Share

BAB 5

Yasmin membayar ojek online setelah sampai pada tujuannya. 

Sepi! 

Itu yang menyambut Yasmin. Tidak ada kegiatan apa pun di sekitar, bahkan tak seorang pun di sana yang menunggunya. 

Lalu? 

Yasmin menjilat bibirnya yang kering. Oke, jika seseorang sedang bermain-main dengannya, tidak masalah sama sekali. Ia bisa menghadapi dengan sekali tendang. 

Hei, jangan tertawa dalam hati. Yasmin pemegang sabuk hitam Taekwondo  meskipun ia sudah lama meninggalkan hobinya itu, dan memilih menjadi seorang yang lebih anggun. 

Yah, kenyataannya Yasmin tidak anggun sama sekali. 

Lupakan! 

Yasmin mulai menyusuri area sekitar. Menghubungi nomor Raja, tapi tak ada jawaban sama sekali. Lalu menghubungi nomor asing yang menyuruhnya ke lingkungan sepi saat ini. 

Terhubung? Jelas. Namun, anehnya tidak ada niatan dari empunya ponsel menyambungkan telepon itu. 

"Aish!" Yasmin memasukkan ponselnya ke saku celana. 

Menarik napas dalam bersamaan dengan matanya yang menyipit seperti bulan sabit. 

Dan .... 

"Woi! Gue Yasmin! Lo di mana? Raja di mana?" Teriakan menggema. Napas Yasmin memburu setelahnya. Bagaimana tidak, ia berteriak tanpa memberi jeda sama sekali. 

Cewek aneh! 

"Gue itu jago bela diri! Lo mainin gue? Sentil ginjal!" 

Yasmin kembali berteriak. Berharap perempuan yang menghubunginya tadi keluar, menunjukkan wajahnya. 

Yasmin mengusap wajahnya. Ia akan menunggu beberapa menit lagi, jika tidak ada orang juga, maka bis dipastikan Yasmin akan memilih membuat kekacauan di sekitar itu. 

Meskipun sepi dan areanya seperti daerah rumah kumuh, pasti akan ada yang protes jika ia mengacau. Misalkan membakar beberapa kardus yang menumpuk di situ. 

Saat Yasmin sedang memikirkan rencana mengacaunya. Seseorang dari arah samping bertepuk tangan. 

Perempuan cantik! Tidak lebih tepatnya, seorang gadis remaja seusia Yasmin. Hanya saja, perempuan itu terkesan seperti laki-laki. Rambut di pangkas pendek dan otot lengannya tampak jelas karena lengan baju itu sengaja di lipat hingga sebatas bahu. 

"Teriakan lo layak diapresiasikan." Cewek tomboi itu berkata sembari mendekat pada Yasmin. Ia menelisik dari ujung rambut hingga ujung kaki lalu kemudian mengangkat sudut bibirnya membentuk segaris senyum.

"Lain kali, kalau ngancam orang itu ... lo mikir dong. Sentil ginjal?" Sudut bibir si tomboi semakin terangkat membuatnya persis seperti pemain antagonis di sinetron layar kaca yang belakangan ini tayang tiap malam.

Yasmin memutar bola matanya jengah. Ia terlalu malas basa-basi. Alasannya sederhana, ia tidak ingin tertipu. Bisa saja cewek di depannya itu sengaja menjebaknya dengan cara yang tak biasa. 

"Raja?" tanya Yasmin to the point. Ia tidak ingin mengulur waktu. Jantungnya sedari tadi berdetak tidak karuan hanya mendengar Raja yang terluka, mana mungkin lagi ia menunda untuk mengetahui kabar cowok itu.

Ambigu? Ya, jelas ambigu sebenarnya. Namun, si tomboi paham arah tujuan pertanyaan itu. 

"Santai. Raja ada di tempat gue. Dia dalam masalah." Ila mencoba berucap dengan nada lembut berharap Yasmin tidak berteriak lagi. Telinganya bisa rusak jika terus mendengar suara cempreng Yasmin dalam beberapa detik.

Yasmin memicingkan matanya. "Lo gak nipu gue, 'kan?" 

Si tomboi tertawa. "Emang gue terlihat seperti penjahat?" 

Yasmin mengerucut bibirnya kesal. 

"Gue Nilandara. Panggil aja Ila." Si tomboi mengulurkan tangan pada Yasmin. 

"Apa gue harus sambut uluran tangan lo?" tanya Yasmin. Ia menatap tangan Ila dengan saksama. 

Ila menarik tangan kemudian mengelap ke bajunya lalu menatap tangannya untuk memastikan bersih atau masih kotor. 

"Maaf. Gue lupa ... orang gedongan gak mau menyambut uluran tangan orang yang menghuni area kumuh." 

Yasmin menghela napas. Kenapa cewek itu membawa-bawa status sosial? Lagian, dia bukan anak gedongan. Yasmin hanya anak yang kebetulan tinggal di tempat yang lebih layak. 

"Lo itu baper, ya? Dasar." Yasmin menarik tangan Ila, lalu menjabatnya. "Puas?" 

