Raja mengunci bibirnya rapat, sama sekali tak mengeluarkan satu kata. Hanya bunyi tapak kaki yang menyentuh aspal yang terdengar.
Sesekali ekor matanya melirik ke Yasmin yang begitu setia menuntunnya berjalan. Cewek genit yang aneh itu begitu telaten dan sabar meskipun langkah Raja terseok-seok karena lututnya terkena tendangan.
Sudut bibir Raja terangkat, membentuk segaris senyum saat netranya menangkap bayangan Yasmin yang kesulitan menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi pandangan mata.
Ternyata ikat rambut cewek itu terlepas.
Dan entah kenapa gerakan Yasmin membuat gejolak dalam hatinya tiba-tiba berdesir, menembus hingga ke pipi dan kemudian mendadak merona.
"Ikat dulu rambutnya." Raja akhirnya menyerukan suara sedatar mungkin, mencoba menetralkan jantung yang tidak karuan.
Yasmin menghentikan langkah, menoleh ke Raja. Keningnya mengerut begitu saja, membuat Raja lagi-lagi tersenyum simpul.
"Ada apa?" Kebingungan jelas mendera Yasmin. Otaknya mendadak tak bisa bereaksi seperti biasa.
Raja menyentuh rambut Yasmin. "Ikat dulu."
"Oh." Yasmin mengangguk. Hanya mengangguk tanpa berniat mengikat rambutnya sama sekali.
Raja menggeleng, melepaskan tangan Yasmin darinya. "Ikat dulu rambutnya," kata Raja tanpa bantahan.
Yasmin mengerucutkan bibirnya.
"Ada apa?" Raja mengubah nada suara menjadi terkesan lembut di telinga. Spontan membuat Yasmin mengubah ekspresinya menjadi tersenyum.
Sebuah keajaiban seorang Raja tiba-tiba berubah menjadi lebih hangat.
Why?
"Aku tidak memiliki ikat rambut." Yasmin berucap pelan dan memberi kesan manja di dalamnya.
"Bukannya tadi ada?" Raja menelisik rambut Yasmin dan memang tidak menemukan jepitan atau semacamnya sama sekali.
"Sepertinya jatuh," sahut Yasmin sembari menghela napas pelan.
"Dasar." Raja berjalan tertatih, meninggalkan Yasmin yang masih memasang mimik sendu.
Senyum Raja lagi-lagi tercipta. Entah setan apa yang merasukinya tiba-tiba, tepatnya sejak keluar dari rumah Ila. Meskipun Yasmin mengesalkan tapi rasa syukur mendera hati, Yasmin sangat peduli padanya.
"Raja. Gak boleh jalan sendiri," tegur Yasmin. Menggandeng kembali tangan Raja yang sempat terlepas setelah berhasil menyamakan langkah.
Raja menoleh sesaat. "Apa kita akan jalan kaki sampai ke rumah gue?"
Yasmin melirik kanan dan kiri. Benar kata Raja, apa mereka akan terus berjalan kaki? Bahkan mereka sudah terlalu jauh dari daerah kumuh di mana Ila tinggal. Astaga, bisa-bisa esok hari betisnya membengkak karena terlalu lama menggerakkan tungkainya.
Yasmin menepuk jidatnya kuat. Bagaimana bisa ia lupa? Apa karena kehadiran Raja? Pasti karena Raja.
"Tunggu." Yasmin berucap pelan. "Gue pesan taksi online. Lo pegang bahu gue, biar gak jatuh." Mengambil ponsel dari saku celana, sebelum itu ia memastikan Raja benar-benar berpegangan padanya.
Raja mendengkus. "Gue bukan lumpuh."
Mendengar itu, Yasmin langsung menajamkan matanya ke arah Raja.
"Cium, mau?" Senyum menggoda tertera di sudut bibir Yasmin. Bibirnya bahkan sengaja ia moncongkan ke depan wajah Raja.
Raja menoyor pelan kepala Yasmin. "Pesan taksinya, sekarang!" Membuang tatapan ke arah lain.
Ia berharap Yasmin tidak lagi melancarkan aksi menggodanya. Bisa saja ia khilaf! Bagaimanapun ia seorang cowok tulen yang bisa saja tergoda dengan rayuan setan.
Apa Yasmin setan? Bisa jadi jika terus bertingkah seperti itu.
"Oke." Yasmin kembali fokus mengotak-atik ponselnya untuk memesan taksi.
Jangan harap taksi itu menuju rumah Raja. Karena Yasmin menulis alamat menuju rumah sakit terdekat.
