Yasmin membayar ojek online setelah sampai pada tujuannya.
Sepi!
Itu yang menyambut Yasmin. Tidak ada kegiatan apa pun di sekitar, bahkan tak seorang pun di sana yang menunggunya.
Lalu?
Yasmin menjilat bibirnya yang kering. Oke, jika seseorang sedang bermain-main dengannya, tidak masalah sama sekali. Ia bisa menghadapi dengan sekali tendang.
Hei, jangan tertawa dalam hati. Yasmin pemegang sabuk hitam Taekwondo meskipun ia sudah lama meninggalkan hobinya itu, dan memilih menjadi seorang yang lebih anggun.
Yah, kenyataannya Yasmin tidak anggun sama sekali.
Lupakan!
Yasmin mulai menyusuri area sekitar. Menghubungi nomor Raja, tapi tak ada jawaban sama sekali. Lalu menghubungi nomor asing yang menyuruhnya ke lingkungan sepi saat ini.
Terhubung? Jelas. Namun, anehnya tidak ada niatan dari empunya ponsel menyambungkan telepon itu.
"Aish!" Yasmin memasukkan ponselnya ke saku celana.
Menarik napas dalam bersamaan dengan matanya yang menyipit seperti bulan sabit.
Dan ....
"Woi! Gue Yasmin! Lo di mana? Raja di mana?" Teriakan menggema. Napas Yasmin memburu setelahnya. Bagaimana tidak, ia berteriak tanpa memberi jeda sama sekali.
Cewek aneh!
"Gue itu jago bela diri! Lo mainin gue? Sentil ginjal!"
Yasmin kembali berteriak. Berharap perempuan yang menghubunginya tadi keluar, menunjukkan wajahnya.
Yasmin mengusap wajahnya. Ia akan menunggu beberapa menit lagi, jika tidak ada orang juga, maka bis dipastikan Yasmin akan memilih membuat kekacauan di sekitar itu.
Meskipun sepi dan areanya seperti daerah rumah kumuh, pasti akan ada yang protes jika ia mengacau. Misalkan membakar beberapa kardus yang menumpuk di situ.
Saat Yasmin sedang memikirkan rencana mengacaunya. Seseorang dari arah samping bertepuk tangan.
Perempuan cantik! Tidak lebih tepatnya, seorang gadis remaja seusia Yasmin. Hanya saja, perempuan itu terkesan seperti laki-laki. Rambut di pangkas pendek dan otot lengannya tampak jelas karena lengan baju itu sengaja di lipat hingga sebatas bahu.
"Teriakan lo layak diapresiasikan." Cewek tomboi itu berkata sembari mendekat pada Yasmin. Ia menelisik dari ujung rambut hingga ujung kaki lalu kemudian mengangkat sudut bibirnya membentuk segaris senyum.
"Lain kali, kalau ngancam orang itu ... lo mikir dong. Sentil ginjal?" Sudut bibir si tomboi semakin terangkat membuatnya persis seperti pemain antagonis di sinetron layar kaca yang belakangan ini tayang tiap malam.
Yasmin memutar bola matanya jengah. Ia terlalu malas basa-basi. Alasannya sederhana, ia tidak ingin tertipu. Bisa saja cewek di depannya itu sengaja menjebaknya dengan cara yang tak biasa.
"Raja?" tanya Yasmin to the point. Ia tidak ingin mengulur waktu. Jantungnya sedari tadi berdetak tidak karuan hanya mendengar Raja yang terluka, mana mungkin lagi ia menunda untuk mengetahui kabar cowok itu.
Ambigu? Ya, jelas ambigu sebenarnya. Namun, si tomboi paham arah tujuan pertanyaan itu.
"Santai. Raja ada di tempat gue. Dia dalam masalah." Ila mencoba berucap dengan nada lembut berharap Yasmin tidak berteriak lagi. Telinganya bisa rusak jika terus mendengar suara cempreng Yasmin dalam beberapa detik.
Yasmin memicingkan matanya. "Lo gak nipu gue, 'kan?"
Si tomboi tertawa. "Emang gue terlihat seperti penjahat?"
Yasmin mengerucut bibirnya kesal.
"Gue Nilandara. Panggil aja Ila." Si tomboi mengulurkan tangan pada Yasmin.
"Apa gue harus sambut uluran tangan lo?" tanya Yasmin. Ia menatap tangan Ila dengan saksama.
