Share

Bab. 3. Jadi Nyamuk? Ogah!

Meninggalkan Briyan lebih dulu, Azka pun berlari-lari menuju kelas yang harus dimasukinya selama satu sampai dua jam ke depan. Wajahnya semeringah, meski canggung karena tiba-tiba menyadari sesuatu. Azka pikir, tak seharusnya ia memberikan Chika pada bosnya yang memang kerap bermain-main dengan banyak wanita.

Senyum yang tadi semeringah, tiba-tiba menghilang begitu melihat tawa Chika di dalam kelas yang hendak ia lewati. Gadis yang ia suka sejak enam bulan terakhir itu tampak bahagia saat bicara dengan Maya. Sementara dirinya, justru sudah dengan sengaja memasukkan Chika ke dalam kandang singa.

Ya, kandang singa. Sebab, karena ketidakyakinannya terhadap perasaan yang Azka punya, ia justru memilih jalan keliru. Azka tahu kalau bosnya itu adalah seorang lelaki nakal. Tapi, demi mendapatkan perhatian lebih dari Chika, Azka rela memungut Chika setelah Briyan mencampakkan gadis pujaannya nanti.

“Maaf,” gumamnya seraya menepis jauh-jauh, isi pikiran tentang rasa ibanya terhadap gadis yang masih ia tatap dari jauh. “Aku hanya ingin membuatmu berpikir, kalau akulah pahlawanmu nanti ... jika Briyan sudah mencampakkanmu. Ya, hanya itu!”

Memejamkan matanya sejenak sembari menghela dan membuang napas perlahan, Azka pun meninggalkan tempat di mana ia sudah puas memperhatikan Chika. Selain karena ingin menghindar dari rasa bersalah, jam belajarnya pun akan segera dimulai.

Namun, dari dalam kelas, Maya melihat ekspresi Azka yang tak biasa. “Dih! Tatapannya itu, loh! Aneh,” gumamnya.

“Aneh? Siapa yang aneh?” Chika yang mendengar temannya itu seketika mengernyit, heran. Senyumnya yang sedari tadi semeringah pun berubah masam. Dipikir, Maya menganggapnya aneh.

“Aih. Lu denger?” Maya pun tergelak, karena langsung mengerti isi pikiran Chika dari ekspresi wajah temannya itu.

“Ya, gue punya kuping kali!” balas Chika. Gadis bermata sipit itu kian merasa kesal karena Maya tertawa. “Masa nggak denger?” lanjutnya.

“Iya, iya, deh. Tapi, ya jangan salah paham dong. Yang gue bilang aneh itu bukan untuk lu. Tapi untuk teman kita yang nakal itu.”

“Azka?” tanya Chika, seraya refleks melihat ke sekitar. Namun, tidak ada siapa pun yang ia lihat di luar ruangan. “Nggak ada, ish!” lanjutnya, saat itu juga.

“Udah pergi dia,” jelas Maya, yang lagi-lagi tertawa. Meski, tawanya kali ini langsung ia tahan sebisa mungkin.

“La, terus ... aneh gimana? Memangnya apa yang dilakukan Azka?” selidik Chika. Dia tak mau kalau Maya, temannya itu, menyembunyikan sesuatu tentang apa pun.

“Jadi gini, tadi tuh gue liat si Azka ngeliatin lu. Mana pake acara sendu gitu wajahnya. Kan, aneh. Padahal, pas kita lagi di kantin tadi, dia biasa-biasa aja. Masih usil juga,” jelas Maya. Bibirnya yang sedikit tebal ia tarik sedikit setelahnya, sambil menggeleng.

“Masa, sih?” Chika tak percaya dengan temannya itu.

“Serius. Tapi, pas gue liatin, dia buru-buru pergi. Tau deh, Azka sadar atau nggak pas gue liatin.” Maya pun menggeleng, masih sambil menarik kedua belah sudut bibirnya.

“Hm ... bodo amatlah! Sudah waktunya kita fokus sekarang. Lihat, dosen cantik kita sudah datang!” Chika pun menggerakkan wajahnya, seolah menunjuk ke arah pintu masuk. Puri, dosen cantiknya itu memang baru saja masuk.

“Haish. Iya-iya!” Maya pun langsung sigap mengubah posisi duduk, dari yang semula menghadap Chika kemudian tegap lurus ke depan. Dosennya itu mengucap salam sambil mengembangkan senyum manisnya. Sehingga Maya dan Chika langsung menjawabnya.

Pelajaran, seketika langsung dimulai.

***

Kurang dari dua jam kemudian, Chika dan Maya yang baru saja selesai dengan mata pelajarannya pun tergesa-gesa keluar dari ruangan. Mereka berjalan berdampingan, bahkan sampai setengah berlari saat sudah di luar kelas.

