Teriakan dari Gita dan kawan-kawan menyambut kedatangaku kembali di pantry. Aku memeluk para wanita dan bersalaman dengan para pria.“Mudik bukannya tambah cantik kok malah jadi item gini? Gosong.”“Maklum, Ta. Aku habis bantu jemur padi. Nanti deh habis gajian aku beli skincare sama hand body yang bikin kulit langsung putih kinclong seketika.”“Hahaha. Bisa aja kamu. Eh, bawa jajanan gak?”“Pasti dong, Sya. Bentar ya, aku taruh di meja dulu.”“Yey.”“Hore.”“Asik.”Aku pun membagi jajanan yang kubawa dari rumah dengan sama rata dan adil. Bahkan beberapa karyawan lain yang kukenal pun ikutan minta. Salah satunya Mbak Mita, seorang staff di bagian keuangan.Selesai membagi-bagikan jajanan, aku dan Ido langsung meluncur ke lantai enam. Pertama kami membersihkan setiap ruangan jajaran petinggi MJS selanjutnya bagian luar menjadi tempat terakhir yang kami bersihkan. Aku mengelap kaca sementara Ido menyapu. Sambil bekerja kami terus bercerita.“Tahu gak, Kania.”“Apa?”“Sandra sama Andi ke
Aku baru saja selesai absen. Karena tadi pekerjaan di lantai enam sedang banyak sekali makanya aku termasuk yang pulang telat. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Untung tempat kostku dekat. Segera saja mencangklong tas lalu berjalan menuju keluar gedung. Pada pak satpam kuulas senyum ramah seperti biasa. Dengan langkah lebar aku segera menuju ke kostan. Namun sebelum sampai di gang menuju kost. Aku dihadang oleh Sandra dan Deswita. Tanpa aba-aba keduanya langsung menyerangku.“Dasar pelakor.”Plak! Plak!“Aw. Sakit!”Dengan membabi-buta Deswita dan Sandra menjambak bahkan menampar pipiku. Aku tak membalas karena teringat ada jambang bayi di perut Deswita. Beruntung teriakanku didengar oleh orang yang berlalu lalang. Hingga aku diselamatkan dari amukan dua ulet keket yang lagi ngamuk.Deswita dan Sandra terus mengataiku dengan sebutan pelakor lah, tukang rebut suami orang lah. Dan tentu saja kubalas perkataan mereka.“Eh, Deswita. Kamu lihat aku umpetin Aryo apa enggak? Kalau ma
“Hai Mbak Kania.”“Eh Mbak Ara. Sehat? Gimana pekerjaannya? Butik makin laris, ‘kan?”“Alhamdulillah banyak yang komplen.”“Loh kenapa?”“Habis calon pengantin prianya pada tergoda sama kecantikanku.”“Tergoda gimana?”“Ya itu. Bukannya pada nemenin calon bini buat lihat-lihat model baju malah pada sibuk kenalan dan minta nomerku. Alamat banyak yang gatot dah nikahnya.”Mbak Ara berlagak sok cantik dengan mengibaskan rambut sebahunya. Aku hanya tertawa melihat tingkah konyol kembaranku ini. Eh, aku lupa bilang ya, kalau aku sama Mbak Ara udah jadi saudara kembar beda bapak ibu. Yang ngasih julukan kalau kami kembar gila ya siapa lagi kalau bukan si Pak Manajer.“Hahaha. Ya begitulah Mbak. Namanya juga wanita cantik.”“Ho’oh. Harus siap dengan kejulitan netijen yang merasa budiman.”“Hahaha.”Kami terus bercerita. Kebetulan aku sedang istirahat jadi makanya bisa santai ngobrol bareng Mbak Ara. Mbak Ara kuliah S1 di Perancis mengambil sekolah mode. Karena sejak kecil dia memang suka sek
Pagi ini aku sudah sibuk membantu Mbok Siti memasak di dapur. Seperti biasa, kami selalu menggunakan logat ngapak kalau ngomong. Kemarin, Tante Laras memintaku datang untuk menginap. Dia menjanjikan kalau Mbok Siti mau masak rendang. Otomatis dong, aku menerima ajakan menginap dari Tante Laras. Pokoknya kalau hubungannya dengan makan gratis, Kania gak bakalan nolak pokoknya.“Wah, udah mateng aja rendangnya. Kania beneran pinter ya. Pokoknya sip dah. Siap jadi mantu.”“Iyalah, Tante. Makanya buruan jadiin Kania mantu. Kalau keduluan orang lain, nanti Tante kecewa loh.”“Oke-oke. Coba nanti tante kodein Andro ya? Kalau Andro gak mau coba nanti tante kode-kode ke sepupu-sepupu Andro.”“Siap, Tante. Pokoknya harus ganteng loh Tan. Jangan cantik. Kalau cantik, nanti Kania kalah saing.”“Ya ampun, bisa aja kamu. Gemesin.” Tante Laras menepuk bahuku pelan. Setelah rendang matang pun dengan masakan yang lainnya, Tante Laras segera memanggil anggota yang lain. Kami pun segera mengelilingi me
