Embusan napas letih itu terdengar bersamaan, tetapi bersumber dari arah yang berbeda. Alhasil, ketika dua orang itu akhirnya menegakkan posisi badan yang lelah untuk saling berhadapan, masing-masing sepasang bola mata mereka sontak membulat. Tidak lama, sebab Feryan langsung memasang sorot sinis, sementara Saga memperlihatkan tatapan seperti biasa.
Lanjut berjalan beberapa langkah membuat keduanya menjadi saling bersinggungan. Tubuh lebih pendek bergeser ke kiri, lalu tanpa diduga sosok yang lebih tinggi justru mengikuti. Bergeser lagi ke kanan, pola yang serupa kembali terjadi. Kanan, kiri, kanan, kiri, mereka nyaris saling bertubrukan tiada henti.
Feryan mendongak sambil mendelik kesal. "Elo bisa berhenti ngikutin gue, nggak? Gue mau lewat!"
Protes itu ditanggapi putaran bola mata oleh Saga. "Siapa juga yang lagi ngikutin elo. Damn! Okay, fine. Silakan elo lewat," ujarnya yang mau tak mau mengalah, menggeser tubuhnya yang lebih besar dan tinggi ke samping.
Membiarkan omega itu melewati jalur setapak di area khusus parkiran sepeda ini. Namun, laju dua pasang kaki itu terhenti tatkala membaui aroma feromon seperti hari kemarin.
DEG!
Saga dan Feryan beradu pandang dalam keterkejutan hingga debaran kencang dan sensasi panas menjalar sedikit demi sedikit ke seluruh tubuh, membangkitkan lagi hasrat mereka yang tertahan.
Sang alpha refleks menutup lubang hidungnya sekuat mungkin seraya mundur menjauh. "What--why you ... stay away from me!"
Beberapa alpha di sekitar lokasi itu pun bereaksi dikarenakan feromon yang Feryan kuarkan.
Jelas saja omega ini panik. Lututnya mendadak melemas lantaran shock dan membuatnya perlahan bersandar ke pagar besi. "Anjir. Seharusnya gue yang bilang begitu, ya!" Sebelum indikasi heat-nya berangsur parah, dia buru-buru mengeluarkan kotak obat penangkal heat lantas menelan beberapa butir pilnya. "Huh! Kenapa sih setiap mulai deket-deket sama lo, heat gue mendadak datang terus? Padahal hari ini gue nggak kelupaan minum obat! Dasar sialan! Boros nih obat gue gara-gara elo!" cercanya begitu sudah merasa lebih tenang. Memperhatikan sekeliling, memastikan para alpha tak lagi mencari-cari feromon yang tadi disebarkan oleh dirinya.
Jakun Saga naik turun ketika tengah menelan saliva secara susah payah, kemudian menarik-embuskan napas berulang kali coba turut menenangkan diri. "Do you never learn about this? Atau elo malah lupa? Pernah dijelaskan bahwa kalo elo mendadak heat setiap bertemu dengan orang tertentu, itu artinya, dia adalah pasangan yang ditakdirkan untuk elo."
"Apa ini saatnya gue ngebacot bahasa Inggris macem elo sambil bilang 'bullshit'?"
Komentar itu nyaris membuat Saga kehilangan kata-kata. "Well, yeah. That sounds like bullshit indeed. But, let's just forget about that for now. Are you feeling okay now? Can you walk?" tanyanya sambil menghampiri Feryan yang tengah berusaha berdiri tegak di posisinya.
Uluran tangan Saga yang berniat membantunya berdiri ditepis secara kasar. "Udah, gak usah pegang-pegang. Nanti heat gue datang lagi, bikin repot lagi. Siapa yang tau apa yang bakal alpha macam lo lakuin ke gue kalo itu beneran terjadi!" keluh Feryan sembari memasukkan pil kembali ke kantung bagian depan jaket semi parkanya.
Saga menggeleng masygul. "Hanya karena gue alpha, gak berarti gue akan nyerang lo gitu aja."
Kibasan tangan Feryan berikan sebagai respons. "Ya, ya, ya. Udah, lah. Gue mau pergi. Lo gak usah ganggu gue lagi!" sergahnya yang lantas melangkah pergi meninggalkan sosok alpha itu terpaku tanpa mampu membalas perkataannya lagi.