Jika Maya ingin segera pulang untuk bisa rebahan, Chika justru ingin segera menjumpai Azka di luar kampus. Dia yakin, kekasihnya itu masih menunggu di parkiran. Wajah cantiknya kian terlihat cantik saat senyum mengembang dari bibirnya. Bahkan, ia terlihat begitu manis, karena adanya lesung pipit di kedua pipinya.

“Yang mau ketemu pacar, jalan aja udah kek pembalap lari cepat. Santai, sih. Masih ada gue di sini. Lu kek mau ninggalin gue aja!” sindir Maya.

Sebagai teman yang masih saja menjomblo, Maya memang merasa cemburu. Ia iri saat Chika jalan berdua dengan Briyan. Dia juga iri saat dengan tulusnya, Briyan mau menunggu Chika selama menjalani mata kuliah. Terlebih, jika mengingat dirinya yang memang kalah cantik. Minder sudah dirinya saat berhadapan dengan tiap lelaki.

Akan tetapi, itu tak membuatnya terpengaruh. Persahabatan mereka yang terjalin sedari duduk di bangku SMA, awet tanpa masalah. Saat Chika marah, maka Maya yang selalu mengalah. Begitu juga sebaliknya. Jika Maya yang marah, Chika yang selalu mengalah.

“Ish. Nggak gitu juga kali, May. Gue cuman penasaran. Apa iya, Briyan masih nungguin gue.” Sambil cengengesan, Chika pun menghentikan langkahnya. Ia hendak menunggu Maya yang sedikit tertinggal di belakangnya. Lantas, begitu Maya sudah menyusul, Chika langsung merangkul temannya itu. “Maaf, ya, Teman. Ayo-ayo, kita jalan santai aja sekarang,” lanjutnya.

“Hilih!” timpal Maya, yang sebenarnya, dia kegirangan karena sikap temannya itu. “Dahlah nggak apa-apa. Lu duluan aja sana. Gue juga mo buru-buru balik. Pen mandi, o rebahan. Biasa, malam minggu kelabu. Ahaha!”

“Dih! Kenapa lu nggak ikut bareng gue aja? Briyan pasti setuju,” bujuk Chika. Meski sebenarnya, dia hanya ingin berdua saja dengan kekasihnya itu.

“Dahlah nggak usah. Lagian, apa enaknya jadi nyamuk? Haish! Ogah gue,” cerocos Maya, persis kereta api yang lagi lepas landas. Kecepatannya melebihi langkah kaki mereka saat ini.

“Ahaha. Ya, sudah kalau gitu. Gue sih nggak bakal maksa.” Chika justru merasa senang saat Maya menolak. Karena dengan begitu, ia bisa berduaan saja dengan Briyan. “Etapi, kok mobilnya kagak ada!” Langkah kaki Chika langsung berhenti. Pun dengan Maya.

“Lah, iya. Kok gada!?” Maya pun langsung menoleh dan menatap Chika dengan tatapan heran. “Aoa jangan-jangan, dia bohong lagi?”

“Ish! Kok, gitu, sih? Katanya mau nungguin gue!” batin Chika, kesal. Namun, tiba-tiba saja, suara klakson mengejutkan dua gadis di parkiran itu. Chika dan Maya pun menoleh, melihat mobil yang baru saja datang di hadapan mereka.

“Astaga! Gue kira Briyan yang datang. Taunya dia!” umpat Maya, begitu tahu kalau yang datang itu justru orang lain. Orang yang tak disukainya, karena sudah merebut lelaki yang ia puja sejak masuk kuliah.

Memang, lelaki yang dipujanya itu tak tahu kalau Maya menaruh rasa. Tapi, tetap saja, saat Maya tahu kalau lelaki yang dicintainya itu jadian dengan Rosa, hatinya amat sangat terluka.

“Malah bengong. Ayo!” seru Chika, seraya menarik tangan temannya itu agar menjauh dari hadapan mobil yang hendak parkir.

Dengan langkah kesal, Maya pun akhirnya menyingkir dari sana. “Gue sebel ma tuh cewek. Kok, mau-maunya sih jemput cowok? Ganjen!” umpatnya.

“Dih! Apa urusan lu. Serah dia lah. Pacar, pacar dia.” Seketika, Chika tertawa pelan karena menyadari satu hal. “Atau, jangan-jangan lu cemburu?” tuduhnya.

“Lah? Ngapa juga gue cemburu? Dah, ayo balik? Cowok lu juga gada, kan?” balas Maya sambil melengos pergi.

“Ish! Tunggu bentar napa. Kali, Briyan lagi beli sesuatu dulu, May.” Chika memohon. Barangkali, perkiraannya itu adalah benar.

“Gada! Gue mo pulang duluan!” balas Maya, benar-benar tak peduli. Ia terlanjur kesal setelah melihat Rosa. Yang tampak jauh lebih sempurna daripada dirinya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status