Ila menarik tangan kemudian mengelap ke bajunya lalu menatap tangannya untuk memastikan bersih atau masih kotor.
"Maaf. Gue lupa ... orang gedongan gak mau menyambut uluran tangan orang yang menghuni area kumuh."
Yasmin menghela napas. Kenapa cewek itu membawa-bawa status sosial? Lagian, dia bukan anak gedongan. Yasmin hanya anak yang kebetulan tinggal di tempat yang lebih layak.
"Lo itu baper, ya? Dasar." Yasmin menarik tangan Ila, lalu menjabatnya. "Puas?"
Ila tersenyum. "Banget."
"Sekarang balik ke topik. Raja di mana?" Untuk kesekian kali Yasmin mempertanyakan pertanyaan yang sama.
Menggemaskan itu yang dipikirkan Ila.
"Dia di rumah gue. Ayo!" Ila berjalan membimbing arah jalan.
Yasmin mengikuti langkah Ila. Mereka melewati gang sempit yang hanya bisa miring saat melaluinya.
Tunggu?
Yasmin yakin itu tidak pantas disebut gang. Lebih pantasnya disebut sebagai tempat mengikis napas. Terlalu sempit, pengap dan sedikit becek.
"Apa masih jauh?" tanya Yasmin yang mulai kesulitan melewati jalan itu.
Ila menggeleng. "Sebentar lagi."
Sebentar lagi akan menjadi waktu yang lama buat Yasmin.
Dan setelah menghabiskan waktu sekitar 4 menit, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah kecil. Halamannya cukup luas dan lagi-lagi sepi.
Yasmin mengedarkan pandangannya ke penjuru, dan matanya melotot saat menyadari mereka berada di area belakang sekolah. Hanya di batasi oleh kawat duri. Untuk pertama kalinya Yasmin tahu kalau daerah kumuh itu benar-benar dekat dengan sekolahnya.
"Yakk! Kalau tahu ini rumah ada di belakang sekolah, gue pasti bakalan lewat depan sana." Tunjuk Yasmin pada gedung sekolah yang terpampang nyata meskipun hanya lantai tiganya. Ia masih belum bisa menerima perjuangannya melewati lorong sempit itu.
"Butuh perjuangan untuk mendapatkan sesuatu itu. Kalau terlalu mudah, lo gak bakalan ngerasain gimana rasanya berjuang setelah hancur." Sangat bijaksana sampai-sampai Yasmin menghela napas kasar.
Yasmin kembali berkata, "Raja? Gue gak peduli soal yang lain."
"Dia di dalam,” sahut Ila.
Setelah kalimat itu keluar dari mulut Ila, Yasmin langsung menerobos ke dalam rumah kecil itu.
"Raja!" teriak ya menggema.
Ila hanya menggeleng menyaksikan itu.
"Raja!" Yasmin mendekat pada bangku kayu panjang di mana seseorang cowok terbaring memunggungi mereka di sana.
Tidak ada sahutan dari yang empunya nama.
"Raja," lirih Yasmin. Tangannya menyentuh lembut lengan Raja. Berharap cowok itu berbalik ke arahnya dan membuka mata.
Sayangnya, Raja sama sekali tidak merespons.
"Apa yang terjadi?" Yasmin melirik kepada Ila.
Ila yang bersandar di dinding kayu berpikir sejenak. "Saat gue menemukannya, Raja sudah menjadi pergedel."
Yasmin menaikkan sudut bibirnya sekaligus memutar bola matanya jengah. Kalimat Ila barusan sangat lebay. "Gue gak bercanda. Apa yang terjadi!" Yasmin mulai terbawa emosi.
"Santai, Sister. Gue bercanda doang, biar kagak tegang." Ila tertawa kaku.
Yasmin mendelik kesal.
"Raja dihajar beberapa orang siswa. Dari seragam mereka, gue yakin satu sekolah sama Raja."
"Masalahnya?" tanya Yasmin memburu.
Ila menaikkan bahunya. "Mana gue tahu. Lo tanya aja sendiri sama Raja."
"Percuma ngomong sama lo!" gerutu Yasmin kesal. Ia kembali fokus pada Raja yang masih tak merespons dirinya.
"Serah lo deh. Udah ... bangunin itu anak. Lo bawa ke rumah sakit. Gue rasa, lututnya dalam masalah."