Setelah 10 menit menunggu, taksi online tiba di hadapan mereka. Tanpa banyak tingkah, Yasmin mendorong pelan tubuh Raja ke dalam taksi.
"Pelan!" protes Raja.
"Diam." Yasmin mencubit pinggang Raja pelan. Lalu ikut duduk di samping cowok pujaan hatinya itu. “Jangan lebai. Gue itu udah pelan banget, loh.”
"Dasar gila!"
Yasmin menaik turunkan alisnya. "Gila sama lo ... gak apa-apa, deh."
Raja tidak menyahut lagi. Ia menyandarkan kepalanya di jendela kaca, menatap keluar dengan tatapan datar.
Entah kenapa tiba-tiba ada rasa yang menyesakkan dadanya.
"Calon suami," panggil Yasmin.
Raja menoleh. Matanya sempat menatap ke sopir taksi yang tersenyum simpul. Rasanya ingin sekali membungkam mulut Yasmin dengan kaos kakinya agar sadar dari dunia imajinasi yang terus terbentuk di pikiran cewek genit itu..
"Mulut lo," tegur Raja.
Yasmin mengembungkan pipinya dengan sengaja.
"Ada apa?" tanya Raja. Nada ketus itu keluar lagi dan Yasmin tidak suka.
"Lo kenapa bisa berakhir seperti ini? Maksud gue, kenapa lo bisa dipukuli?" tanya Yasmin panjang lebar.
Raja tidak menyahut. Ia memilih menurunkan jendela kaca taksi.
"Kasih tahu ke gue, dong, please?" mohon Yasmin.
"Gue enggak kenal mereka. Yang pasti mereka satu sekolah dengan kita," tukas Raja mengingat-ingat kejadian yang menimpanya beberapa jam lalu.
Yasmin berpikir sejenak. "Masalahnya apa?"
"Lo." Singkat, padat dan jelas.
Yasmin terdiam kemudian dalam hitungan detik mulutnya menganga lebar. “Gue? Serius?” tanyanya meyakinkan diri. Sungguh pikirannya melayang entah ke mana saat ini. Jika benar pokok masalah adalah dia, maka ia akan memastikan esok hari akan mencari pelakunya.
Raja mengangguk. “Ya, elo.”
Yasmin menggigit bibirnya. Ia akan mencari tahu esok hari, pasti!
"Yasmin," panggil Raja sembari memegang tangan Yasmin yang ada di pahanya.
"Ya?" Yasmin membenarkan ekspresinya kembali menjadi Yasmin yang genit.
"Ini bukan jalan menuju rumah gue." Raja menyadari kesalahan arah rumahnya.
Yasmin mengangguk membenarkan. "Kita ke rumah sakit dulu. Lutut lo perlu di periksa."
Raja mendengkus. "Pak sopir, turunkan gue di ujung sana," perintah Raja.
"Ja, lo jangan nekat dong." Yasmin khawatir bukan main. Raja benar-benar menyebalkan sekaligus mengesalkan. Bagaimana bisa ia berpikir untuk turun dari taksi di saat sedang babak belur begitu.
"Gue benci rumah sakit."
Raja turun dari saat taksi setelah berhenti. Yasmin kebingungan, segera mengeluarkan selembar uang dengan nominal besar, memberikan ke sopir taksi. Lantas berlari mengejar Raja yang berjalan tertatih di depannya. Bahkan Yasmin tidak peduli akan teriakan sopir itu yang ingin mengembalikan sisa uangnya.
"Raja, tunggu!" teriak Yasmin lantang seraya terus mengikuti langkah Raja yang semakin menjauh.
****
Tidak ada lagi percakapan antara Yasmin dan Raja. Mereka layaknya pengawal dan majikan yang berjalan tanpa ada keselarasan. Raja sebagai majikan dan Yasmin layaknya pengawal. Mengikuti tanpa lelah langkah lebar cowok yang kembali pada sifat asalnya, datar!
Yasmin mengutuk dirinya. Seharusnya ia tak melakukan satu hal atas dasar kemauannya. Harusnya bertanya kepada Raja ke mana akan tujuan mereka. Dengan begitu, mereka tidak akan berakhir dalam situasi berjarak seperti ini.
"Pulanglah." Raja berhenti, memutar tubuhnya menghadap Yasmin.
Refleks Yasmin ikut berhenti.
"Enggak mau. Gue bakalan ngantar lo sampai rumah." Yasmin menggelengkan kepalanya.
"Gue gak pulang ke rumah. Gue mau ke suatu tempat." Raja masih mencoba membujuk Yasmin untuk pulang ke rumah.
