Share

Bab. 4. Ciuman Pertama

Berdecak, karena tak dapat mengejar Maya, Chika pun akhirnya memilih untuk diam sebentar. Ia pikir, ia harus menghubungi Briyan sebelum memutuskan pulang ke rumah. Namun, baru saja Chika merogoh ponsel dari tas selendang yang dipakainya, suara klakson lagi-lagi membuat kaget.

Namun, kagetnya kali ini membuat Chika berakhir kegirangan. Sebab, mobil yang sekarang ada di hadapannya itu adalah mobil orang yang sedang ia cari dan tunggu-tunggu. Briyan. Kekasihnya itu, bahkan sudah turun dan berjalan menghampirinya lebih dulu.

“Maaf, Sayang. Aku pergi ke Minimarket dulu barusan. Haus,” katanya sambil menyengir lebar. Lantas, Briyan pun meraih kedua tangan Chika dalam sekejap. Bahkan, sampai membuat Chika terkejut karena terbengong. “Maaf, ya,” bujuknya.

“Kenapa nggak ngasih tahu aku dulu? Kan, bisa ... bilang mau keluar bentar gitu?” selidik Chika. Dia tahu, apa yang dikatakannya itu adalah benar. Saat sedang menunggu seseorang, pergi sekejap ke tempat lain itu, harusnya bilang dulu agar tak membuat jengkel.

“Ya, maaf. Aku pikir, teleponku Akan mengganggu jam pelajaranmu, Yang. Makanya, Barusan aku langsung pergi,” jelas Briyan, yang memang begitu kejadiannya. Tadi, dia sempat ingin menghubungi Chika. Akan tetapi urung karena takut kalau sampai mengganggu kekasihnya itu.

“Ya, sudah. Aku harus buru-buru pulang, Yang. Karena jam lima sore nanti, aku harus sudah sampai di tempat kerja.” Karena tak ada yang disembunyikan, Chika pun membicarakan soal pekerjaannya. Bahwa, waktunya memang tak banyak lagi.

“Nggak mau jalan-jalan dulu? Sekarang masih jam dua lho. Ke mana dulu gitu?” tanya Briyan. Dia datang ke kampus, bahkan sampai rela menunggu Chika setelah mengurus beberapa pekerjaan di kantor, tujuannya memang untuk mengajak kekasihnya itu jalan. Setidaknya makan siang, karena Briyan pun sudah dengan sengaja menunda makan siangnya itu.

“Mau, sih. Tapi ... jangan ke tempat yang jauh-jauh boleh? Maksudku, yang sekitaran sini aja gitu. Biar kalau pun telat, aku bisa langsung masuk kerja tanpa harus pulang dulu.”

Di samping Briyan, Chika menarik kedua sudut bibirnya lebar. Ia menyeringai penuh bujuk, tetapi juga merasa malu. Karena kebanyakan pasangan kekasih, malam minggu adalah waktu yang tepat untuk bekerja. Sementara Chika justru tak punya waktu untuk hal seperti itu, setelah menjadi karyawan paruh waktu di salah satu minimarket di ibu kota.

“Um ... kita makan siang dulu aja nggak apa-apa lah, ya? Aku yakin, kamu juga belum makan.”

Tak ingin membuat kekacauan dalam hidup Chika, Briyan pun paham tentang tanggung jawab yang sekarang tengah dipikul kekasihnya itu. Terlebih, Briyan ingin menarik perasaan Chika sampai lebih jauh lagi untuk mencapai kepuasan tersendiri bagi dirinya.

Di sampingnya, Chika pun mengangguk tanda setuju dengan ajakan Briyan. Ia memang merasa lapar betul, setelah hanya sarapan lontong sayur pagi tadi. Karena tak ingin membuang-buang waktu, Briyan pun langsung menggandeng tangan kekasihnya itu. Kemudian mereka masuk ke dalam mobil yang sama.

“Biar aku pakaikan,” kata. Riyan saat Chika hendak memakai sabuk pengaman. Lantas, oa pun mencondongkan tubuhnya ke arah Chika, sehingga tampak sedang berciuman jika dilihat dari arah depan.

Untuk pertama kali diperlakukan seperti itu membuat Chika merasa gugup dan salah tingkah. Terlebih saat tatapan Briyan berhenti tepat di hadapan Chika, sembari memasang senyum menawan di bibirnya yang seksi, sementara tangannya sibuk memasang sabuk pengaman. Jantung Chika seketika berdegup kencang. Bahkan, ia merasa susah untuk sekadar bernapas lega.

