Share

MCB // Chapter 07 Figura Extranjera

.

.

.

.

So Enjoy Reading.

Aira menikmati waktu senggangnya dengan duduk di taman. Wanita itu menghirup udara rakus, rasanya sangat menenangkan .

Udara di Taiwan tampak hangat karna di sana sudah memasuki musim semi. Ini pertama kalinya bagi Aira merasakan musim semi di Negara ini.

Bunga-bunga bermekaran begitu cantik menghiasi taman.

Wanitu itu sesekali tersenyum sambil membalas pesan di ponsel.

Pesan yang berasal dari Grace dan Lucaz . Walapun sejak pertemuan pertama mereka belum bertemu kembali karna kesibukan Aira, tapi hubungan mereka menjadi lebih dekat. Terutama Lucaz, lelaki itu cukup intens mengirim pesan, sehingga Aira menjadi sedikit terbuka dengannya.

Aira tersenyum kecil mengingat pertama kali datang di mansion ini. Dia sangat membenci pekerjaannya. Meski saat ini tak sepenuhnya  menerima, tapi setidaknya pekerjaannya tak terlalu menjadi beban. Alex sedikit berbeda dari pertama bertemu. Ya,  lelaki itu sudah tak begitu bertingkah seperti dulu.  Mungkin karna setiap hari berinteraksi jadi dia sudah terbiasa akan keberadaannya.

Aira masih mengingat jelas terakhir kali Alex marah, berapa minggu yang lalu, tepatnya ketika dirinya pulang terlambat bersama Lina. Alex lebih mengerikan dari sebelum-sebelumya.  Aira sampai bergidik ngeri ketika ingatan itu kembali,  ia berharap hari itu adalah terakhir kalinya mendapat kamarahan dari Boss gilanya.

Flashback

Setelah berlari dari gerbang sampai pintu besar mansion dua gadis itu langsung di hadang oleh Joana di depan pintu. Tatapan berbeda diberikan wanita paruh baya itu pada Aira. Wajah datar dan sorot mata tak bersahabat. Sama sekali tak menunjukkan keramahan yang biasa Joana berikan.

" Joana maafkan kami, kami terlambat." Aira memberanikan diri berbicara, meski jantungnya bergemuruh hebat dan merasa ketakutan, tapi ia tetap harus menyuarakan maaf. Aira tahu bahwa ia sudah bersalah dan berharap Joana mau memaafkan

" Kalian sadar ini jam berapa? jangan kalian fikir aku sudah melonggarkan kewaspadaanku, kalian sudah bisa berbuat sesuka hati," ucap Joana dingin.

Aira meneguk ludahnya kasar,  tak menyangka keterlambatannya akan membuatnya dalam masalah besar. Sedangkan Lina berdiri di belakang Aira dengan wajah pucat, ia belum pernah melihat kemarahan Joana menjadi takut dan tak berani berkata-kata.

" Maafkan aku Joana, ini salahku," saut Aira penuh sesal.

" Aku menganggapmu wanita yang memiliki sikap dewasa Aira, tapi apa? di hari pertamamu keluar, kamu sudah berani bertingkah." Joana menghembuskan nafas pelan, untuk mengontrol emosinya.

"Naiklah Aira! temui tuan, dia sedang mengamuk sekarang. Tenangkan dia,  itu adalah tugasmu." perintah Joana penuh penekanan.

Tubuh Aira mendadak bergetar,  mendengar Alex mengamuk rasa takut melingkupi.

'Apa ini? kenapa aku seperti mendapat vonis kematian? tenangkan dirimu Aira , kau pasti bisa mengatasinya.' gumam Aira dalam hati. Menghembuskan nafasnya beberapa kali.

Rasa iba di perlihatkan Lina pada Aira. Jika ia di posisi Aira mungkin ia sudah lari ketakutan. Lina tahu betul bagaimana jika Bossnya itu marah,  semua benda tak luput dari amukan.

Lina menepuk lengan Aira, mencoba memberi semangat melalui tatapan matanya.

Langkah kaki Aira dibuat sepelan mungkin, membuka pintu kamar Alex  perlahan. Ruang gelap itu terlihat mencekam dan menakutkan. Aira seperti memasuki rumah berhantu, tapi menurutnya, lebih baik bertemu hantu daripada berhadap-hadapan dengan orang gila yang mengamuk.

Tempat itu sangat kacau, Semua barang berserekan di mana-mana. Aira menghentikan langkah saat kakinya menginjak sesuatu, ia membekap mulutnya menggunakan kedua tangan yang gemetar.

Mendengar pintu terbuka dan suara benda terinjak Alex membalikkan kursi roda menyorot tajam. Jika mata itu bisa menusuk, mungkin Aira sudah berdarah-darah. Giginya saling bergemlutuk menahan amarah.

Dengan secepat kilat, benda yang dipegang Alex melayang dan mengenai kepala Aira.  Tidak ada jeritan atau ringisan kesakitan, walau benda keras itu sudah membuat dahinya terluka dan berdarah.