Kedua tangan pemuda itu mengepal. Dia mengumpat pelan sebelum memutuskan mengejar Feryan. "H-hey, wait! Feryan!" Pergelangan tangan itu dipegang dan langsung mendapatkan penolakan.
Omega berambut lurus sebahu ini melipat kedua tangan di depan dada dengan gaya angkuh. "Siapa yang ngasih lo izin buat manggil nama gue seenak lidah lo?"
Saga tak menghiraukan pertanyaan berupa protes itu. Dia menampakkan raut kikuk sebelum ragu-ragu berkata, "Can I have your, emm, your phone number?"
Ini alpha ngebet amat pengin punya nomor HP gue. Batin Feryan mengomentari. "Berani berapa?" responsnya dengan masih berlagak ketus.
Yang ditanyai terang saja tak memahami maksud dari pertanyaan balasan itu. "Pardon. What do you mean?"
Feryan mendecak tak sabar lantaran ingin buru-buru pergi dari hadapan alpha ini. "Elo berani bayar berapa ke gue buat nomor HP ini?"
Saga langsung mengangguk-anggukkan kepala sesudah mendengar penjelasan tadi. "Berapa yang elo pengin?"
Ditantang balik tanpa ragu begitu malah membikin Feryan bingung sendiri. Secara asal, dia menyebutkan nominal, "Tiga ratus?"
"Oke." Saga mengambil dompet dari kantung bagian celana belakangnya, setelah itu menarik tiga lembar mata uang berwarna merah muda dari sana. "Nih, tiga ratus. Kalo menurut lo masih kurang, tinggal bilang aja."
Feryan melotot melihat uang yang disodorkan tepat di depan matanya kini. "Gue cuma becanda, kali," balasnya disertai dengkusan, akan tetapi uang itu tetap saja diterimanya. "Yah, meski ini lumayan sih buat ganti biaya pembelian obat penangkal heat gue yang jadi lebih banyak kepake gara-gara lo. Oke! Uangnya gue ambil, ya," terusnya yang lalu memasukkan uang itu ke kantung jeans.
Tahu-tahu Saga mencubit pipi Feryan dengan ekspresi gregetan. "Nah, sekarang nomor elonya mana, omega bego?"
Terang saja omega itu mengaduh kesakitan. "A-aw! Lepasin, anjrit! Sabar dikit, kek!" Dia mengelus-elus letak bekas cubitan Saga sambil mendelik sebelum mengeluarkan ponsel dari kantung kecil di tasnya. "Gue gak hapal nomor gue sen--"
"Siniin HP lo!" Secara tak sabar Saga merebut ponsel dari tangan Feryan.
Feryan mendengkus. "Sembarangan aja lo main rebut HP orang. Kalo sampe itu rusak gimana, hah?" protesnya dongkol sembari menendang betis kanan Saga sebal.
Dibalas putaran bola mata oleh sang alpha yang tengah menekan-nekan nomor ponselnya sendiri di layar. "Halah! HP jadul begini aja sok disayang-sayang. Kalo elo mau, gue bisa banting HP ini sekarang supaya sekalian gue kasih ganti yang baru."
Tanggapan itu membuat Feryan kian meradang. "Dasar orang kaya sombong!" Andaikan tajamnya tatapan bisa membunuh, saat ini nyawa alpha muda itu pasti telah tiada.
Begitu nada dering dari ponsel miliknya berbunyi, Saga menekan tombol merah di layar untuk kemudian menyerahkan ponsel di tangan ke pemilik aslinya. "Nih, HP lo. Jangan lupa elo simpan tuh nomor kontak gue," ujarnya mengingatkan.
Feryan mengambil kembali ponselnya dengan gerakan berlebihan seolah-olah akan ada yang mencurinya. Untuk ke sekian kali, dia mendengkus. "Enaknya malah langsung gue blokir aja nomor lo ini."
Saga mendelik gemas, menahan kesal. "Kalo gitu balikin sekalian uang gue sini."
"Enak aja!" Feryan buru-buru menjaga jarak demi mengamankan uang yang tadi didapatkannya. "Nomor HP gue udah lo dapetin, masa uang ini mau diambil lagi. Bangsat lo!"
Saga mendesah lelah. "Okay, whatever. I just gonna go now."