Ditelannya ludah dengan susah payah. Berharap, perasaan gugupnya akan berkurang. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Chika merasa semakin kikuk. Lantas, Chika pun mengalihkan pandangan. Ia menghindar dari tatapan maut seorang Briyan, daripada terlihat aneh.

“Gugup gitu, kenapa?” goda Briyan, yang tak juga beralih dari menatap wajah Chika yang seperti kebakaran. Wajah kekasihnya itu memang benar-benar merona karena tersipu. Padahal, Briyan sudah selesai memasangkan sabuk pengaman Chika.

“Gugup? Ng-nggak, kok!” timpal Chika yang seketika kembali menarik wajah. Ia menghadap Briyan yang sekarang justru sudah berada begitu dekat dengannya. Chika tersentak. Bahkan sampai menekankan kepalanya ke sandaran kursi untuk mencipta jarak di antara mereka.

“Masa?” goda Briyan. Seringai di wajahnya kian mengembang, saking merasa lucu dengan ekspresi wajah Chika yang kian menegang. Dia adalah seorang pria berpengalaman. Jadi, ia tahu betul dengan rupa-rupa ekspresi gadis yang didekatinya.

“I-iyalah. Mana ada gugup?” Demi menyembunyikan rasa gugupnya, Chika pun cengengesan saat menimpali kekasihnya itu dengan tergagap-gagap. Tapi tawanya jelas ia paksakan. “A-aku cuman sedikit merasa kurang bebas bernapas aja, Yang.”

“Oh ... gitu.” Senyum Briyan mengembang lagi. “Mau aku kasih napas buatan?” tanyanya kemudian, yang sukses membuat kedua bola mata Chika membulat.

Chika memang sempat menjalin kisah asmara sewaktu masih duduk di bangku SMA. Tapi, karena nasihat dari ibunya mengental dalam kepala, tak sekali pun ia berani menerima kecupan atau ciuman dari pacarnya.

Lantas, sekarang? Jantungnya begitu berdegup kencang saat Briyan mengatakan napas buatan, yang ia tahu kalau itu adalah ciuman antar bibir ke bibir. Seketika Chika menarik napas, lalu mengembuskannya sembari menelan ludah.

“N-napas buatan? Ng-nggak usah!” jawabnya, kikuk. Kemudian Chika berusaha berpaling dengan menyelipkan anak rambut yang berantakan, ke balik telinga menggunakan jemarinya. Karena tangannya itu bergetar, buru-buru ia pun menurunkan tangannya lagi.

Namun, bukan Briyan namanya kalau ia akan menyerah dengan mudah. Ia juga tak biasa menerima penolakan dari siapa pun, termasuk dari para wanita. Itu kenapa, Briyan begitu benci Adinda. Karena cuman Adinda yang berani menolak perasaannya, bulan lalu.

Tak peduli dengan jawaban Chika, Briyan yang merasa tak perlu bersalah karena status mereka pun mendekatkan wajahnya lagi dan lagi. Sehingga menghapus jarak di antara mereka saking dekatnya. Lantas, setelah meraih dagu gadis di hadapannya itu, Briyan pun mengecupnya perlahan-lahan. Satu kali, dua kali, sampai akhirnya ia mencium lekat bibir mungil nan seksi milik kekasihnya itu.

“Ya, Tuhan. Apa ini?” batin Chika. Namun, karena terbawa suasana, gadis bermata sipit itu tak dapat menolak apa yang dilakukan Briyan. Ia justru menikmatinya,  hanya dengan diam dan menerima setiap lumatan.

Sementara itu, Briyan pun tak kalah menikmati sensasi yang diciptakannya sendiri. Ciuman yang ia lakukan dengan Chika, entah kenapa merasa lain dari biasa. Chika begitu tenang dan lembut. Membuat Briyan benar-benar merasakan kenikmatannya.

Akan tetapi, di sisi lain, seseorang justru merasa jantungnya menggebu-gebu karena cemburu. Azka, lelaki yang dengan bodohnya mengantarkan Chika ke dalam kandang singa, sekarang tengah merasakan sesal tiada tara. Ia tak bisa melakukan apa pun. Padahal, hatinya begitu terluka saat melihat gadis yang ia suka justru tengah berciuman dengan lelaki, yang tak lain adalah bosnya sendiri.

“Bodoh!” umpatnya, seraya berpaling dan segera meninggalkan tempat parkir. “Kenapa bisa, gue pikir kalau Chika akan jatuh cinta sama gue setelah dicampakkan si bos?”


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status