Ila tersenyum. "Banget." 

"Sekarang balik ke topik. Raja di mana?" Untuk kesekian kali Yasmin mempertanyakan pertanyaan yang sama.

Menggemaskan itu yang dipikirkan Ila. 

"Dia di rumah gue. Ayo!" Ila berjalan membimbing arah jalan.

Yasmin mengikuti langkah Ila. Mereka melewati gang sempit yang hanya bisa miring saat melaluinya. 

Tunggu? 

Yasmin yakin itu tidak pantas disebut gang. Lebih pantasnya disebut sebagai tempat mengikis napas. Terlalu sempit, pengap dan sedikit becek.

"Apa masih jauh?" tanya Yasmin yang mulai kesulitan melewati jalan itu. 

Ila menggeleng. "Sebentar lagi." 

Sebentar lagi akan menjadi waktu yang lama buat Yasmin. 

Dan setelah menghabiskan waktu sekitar 4 menit, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah kecil. Halamannya cukup luas dan lagi-lagi sepi. 

Yasmin mengedarkan pandangannya ke penjuru, dan matanya melotot saat menyadari mereka berada di area belakang sekolah. Hanya di batasi oleh kawat duri. Untuk pertama kalinya Yasmin tahu kalau daerah kumuh itu benar-benar dekat dengan sekolahnya. 

"Yakk! Kalau tahu ini rumah ada di belakang sekolah, gue pasti bakalan lewat depan sana." Tunjuk Yasmin pada gedung sekolah yang terpampang nyata meskipun hanya lantai tiganya. Ia masih belum bisa menerima perjuangannya melewati lorong sempit itu. 

"Butuh perjuangan untuk mendapatkan sesuatu itu. Kalau terlalu mudah, lo gak bakalan ngerasain gimana rasanya berjuang setelah hancur." Sangat bijaksana sampai-sampai Yasmin menghela napas kasar. 

Yasmin kembali berkata, "Raja? Gue gak peduli soal yang lain." 

"Dia di dalam,” sahut Ila. 

Setelah kalimat itu keluar dari mulut Ila, Yasmin langsung menerobos ke dalam rumah kecil itu. 

"Raja!" teriak ya menggema. 

Ila hanya menggeleng menyaksikan itu. 

"Raja!" Yasmin mendekat pada bangku kayu panjang di mana seseorang cowok  terbaring memunggungi mereka di sana. 

Tidak ada sahutan dari yang empunya nama. 

"Raja," lirih Yasmin. Tangannya menyentuh lembut lengan Raja. Berharap cowok itu berbalik ke arahnya dan membuka mata.

Sayangnya, Raja sama sekali tidak merespons. 

"Apa yang terjadi?" Yasmin melirik kepada Ila. 

Ila yang bersandar di dinding kayu berpikir sejenak. "Saat gue menemukannya, Raja sudah menjadi pergedel." 

Yasmin menaikkan sudut bibirnya sekaligus memutar bola matanya jengah. Kalimat Ila barusan sangat lebay. "Gue gak bercanda. Apa yang terjadi!" Yasmin mulai terbawa emosi. 

"Santai, Sister. Gue bercanda doang, biar kagak tegang." Ila tertawa kaku. 

Yasmin mendelik kesal.

"Raja dihajar beberapa orang siswa. Dari seragam mereka, gue yakin satu sekolah sama Raja." 

"Masalahnya?"  tanya Yasmin memburu.

Ila menaikkan bahunya. "Mana gue tahu. Lo tanya aja sendiri sama Raja." 

"Percuma ngomong sama lo!" gerutu Yasmin kesal. Ia kembali fokus pada Raja yang masih tak merespons dirinya.

"Serah lo deh. Udah ... bangunin itu anak. Lo bawa ke rumah sakit. Gue rasa, lututnya dalam masalah." 

Yasmin melotot tajam. "Gak lo bilangin juga, gue bakalan bawa Raja ke rumah sakit. So, lo diam!" Yasmin terpancing emosi karena Ila.

Ila mengangguk. "Ya udah ... bangunin." 

"Santai dong. Jangan nyolot!" Lagi-lagi Yasmin berbicara dengan nada meninggi.

"Idih ... ngegas,” kata Ila sembari tertawa.

"lo yang ngegas!" seru Yasmin. 

"Lo ngeselin banget sih jadi ce—" 

"Bisa kalian diam?" 

Tiba-tiba saja Raja berkata dengan nada datar, tapi terkesan tegas. Ia menatap kedua cewek yang sedang adu argumen itu dengan nyalang. 

Senyum Yasmin mengembang. "Raja sudah bangun?" 

“Jelas gue bangun. Suara lo memekakkan telinga,” kata Raja. Lalu kemudian ia menghela napas kasar, karena sangat tahu jika sebentar lagi dunianya kembali kacau. 

Ya, Yasmin Aurora!

“Belagu, sih lo!” Ila menggoda Yasmin sehingga cewek manis itu mengentakkan kaki ke lantai sembari mengerucut bibir.

“Raja jahat, deh!” Ia masih setia dengan mimik mengambeknya.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status