Yasmin melotot tajam. "Gak lo bilangin juga, gue bakalan bawa Raja ke rumah sakit. So, lo diam!" Yasmin terpancing emosi karena Ila.
Ila mengangguk. "Ya udah ... bangunin."
"Santai dong. Jangan nyolot!" Lagi-lagi Yasmin berbicara dengan nada meninggi.
"Idih ... ngegas,” kata Ila sembari tertawa.
"lo yang ngegas!" seru Yasmin.
"Lo ngeselin banget sih jadi ce—"
"Bisa kalian diam?"
Tiba-tiba saja Raja berkata dengan nada datar, tapi terkesan tegas. Ia menatap kedua cewek yang sedang adu argumen itu dengan nyalang.
Senyum Yasmin mengembang. "Raja sudah bangun?"
“Jelas gue bangun. Suara lo memekakkan telinga,” kata Raja. Lalu kemudian ia menghela napas kasar, karena sangat tahu jika sebentar lagi dunianya kembali kacau.
Ya, Yasmin Aurora!
“Belagu, sih lo!” Ila menggoda Yasmin sehingga cewek manis itu mengentakkan kaki ke lantai sembari mengerucut bibir.
“Raja jahat, deh!” Ia masih setia dengan mimik mengambeknya.
*****
Yasmin terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia merasa heran lantaran saat ini Ia berada di atas ranjang rumah sakit bukan di bangku lagi. Ia menoleh kanan dan kiri, tidak ada Raja sama sekali. Bahkan tiang infus juga tidak berada di tempatnya.Dengan cepat Yasmin turun dari ranjang, berlari keluar mencari suster untuk menanyakan keberadaan Raja. Ia takut jika Raja pergi darinya tanpa pamit sama sekali. Ia tidak ingin Raja kenapa-napa lagi.Yasmin bertemu dengan dua orang suster.“Sus, kalian liat pasien dari bernama Raja? Yang kebetulan dia ditangani oleh Dokter Natasya. Astaga, bagaimana gue mengatakannya, ya?” Yasmin khawatir sendiri.Salah satu suster tersenyum melihat tingkah Yasmin yang seperti itu.“Jangan khawatir. Pasien bernama Raja itu sedang berada di ruangan Dokter Hari bersama Dokter Natasya.”Yasmin lega mendengarnya. “Terima kasih, Sus,” kata Yasmin. “Boleh tahu ruangan Dokter Hari di mana?” tanya Yasmin lagi.“Lurus aja dari sini, baru ada belokan, nah pas belokan itu ada
Keduanya masih terdiam. Cangkir teh Yasmin sudah tandas tanpa sisa, entah kebisuan apa yang terjadi saat ini, Yasmin dan Natasya tidak memahami.Hingga pada akhirnya, Natasya memutuskan untuk mengatakan kenyataan tentang Raja pada Yasmin. Yasmin harus tahu itu pemikiran seorang Natasya sebagai dokter. Bukan apa-apa, ia tidak ingin pasiennya kembali merenggang nyawa karena terlalu lama bertindak dan juga salah prediksi. Cukup seorang Sean yang mengakhiri hidupnya karena kehilangan Velin dalam hidupnya, jangan Raja lagi.“Yasmin,” panggil Natasya.“Ya?” Yasmin menyahut.“Kamu harus tahu sesuatu soal Raja.”“Soal kejiwaan?” tebak Yasmin membuat Natasya terdiam. “Dokter itu spesialis kejiwaan, sudah pasti dokter akan membahas itu pada gue, kan?” tukas Yasmin.Natasya mengedipkan mata sebagai jawaban. “Kamu harus tahu jika Raja itu sakit. Dia itu sakit, Yasmin. Tapi bukan berarti dia gila.”Yasmin tersenyum. “Sakit jiwa yang dokter maksud sudah pasti tentang mental illness, bukan sakit jiw
Langkah memburu terdengar memasuki area lorong rumah sakit. Ya, pemiliknya adalah Natasya, seorang dokter spesialis kejiwaan. Ia sudah lama tidak mampir ke rumah sakit yang dulu pernah menjadi tempatnya mengabdi setelah membuka praktik sendiri. Namun, karena Dokter Hari yang merupakan seniornya dan sering membantunya dulu di rumah sakit ini menelepon dirinya agar datang sesegera mungkin, akhirnya ia memutuskan meninggalkan tempat praktiknya dan datang ke sini.Yang membuat Natasya semakin tergesa-gesa adalah saat Dokter Hari menyebut nama pasien itu, Raja. Bayangan Natasya langsung mengarah kepada Adiraja, pasiennya yang sore tadi datang ke tempat praktik untuk meminta obat.Natasya berharap itu bukan Raja yang ia kenal. Ya, Natasya berharap.Sayangnya, saat ia tiba di ruangan pasien, Natasya kaget bukan main karena kenyataannya adalah Raja yang dimaksud oleh Dokter Hari itu Adiraja si pasien yang i tangani selama ini.Natasya mendekat ke sisi ranjang. Menatap wajah Raja dalam diam da
