Share

Bab. 2. Kekasih Idaman

Diiringi senyum semeringah, Briyan yang sengaja datang untuk memberi kejutan pada Chika pun menghampiri kekasihnya itu. Lantas, kedua tangan yang Briyan sembunyikan di balik punggung, seketika ia tunjukkan bersamaan dengan sebuket bunga mawar merah merona, lengkap dengan beberapa batang cokelat di dalamnya.

Katanya, “Sore, Sayang. Aku telat jemput nggak? Atau ... malah kecepatan?”

Pertanyaannya itu pun sukses membuat Chika terharu biru. Dia benar-benar merasa di atas awan sekarang. Sampai-sampai, Chika tak dapat menyembunyikan rona bahagia di pipinya yang tirus. Bahkan, refleks, tubuhnya bergerak kegirangan. Membuat Maya yang berdiri di sampingnya menyikut Chika agar bersikap anggun.

“Jadi cewek itu kudu kalem. Jan ganjen kek begitu!” bisik Maya, menasihati Chika yang mendadak ganjen bin labai.

“Iya-iya!” balas Chika, sama berbisik. Kemudian, gadis yang memakai gaun merah selutut itu pun melangkah maju. “Aku masih ada satu kelas lagi, Yang. Kamu kenapa nggak ngabarin dulu coba? Kan, aku bisa kasih tau jam pulang.”

“Bukan kejutan kalau aku kasih tahu mau datang ke sini. Tapi, karena aku sudah terlanjur datang, nggak apa-apa deh aku tunggu. Cuman sejam, kan? Atau ... dua jam?” tanya Briyan, seraya menyodorkan buket yang dibawanya itu pada Chika.

“Nggak sampai dua jam, sih. Tapi, tetep aja lama. Kamu sebaiknya pulang, Yang. Nggak apa-apa, kok. Aku biasa pulang sendiri dari dulu,” balas Chika sembari meraih buket dan menghidunya sekejap. Ia sangat menyukai bunga mawar. Itu kenapa, hatinya teramat senang.

“Nggak apa-apa. Aku juga udah biasa nunggu, kok.” Briyan malah bergurau sebelum akhirnya menyuruh Chika untuk segera meninggalkannya di sana. “Belajar yang bener!” lanjutnya. Sebagai kekasih, Briyan merasa perlu untuk mengingatkan Chika juga. Meski sebenarnya, ia belum benar-benar menyematkan hatinya pada gadis berambut lurus itu.

“Siap komandan!” timpal Chika, yang setelah itu, kemudian menggandeng tangan Maya untuk segera pergi dari sana. Saking semangat, terus saja Chika tertawa-tawa pelan. Sesekali, dia pun menengok untuk memastikan kekasihnya di belakang. Briyan masih di tempatnya. Kekasihnya itu bahkan melambai tiap kali Chika menoleh.

“Astaga! Gadis itu,” gumam Briyan sambil tersenyum lebar. Karena untuk pertama kali menjalin asmara dengan gadis kuliahan, itu pun baru masuk setahun lalu, Briyan merasa dirinya justru terbawa menjadi kekanak-kanakan. Padahal, hubungan mereka baru terhitung hari.

Briyan menggeleng diiringi seringai tipis dari bibirnya. Lantas, setelah jejak Chika dan Maya tak lagi dilihatnya, ia berbalik untuk kembali ke dalam mobil. Di sana, ia hendak menunggu Chika. Namun, baru saja hendak melangkah, kehadiran Azka benar-benar mengejutkannya.

“Astaga, Ka!” umpat Briyan seraya mengelus dada. “Untung nggak jantungan gue!” lanjutnya, yang seketika menarik dan mengembuskan napas ke udara. Briyan juga menggeleng, begitu Azka justru terbahak menertawakannya. “Malah ketawa dia. Gue santet juga lu!”

“Ampun, Bos!” Azka pun berusaha menghentikan tawanya, sampai menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Lantas berdiri tegak dalam sekejap. “Gue perhatiin, lu beneran naksir juga ternyata sama si Chika. Ahaha. Dia emang cantik, sih. Incaran gue juga sebenarnya.”