Secara sengaja Feryan melakukan gerakan mengusir. "Pergi aja sana! Gue juga udah bosen ngeliat muka lo yang ngeselin itu."
Senyum geli di bibir sang alpha terukir. "HP lo jelek sih, ya. Jadi gue maklum kalo kamera depan atau kaca HP lo buram buat dipake ngaca."
"Apa lo bilang?" Feryan mendelik berang dengan kedua mata yang juga menunjukkan sorot heran.
Membuat Saga tertawa menangkap ekspresi di wajah itu. "Hahaha! You're actually really cute, indeed. Well, see you again later, Ryan," pamitnya lalu berjalan pergi.
Gantian meninggalkan Feryan yang kini berdiri sendirian sambil tercenung memikirkan nama panggilan yang barusan Saga lontarkan terhadapnya. Ketika rona merah di wajahnya muncul tanpa diharapkan, kedua belah pipinya pun dipegangi sekuat tenaga sampai membuat bibirnya agak maju.
"Dia tadi ... manggil gue pake sebutan apaan coba?" ucapnya merasa jengah sendiri sebelum menutupi muka dengan kedua tangan. "GAAAAAH! NORAK BANGET, SETAN! Masa gue dapat nama panggilan gitu aja udah salting! Norak, norak, norak!" Feryan mengutuki diri sendiri sambil agak berjingkrakkan, membuat beberapa orang sontak melirik kebingungan.
Salah satu dari orang-orang yang memperhatikan momen konyol itu adalah Setya. Yang saat ini tampak memasang tampang yang seakan-akan berkata, 'Gue gak kenal dia siapa. Dia bukan temen gue!'
Kepala Setya menggeleng-geleng samar antara tak habis pikir sekaligus merasa geli sendiri. Beta ini kemudian membalikkan badan, dan langsung saja mengaduh samar sewaktu wajahnya justru bertubrukan dengan dada bidang seseorang. Ada parfum beraroma mahal yang tercium dari setelan yang terlihat di depannya. Mendongakkan kepala untuk menatap siapa sosok menjulang yang menghalanginya, dan Setya pun kontan menaikkan sebelah alis menyadari Ervano Johannes lah yang ternyata berdiri di hadapannya.
"Can I also have your number?" tanya Ervano tanpa basa-basi.
Tentunya permintaan itu tak serta-merta dipenuhi sang beta. Malah sekarang wujud alpha berperawakan tinggi bak model International itu ditatap secara intens sampai membuat Ervano merasa gelisah. Takut-takut kalau ada kotoran burung yang jatuh ke kepala atau bahkan ke mukanya tanpa dia sadari.
"Emm, apa ada sesuatu yang aneh di wajah gue?"
Setya menggelengkan kepala. "Nggak ada, sih. Gue cuma heran karena bisa-bisanya alpha kayak elo minta nomor HP seorang BETA, yang mana itu gue, andai elo belum tau, ya," ungkapnya seraya dengan sengaja menekankan penyebutan di bagian beta.
Kedua alis tebal Ervano nyaris terangkat. "Gue tau kok elo seorang beta."
Kali ini Setya yang gantian mengangkat kedua alisnya. "Why me?"
Pertanyaan itu dijawab cepat, "You're cute, small, and cool. I also like your style." Ervano memandangi gaya berpakaian Setya; memakai celana jeans abu-abu--yang jelas bukan merupakan ukurannya karena tampak agak kepanjangan, dengan setelan atas kaus berwarna cream dirangkap cardigan cokelat yang juga terlihat kebesaran di badan pendeknya.
"You're weird," komentar Setya sambil menyipitkan mata.
Ervano nyengir. "Yeah. Saga and Dyas say that a lot to me too. So, your number?"
Setya menghela napas panjang. "Sembilan delapan tujuh lima empat tiga dua tiga dua," sebutnya dengan nada yang cepat bak tengah melakukan rap. "Untuk tiga angka pertamanya, silakan elo tebak sendiri aja, Mr. Ervano. Goodbye."
Setya melambaikan tangan. Mengabaikan ekspresi ternganga di paras sang alpha tampan yang berusaha menangkap satu per satu angka yang dilontarkannya tadi ke dalam ingatan.
Ketika akhirnya tersadar, senyum di bibir Ervano mengembang lebar. "Woaaah. He's really cool. I like him even more now," ungkapnya kepalang senang.
