Arnold bergegas keluar rumah dan melangkah ke rumah yang ada di sebelahnya, siapa lagi kalau bukan rumah si Sisca, ia benar-benar kesal dan gemas dengan gadis satu itu. Bisa nggak sih gadis itu bersikap waras sedikit saja?
"Sis ... Sisca, bukan pintunya!" teriak Arnold sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah Sisca.
"Sis! Woi jangan sembunyi deh!" ia terus mengetuk pintu rumah Sisca, gadis itu tidak nampak, rumahnya sepi, dia kemana? Kenapa tidak nampak?
Arnold menekan knop pintu rumah itu, pintu terbuka dan rumah itu tampak sepi. Arnold mengerutkan keningnya, memang kemana gadis itu? Motornya ada di rumah, tapi kenapa orangnya tidak ada?
Arnold melangkah ke salah satu kamar, kosong! Kamar satunya juga kosong! Arnold menggaruk kepalanya, kemana sih orang itu? Masa iya pergi rumah nggak dia kunci sih?? Ia hendak melangkah ke belakang ketika kemudian secara tidak sengaja ia menabrak seseorang hingga dia terjatuh di lantai.
"Aduh!" teriak suara itu yang ia tahu itu suara Sisca.
"Gimana sih, lu jalan pakai mata dong!" umpat Arnold sambil mengelus sikunya. Arnold terbelalak ketika melihat sosok itu hanya mengenakan handuk yang membungkus tubuhnya.
"Eh, lu ngapain ke sini bos?" teriak Sisca histeris ketika sadar tubuhnya hanya terbungkus handuk diatas lutut.
"Nyariin elu lah, gila ya elu!" maki Arnold yang sudah beranjak berdiri sambil mengusap siku dan lututnya. Ia berusaha menekan kuat-kuat perasaan berdesir yang sontak muncul ketika melihat personal asistennya itu hanya terbungkus handuk.
"Gila gimana lagi sih? Elu tuh yang gila, kenapa nyelonong masuk sih? Inikan wilayah gue, rumah gue!" maki Sisca kesal, ia hendak melangkah ke kamarnya ketika kemudian tangan Arnold meraih tangannya dan menarik Sisca keluar rumah.
"Eh apaan sih, gue belom pakai baju, Bos!" Sisca hendak melepaskan diri namun genggaman tangan Arnold lebih kuat.
Ia berhasil membawa Sisca kembali ke dalam rumah dan menarik personal asistennya ke dalam kamarnya.
"Eh gila lu, gue mau elu apaan sih? Nggak jelas banget!" teriak Sisca yang panik ketika tahu Arnold membawanya masuk ke dalam kamar miliknya.
"Jangan ngeres! Gue cuma mau tanya, ini maksud elu apaan?" tunjuk Arnold pada sprei gambar Kerropi itu.
"Oh itu, bagus kan? Seger di mata," komentar Sisca santai.
"Astaga, Sisca!" desis Arnold gemas. Ia mengacak rambutnya dengan gemas.
"Gue semacho ini? Kekar berotot, tinggi tegap macam model susu protein tinggi elu suruh tidur pakai selimut dan sprei gambar kayak gini? Gila lu!" maki Arnold kesal.
"Lho apa salahnya sih Bos? Warnanya bagus!" tukas Sisca tidak mau disalahkan.
"Tapi gambarnya ...," Arnold benar-benar kesal, namun rasanya ia tidak bisa marah berlebihan.
"Bagus gambarnya, lucu!" komentar Sisca santai, memang lucu kok, warnanya hijau cantik.
"Lucu?" pekik Arnold kesal. Ia memijit keningnya dengan gemas.
"Lihat, lucu kan? Bagus?" ujar Sisca santai, tangannya menutupi leher dan dada yang tidak tertutupi handuk.
"Sisca, lain kali please deh, beliin yang polos gitu bisa nggak sih?" protes Arnold masih belum terima.
"Salah lagi," desis Sisca sambil memanyunkan bibirnya.
"Ya salah dong! Masa gue elu kasih sprei sama selimut kayak gini sih?" Arnold benar-benar gemas, bagaimana sih menyadarkan gadis ini bahwa kesalahannya ini kesalahan yang cukup menyebalkan.
"Terus sekarang maunya gimana?" tanya Sisca akhirnya, ia lelah diajak debat sejak tadi.
"Gantiin spreinya sekarang! Elu beli nggak cuma satu kan tadi?" perintah Arnold tegas.