Raja menendang vas bunga yang terletak di sudut ruangan saat ia melewati menuju ruang makan. Wajahnya memerah lantaran emosi, belum lagi rahangnya yang mengeras dan tangannya yang mengepal kuat. Tidak ada yang bersahabat dari ekspresi seorang Raja yang masih SMA itu. Lebih layak dipandang sebagai orang dewasa yang sedang ingin menguliti mangsanya.Lagi, Raja membuat kegaduhan dengan melemparkan benda berat ke arah lemari kaca yang biasa digunakan untuk menyimpan beberapa buku dan dokumen sang papa. Raj terlalu emosi sehingga segala hal yang menurutnya layak untuk dihancurkan maka akan ia hancurkan detik itu juga.Karen kegaduhan yang ditimbulkan Raja di ruang tamu membuat Viola dan Adam segera berlari ke ruang tamu. Kening keduanya mengerut bersamaan dengan mulut Viola yang menganga. Melirik Adam dan menggigit bibir lantaran yakin jika Raja sudah mengetahui jika yang menjadi saudara tirinya adalah Yasmin. Tidak mungkin bocah remaja itu melakukan tindakan buruk segila ini jika tidak me
Yasmin menelan salivanya susah payah saat kakinya menginjak lantai pekarangan rumah milik kekasih dari bundanya itu. Dalam hati bercampur aduk, antara khawatir, takut, sedih dan juga kecewa berat pada banyak hal. Salah satunya pada bundanya.Pemikiran Yasmin sedari tadi tertuju pada Raja yang entah bagaimana responsnya saat tahu dirinya akan menjadi adik tiri Yasmin. Jujur, Yasmin tidak bisa melepas hatinya pada Raja, ia sudah terlaku mencintai juniornya itu walau kebanyakan orang bilang termasuk sang bunda jika cinta yang dimiliki Yasmin hanya cinta monyet.Persetan dengan pendapat orang lain. Yang harus ia percaya adalah hatinya dan tentu saja Raja yang sudah mengikatnya dengan janji yang penuh ketulusan.Yasmin ingin Raja dalam hidupnya.“Yasmin, buruan!” Viola memanggil Yasmin yang masih melamun di depan pintu.Tidak ada sahutan yang keluar dari mulut Yasmin. Hanya kakinya yang terus berjalan menghampiri sang bunda yang menunggunya.“Jangan berulah apalagi membuat masalah. Ingat b
Raja membuka laci nakas untuk mengambil obat yang selalu ia konsumsi saat depresinya kambuh. Namun, di dalam laci itu hanya menyisakan botol tanpa isi. Tidak ada satu pil pun tersisa. Raja menghela napas kasar dan kembali meraung bersamaan dengan tangannya yang terus memukul lantai.Terduduk di keramik dingin, bersandar pada ranjang. Tangan kanan menarik rambut sedang tangan kiri terus saja bermain di lantai, memukul dan terus memukul.Sekarang bukan hanya dinding yang penuh noda darah, tapi juga lantai. Raja seolah tidak peduli akan itu, bahkan tangannya saja sudah terluka tidak terasa sakit sama sekali, karena luka sebenarnya ada di hati dan perasaannya.“Tuhan, kenapa Engkau hukum aku seperti ini?” Raja terisak.Tidak ada niat menyalahkan Tuhan, hanya saja Raja terlalu lelah menghadapi setip tekanan yang menyerangnya dari dalam.Raja mengambil ponselnya di atas nakas, menekan nomor Yasmin dan saat tersambung, ia langsung memanggil nama Yasmin lirih.“Yasmin ....”Yasmin di ujung te