"Bagas, gak sarapan dulu? Aku udah masakin nasi goreng," ucap Arin ketika Bagas sudah bersiap-siap hendak pergi ke kantor.
Bagas menggeleng. "Udah kenyang." Setelah berucap demikian Bagas pun pergi.
Arin berdecak kesal. "Belum makan apa-apa kok udah bilang kenyang." Arin melahap nasi gorengnya sembari menggerutu. "Emang masakan gue gak enak apa? Setiap gue masakin gak pernah dimakan. Apa jangan-jangan dia mikir gue mau ngeracunin dia?" Arin segera menggeleng tidak mau peduli. "Bodoh amat! Yang penting gue udah ngelakuin tugas gue sebagai istri."
Arinda Pratiwi nama lengkapnya. Hampir setengah tahun Arin menjalani pernikahan dengan seorang pria bernama Bagaskara Pratama, namun dia tidak merasakan kalau pernikahan mereka begitu indah. Mungkin orang-orang akan berpikir kalau Bagas adalah suami yang baik dan romantis, tapi itu semua hanyalah palsu. Karena Bagas hanya berpura-pura bersikap romantis padanya di depan orang-orang. Tapi, ketika hanya mereka berdua boro-boro romantis. Mengobrol saja jarang. Arin bisa menghitung berapa banyak kata yang dikeluarkan Bagas dalam sehari. Mereka berdua memang suami-istri, namun itu hanyalah status karena mereka tidak pernah saling mencampuri urusan satu sama lain.
Sebenarnya hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Melainkan karena mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka. Awalnya Arin menentang keras karena dia tidak pernah mau menikah dengan pria yang bukan pilihannya. Namun, karena ayahnya sakit berat dan memohon padanya dengan terpaksa Arin menuruti keinginan kedua orang tuanya. Di depan orang tua mereka pun, keduanya berpura-pura karena tidak ingin menyakiti perasaan orang tua mereka. Kalau ditanya apa dia lelah? Tentu saja Arin sangat lelah menjalani pernikahan terpaksa ini, tapi mau bagaimana lagi. Semua sudah terlanjur dan Arin harus menjalaninya dengan sabar.
***
"Setelah gue pikir-pikir, ya, Pak Bagas kok masih tetap dingin, ya? Padahal udah nikah. Kalau dari yang pernah gue dengar, nih, kalau orang dingin udah nemuin jodohnya pasti bakal mencair. Lah, ini bukannya mencair malah sama aja."
"Iya sih, tapi Pak Bagas romantis kok sama istrinya."
"Romantis gimana? Kalau lo perhatiin baik-baik lo bakal nyadar kalau Pak Bagas itu kayak terpaksa bersikap romantis ke istrinya."
"Iya juga sih. Apa mungkin mereka dijodohin, ya?"
"Ekhem! Lani, laporan yang saya minta sudah kamu buat?"
Keduanya seketika terkejut ketika Bagas menghampiri mereka.
"Pagi pak," sapa keduanya.
Bagas hanya mengangguk. "Mana laporannya?" Bagas kembali bertanya.
"Mohon maaf sebelumnya, pak, laporannya sudah saya selesaikan, tapi baru mau saya print filenya pak."
"Nanti kalau sudah selesai silakan kamu antar ke ruangan saya."
"Baik pak."
Sebenarnya Bagas sedaritadi mendengar percapakan mereka hanya saja dia memilih untuk tidak peduli. Karena menurutnya itu tidak penting dibanding pekerjaan. Dia tidak ada waktu untuk menanggapi hal tidak penting seperti itu.
***
"Masuk," kata Bagas ketika mendengar bunyi ketukan pintu.
Bagas seketika mengembuskan napas ketika melihat siapa yang datang.
"Halo bro."
"Juan, lo gak bosen tiap hari ke kantor gue terus?"
Juan adalah teman dekat Bagas. Mereka sudah berteman sejak kecil. Ketika bersama Juan, Bagas lebih banyak berbicara dibandingkan dengan Arin. Maklum saja hubungan pertemanan mereka sudah terjalin cukup lama.
Juan tersenyum. "Kalau gue bosen gak mungkin gue ke sini tiap hari. Harusnya lo bersyukur punya teman kayak gue. Yang tiap hari sempatin ke kantor lo cuma buat makan siang bareng. Karena gue tahu lo gak bakal pergi makan siang kalau gak sama gue." Untung saja kantor Juan tidak jauh dari kantor Bagas, makanya dia selalu datang mengunjunginya.
"Sotoy lo!"
"Emang bener kok. Udah, ayo buruan gue udah laper nih."
***
"Va, gimana restauran? Aman?"
"Aman terkendali, mbak."
