Masih memperhatikan gerak-gerik pelayan cantik itu, Deondra mencoba berdamai dengan hatinya yang bergemuruh. Dia tak boleh terlihat cemburu, pasalnya dia memang belum tentu cemburu. Dia hanya merasa kesal dan itu entah apa penyebabnya.
Deondra berdecih saat Alrix berjalan mendekati mobil. Di lihatnya lagi Arinda yang sudah tak ada di sana, sudah pergi menaiki mobil saat Deondra mengalihkan pandangannya sesaat.
"Sedang apa gadis sialan itu? Apa dia baru saja menggoda seorang pria?" Deondra bertanya datar, sesaat Alrix memasuki mobil.
"Tidak Tuan." Alrix memakai seatbelt, lalu menyalakan mobil. "Dia bertemu dengan teman seperkuliahannya. Temannya itu heran kenapa Arinda tidak pernah ada di kampus lagi selama dua bulan ini." Alrix melihat Deondra dari kaca, melihat raut malas Deondra yang sudah kembali normal.
"Tadi dia sedang belanja, sewaktu berdiri tadi Arinda sedang menunggu Jenika mencari mobil. Jadi pertemuan itu tak di seng
Deondra bangkit bersama dengan insinyur pertanian yang baru saja bertukar pendapat dengannya. Melangkahkan kaki, sepatu pantofel crocodile miliknya sudah mulai terkena tanah yang di pihaknya, tapi Deondra tak terlalu mempedulikan hal itu dan tetap melangkah.Dihadapannya ratusan hektare lahan perkebunan teh mulai berproduksi. Hembusan angin yang turun dari lereng bukit di sebelah timur terasa menyejukkan. Saat Deondra menghirupnya, dia seakan menemukan separuh jiwanya yang sempat terbenam."Cih, aku benar-benar bisa melupakan kemarahanku setelah sampai di desa ini." Deondra bergumam, masih berdiri di dataran yang lebih tinggi, menatap kearah bawah untuk memperhatikan para pekerja yang mulai mengolah tanah.Saat sampai tadi, dirinya langsung merasakan aura kesejukan yang tak pernah di rasakannya di kota. Saat pertama kali menginjakkan kaki, keteduhan tempat ini sama seperti dia melihat pancaran mata dari Arinda.Ah, Arinda. Rasanya
Sepeninggal Arinda mulut Deondra masih terkatup rapat. Sama sekali dirinya tak menyangka, bahwa gadis yang lemah lembut dan juga anggun seperti Arinda, bisa bicara seperti itu padanya.Menatap mangkuk yang disiapkan Arinda untuknya, asap tipis masih mengepul di atasnya. Tangannya mulai meraih sumpit dan menjepit satu potong daging yang ada di sana."Apa dia bilang tadi? Karma?" Deondra berkata santai, menatap potongan iga yang di angkatnya dari mangkuk. "Aku tidak akan terkena karma, siapa yang berani melakukannya padaku?"Senyum miring tercetak di wajahnya, sebelum akhirnya Deondra menyantap potongan daging yang di pegangnya itu. Empuk, rasa daging yang sudah di kunyahnya terasa enak. Tak pernah Deondra menyantap makanan seenak ini, walaupun hati dan egonya menyangkal ucapan pujian yang akan di keluarkannya."Lagipula soal ketampanan dan juga kekayaanku, kita lihat saja sampai kapan dia mampu bertahan jika aku terus menerus membua
Arinda membuka ikat rambutnya saat sudah sampai di kamar. Menggerakkan leher, tulangnya berderak pelan, hingga dia mengusapnya lega."Dia mengingat kejadian malam itu rupanya," ucapnya seorang diri, lalu memutar tubuh untuk mengunci pintu kamar. "Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu padaku, tidak punya harga diri," lanjutnya, kemudian menghela napas.Berjalan menuju handuk, Arinda meraihnya dan mulai berjalan ke kamar mandi. Di dalam, dirinya masih terus berpikir tentang antisipasi yang akan dia lakukan jika Deondra tetap berulah."Kau tidak mendatangiku setelah malam itu? Kenapa?"Pertanyaan dengan nada lembut dan sedikit menjijikkan dari mulut Tuan Mudanya terngiang, membuat Arinda berdecih jijik sekaligus geram."Dia kira siapa dia? Sampai aku harus mendatanginya setelah dia merenggut kesucianku. Lalu, jika benar aku mendatanginya, aku harus bersimpuh lagi di bawah kakinya? Cih, cukup sekali. Hal itu takkan pernah terjadi
Di rumah sakit, para dokter sudah bersibuk ketika melihat pergerakan kecil dari pasien di kamar nomor dua belas. Awalnya seorang suster lelaki tengah membantu membersihkan tubuh pasien itu, namun dia tak sengaja menjatuhkan washlap. Ketika berusaha meraihnya, suster langsung memposisikan dirinya separuh berjongkok karena washlap itu ada di lantai di bawah lantai. Sesaat ketika mencoba meraih washlap, sebelah tangannya yang bersangga di pinggiran ranjang seakan di sentuh oleh tangan yang basah. Hal itu sukses membuatnya kaget, hingga akhirnya suster yang sudah meraih washlap itu langsung menegakkan tubuhnya dan melihat dengan jelas pergerakan tubuh bagian tangan dari pasien yang sudah koma hampir tiga bulan. Tanpa pikir panjang, suster itu langsung berlari keluar dan melaporkan apa yang di lihatnya pada dokter.Pemeriksaan ulang di lakukan untuk mengetahui kondisi dari pasien. Setengah jam melakukan pemeriksaan, akhirnya Dokter itu menghela napasnya pelan. "Ada sedikit k