Di belakang Ervano, Dyas yang sejak tadi menonton dalam diam hanya mampu memijat pelipisnya. "Good. Gue sekarang terjebak di antara dua orang alpha yang sedang dimabuk cinta," keluhnya disertai putaran bola mata.
___
Layar ponsel dipandangi penuh sorot malas. Pesan yang terpampang di sana berniat diabaikan ketika nada dering pertanda chat baru yang masuk terdengar untuk ke sekian kali. Masih, Feryan tak ambil peduli. Lebih memilih lanjut menonton drama yang saat ini tengah tayang di layar kaca televisinya.
"Fery, itu dari tadi HP kamu bunyi terus. Nggak dicek isinya?" tegur sang ibu yang kini tengah menyetrika pakaian tepat di sisi televisi.
Feryan mengangkat bahu tak acuh sambil lanjut memakan camilan. "Nggak apa-apa, Bu. Gak penting juga lagian."
Nada dering lain menyusul terdengar. Pertanda SMS yang masuk ke kotak pesan utama. Kali ini mau tak mau Feryan mengangkat ponsel untuk mengecek, lantas tersedak seketika saat membaca pemberitahuan tentang pengisian pulsa sekaligus data internet yang masuk ke nomornya dengan nominal yang setara total uang jajannya selama satu Minggu.
"Pelan-pelan makannya, Nak. Cepetan minum," tegur Ibu sekali lagi.
Feryan meminum air bersamaan dengan adanya nada dering chat masuk yang baru. Masih dari nomor yang sama yang akhirnya terpaksa dia baca, karena satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas laporan SMS tadi pastilah sosok pengirim chat ini.
Saga (yang kontaknya belum disimpan Feryan):
Ini nomor gue.
Udah elo simpan 'kan?
Are you still alive?
Can you reply my message?
At least say yes.
Hei, Ryan.
It's me, Saga.
Make sure you save my number with a cool nickname. Like, Alpha Ganteng.
So, you'll gonna keep ignore me, huh.
Fine.
Pulsa sama kuota lo udah gue isi, so elo gak ada alasan lagi buat gak ngebalas pesan gue. 😎😎😎
Feryan:
Gue gak akan bilang makasih karena gue gak ngerasa minta elo isiin pulsa sama kuota gue, ya!
Feryan mendengkus setelah balasan chat-nya terkirim.
Saga:
Wow. Finally.
A reply.
I'm glad.
It means you're still alive lol
Kali ini sang omega mengetik sambil memelototi HP seakan-akan berniat mengirimkan serta pelototan online.
Feryan:
Setan lo!
Saga:
Gak apa. Meskipun jadi setan gue akan tetap kelihatan ganteng
Seseorang nyaris muntah membaca pesan itu.
Feryan:
┐( ˘_˘)┌ NAJIS!
Saga:
Jangan lupa elo simpen nomor gue. Jadi, kalo elo butuh apa-apa lo bisa langsung ngehubungin gue kapan pun.
Feryan:
Sok penting lo. Gue gak butuh
Saga:
Kita lihat aja nanti
Btw, gue mau denger suara lo
Feryan:
Lo berani telepon, gue blokir nomor lo ini ya.
Saga:
Oke. Next time aja kalo gitu
Balasan itu Feryan terima disusul dengan datangnya pesan suara yang masuk dua detik kemudian. Sambil mengernyit, dia menekan tombol putar.
"Good night, Ryan."
Hanya tiga kata. Namun, tiga kata yang diucapkan oleh Saga melalui pesan suara itu sukses menjalarkan panas di seluruh paras Feryan yang sontak merona. Menyusul debaran kencang di jantung yang membuatnya tak tenang di posisi duduknya. Ponsel diletakkan, lalu ganti mengambil bantal yang digunakan untuk menutup mulut demi meredam jeritannya sendiri.
"ARRRGHHH!!! NORAK, NORAK, NORAK! BULE KAMPRET!"
Sang Ibu yang memperhatikan semua reaksi itu sekadar terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepala. Pikirnya, selama sang putra bahagia, itu lebih dari cukup baginya.
Sementara di dalam kamarnya, Saga masih tak mampu mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Mengharapkan balasan ke sekian, yang sepertinya mustahil datang karena sudah berlalu lebih dari satu menit sejak pesan suaranya diterima.