Yasmin menatap Raja penuh harap. "Gue ikut."
Kini giliran Raja yang menggeleng. "Gak usah. Lo pulang aja. Ini urusan pribadi gue."
Yasmin menggigit bibirnya. "Gak mau Raja. Gue mau ikut."
"Pulang!" tegas Raja. Nada suara Raja meninggi. "Lo gak mau 'kan kita jadi bahan tontonan di pinggir jalan?" tambah Raja lagi.
Lagi, Yasmin menggeleng.
"Pulang sana." Untuk kesekian kali Raja menyuruh Yasmin pulang.
Anggukan kepala Yasmin terasa sangat berat. Ia menahan rasa sesak di dadanya yang tiba-tiba menerobos.
"Janji dulu," kata Yasmin dengan suara pelan.
Raja mengernyitkan kening. "Apa?"
"Besok, lo gak boleh cuek sama gue. Lo harus baik-baik sama calon istri."
Raja tersenyum. Mengacak rambut Yasmin sebentar.
"Dan, lo harus mengobati lutut lo." Yasmin menunjuk lutut Raja yang sakit.
Raja mengangguk. "Pulanglah."
Yasmin tersenyum lalu mendekat pada Raja, menjijit pelan dan mengecup pipi Raja yang sedang di aliri keringat.
"Sampai jumpa besok, Raja.” Yasmin berlari sebelum Raja mengutuk dirinya.
Raja mengelap pipinya. Mimik wajahnya berubah menjadi datar. Tidak ada senyum lagi bahkan terkesan sedang mengumpulkan aura horor di sekitarnya.
"Sial!" pekiknya tertahan! Yasmin selalu berhasil mencuri kesempatan dalam kesempitan.
*****
Yasmin terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia merasa heran lantaran saat ini Ia berada di atas ranjang rumah sakit bukan di bangku lagi. Ia menoleh kanan dan kiri, tidak ada Raja sama sekali. Bahkan tiang infus juga tidak berada di tempatnya.Dengan cepat Yasmin turun dari ranjang, berlari keluar mencari suster untuk menanyakan keberadaan Raja. Ia takut jika Raja pergi darinya tanpa pamit sama sekali. Ia tidak ingin Raja kenapa-napa lagi.Yasmin bertemu dengan dua orang suster.“Sus, kalian liat pasien dari bernama Raja? Yang kebetulan dia ditangani oleh Dokter Natasya. Astaga, bagaimana gue mengatakannya, ya?” Yasmin khawatir sendiri.Salah satu suster tersenyum melihat tingkah Yasmin yang seperti itu.“Jangan khawatir. Pasien bernama Raja itu sedang berada di ruangan Dokter Hari bersama Dokter Natasya.”Yasmin lega mendengarnya. “Terima kasih, Sus,” kata Yasmin. “Boleh tahu ruangan Dokter Hari di mana?” tanya Yasmin lagi.“Lurus aja dari sini, baru ada belokan, nah pas belokan itu ada
Keduanya masih terdiam. Cangkir teh Yasmin sudah tandas tanpa sisa, entah kebisuan apa yang terjadi saat ini, Yasmin dan Natasya tidak memahami.Hingga pada akhirnya, Natasya memutuskan untuk mengatakan kenyataan tentang Raja pada Yasmin. Yasmin harus tahu itu pemikiran seorang Natasya sebagai dokter. Bukan apa-apa, ia tidak ingin pasiennya kembali merenggang nyawa karena terlalu lama bertindak dan juga salah prediksi. Cukup seorang Sean yang mengakhiri hidupnya karena kehilangan Velin dalam hidupnya, jangan Raja lagi.“Yasmin,” panggil Natasya.“Ya?” Yasmin menyahut.“Kamu harus tahu sesuatu soal Raja.”“Soal kejiwaan?” tebak Yasmin membuat Natasya terdiam. “Dokter itu spesialis kejiwaan, sudah pasti dokter akan membahas itu pada gue, kan?” tukas Yasmin.Natasya mengedipkan mata sebagai jawaban. “Kamu harus tahu jika Raja itu sakit. Dia itu sakit, Yasmin. Tapi bukan berarti dia gila.”Yasmin tersenyum. “Sakit jiwa yang dokter maksud sudah pasti tentang mental illness, bukan sakit jiw