"Iya tadi beli tiga sih bos," jawab Sisca santai.
"Jangan bilang gambar Kerropi semua!" potong Arnold kesal.
"Nggak kok, satunya gambar Bare Bears dan satunya gambar Tsum-tsum, Bos!"
"Astaga ya Tuhan!" pekik Arnold sambil mengacak rambutnya dengan gemas.
"Salah lagi nih?" tanya Sisca polos.
Arnold menarik tangan Sisca, mendorongnya hingga mepet ke tembok. Sisca memekik ketika dua tangan Arnold itu mencengkram kedua tangannya, mata sosok itu dengan tajam menatap matanya.
"Bos ngapain?" tanya Sisca polos, matanya takut-takut menatap sorot tajam laki-laki itu.
"Bisa nggak sih yang warasan dikit?" tanya Arnold sambil menatap lekat-lekat mata Sisca, "Lu beliin sprei buat laki-laki umur tiga puluh dua tahun, Sis. Bukan anak SD!"
Sisca tergagap, wajah mereka begitu dekat, hingga Sisca kembali bisa merasakan hembusan nafas itu menyapa kulit wajah Sisca. Ia hendak melepaskan cengkraman tangan Arnold ketika kemudian handuk yang ia kenakan melorot ke bawah, hingga tubuh polos Sisca terekspos sempurna.
"Lepas ih, lu mau perkosa gue?" Sisca menghempaskan tangan Arnold, meraih kembali handuknya lalu menutupi tubuhnya dengan handuk.
"Siapa yang mau perkosa elu? Lu tuh kenapa nggak pakai baju?" guman Arnold sambil menelan salivanya, tubuh itu ....
"Gue baru selesai mandi dan elu tarik ke rumah elu, siapa yang salah kalau kayak gini, heh?" rasanya Sisca ingin menghantam kepala bosnya itu dengan pot bunga, sebodoh amat dia gagar otak, Sisca tidak peduli.
"Gue tarik elu kesini karena gue mau protes pasal ini sprei!" Arnold frustasi, kenapa sih sosok itu menyebalkan setengah mati?
"Yaudah sana ganti aja itu sprei!" Sisca beranjak pergi meninggalkan Arnold sendirian.
"Heh, di sini gue bosnya!" teriak Arnold gemas.
"Bodo amat! Gue mau pakai baju, daripada ntar elu garap!" guman Sisca balas sambil pergi meninggalkan rumah bosnya itu.
"Ya tapikan ...," Arnold menghela nafas panjang, ia hanya memijit kepalanya sambil geleng-geleng.
"Punya asisten pribadi aja begini amat sih Tuhan!" desisnya gemas. Arnold menatap nanar kasurnya itu, sprei berwarna hijau dengan gambar katak itu sungguh memang sangat lucu, dan akan benar-benar tambah lucu jika Arnold yang memakainya.
Arnold menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, ia memejamkan matanya. Kepalanya pusing sekali, hatinya masih dongkol. Namun tiba-tiba dongkol itu lenyap ketika bayangan tubuh tadi melintas dalam pikirannya.
Arnold bukan lagi laki-laki polos, ia sudah berkali-kali merasakan nikmat wanita, menikmati tubuh wanita terlebih saat dia berada di London untuk kuliah. Namun tubuh Sisca tadi benar-benar berbeda! Rupanya dibalik tubuh yang selalu tertutup rapat itu ternyata tersimpan rahasia indah yang luar biasa.
Darah Arnold tiba-tiba mendidih, gairahnya memuncak. Kenapa tadi ia biarkan Sisca pergi? Kenapa tidak ia dorong dan ia tindih tubuh polos di hadapannya itu? Bukankah semuanya mendukung? Tinggal sumpal mulutnya dan ambil paksa, semudah itu bukan?
Ahh ... kenapa sih malah dia jadi ngeres macam ini? Gila apa dia mau melakukan tidak pemerkosaan pada personal asistennya itu? Dia bisa kok booking gadis booking out untuk melayaninya. Tapi ... kenapa tubuh polos Sisca tadi begitu menarik perhatiannya? Kulitnya putih bersih dengan badan proposional, dan itu benar-benar menantang gairah kelelakian Arnold.
"D*mn!" umpat Arnold sambil memijat kepalanya, ia jadi sakit kepala macam ini kan?
Ada setitik perasaan aneh yang menjalar di dalam hati Arnold, tiba-tiba dia ingin gadis itu! Sangat ingin!
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b