"Oke, gue udah bilang ke HRD, mulai sekarang elu jadi personal asisten gue!" guman Arnold lalu meletakkan gagang telepon dan menatap gadis yang duduk di hadapannya itu lekat-lekat.
"Terus sekarang nih gue ngapain?" tanya Sisca sedikit gemas. Semoga aja sosok itu tidak berusaha mengerjai dirinya.
"Pertama lu, eh siapa nama lu?" tanya Arnold yang masih menatap wajah Sisca dalam-dalam.
"Fransisca Andania, panggil saja Sisca." jawab Sisca singkat.
"Oke Sisca, karena sebentar lagi gue sibuk meeting dan lain-lain, sementara semua sudah diatur sekretaris kantor, jadi elu mending pulang dulu beberes rumah, oke?"
"Astaga, gue beneran jadi pembokat elu?" teriak Sisca gemas, tapi gajinya? Astaga ... okelah nggak apa-apa dia jadi pembokat, penting duitnya banyak.
"Kan elu sudah setuju tadi! Dan sini gue butuh nomor elu, ntar lu minta juga nomor sekretaris gue, jadi kalian koordinasi jadwal gue dan lain-lain, jadi gue ntar tinggal jalanin aja, paham kan?"
Sisca mendengus kesal, ia merogoh saku roknya dan menyodorkan iPhone miliknya ke bosnya yang menyebalkan itu. Ahh ... takdirnya jelek sekali harus membuang banyak waktu bersama sosok itu.
Tampak Arnold mengetik nomor itu lalu mencoba membuat panggilan ke nomor Sisca, benar saja, panggilan itu masuk.
"Save nomor gue, penting tuh buat kerjaan lu!" perintah Arnold tegas. Ia mengembalikan iPhone itu kepada sang pemilik.
Sisca hanya menghela nafas panjang, ia kemudian mensave nomor Arnold ke dalam iPhone-nya. Bos Rese, begitu nama kontak yang Sisca berikan untuk kontak Arnold.
"Oke gue balik!"
"Eh tunggu! Gue belum selesai ngomong! Lu tuh nggak ada sopan-sopannya ya sama bos sendiri!" gerutu Arnold kesal.
"Iya deh, ada apa lagi, Bos?" Sisca memutar bola matanya dengan gemas.
"Untuk pakaian, harus rapi kayak gini walaupun kerjaan elu cuma nyuci, nyapu dan ngepel rumah gue, paham?"
Sisca sontak melotot, "Jadi harus pakai kayak gini pasti ngepel, nyikat kamar mandi? Jangan gila!"
"Oh, atau mungkin elu perlu gue beliin kostum Lolita gitu? Boleh deh kayaknya!" guman Arnold sambil menyeringai lebar.
"Idih ogah!" tukas Sisca sambil menggelengkan kepalanya, "Oke gue pakai pakaian formal, puas lu? Gue mau balik!"
"Eh tunggu! Buru-buru amat sih!" Arnold benar-benar gemas, dasar perempuan menyebalkan.
"Apaan lagi sih? Cepet ngomong biar cepet pulang gue, pasti kerjaan udah numpuk kan?" semprot Sisca kesal, sebodoh amat laki-laki itu bosnya, siapa suruh rese dan menyebalkan.
"Lu mampir belanja dulu deh, beli sprei, korden buat ganti, buat isi dapur, sabun cuci dan lain-lain, dirumah belum ada," Arnold menyodorkan CC dari dalam dompetnya.
"Udah? Ada apa lagi?" Sisca menerima CC itu lalu memasukkannya ke dalam dompetnya.
"Cukup, gue rasa cukup. Eh lu bisa masak kan?" tanya Arnold sambil menatap lekat-lekat Sisca yang tampak bosan berdiri dihadapannya.
"Bisa lah, katanya cewek kalo nggak bisa masak suruh meninggal?" guman Sisca sarkas.
Sontak Arnold tertawa terbahak-bahak, ia mengangguk pelan. Sisca masih dengan sabar menunggu apa lagi titah yang akan di berikan bosnya itu.
"Masakin gue sekalian ntar, jadi gue pulang semua harus siap, paham?"
"Paham bos, jangan khawatir!" tukas Sisca jenggah.
"Oke lu bisa cabut sekarang!"
Sisca mengangguk kemudian berbalik dan segera keluar dari ruangan Direktur Rese itu. Sementara Arnold hanya tersenyum geli melihat betapa jelek wajah personal asisten barunya itu.
Jadi namanya Sisca? Fransisca Andania? Arnold tersenyum ketika ingat wajah mereka pernah begitu dekat, tubuh mereka pernah menempel begitu dekat dan Arnold akui, sosok itu begitu cantik. Ia suka guratan wajah itu, sangat suka. Namun sekali lagi, sifat gadis itu benar-benar menyebalkan.
"Ahh apaan sih gue? Kenapa malah jadi mikirin cewek rese itu sih?" Arnold tersenyum geli, "Lihat aja deh, bakal gue kerjain elu selama kerja sama gue!"