Arin tersenyum. "Bagus deh. Maaf ya, karena saya sakit dua hari jadi gak bisa ke resto."
"Mbak gak usah ngerasa bersalah. Sakit kan wajar, mbak. Bukan kemauan mbak juga, kan."
"Oh iya, nanti minta tolong laporan keuangan bulan lalu, ya."
"Siap mbak."
Arin bukanlah pemilik perusahaan besar seperti Bagas ataupun karyawan yang memiliki karir bagus di perusahaan besar, melainkan dia melanjutkan bisnis orangtuanya di bidang kuliner. Semenjak ayahnya jatuh sakit, ibunya kesusahan mengurus restauran karena harus mengurus ayahnya. Oleh karena itu, kedua orangtuanya melimpahkan tanggung jawab mengelola restauran pada Arin.
Arin mengakui kalau mengelola bisnis di bidang kuliner bukanlah hal yang mudah. Apalagi Arin sama sekali tidak menekuni bidang tersebut. Karena sewaktu kuliah Arin mengambil jurusan keperawatan yang mana perawat adalah cita-citanya sedari dulu. Tapi Arin tidak pernah menyesal melanjutkan bisnis orangtuanya. Karena dari sana Arin belajar banyak hal.
***
"Lo ngapain ngajak gue makan di sini?" tanya Bagas ketika Juan membawanya ke Delicious Resto yang mana merupakan restauran milik Arin.
"Emang salah? Kan restauran istri lo."
"Tapi ...."
"Udah, ayo masuk." Mau tidak mau Bagas pun ikut masuk.
"Mbak!" Juan memanggil waiters.
"Mau pesan apa, pak?"
"Saya pesan rawon sama jus alpukat, ya."
"Baik, kalau bapak?" Sang waiters menanyakan Bagas yang masih diam.
Juan segera menyikut lengan Bagas. "Lo mau pesan apa, Gas?"
"Saya salad ayam sama lemon squash."
"Yakin lo? Emang bakalan kenyang?"
"Yakin," jawab Bagas tanpa ragu.
"Saya ulangi pesanannya ya. Untuk makanannya rawon satu dan salad ayam satu, sedangkan minumannya jus alpukat satu dan lemon squash satu. Apa sudah sesuai?"
Juan mengangguk. "Mau nanya dong, Arin ada gak?"
"Mbak Arin ada, pak. Mau saya panggilkan?"
"Boleh. Nanti tolong bilangin kalau suaminya sama temannya yang mau ketemu, ya."
"Baik pak, mohon ditunggu sebentar, ya." Sang waiters pun pergi.
"Lo ngapain panggil Arin segala?"
"Lah? Kenapa emangnya? Gue kan cuma pengin ngobrol sebentar. Emang lo gak pengin ketemu istri lo?"
"Udah ketemu tiap hari di rumah," jawab Bagas datar.
***
"Sorry ya, nunggu lama. Masih sibuk di belakang soalnya." Arin menghampiri Bagas dan Juan yang sedang makan.
Juan kemudian tersenyum. "Gak papa kok. Kita juga ngerti kok kalau lo lagi sibuk. Harusnya kalau masih sibuk gak usah disamperin juga gak papa."
"Gak enak dong. Masa udah jauh-jauh ke sini gak ketemu. Habis makan mau dessert gak? Kebetulan kita lagi ada coba-coba buat dessert baru, tapi belum ada di menu. Karena kebetulan kalian ada di sini aku mau minta review." Arin menawari.
"Boleh."
"Gak usah."
Jika Juan menerima tawaran Arin, maka Bagas sebaliknya.
"Juan aja, saya udah kenyang."
"Kenyang apanya? Lo aja cuma makan salad kok."
"Ya udah, kalau emang gak mau biar Juan aja yang cobain." Arin pun memanggil karyawannya meminta untuk membawakan dessert yang dia minta. Jika Bagas tidak mau Arin tidak akan memaksa. Begitulah prinsip Arin. Dia tidak akan mau memaksa orang jika orang tersebut tidak mau. Apalagi jika orangnya adalah Bagas.
"Silakan dicoba. Kalau ada yang kurang ngomong aja biar bisa jadi bahan evaluasi," ucap Arin ketika karyawannya sudah membawakan dessert tersebut.
"Dari looks nya sih udah keliatan enak. Gue cobain, ya." Juan pun mencicipinya. "Enak banget. Tekstur cake nya lembut terus coklatnya juga gak bikin enek. Gue jamin ini bakal jadi best seller sih."
Arin tersenyum malu. "Bisa aja. Makasih ya."
Juan menatap Bagas sejenak. "Lo yakin gak mau cobain? Dikit aja. Ini demi restauran istri lo juga, loh."
