Dirly masih tidak mengerti sebenarnya, tapi karena Jelita sudah mati-matian tidak mau dia ganggu, akhirnya dia mengalah dan keluar sendiri dari ruangan sang kekasih. Kepalanya mendadak pusing. Ada apa lagi ini? Ada masalah apa sampai Jelita bersikap seperti itu? Sampai dia menangis macam itu?
Dirly segera menuju ruangan Arnold. Bukankah tadi sepupunya itu sudah menunggu kedatangannya? Dirly segera menekan knop pintu, melangkah masuk tanpa menunggu dipersilahkan.
"Kebiasaan!" desis Arnold sambil mencebik, Dirly memang selalu seperti itu, jadi protes bos itu hanya dibalas senyum lebar oleh Dirly.
"Kenapa lagi, Ko? Gue balik kamis ya?" gumam Dirly lantas duduk di kursi yang ada di depan meja Arnold.
"Lu yakin mau langsung pergi? Nggak merasa perlu nyelesein masalah lu dulu?"
Senyum Dirly sontak lenyap, ia menatap Arnold dengan seksama. Wajah bos itu nampak santai, tapi dari sorot matanya ... Arnold tahu betul bahwa ada se
"Kau pikir aku sejahat itu?" Dirly tersenyum, mengelus lembut rambut Jelita yang masih terisak di dalam pelukannya. Bahu Jelita masih naik turun teratur, membuat Dirly menghela nafas panjang. "Aku nggak pernah main-main, ya mungkin dulu aku tukang main-main, tapi sekarang semua beda, Jel! Aku serius sama kamu." kembali Dirly bersuara, melepaskan dekapan lantas memaksa Jelita mendongak. Tampak wajah itu berurai air mata. Matanya memerah, membuat Dirly tersenyum getir melihat betapa hebat gadisnya itu menangis. "Udah ah, aku nggak suka lihat kamu nangis gini! Senyum dong!" desis Dirly setengah memaksa, jemarinya terulur menyeka air mata yang masih belum berhenti mengalir. Jelita menyeka air mata dengan jemarinya sendiri. Matanya menatap Dirly yang masih tersenyum setengah menggoda ke arahnya. "Jujur sebenarnya ini itu mau aku buat surprise, eh malah di buka duluan sama si Kampret." gerutu Dirly kesal. Gegara
"Sudah mesumnya?" sindir Arnold sambil terbahak ketika Dirly masuk ke dalam ruangan kerja Arnold.Dirly mencebik, tertawa kecil lalu kembali duduk di hadapan Arnold. Wajahnya sumringah, tentu Arnold tahu apa alasannya, bukan?"Mesum kata lu? Gue nggak segila itu, Ko!" kisah Dirly sambil menggeleng perlahan."Halah, muka-muka macam lu, mana bisa gue percaya!" Arnold menyodorkan map-map tadi ke hadapan sepupunya itu. "Tadi mau gue anter tapi elunya berdua lagi ena-ena, takut ganggu!"Dirly tergelak, tertawa terbahak-bahak melihat bagaimana masam wajah Arnold yang mencebik. Jadi bos besar ini tadinya mau mengantar dokumen ke ruangan kekasihnya dan tidak jadi karena takut menganggu momen Dirly dan Jelita? Hmmm ... Arnold memang sepupu paling best yang pernah Dirly temui!"Kampret! Gue nggak sampe ena-ena, Ko. Ketahuan Om Gunawan habis gue ntar, nganu di kantor dia." Dirly tahu diri kok, ini bukan miliknya. Kecuali kalau kantor d
“Kemana, sih?” Arnold mengumpat, ia menatap layar ponselnya dan kembali menekan tombol itu guna menghubungi Sisca.Sejak tadi teleponnya sama sekali tidak diangkat oleh Sisca, padahal siang tadi mereka masih saling berkabar lewat chat. Lantas sekarang, kemana Sisca? Sibuk apa dia sampai telepon darinya diabaikan seperti saat ini?Arnold mendengus kesal. Tidak biasanya Sisca seperti ini. Mendadak, sebuah perasaan tidak enak menyergap Arnold, membuat Arnod lantas membuka daftar kontaknya dan mencari nomor yang lain. Siapa lagi kalau bukan nomor Astrid? Orang kepercayaan Sisca yang selama ini membantu Sisca menggelola caffe mereka.“Halo Pak Arnold? Pak mau tanya, ibu sama Bapak, nggak?”Sontak Arnold membelalakkan matanya. Bahkan Astrid saja menanyakan keberadaan Sisca kepadanya? Jadi dia tidak tahu di mana Sisca berada? Astaga! Ada apa ini?“Saya nelpon kamu juga mau tanya itu, As! Ibu kemana? Ini saya hubungi sama seka
"Sudah lama kenal dengan keluarga dia? Berapa lama mereka menjalin hubungan?"Kaki Linda sontak menjadi dingin. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan ini? Kalau Linda bilang mereka baru saja jadian, itu sama saja menjebak Linda sendiri. Mereka baru saja jadian, bagaimana Linda lantas kenal dengan keluarga Sisca?Kalau Linda jawab mereka sudah jadian lama, kenapa kemarin Linda setuju Arnold di jodohkan dengan Scarletta?"Hey, melamun?"Linda tersentak, ia mengangkat wajahnya, menatap sang suami dengan seksama. Gunawan nampak menantikan jawaban darinya. Harus Linda jawab apa?"Kemarin aku ke Solo, pas kamu ada tugas ke luar negeri. Kebetulan orang tuanya juga sedang di Solo. Kita mengobrol banyak hal."Nampak raut wajah Gunawan berubah. Alisnya berkerut, menatap sang isteri dengan seksama."Baru sejak bertemu kamu bahkan sudah berani menyimpulkan bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik, Lin?"Ska