Langkah memburu terdengar memasuki area lorong rumah sakit. Ya, pemiliknya adalah Natasya, seorang dokter spesialis kejiwaan. Ia sudah lama tidak mampir ke rumah sakit yang dulu pernah menjadi tempatnya mengabdi setelah membuka praktik sendiri. Namun, karena Dokter Hari yang merupakan seniornya dan sering membantunya dulu di rumah sakit ini menelepon dirinya agar datang sesegera mungkin, akhirnya ia memutuskan meninggalkan tempat praktiknya dan datang ke sini.Yang membuat Natasya semakin tergesa-gesa adalah saat Dokter Hari menyebut nama pasien itu, Raja. Bayangan Natasya langsung mengarah kepada Adiraja, pasiennya yang sore tadi datang ke tempat praktik untuk meminta obat.Natasya berharap itu bukan Raja yang ia kenal. Ya, Natasya berharap.Sayangnya, saat ia tiba di ruangan pasien, Natasya kaget bukan main karena kenyataannya adalah Raja yang dimaksud oleh Dokter Hari itu Adiraja si pasien yang i tangani selama ini.Natasya mendekat ke sisi ranjang. Menatap wajah Raja dalam diam da
Raja menendang vas bunga yang terletak di sudut ruangan saat ia melewati menuju ruang makan. Wajahnya memerah lantaran emosi, belum lagi rahangnya yang mengeras dan tangannya yang mengepal kuat. Tidak ada yang bersahabat dari ekspresi seorang Raja yang masih SMA itu. Lebih layak dipandang sebagai orang dewasa yang sedang ingin menguliti mangsanya.Lagi, Raja membuat kegaduhan dengan melemparkan benda berat ke arah lemari kaca yang biasa digunakan untuk menyimpan beberapa buku dan dokumen sang papa. Raj terlalu emosi sehingga segala hal yang menurutnya layak untuk dihancurkan maka akan ia hancurkan detik itu juga.Karen kegaduhan yang ditimbulkan Raja di ruang tamu membuat Viola dan Adam segera berlari ke ruang tamu. Kening keduanya mengerut bersamaan dengan mulut Viola yang menganga. Melirik Adam dan menggigit bibir lantaran yakin jika Raja sudah mengetahui jika yang menjadi saudara tirinya adalah Yasmin. Tidak mungkin bocah remaja itu melakukan tindakan buruk segila ini jika tidak me
Yasmin menelan salivanya susah payah saat kakinya menginjak lantai pekarangan rumah milik kekasih dari bundanya itu. Dalam hati bercampur aduk, antara khawatir, takut, sedih dan juga kecewa berat pada banyak hal. Salah satunya pada bundanya.Pemikiran Yasmin sedari tadi tertuju pada Raja yang entah bagaimana responsnya saat tahu dirinya akan menjadi adik tiri Yasmin. Jujur, Yasmin tidak bisa melepas hatinya pada Raja, ia sudah terlaku mencintai juniornya itu walau kebanyakan orang bilang termasuk sang bunda jika cinta yang dimiliki Yasmin hanya cinta monyet.Persetan dengan pendapat orang lain. Yang harus ia percaya adalah hatinya dan tentu saja Raja yang sudah mengikatnya dengan janji yang penuh ketulusan.Yasmin ingin Raja dalam hidupnya.“Yasmin, buruan!” Viola memanggil Yasmin yang masih melamun di depan pintu.Tidak ada sahutan yang keluar dari mulut Yasmin. Hanya kakinya yang terus berjalan menghampiri sang bunda yang menunggunya.“Jangan berulah apalagi membuat masalah. Ingat b
Raja membuka laci nakas untuk mengambil obat yang selalu ia konsumsi saat depresinya kambuh. Namun, di dalam laci itu hanya menyisakan botol tanpa isi. Tidak ada satu pil pun tersisa. Raja menghela napas kasar dan kembali meraung bersamaan dengan tangannya yang terus memukul lantai.Terduduk di keramik dingin, bersandar pada ranjang. Tangan kanan menarik rambut sedang tangan kiri terus saja bermain di lantai, memukul dan terus memukul.Sekarang bukan hanya dinding yang penuh noda darah, tapi juga lantai. Raja seolah tidak peduli akan itu, bahkan tangannya saja sudah terluka tidak terasa sakit sama sekali, karena luka sebenarnya ada di hati dan perasaannya.“Tuhan, kenapa Engkau hukum aku seperti ini?” Raja terisak.Tidak ada niat menyalahkan Tuhan, hanya saja Raja terlalu lelah menghadapi setip tekanan yang menyerangnya dari dalam.Raja mengambil ponselnya di atas nakas, menekan nomor Yasmin dan saat tersambung, ia langsung memanggil nama Yasmin lirih.“Yasmin ....”Yasmin di ujung te