Deondra tersenyum mendengar pertanyaan Alrix, masih dengan gaya arogan, dia berkata. "Tentu saja, aku yakin ini akan menyenangkan."Setelah Deondra mengatakannya, tidak ada lagi yang bersuara di antara mereka. Hanya suara lift yang terus turun, mengantarkan keduanya menuju restoran bawah. Namun, baru saja akan keluar, dari ujung sana Deondra sudah melihat seseorang yang amat familiar di matanya. Tanpa ekspresi apapun, Deondra terus melangkah hingga jarak mereka semakin dekat."Kenapa dia kemari?" Deondra bertanya malas, masih melangkah santai dengan Alrix yang mengekor di belakangnya."Tidak tahu Tuan, tidak ada janji." Alrix meraih ponselnya, memeriksa pesan terakhir antara dirinya dengan Sudash.Ya, Sudash. Lelaki tegap tinggi itu tengah berjalan dengan snelli putihnya yang menambah pesona. Dengan penuh senyuman ramah dan wajah cerah, tentu saja. Bukankah mereka memang kumpulan pria baik hati dulu? Hanya saja Deondra berubah dan
Deondra menggerakkan lehernya yang terasa pegal, hingga bunyi tulang beradu dapat terdengar di telinganya. Sehabis mandi, tubuh yang tadinya lelah kini sudah menjadi segar. Bahkan kepalanya yang tadi terasa berat dan seakan ingin pecah sudah mulai jernih dengan pikirannya yang tenang.Meraih baju santai di lemari walk in closet, Deondra memakainya sambil menatap cermin lebar di hadapannya. Piyama tidur berwarna putih dengan kerah yang menampilkan urat-urat lehernya hingga ke dada. Setelah menyisir rambut, Deondra melangkah keluar dari walk in closet. Menutup kembali pintu kamar, Deondra melangkah santai berniat menuju ruang makan."Tuan Muda."Langkah Deondra terhenti, saat melihat Alrix justru menaiki tangga yang baru separuh di turuninya. Kelap-kelip lampu kristal yang tergantung di atas kepalanya, serta ruangan yang di dominasi berwarna cokelat muda terlihat semakin mewah. Apalagi dengan adanya tangga melingkar dengan susunan karpet merah di
"Arin!" Alrix berseru, dia langsung berlari saat mendengar teriakan Arinda yang kesekian kalinya.Dia memang tidak jauh, hanya di balik pintu. Rasa penasaran membuatnya harus menguping. Hal apa yang di bicarakan oleh kedua orang yang tertinggal di ruang makan itu. Dan, seperti tertampar keras, Alrix mendengar sendiri ungkapan Arinda dan Tuan Mudanya tentang kejadian malam kelam yang telah di lalui oleh Arinda akibat ulah dari Tuan Mudanya sendiri."Tuan Alrix ...." Lirih suara Arinda terdengar, pisau itu langsung terlepas dari tangannya ketika Alrix merampasnya dan membuangnya ke lantai.Hening, hanya isakan tangis Arinda yang terdengar mengisi ruang lenggang yang melingkupi mereka. Di belakang Alrix, Deondra sudah seperti orang yang tak bisa mengatakan apapun. Dia dapat melihat dengan jelas betapa hancurnya gadis di hadapannya ini dengan tangis dan juga tindakan bunuh diri. Sesakit itukah perasaannya?"Maafkan saya ...," ucapnya l
Setelah terdiam beberapa saat di atas tangga, Alrix memutuskan turun. Menuju kamarnya yang memang ada di rumah ini, dia memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri."Bagaimana bisa? Kenapa Anda berbuat sejauh ini Tuan Muda? Apakah ini benar-benar sebuah rasa cinta? Atau, hanya nafsu saja?"Entahlah, rasanya Alrix saja sudah seperti orang gila memikirkannya. Bagaimana keadaan Arinda? Itulah yang dia pikirkan saat ini.Berendam di jam malam yang semakin larut Alrix lakukan sambil merenung. Apa yang di dengarnya di ruang makan tadi masih terngiang-ngiang. Apakah setelah ini semua kehidupan baru Tuan Mudanya akan di mulai? Entahlah. Mendengar ucapan dan juga perkataan dari Deondra setelah di tinggalkan Arinda, rasa-rasanya Alrix kurang yakin jika Tuan Mudanya akan sadar secepat perkiraannya."Aku akan menemui gadis itu besok. Setelah kejadian ini, aku tidak akan membiarkan dia menjadi pelayan yang sebenarnya. Tuan Muda juga harus bert