," ujar Ela karena sedaritadi Bagas dan Arin asyik bermesra-mesraan."Tahu nih. Serasa dunia milik berdua yang lain cuma ngontrak," timpal Juan."Makanya jangan jomblo!" ejek Bagas. Seketika Juan melempar tisu bekasnya pada Bagas."Jangan dilempar dong, Juan. Itu kan tisu bekas lo." Arin segera menyeka pipi Bagas yang terkena lemparan tisu bekas Juan."Gue udah nyerah sama mereka. Gue gak kuat," ucap Ela sembari mengangkat kedua tangan. "Sama, gue juga gak kuat.""Gini deh, daripada lo berdua iri sama kita mendingan lo berdua cari jodoh aja." Arin memberi usul."Nikah aja lo berdua." Bagas menimpali."Nah, setuju tuh."Juan dan Ela saling menatap beberapa detik, lalu membuang muka. "Ogah!" "Cie! Kompak banget jawabnya. Fix, kalian berdua jodoh.""Gue tahu lo berdua emang lagi bucin-bucinnya, tapi jangan jadi orang bego lah. Mana mungkin gue mau sama cewek kayak dia."Ela menat
"Hmm, enak juga ya ternyata nasi gorengnya.""Iya lah. Kamu ke mana aja baru nyobain." Bagas dan Arin sedang menikmati makan malam mereka di sebuah warung nasi goreng yang tak jauh dari rumah. Karena sedang malas untuk memasak Arin mengajak Bagas makan di warung. Karena Arin sudah pernah membeli nasi goreng tersebut yang ternyata rasanya enak, jadilah dia mengajak Bagas. "Kamu kan tahu aku jarang makan di warung.""Iya sih. Kamu kan makan di cafe sama resto mulu, ya.""Kamu tahu sendiri bunda gimana. Dari kecil selalu ngelarang makan makanan warung sama jajanan kaki lima. Padahal aku pengin banget cobain. Ternyata pas nikah sama kamu aku bisa nyobain makanan yang aku pengin cobain.""Emang kenapa bunda sampe ngelarang?""Dulunya sih enggak, tapi semenjak Fira keracunan karena makan jajanan kaki lima bunda jadi suka parno dan ngontrol banget makanan kita. Bahkan sempat dilarang jajan di kantin sekolah disuruh bawa bekal."Arin manggut-manggut. "Pantesan aku pernah liat Fira makan sio
"Good morning." Arin yang baru membuka mata langsung tersenyum saat mendapat sapaan bangun tidur yang begitu hangat.Bagas mengecup kening Arin. "Morning kiss.""Morning kiss." Arin mengecup kedua pipi Bagas secara bergantian.Bagas menunjuk bibirnya. "Di sini enggak?"Arin tersenyum malu sembari menggeleng. "Gak.""Ya udah, kalau kamu gak mau aku aja.""Gak!" Arin segera beranjak dari kasur sebelum Bagas memaksanya. Arin membuka gorden kamar mereka membiarkan cahaya pagi matahari memasuki ruangan kamar mereka."Kamu gak ke kantor, kan?" tanya Arin memastikan. Walaupun memang dia tahu kalau hari ini libur, tapi Arin ingin memastikan. Karena terkadang walaupun libur, Bagas tetap ke kantor. "Gak, kan libur. Ngapain aku ke kantor.""Aku cuma nanya doang. Soalnya kan beberapa kali kamu pernah ke kantor, padahal lagi libur.""Ya itu karena mau selesaiin kerjaan aku yang belum beres." Tidak mungkin Bagas menjawab jujur. Karena waktu itu dia berasalan pergi ke kantor, tapi dia pergi ke rum