"APA?" Dirly memekik mendengar apa yang Arnold katakan. "Lu jangan bercanda, Ko!"Jelita yang tadi tengah fokus mengetik sontak menoleh, menatap Dirly yang wajahnya tampak menegang itu. Ada apa? Perlahan Jelita bangkit, mendekati Dirly yang berdiri di dekat pintu ruangannya. Karena tadi Dirly memang hendak keluar dari ruangan sangat kekasih, hingga kemudian ponsel Dirly berdering dan dia mengangkat panggilannya.Wajah Dirly masih begitu tegang, dari yang Jelita dengar dia memanggil dengan sebutan 'Ko', itu artinya dia tengah mengobrol dengan sepupunya yang tak lain dan tak bukan adalah bos dari Jelita."Terus?" suara Dirly nampak panik. "Posisi lu di mana? Lu mau balik ke kantor atau perlu gue susul?"Kening Jelita berkerut, apakah ada suatu hal buruk yang terjadi? Apa yang terjadi pada si bos itu?"Oke kalau gitu, gue tunggu."Tampak Dirly menurunkan ponsel dari telinga, menatap Jelita yang berdiri tidak jauh dari tempat D
Sisca berusaha melepaskan ikatan tangannya, namun agaknya tidak berhasil kerena tali itu mengikatnya dengan begitu kuat. Sampai-sampai rasanya tangan Sisca hampir putus. Mau berteriak pun tidak mungkin, lakban hitam membungkam mulutnya.Sisca benar-benar tidak mengerti, kenapa dia melakukan semua ini pada Sisca? Punya salah apa Sisca kepadanya? Sungguh sulit dipercaya! Jika orang lain yang melakukan semua ini, Sisca tidak akan se terkejut ini, tetapi lihat siapa yang melakukannya!Pintu kusam itu terbuka, Sisca bisa melihat dengan jelas sosok yang menyeretnya sampai ke sini berdiri di muka pintu. Tersenyum begitu sinis menatap kondisi Sisca yang tidak berdaya.Sorot mata itu ...Kenapa sorot mata itu begitu menakutkan sekali? Kenapa sosok yang selama ini dia kenal dengan baik bisa berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini? Apa yang membuat dia begitu gila? Apa alasannya?'Lepaskan aku!' rasanya Sisca ingin bert
"Dapet alamatnya?" tanya Dirly sekembalinya Jelita dari ruangan Retno."Dapet!" jawab Jelita sambil tersenyum, "Ini Pak, berkasnya."Secepat kilat Arnold meraih map berwarna biru yang Jelita sodorkan. Buru-buru dia buka, teliti satu persatu data mantan staff kantornya itu. Benar saja! Pas photo yang ada di sana mirip dengan wanita yang terekam membawa Sisca pergi dari caffe! Tidak salah lagi, benar dia orangnya!"Dia ada masalah apaan sih? Sumpah heran gue!" Arnold memfoto lembar berisi alamat gadis bernama lengkap Pradita Yolanda itu."Mau ke sana sekarang lu, Ko?" Dirly melihat Arnold sudah tidak sabar lagi."Tentulah, sebelum Sisca diapa-apain sama dia." Arnold bangkit, menatap Dirly yang masih duduk di kursinya, "Lu ikut gue, Ly. Jelita handle dulu di sini, ya?"Jelita kontan mengangguk, sementara Dirly langsung spontan berdiri. Mengekor di belakang Arnold yang nampak terburu-buru."Semoga kamu nggak apa-apa, Sis
Dita mematikan mesin motornya, dia sudah sampai di depan rumah dengan arsitektur Jawa kuno peninggalan neneknya itu. Rumah yang sampai sekarang masih dia tempati dan tinggali selepas sangat ahli waris bahkan sudah menyusul sang nenek kembali ke pangkuan sang Pencipta. Siapa lagi kalau bukan ayah dari Dita itu sendiri?Joko Sarjono, meninggal baru empat puluh hari yang lalu karena kecelakaan di tempat kerja. Truk yang dia kemudikan jatuh ke sungai yang dalamnya tujuh meter setelah memuat pasir hasil tambang. Baru saja malam kemarin acara empat puluh harian dilakukan dan Dita baru saja kembali dari membayar tagihan snack untuk acara semalam.Dita hendak melangkah masuk, ketika mendapati sepasang sendal asing itu berada di depan pintu. Milik siapa? Sendal laki-laki?Dita yang awalnya hendak mengucap salam, kini mengurungkan niat. Ia berjalan perlahan-lahan mendekati pintu masuk yang terbuka sedikit. Rumah itu sangat besar dan luas. Jadi Dita harus berha