"Gak papa kok kalau Bagas nya gak mau. Katanya kan udah kenyang juga," ucap Arin.
Bagas menatap arlojinya. "Istirahat udah selesai. Gue harus balik kantor sekarang."
"Ya elah, Gas. Santai aja dulu. Telat dikit gak papa."
"Lo kalau masih mau di sini silakan." Bagas bangkit berdiri lalu pergi.
"Gas, tunggu!" Juan akhirnya bangkit berdiri.
"Rin, sorry ya, kalau tingkah Bagas kayak gitu. Yang sabar ya hadapin dia."
Arin hanya tersenyum. "Udah biasa kok."
"Ya udah, kalau gitu gue balik ke kantor dulu, ya."
Arin mengangguk. "Hati-hati."
***
"Lo kenapa sih dingin banget sama Arin? Dia itu kan istri lo, Gas. Udah nikah hampir setengah tahun juga masih aja dingin."
"Gue kan udah bilang sama lo jangan ikut campur urusan pribadi gue."
"Gue juga gak mau ikut campur, tapi kalau lo kayak gini ya gimana gue gak ikut campur coba? Lo gak kasihan sama Arin? Lo gak mikirin perasaan dia?"
"Gue sama Arin dari awal nikah gak pernah libatin perasaan."
"Oke, gue tahu, tapi setidaknya lo bisa lebih menghargai Arin. Gimanapun dia juga manusia, dia punya perasaan. Mungkin di depan lo dia emang gak ngomong karena dia ngerasa lo terlalu dingin dan cuek."
"Daripada lo nasehatin gue, mendingan lo urus urusan lo."
Juan berdecak. "Lo kebiasaan. Kalau gue ngomong gak pernah didengar."
*****************************
"Bucin aja terus. Heran gue gak di rumah sendiri, gak di rumah mertua kerjaannya bucin mulu. Gak bosen apa?" sindir Aaron melihat Bagas dan Arin yang sedaritadi mengobrol sembari berpegangan tangan, seolah tak ingin saling melepas satu sama lain."Biarin! Sirik aja lo. Makanya punya cewek.""Kan cewek yang dia suka nolak dia, kak." Safira menimpali membuat Arin tersenyum miring menatap Aaron."Oh iya, ya, lupa gue."Aaron melirik sinis Safira. "Lo tuh gak diajak. Gak usah nyahut.""Yang ada juga lo yang gak diajak. Kerjaan lo tuh cuma gangguin gue sama Bagas tahu gak.""Parah banget lo, kak."Safira menepuk-nepuk pelan pundak Aaron. "Sabar, Ron. Aku yakin kamu pasti bakal dapat cewek yang jauh lebih baik.""Tapi dalam mimpi," sahut Arin lalu tertawa diikuti Safira.Aaron berdecak lalu bangkit berdiri. Ekspresinya terlihat kesal, tapi dia sudah malas untuk menanggapi sang kakak. Ujung-ujungnya dia pasti akan di-roasting lagi."Mau ke mana, Ron?" tanya Bagas."Mau balik. Males gue lama-
"Gas." Arin yang baru bangun tidur menghampiri Bagas yang sedang sarapan."Morning, Rin." Bagas menyapa sembari tersenyum lebar."Kok kamu gak bangunin aku? Kan semalam aku udah bilang bangunin agak pagian biar aku buatin sarapan.""Tadinya mau aku bangunin, tapi aku liat kamu tidurnya pulas banget. Makanya aku gak enak buat banguninnya. Lagian aku juga lagi sarapan.""Kamu sarapan apa emang?""Ketoprak."Arin mengernyitkan keningnya. Terkejut sekaligus heran. "Bentar, aku gak salah dengar?" "Emang iya kok. Aku juga beliin buat kamu. Ayo makan dulu," suruh Bagas.Meskipun masih bingung, Arin tetap menurut. Dia menarik kursi lalu mendudukkan bokongnya. "Kok tiba-tiba banget ketoprak? Emang kamu suka makan ketoprak?""Tadinya mau order bubur ayam, terus karena muncul ketoprak di aplikasi aku jadi penasaran pengin nyobain. Dan ternyata enak juga.""Jadi kamu pesan karena belum pernah cobain?"Bagas mengangguk. "Kamu udah pernah makan?""Udah sering."Bagas manggut-manggut. "Syukurlah ka