***
"Ngimpi apa sih? Kuliah susah-susah lulus jadi pembokat? Keren sih bahasanya personal asisten, eh suruh nyapu, masak dan lain-lain. Setahu ku nggak gini juga deh jadi personal asisten itu!" gerutu Sisca sambil memakai helm-nya, ia kemudian menghidupkan motornya dan membawa motornya pergi dari halaman parkir perusahaan tekstil besar ini."Rese sama aku awas aja ntar, aku kerjain habis-habisan! Jangan lupa aku yang urus rumah dan kebutuhan pribadi kamu nanti!" ancam Sisca sambil tersenyum sinis.
Ia terus membawa motornya memecah keruwetan jalan raya siang itu, harus belanja kemudian masak dan membereskan rumah. Astaga, lulusan manajemen ujungnya di dapur juga kerjaan dia!
"Moga aja sembuh sikap resemu, Bos! Awas aja makin rese, aku bikinin Kopi Jessica biar bablas sekalian!"
***
Arnold membawa mobilnya kembali pulang, semua pekerjaannya sudah selesai. Ia jadi begitu bersemangat pulang ke rumah hari ini, sekalian ia ingin melihat bagaimana pekerjaan personal asisten barunya itu. Apakah bagus? Atau sama berantakannya dengan sikap rese-nya yang menyebalkan itu.
Arnold mematikan mesin mobilnya, ia tersenyum melihat rumahnya tampak sudah begitu rapi dan bersih, lampu sudah menyala semua. Ia melepaskan seat belt-nya lalu melangkah turun."Sis, gue pulang nih!" lho, kenapa macam suami ke istri gini sih pakai laporan kalau dia sudah pulang? Kan ini rumah dia!
"Oh siap, Bos. Gue udah boleh balik nih?" Sisca muncul masih dengan rok span dan kemejanya tadi, hanya saya rambutnya ia ikat sembarangan dan sedikit berantakan.
"Kerjaan sudah beres semua?" tanya Arnold penuh selidik.
"Sudah! Sudah disapu, dipel, kamar mandi sudah disikat, cucian sudah dijemur semua dan makanan sudah siap, apa ada yang kurang?" tanya Sisca sambil menatap lekat-lekat sosok Arnold yang masih tampak bersih dan wangi meskipun sudah sangat sore seperti ini.
"Good job, okelah lu boleh balik, cuma nih ya, rambut tolong perhatikan juga, harus rapi. Elu personal asisten bukan pembokat!"
"Apa bedanya? Cuma beda nama doang, mana ada personal asisten disuruh nyapu ngepel?" protes Sisca sambil mencebik.
"Oh jadi nggak mau nih? Nggak masalah sih, besok balik jadi staff keuangan aja kalau begitu," guman Arnold sambil tersenyum jahil.
"Eh ... jangan gitu dong, sepuluh juta gue lenyap kalau gitu!" guman Sisca apa adanya.
"Makanya jangan bawel," tukas Arnold hendak masuk ke dalam rumah, "Eh tunggu, mulai besok elu setelah semua rumah rapi dan bikin sarapan, kalau gue berangkat ke kantor elu wajib ikut."
"Lah terus gue ngapain sih? Kan udah ada sekretaris elu, Bos?" ngapain Sisca ikut ke kantor.
"Personal asisten nggak boleh jauh-jauh dari bosnya, paham? Ya ntar elu bantuin gue kerjain kerjaan kantor, nemenin makan siang, ngawal gue, ya pokoknya gitulah."
"Terserah deh bos, gue mau balik!" Sisca kemudian melangkah ke rumahnya, meninggalkan Arnold yang masih berdiri di depan pintu rumahnya.
"Dasar personal asisten nggak sopan!" gerutu Arnold seraya masuk ke dalam rumahnya.
Sejenak Arnold tertegun, rumahnya jadi begitu rapi dan bersih, dan apa itu? Bahkan Sisca membelikan pengharum ruangan. Arnold tersenyum, ia melangkah ke dapur, benar saja semuanya rapi dan bersih.
Ia membuka tudung saji, tampak ada ayam bakar, sambal beberapa macam lauk lain. Arnold mengerutkan keningnya, yakin Sisca masak ini semua sendiri? Ia kembali menutup meja makan, ia melangkah ke kamar, sebelum makan ia ingin mandi dulu.
Dan sontak Arnold melotot kesal ketika masuk ke dalam kamarnya, bukan karena kamarnya kotor, kamarnya bersih, rapi dan harum. Tapi ...
"Astaga Sisca, apa-apaan ini?" rasanya Arnold hampir berteriak, ia menatap nanar kasurnya yang sudah berganti sprei itu. Bukan apa-apa, tapi yang menyebalkan adalah motif sprei dan bedcover-nya!
"Gila bener itu cewek! Dia beliin gue sprei dan bedcover gambar Kerropi?"
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b