“Dih! Gosah genit-genit. Awas aja lu, pecat!” ancam Briyan, di mana dirinya adalah bos Azka sejak dua tahun terakhir. Namun, karena Azka sudah dianggapnya sebagai teman juga saudara, Briyan tak pernah sungguh-sungguh dengan ucapan yang sering kali dilontarkannya itu.

Seketika, kedua mata Azka pun langsung menyipit sambil berucap, “Bos kan cuman melampiaskan perasaan yang dicompang-camping Adinda. Nggak apa-apa lah nanti aku yang pungut itu si Chika.”

“Ngaco!” seloroh Briyan setelahnya. “Jangan bahas itu di sini bloon! Ketahuan Chika, mampus gue.”

“Halah. Sejak kapan, bos gue ini takut ma cewek? Lu pacarin Chika pan cuman buat manas-manasin Adinda. Ngapain juga meski takut? Dari awal udah begitu niatnya.” Azka pun tertawa sembari memperhatikan sekitar. Karena sebenarnya, dia juga takut kalau Chika sampai tahu niat bosnya itu.

Sebagai sahabat, tak seharusnya Azka menyerahkan Chika pada lelaki yang jelas-jelas cuman ingin sekedar main-main. Tapi, karena takut dipecat, ia pun terpaksa mengabulkan keinginan bosnya itu saat minta dikenalkan dengan Chika.

“Halah!” ujar Briyan. Mendengar Azka bicara perihal busuk niatnya itu membuat ia malas berlama-lama di sana. “Dahlah. Gue mo ngaso dulu. Lu gosah ikut!”

“Lah, GR. Sapa pula mau ikut. Dah!” timpal Azka sembari meninggalkan Briyan lebih dulu. Bahkan, ia masih sempat tertawa-tawa saat menyusul teman-teman satu kelasnya yang lain.

“Astaga, ini anak. Kalau aja dah nggak gue anggap teman, habis lu gue pecat. Jadi sopir kok berani ngetawain majikan. Ya, gila!”

Sembari menggeleng-geleng nggak jelas, Briyan pun melanjutkan langkah yang tadi sempat terhenti. Dia buru-buru pergi ke tempat parkir untuk menunggu Chika di sana saja, daripada di dalam. Pikirnya, di luar ia bisa bebas menyulut rokok.

Setibanya di samping mobil, Briyan pun menyandarkan punggungnya itu di bagian pintu depan, samping kanan. Lantas, sebelah tangannya itu merogoh saku celana. Diambilnya sebungkus rokok. Kemudian ia menyulutnya dengan korek api.

Diisapnya dalam-dalam rokok tersebut sembari mengedarkan pandangan. Briyan melihat begitu banyak perubahan di sana, tempat di mana beberapa tahun silam, dirinya menempuh pendidikan di kampus itu. Mulai dari tempat parkir yang kian meluas. Juga ruangan yang dulunya belum sebanyak itu, sekarang sudah memenuhi lahan kampus itu sendiri.

Dirasa-rasa, waktu belajar Chika masih satu jam lebih lagi. Itu artinya, Briyan masih harus berpanas-ria demi menunggu Chika. Namun, karena gerah, Briyan pun masuk ke mobil untuk menikmati AC dalam mobilnya itu.

“Gue macarin Chika emang cuman buat memanas-manasi Adinda. Dan, gue belum sempat bikin Adinda panas. Jadi, sebaiknya lu sabar dulu, Bro. Belum saatnya lu bahas tentang berakhirnya hubungan gue sama Chika. Gue, bahkan belum melakukan apa-apa.”

Senyum sinis pun menyeringai dari bibir lelaki keturunan Jawa-Sunda itu. Briyan rasa, Azka terlalu terburu-buru. Merasa jauh lebih nyaman ketimbang di luar mobil, Briyan pun memejamkan matanya cepat. Lantas ia bersandar di sandaran kursi, dengan kedua tangan yang ia tarik ke belakang kepala, sebagai bantal. Briyan menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan.

“Harusnya, kalau lu ada rasa sama si Chika, ya nggak usah dikenalin ke gue. Heran!” batinnya, merasa aneh karena sikap Azka yang seolah-olah tiba-tiba peduli terhadap Chika. Padahal, Azka sendiri yang menjebloskan Chika ke dalam kandang singa.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status