"Ekhem! Guys! Sorry, ya, kalau ganggu sebelumnya, tapi gue sama Juan ada di sini, loh. Bisa gak hargain kita," ujar Ela karena sedaritadi Bagas dan Arin asyik bermesra-mesraan."Tahu nih. Serasa dunia milik berdua yang lain cuma ngontrak," timpal Juan."Makanya jangan jomblo!" ejek Bagas. Seketika Juan melempar tisu bekasnya pada Bagas."Jangan dilempar dong, Juan. Itu kan tisu bekas lo." Arin segera menyeka pipi Bagas yang terkena lemparan tisu bekas Juan."Gue udah nyerah sama mereka. Gue gak kuat," ucap Ela sembari mengangkat kedua tangan. "Sama, gue juga gak kuat.""Gini deh, daripada lo berdua iri sama kita mendingan lo berdua cari jodoh aja." Arin memberi usul."Nikah aja lo berdua." Bagas menimpali."Nah, setuju tuh."Juan dan Ela saling menatap beberapa detik, lalu membuang muka. "Ogah!" "Cie! Kompak banget jawabnya. Fix, kalian berdua jodoh.""Gue tahu lo berdua emang lagi bucin-bucinnya, tapi jangan jadi orang bego lah. Mana mungkin gue mau sama cewek kayak dia."Ela menat
"Hmm, enak juga ya ternyata nasi gorengnya.""Iya lah. Kamu ke mana aja baru nyobain." Bagas dan Arin sedang menikmati makan malam mereka di sebuah warung nasi goreng yang tak jauh dari rumah. Karena sedang malas untuk memasak Arin mengajak Bagas makan di warung. Karena Arin sudah pernah membeli nasi goreng tersebut yang ternyata rasanya enak, jadilah dia mengajak Bagas. "Kamu kan tahu aku jarang makan di warung.""Iya sih. Kamu kan makan di cafe sama resto mulu, ya.""Kamu tahu sendiri bunda gimana. Dari kecil selalu ngelarang makan makanan warung sama jajanan kaki lima. Padahal aku pengin banget cobain. Ternyata pas nikah sama kamu aku bisa nyobain makanan yang aku pengin cobain.""Emang kenapa bunda sampe ngelarang?""Dulunya sih enggak, tapi semenjak Fira keracunan karena makan jajanan kaki lima bunda jadi suka parno dan ngontrol banget makanan kita. Bahkan sempat dilarang jajan di kantin sekolah disuruh bawa bekal."Arin manggut-manggut. "Pantesan aku pernah liat Fira makan sio
"Good morning." Arin yang baru membuka mata langsung tersenyum saat mendapat sapaan bangun tidur yang begitu hangat.Bagas mengecup kening Arin. "Morning kiss.""Morning kiss." Arin mengecup kedua pipi Bagas secara bergantian.Bagas menunjuk bibirnya. "Di sini enggak?"Arin tersenyum malu sembari menggeleng. "Gak.""Ya udah, kalau kamu gak mau aku aja.""Gak!" Arin segera beranjak dari kasur sebelum Bagas memaksanya. Arin membuka gorden kamar mereka membiarkan cahaya pagi matahari memasuki ruangan kamar mereka."Kamu gak ke kantor, kan?" tanya Arin memastikan. Walaupun memang dia tahu kalau hari ini libur, tapi Arin ingin memastikan. Karena terkadang walaupun libur, Bagas tetap ke kantor. "Gak, kan libur. Ngapain aku ke kantor.""Aku cuma nanya doang. Soalnya kan beberapa kali kamu pernah ke kantor, padahal lagi libur.""Ya itu karena mau selesaiin kerjaan aku yang belum beres." Tidak mungkin Bagas menjawab jujur. Karena waktu itu dia berasalan pergi ke kantor, tapi dia pergi ke rum
"Gimana bang? Masih ada yang kurang?" tanya Aaron.Saat ini Aaron sedang berada di rumah Bagas dan Arin. Tadi Bagas menghubungi Aaron meminta bantuannya untuk mempersiapkan makan malam bersama Arin. Bagas menyuruh Arin untuk jangan terburu-buru pulang ke rumah dengan alasan dia masih ada urusan di kantor. Padahal dia berbohong agar bisa mempersiapkan makan malam mereka. Karena kemarin Arin yang mempersiapkan, jadi sekarang gilirannya. Walaupun dia tidak bisa memasak, setidaknya ada Aaron yang membantunya. Bagas menggeleng. "Udah pas kok. Gue gak nyangka ternyata lo jago masak juga, ya."Aaron tersenyum bangga. "Jelas dong. Walaupun gue keliatan malas dan gak bisa diandelin, gue punya keahlian masak. Gak cuma kak Arin doang. Apalagi dari kecil kita udah diajarin masak sama mama."Bagas manggut-manggut. "Gue juga pengin bisa masakin Arin, bukan cuma dia yang masakin gue terus. Kalau gue bisa masak pasti Arin bakal senang."Aaron menepuk-nepuk pundak Bagas. "Bang, lo gak perlu maksain