Hanya cairan bening jatuh dari sudut mata dan seluruh tubuhnya menggigil menandakan jika wanita itu dilanda ketakutan yang begitu hebat.

Bola mata Alex sedikit membesar melihat darah meleleh di pelipis menyusuri pipi mulus Aira. Ada perasaan sesal menggelayuti,  apalagi cairan bening yang mengintip di sudut mata gadis itu membuat dadanya berdenyut ,sakit.

Sebenarnya Ia tak ingin menyakiti Aira, tapi perasaan marah telah menguasai sehingga lepas kontrol. Alex membawa kursi rodanya mendekati Aira, untuk melihat keadaan wanitanya lebih jelas lagi.

Tapi justru tindakan Alex semakin menyulut rasa takut Aira kian membesar. Aira reflek memundurkan tubuhnya ia takut Alex menyakitinya lebih dari itu.

Alex menggeram rendah, merasa tak teima karna Aira menghidarinya.

"Jangan coba-coba beranjak dari tempat ini Ara..!" suara serak nan berat milik Alex menggelegar di ruangan. Iris hitam itu semakin menyatu dengan gelapnya ruangan menguarkan aura yang menakutkan dan menyesakkan.

Aira berjengkit kaget, lututnya serasa lemas tak bertenaga bahkan untuk menghirup udarapun sangat sulit. Suara Alex bagai melodi kematian, kelebatan bayang mengerikan mengitari kepala Aira membentuk simpul kengerian.

Dan suara itu bak mantra untuk Aira hingga tubuhnya kini menjadi kaku bagai bongkahan es.  Tidak dapat bergerak dan beranjak.

"Kau takut padaku,  hemm...?"

suaranya melembut tapi tersirat nada ancaman. Tubuh Aira meremang, bulir air mata semakin deras berjatuhan membasahi pipi.

Alex menarik Aira agar duduk di pangkuannya. Memandang Aira dengan tatapan lembut, mengusap air mata itu menggunakan ibu jari.

"Jangan menangis! itu menyakitiku." ucapnya selembut kapas. Gerakan ibu jarinya begitu pelan penuh ke hati-hatian seolah Aira benda beharga yang sangat rapuh.

Aira memejamkan mata merasakan kelembutan yang di hantarkan Alex malui reseptor kulitnya. Alex mencium kedua mata Aira, lalu bibir  cukup lama tak ada lumatan atau gairah. Ciuman kasih sayang dan sarat akan permohonan maaf.

Aira membuka mata. Manik keduanya bertemu iris gelap itu terlihat teduh dan melembut jauh dari kesan menakutkan.

Alex merengkuh pinggang Aira erat. menenggelamkan kepalanya di dada Aira dan memejamkan mata menghirup aroma gadis itu untuk menenangkan hati dan kegundahannya. Aira hanya diam  fikirannya masih berkecamuk.

Kini mereka berada diatas ranjang  king size milik Alex dengan Aira  tertidur pulas dalam rengkuhan.

Setelah memeluk Aira yang kelelahan sehabis menagis, wanita itu tertidur pulas di pangkuannya.

Alex memperhatikan setiap jengkal wajah Aira, menyentuh kening  terlukanya. Masih ada sisa darah yang sudah mengering. Pandangan matanya berubah sayu.

"Maaf...."

Hanya kata itu yang ingin ia ucapkan.

Tapi egonya terlalu tinggi membuatnya sulit mengungkapkan.

Diciumnya luka itu lembut, lalu pindah kekedua mata Aira, hidung yang terakhir bibir lembutnya, di kecupnya bibir itu singkat.

"Bermimpilah yang indah, baby."

Lewat tengah malam Alex menghubungi seseorang. Beberapa menit kemudian muncullah seorang wanita,  berwajah datar tanpa ekspresi. Ia memberikan kotak obat kepada sang boss.

"Bereskan semua kekacaun yang ada disini! bekerjalah sepelan mungkin, aku tidak mau wanitaku terbangun." ucap Alex menatap si wanita pelayan lekat.  Pelayan itu hanya membungkuk tanda menerima perintah.

Alex membuka kotak obat, mengambil anti septik. Membersihkan luka Aira perlahan. Walau tidak terbangun, saat obatnya menempel pada luka dia akan mengeryit dalam tidunya.

Alex meniup luka itu lembut, memberinya plester dan mengecup pelan luka Aira yang sudah tertempel plester. Setelah mengemasi kotak obat ia ikut berbaring di sebelah Aira sambil memeluknya posesif, sama sekali tak terganggu dengan keadaan sekitar.

Flashback off

Setelah kejadian malam itu, semua berjalan seperti sedia kala. Joana kembali seperti biasa sosok keibuan dan ramah. Alex pun kembali seperti dulu selalu diam seperti orang kehilangan jiwa. suara yang ia dengar adalah pertama dan terakhir kalinya.