“Gak pengen masuk?”“Eh.”Aku kaget mendapati posisi Pak Andro yang begitu dekat denganku. Bahkan pipi kami sedikit bersinggungan. Aku bisa merasakan jambang tipisnya yang begitu menggelitik, membuat jantungku ikut-ikutan kebat-kebit.“Beliau ayah angkat Papah.”Aku hanya mengangguk karena sudah tahu semuanya dari Mbak Ara.“Beliau lelaki yang baik. Sayang punya istri seperti Nenek Inggit.”“Kayak Mak Lampir ya, Pak?”Pak Andro mengerutkan kening lalu menatapku dengan penuh selidik.“Mbak Ara yang cerita.”“Ya begitulah, mereka adalah orang-orang gila harta dan kedudukan. Tante Inggit sudah tahu jika Kakek tak bisa mempunyai anak. Beliau bertahan hanya demi harta Kakek. Om Anton dan Tante Jihan pun sama saja.”Aku menatap Pak Andro. Sesuatu yang menjadi keingintahuanku sejak beberapa waktu lalu akhirnya kusampaikan.“Pak Andro kenapa gak mau dijodohkan sama Mbak Juwita? Kayaknya Mbak Juwita cinta banget sama Pak Andro.”Pak Andro tersenyum sinis. “Dia gak cinta sama saya, dia cuma obs
Semenjak kejadian salah parkir waktu itu, aku masih sakit hati dengan perkataan Pak Andro. Aku yang biasanya mengajak ngobrol duluan, memilih diam. Setelah tugas mengantar minuman atau membersihkan ruangannya selesai, aku langsung keluar tanpa pamit.Sudah terhitung satu minggu kami diam-diaman. Beberapa kali dia mencoba bicara padaku tapi aku memilih berkelit sehingga Pak Andro hanya menghela napas lalu kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Selama satu minggu pula, Kakek Ahsan sering mampir ke MJS untuk menemui cucunya. Siapa lagi kalau bukan Pak Andro. Otomatis akulah yang menghidangkan minuman. Celakanya, saat Kakek Ahsan datang, selalu saja pihak julid ada yang ikut. Dan Mbak Juwita sekeluarga sudah tahu pekerjaanku yang hanya sebatas OG. Kakek Ahsan mungkin tak pernah memandang hina statusku, berbeda dengan keluarganya yang lain. Mbak Juwita dan ibunya, sering sekali menyindirku di depan karyawan lain, membuat mereka berbisik-bisik penasaran.Gita dkk bahkan sampai bertanya
Dua rengkuhan mampir di kanan kiriku membuatku sedikit kaget.“Lah, kok pada tumben meluknya barengan?”“Selamat ya Sayang.”“Selamat ya Mbak.”“Selamat buat apa ya? Buat ultahnya Kania apa karena Kania naik pangkat?”“Naik pangkatlah?”“Ciyus?”“Ciyus dong.”“Emang kalau OG naik pangkat jadi apa? Kepala pantry kan biasanya cowok?”“Calon istri.” Kompak Tante Laras dan Mbak Ara. Dan pernyataan mereka membuatku melongo.Hop. “Tutup Mbak ntar ngeces.” Mbak Ara sengaja menekan daguku.“Ish, dengar ya Mbak. Kania walau suka ngeces gini banyak yang demen loh.” Seperti biasa aku mengibaskan rambut panjangku.“Ya iyalah, buktinya mamasku yang so cool-nya macem papan datar bisa tertawan. Sampai kayak orang gila saking frustasinya gak bisa baikan sama OG idaman. Untung Ara itu adek yang perhatian. Hahaha.”“Hah? Maksudnya?”“Udah ah, yuk masuk.”Mbak Ara dan Tante Laras langsung menggamit lengan kanan-kiriku. Mereka membawaku berjalan bersama menuju lift. Aksi kami tentu saja diketahui oleh be
Hampir dua bulan aku menjadi pacar Pak Manajer dan tetap menjadi OG di MJS. Tugas OG pun selalu kulakukan dengan baik. Bisik-bisik gunjingan maupun tatapan sinis padaku perlahan menghilang seiring berjalannya waktu. Mungkin para jomblowati akhirnya lelah. Mau nyinyirin, gosipin bahkan menjadi sosok Lampir yang suka perintah-perintah sambil ngegas kayak Mbak Wina gak bisa merubah realita kalau mereka tetap gak bisa bikin aku sama Mas Pacar putus. Yang ada mereka capek sendiri.Godain Papan Datar yang lempeng-peng gak ada guratan malah seringnya dapat bentakan sampai hukuman lama-lama bikin para calon penikung capek kayaknya. Ditambah lagi ngadepin aku si OG sedikit kurang waras yang dikira mudah ditindas malah bikin mereka jadi darah tinggi. Karena aku selalu menghadapi kejulitan netijen dengan senyum maut, tingkah absurd plus kibas rambut yang sekarang jarang kucel apalagi ketombean. Maklum kan udah punya Mas Pacar ganteng, jadi harus jaga diri sama penampilan dong ya.Ah, jangan lupa