“Kemana, sih?” Arnold mengumpat, ia menatap layar ponselnya dan kembali menekan tombol itu guna menghubungi Sisca.
Sejak tadi teleponnya sama sekali tidak diangkat oleh Sisca, padahal siang tadi mereka masih saling berkabar lewat chat. Lantas sekarang, kemana Sisca? Sibuk apa dia sampai telepon darinya diabaikan seperti saat ini?
Arnold mendengus kesal. Tidak biasanya Sisca seperti ini. Mendadak, sebuah perasaan tidak enak menyergap Arnold, membuat Arnod lantas membuka daftar kontaknya dan mencari nomor yang lain. Siapa lagi kalau bukan nomor Astrid? Orang kepercayaan Sisca yang selama ini membantu Sisca menggelola caffe mereka.
“Halo Pak Arnold? Pak mau tanya, ibu sama Bapak, nggak?”
Sontak Arnold membelalakkan matanya. Bahkan Astrid saja menanyakan keberadaan Sisca kepadanya? Jadi dia tidak tahu di mana Sisca berada? Astaga! Ada apa ini?
“Saya nelpon kamu juga mau tanya itu, As! Ibu kemana? Ini saya hubungi sama seka
"Sudah lama kenal dengan keluarga dia? Berapa lama mereka menjalin hubungan?"Kaki Linda sontak menjadi dingin. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan ini? Kalau Linda bilang mereka baru saja jadian, itu sama saja menjebak Linda sendiri. Mereka baru saja jadian, bagaimana Linda lantas kenal dengan keluarga Sisca?Kalau Linda jawab mereka sudah jadian lama, kenapa kemarin Linda setuju Arnold di jodohkan dengan Scarletta?"Hey, melamun?"Linda tersentak, ia mengangkat wajahnya, menatap sang suami dengan seksama. Gunawan nampak menantikan jawaban darinya. Harus Linda jawab apa?"Kemarin aku ke Solo, pas kamu ada tugas ke luar negeri. Kebetulan orang tuanya juga sedang di Solo. Kita mengobrol banyak hal."Nampak raut wajah Gunawan berubah. Alisnya berkerut, menatap sang isteri dengan seksama."Baru sejak bertemu kamu bahkan sudah berani menyimpulkan bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik, Lin?"Ska
"APA?" Dirly memekik mendengar apa yang Arnold katakan. "Lu jangan bercanda, Ko!"Jelita yang tadi tengah fokus mengetik sontak menoleh, menatap Dirly yang wajahnya tampak menegang itu. Ada apa? Perlahan Jelita bangkit, mendekati Dirly yang berdiri di dekat pintu ruangannya. Karena tadi Dirly memang hendak keluar dari ruangan sangat kekasih, hingga kemudian ponsel Dirly berdering dan dia mengangkat panggilannya.Wajah Dirly masih begitu tegang, dari yang Jelita dengar dia memanggil dengan sebutan 'Ko', itu artinya dia tengah mengobrol dengan sepupunya yang tak lain dan tak bukan adalah bos dari Jelita."Terus?" suara Dirly nampak panik. "Posisi lu di mana? Lu mau balik ke kantor atau perlu gue susul?"Kening Jelita berkerut, apakah ada suatu hal buruk yang terjadi? Apa yang terjadi pada si bos itu?"Oke kalau gitu, gue tunggu."Tampak Dirly menurunkan ponsel dari telinga, menatap Jelita yang berdiri tidak jauh dari tempat D
Sisca berusaha melepaskan ikatan tangannya, namun agaknya tidak berhasil kerena tali itu mengikatnya dengan begitu kuat. Sampai-sampai rasanya tangan Sisca hampir putus. Mau berteriak pun tidak mungkin, lakban hitam membungkam mulutnya.Sisca benar-benar tidak mengerti, kenapa dia melakukan semua ini pada Sisca? Punya salah apa Sisca kepadanya? Sungguh sulit dipercaya! Jika orang lain yang melakukan semua ini, Sisca tidak akan se terkejut ini, tetapi lihat siapa yang melakukannya!Pintu kusam itu terbuka, Sisca bisa melihat dengan jelas sosok yang menyeretnya sampai ke sini berdiri di muka pintu. Tersenyum begitu sinis menatap kondisi Sisca yang tidak berdaya.Sorot mata itu ...Kenapa sorot mata itu begitu menakutkan sekali? Kenapa sosok yang selama ini dia kenal dengan baik bisa berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini? Apa yang membuat dia begitu gila? Apa alasannya?'Lepaskan aku!' rasanya Sisca ingin bert
"Dapet alamatnya?" tanya Dirly sekembalinya Jelita dari ruangan Retno."Dapet!" jawab Jelita sambil tersenyum, "Ini Pak, berkasnya."Secepat kilat Arnold meraih map berwarna biru yang Jelita sodorkan. Buru-buru dia buka, teliti satu persatu data mantan staff kantornya itu. Benar saja! Pas photo yang ada di sana mirip dengan wanita yang terekam membawa Sisca pergi dari caffe! Tidak salah lagi, benar dia orangnya!"Dia ada masalah apaan sih? Sumpah heran gue!" Arnold memfoto lembar berisi alamat gadis bernama lengkap Pradita Yolanda itu."Mau ke sana sekarang lu, Ko?" Dirly melihat Arnold sudah tidak sabar lagi."Tentulah, sebelum Sisca diapa-apain sama dia." Arnold bangkit, menatap Dirly yang masih duduk di kursinya, "Lu ikut gue, Ly. Jelita handle dulu di sini, ya?"Jelita kontan mengangguk, sementara Dirly langsung spontan berdiri. Mengekor di belakang Arnold yang nampak terburu-buru."Semoga kamu nggak apa-apa, Sis