Alpha ini mengembuskan napas pasrah. Baru hendak menyimpan ponsel ke nakas ketika getaran tanda chat baru yang masuk membuatnya urung beranjak dari kasur. Buru-buru membukanya, dan tak ayal tersenyum semringah mendapati pesan suara yang dikirimkan Feryan padanya sebagai balasan. Tombol putar disentuh, memperdengarkan sebuah suara ketus khas yang melontarkan dua kata untuknya.
"Norak lo!"
Hasilnya, Saga jadi gemas sendiri. Dia berbaring ke kasur dengan senyuman yang belum kunjung luntur sambil terus memutar pesan suara itu lagi dan lagi. Hingga dia puas.
"Gue rela jadi norak asalkan itu bisa bikin gue dapat perhatian lo, Ryan," bisiknya dengan mata memejam. Membayangkan, kira-kira ekspresi apa yang sedang Feryan tunjukkan di wajahnya kini.
Tanpa Saga ketahui, saat ini Feryan tengah ambruk di lantai kamarnya. Napasnya terengah-engah, keringat membanjiri seluruh badannya yang dilanda panas mendadak, berangsur mengundang pusing di kepala sampai membuat pandangannya mulai mengabur.
Tubuh bagian bawahnya basah, bibirnya gemetaran sewaktu berusaha mempertahankan kesadaran untuk memanggil bantuan. "Ibu! Ibu! Tolong Fery, Bu!"
Masa heat omega laki-laki ini datang lebih cepat dari perkiraan.
Feryan Feriandi menatap tak berkedip langit malam di luaran sana. Mengintip waktu pada jam dinding, lalu mendecak tidak sabar sambil mengusap-usap perut buncitnya ke atas hingga ke bawah. "Iya. Kembang apinya lama banget, nih. Padahal kita nggak sabar mau ngeliat, ya," ujar pemuda omega itu pada sang buah hati yang masih berada dalam kandungan dan merespons melalui tendangan. "Iya, Sayang. Sabar. Tunggu beberapa menit lagi. Kembang apinya nanti muncul, kok," sambungnya seraya meringis sebab turut merasakan sensasi mulas untuk ke sekian kalinya di sepanjang hari ini. Apakah mungkin karena tendangan jabang bayinya semakin kuat? Ataukah karena dia yang terlalu lama duduk di kursi ini? Atau ada faktor lain? Pintu kamar lalu membuka dan menampakkan sosok Saga yang baru pulang dari tempat kerjanya. Membuat Feryan menoleh, lantas menyambutnya dengan senyum semringah. "Tuh, lihat! Gupa pulang!" serunya senang sambil perlahan-lahan turun dari kursi. "Hati-hati, Sayang!" ujar sang alpha ser
Untuk ke sekian kali, Feryan menarik napas panjang demi menenangkan debaran di jantungnya. Omega ini gelisah sembari terus-menerus membetulkan veil yang terpasang di bagian belakang kepala, pada bulatan rambut atas yang diikat sementara setengah rambut bawahnya dibiarkan tergerai. Sudah saja merasakan basah di seluruh telapak tangan yang tengah memegangi buket bunga senada warna tuxedo, celana licin serta sepatu yang dikenakan: putih.Mata bulat pemuda itu mengerling gamang ke arah kerumunan tamu yang duduk pada setiap kursi di sekitar altar selagi menyimak sambutan dari Pendeta yang bantu memberkati prosesi hari istimewanya. Menggigit bibir yang dipoles lipgloss berwarna bening, terus meringis dan mendesah berulang-ulang. Sungguh kalut tidak keruan sekalipun telah meyakinkan diri bahwa dia siap menyambut hari yang amat dinantikan ini; hari pernikahannya dan Saga."Gugup?"Kemunculan Ardian Triangga Santoso selaku sang ayah sedikit membuat Feryan mampu mengembuskan napas lega. "Iyalah