Kadang Aira merasa dirinya hanya bermimpi, pasalnya saat terbangun semua kembali seperti sedia kala. tak ada tanda-tanda tempat itu telah dihancurkan. Yang menyakinkan Aira hanyalah luka dikening masih terasa berdenyut.

******

Malam pun telah tiba Aira yang ingin memejamkan mata terganggu dering ponsel miliknya. Melihat layar ponsel, setelah mengetahui si penelpon, Aira mendadak bersemangat.

"Hallo Greace," sapa Aira riang.

"Kau bersemangat sekali, apa sebegitu senangnya mendengar suaraku?" Greace tertawa pelan.

Aira ikut tertawa mendengar candaan Greace. "Bagaimana kabarmu?"

"baik, kau sendiri?, bagaimana pekerjaanmu?"

Setelah mendengar pertayaan Greace, Aira mulai mencertikan semuanya

pada Greace. Aira juga mengeluhkan banyak hal pada sahabatnya itu.

"Aira, apa mungkiin bossmu menyukaimu?"  tawa keras meluncur dari Aira. Perkataan Greace terdengar sangat konyol.

"Hei... Aku bicara serius!"

" Aku juga serius, itu tidak mukin. Bossku gila, orang gila akan bertingkah aneh bukan?"

"Terserahlah, begini saja kau pergi saja dari situ aku akan membantumu bekerja ditempatku. bagaimana?"

"Itu tidak mungkin, paspor dan visaku ditahan bagaimana aku bisa keluar, sedangkan aku sudah menandatangani kontrak tiga tahun"

"Jangan cemaskan itu, aku bisa membantumu, aku akan meminta bantuan Lucaz dia pasti dengan senang hati membantu."

"Cekz..., apa hubungannya dengan Lucaz?"

" Hei...., dia tergila-gila padamu. Dia takkan keberatan jika kau meminta bantuannya, pikirkan dulu Aira, aku tidak mau kau tertekan dengan pekerjaanmu"

"Terima kasih Greace, aku akan memikirkannya"

Mereka akhirnya memutuskan sambungan telpon. Aira mulai memejamkan mata untuk menyambut mimpi.

.

.

.

Sepanjang hari pikiran Aira berkecamuk, menjadi tidak tenang dan terus gelisah memikirkan tawaran dari Greace. Kakinya tak bisa diam berjalan mondar-mandir di taman.

'Apa aku harus menerimanya? tawaran itu sungguh menggoda, aku tidak harus berurusan dengan Alex lagi. Tapi,  bagaimaana Alex?

Aaahh...., kenapa aku memikirkan dia, setelah aku pergi dia pasti mendapat perawat baru bukan? Ya aku harus pergi.' Aira sudah menentukan pilihan.

Sayup -ayup Aira mendengar seorang bicara, ia menajamkan indra pendengarannya.

"Ya,  aku sudah melakukan yang anda perintahkan"

Itulah suara yang ditangkap indra pendengar Aira. Aira yang penasaranpun mencari sumber suara. Suara itu semakin jelas.

"Ya,  obat itu setiap hari diberikan pada Alex melalui pengasuhnya. Efeknya seperti yang anda katakan,  Alex semakin tak terkendali dan jika terjadi sesuatu padanya,  maka pengasuhnyalah yang di persalahkan."

Aira melihat punggung orang itu, dia memakai baju pelayan sama seperti dirinya. Kedua mata Aira melebar saat mendengar penjelasan wanita asing itu,  perasaanya mendadak kacau.

'Obat itu aku yang memberikannya, berati aku yang sudah membuat tuan seperti itu.'

Perasaan bersalah menelusup di dada. Meski bukan dirinya yang membuat Alex seperti itu,  tapi bukankah dia yang membawa obatnya dan memaksa Alexbmeminumnya,  secara tak langsung dia juga terlibat.

Untuk beberapa saat Aira terus bergumul dengan hatinya.

Fikiranya mengatakan semua bukanlah salahnya, tapi hati terdalamnya mengutuk dirinya sendiri.

Aira tersadar dari lamunan,  mendadak menjadi panik karna tak menemukan sosok itu lagi.  Berkeliling mencari diberbagai tempat. Netra matanya menangkap sesosok pelayan wanita berjalan terburu-buru.

Aira semakin terkejut karna mengenal pelayan itu. Dia adalah Nora, pelayan berwajah datar. Nora pelayan pendiam dan tak penah besosialita bersama yang lain.

Pelayan berdarah spanyol itu nampak mencurigakan. Apalagi beberapa kali Aira sering memergoki Nora, selalu berkeliling di mansion ini saat tengah malam. Aira mencoba mengejar Nora,  tapi ia kehilangan jejak wanitanya.

Aira menutup wajahnya menggunakan kedua tangan, sedikit frustasi dengan permasalahan yang menimpa bossnya.

Ditempat persembuyianya tampak seorang wanita menatap Aira dengan seringainya , mata tajamnya, memperhatikan Aira yang kebingung mencari keberadaanya.

Senyum puas tersungging dari bibirnya.

.

.

.

Revisi 10 juli 2021

Ig Cayraalmera.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status