Dita mematikan mesin motornya, dia sudah sampai di depan rumah dengan arsitektur Jawa kuno peninggalan neneknya itu. Rumah yang sampai sekarang masih dia tempati dan tinggali selepas sangat ahli waris bahkan sudah menyusul sang nenek kembali ke pangkuan sang Pencipta. Siapa lagi kalau bukan ayah dari Dita itu sendiri?Joko Sarjono, meninggal baru empat puluh hari yang lalu karena kecelakaan di tempat kerja. Truk yang dia kemudikan jatuh ke sungai yang dalamnya tujuh meter setelah memuat pasir hasil tambang. Baru saja malam kemarin acara empat puluh harian dilakukan dan Dita baru saja kembali dari membayar tagihan snack untuk acara semalam.Dita hendak melangkah masuk, ketika mendapati sepasang sendal asing itu berada di depan pintu. Milik siapa? Sendal laki-laki?Dita yang awalnya hendak mengucap salam, kini mengurungkan niat. Ia berjalan perlahan-lahan mendekati pintu masuk yang terbuka sedikit. Rumah itu sangat besar dan luas. Jadi Dita harus berha
Sosok itu tengah menyapu halaman depan rumah ketika Dita kembali dari makam sang ayah. Dengan daster bermotif bunga warna merah, ia menyapu halaman dengan sapu lidi. Tampak mengangkat wajah dan menatap Dita yang menghentikan motornya di teras. "Dari mana sih, Mbak?" Mbak adalah panggilan Dita di rumah, Dita punya satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Jadilah dia yang tertua dan mendapat predikat 'Mbak'. "Makam ayah, Bu. Mbak kangen sama ayah." jawab Dita sambil tersenyum simpul. Dita segera masuk ke dalam rumah, tidak lagi memperhatikan sang ibu yang nampak menghela nafas panjang. Untuk apa memangnya Dita harus menanggapi sang ibu? Hatinya masih cukup sakit! Terlebih di area pemakaman tadi Dita mendengar semuanya dengan begitu jelas. Gosip perihal perselingkuhan sang ibu dengan lelaki bernama Agus. Apakah lelaki yang tadi bercinta dengan ibunya? Atau lelaki lain? Dita menatap nanar kamar orang tuanya. Pin
DIta sudah duduk di depan tivi bersama dua adiknya. Mereka semua sudah mandi dan berganti pakaian, menantikan hal apa yang hendak di sampaikan Lastri, ibu mereka. Dita menghela nafas panjang. Ia menatap Yoga yang tengah asyik dengan jangkrik yang ada di dalam toples plastik miliknya. Sementara Dipta, gadis kecil itu terlihat tengah mengukir batang sabun dengan cutter. Kenapa hanya Dita yang merasa risau menantikan ibunya buka suara? Kenapa kedua adiknya itu nampak begitu tenang dan santai seperti itu? Apa karena Dita yang melihat semua itu tadi? Mendengar apa yang tadi diperbincangkan oleh orang-orang di pemakaman? Entah lah, yang jelas semenjak kejadian pagi tadi, rasanya hidup Dita menjadi penuh bayang-bayang menjijikan dan perasaan bersalah. 'Bapak, apa bapak di sana lihat ibu melakukan itu bersama laki-laki tadi? Apa bapak lihat semuanya tadi?' Dita merasakan matanya memanas, tapi dia tidak mungkin menangis di depan adik-adiknya seperti ini, bukan? "Bapak
Penolakan yang Dita dan dua adiknya layangkan rupanya sama sekali tidak membuat Lastri terketuk pintu hati dan membatalkan keinginannya itu. Ia tetap menikah dengan Agus, lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah lelaki yang dilihat Dita bersetubuh dengan ibunya tempo lalu.Per hari ini, lelaki itu resmi menjadi bagian keluarganya. Mirisnya, Lastri seperti menulikan telinga dengan segala macam gunjingan sekitar perihal pernikahan yang dia lakukan bahkan di saat kematian sang suami belum ada seribu hari!Lelaki itu memiliki seorang anak laki-laki dari pernikahannya terdahulu. Anak lelaki berusia tujuh belas tahun yang kini ikut tinggal di rumah peninggalan almarhum ayah Dita."Mbak!"Dita tersentak, menoleh dan mendapati Dipta sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Dita menyeka air mata yang keluar, tersenyum dan mengangguk perlahan, memberi kode Dipta agar masuk ke dalam kamarnya.Dipta menutup pintu kamar sang kakak,