Selembar undangan bertuliskan; Wedding invitation of Juanda Saga. F (A) with Feryan Feriandi. S (Ω), 3rb May disodorkan oleh calon mempelai alpha. "Ini, Dok. Undangan dari kami.""Wow." Yang diterima oleh Dokter Lanang Mahesa Aguntara dengan tangan terbuka. "Akhirnya, datang juga undangan pernikahan ini." Matanya mengerling usil pada sesosok omega yang menggandeng erat lengan Saga seolah tak mau lepas. "Padahal kurang lebih tiga bulan lalu, saya masih ingat ada seseorang yang menyangkal tentang dia dan Saga berpacaran, tapi lihat sekarang," selorohnya sengaja menggoda."Dokter!" Feryan mendesis risih dibarengi pelototan.Alhasil Saga dan Lanang kompak menertawakan."Selamat ya, Feryan, Saga," ucap dokter berusia 27 tahun ini, lalu melirik ke perut Feryan. "Dari yang saya dengar, katanya kamu juga sedang hamil."Anggukkan Feryan tunjukan sebagai jawaban. "Iya. Udah jalan dua bulan lebih, Dok." Tangannya dan Saga refleks memegangi perutnya dengan kompak.Lanang turut senang melihatnya d
Sepasang alpha dan omega ini memandang secara saksama pada USG monitor yang menampakkan gambaran janin mungil yang bergerak sedikit demi sedikit. Untuk pertama kali, bersama-sama menyaksikan langsung perkembangan bayi mereka dari layar berwarna abu-abu. Disusul mendengarkan detak jantung di dalam perut yang serta-merta menciptakan perasaan gelisah bercampur bungah.Feryan Feriandi tersenyum penuh haru sambil kian mengeratkan pegangan tangannya di genggaman Juanda Saga Fransiskus yang setia mendampingi tatkala detak jantung sang anak terdengar semakin jelas.Usai menjalani seluruh pemeriksaan, Saga bertanya dengan tidak sabar. "Bagaimana kondisinya, Dok? Dia sehat, 'kan? Bayi kami juga sehat, 'kan?"Dokter kandungan bernama Eirina ini mengangguk laun. "Luka di perut Tuan Muda Feryan sudah berangsur membaik. Tidak ada masalah. Begitu juga dengan janin di perutnya. Anda tidak perlu khawatir, Tuan Muda Saga," jelasnya disertai senyum hangat yang kontan membuat Saga bernapas lega."Berapa
"Ayah ngajak Ibu rujuk?" Mengetahui kabar yang dikatakan oleh Sang Ibu, terang saja Feryan tampak bahagia hingga menghentikan makannya sebentar untuk memastikan lebih jauh. "Terus? Ibu terima?" Ketika kepala wanita omega yang melahirkannya 18 tahun lalu itu mengangguk, senyum semringah Feryan kian mengembang. "Selamat ya, Bu!" ujarnya sambil memegangi tangan sang ibu erat. "Fery turut senang."Desyana mengangguk dengan embus napas lega. "Iya, Nak. Makasih, ya."Saga yang juga tengah menyimak percakapan mereka, turut tersenyum dan memberi selamat, "Saga juga ikut senang mendengarnya, Tante. Selamat, ya.""Terima kasih juga, Nak Saga." Desyana mengusap pundak calon menantunya lembut.Feryan melanjutkan sesi makannya lalu kembali bertanya, "Jadi, nanti Ibu bakalan tinggal sama Ayah, dong?""Iya." Lagi, Desyana mengangguk. "Tapi nanti, setelah kamu dan Saga menikah."Pemuda omega yang tengah mengandung ini manggut-manggut. "Fery pikir ayah udah gak cinta lagi sama Ibu."Komentar itu membu
Juanda Saga Fransiskus menutup ruang rawat lalu kembali melangkah mendekati ranjang yang Feryan tempati. Sepi. Setelah masing-masing orang tua mereka memutuskan untuk pulang dulu ke rumah, berpikir bahwa kini mereka memiliki kesempatan untuk berbicara empat mata. "Akhirnya, kita bisa berduaan. Haaaah." Alpha muda ini membuang napas panjang seraya duduk ke tepian ranjang. Feryan tersenyum. Tangannya bergerak pelan untuk bantu merapikan tatanan rambut Saga yang terlihat acak-acakan. "Elo pasti capek banget. Mendingan elo tidur aja, Saga." Gelengan kepala ditunjukkan. Tangan Feryan yang menyentuh rambutnya lantas dipegang. "Gue nggak ngantuk sama sekali, kok. Tugas gue di sini adalah untuk menjaga lo. Dan anak kita," bisiknya, tidak lupa menjatuhkan tangan pada bagian bawah perut sang omega di mana letak janinnya berada.