Yara berdecak kesal, berusaha mengatur emosinya yang sudah naik sejak Adam menemuinya di lorong menuju toilet.
Serius, sampai detik itu Yara masih belum paham, apa urusan Adam dengan kehidupannya. Yara berhak melakukan apa pun tanpa perlu direcoki olehnya yang hanya merupakan masa lalu.
"Langsung pulang, Mbak Yara?" tanya orang suruhan papanya yang duduk di balik setir. Sementara seorang yang lain hanya melirik Yara melalui rear view mirror.
"Iya lah, Pak. Mau ke mana lagi. Tolong bilangin supir yang standby di apartemen untuk pulang juga, Pak."
Yara menghela napas lelah, tidak biasanya ia memerintah orang seperti itu. Tapi ia sudah terlalu malas, bahkan untuk mengetikkan pesan kepada supirnya. Sampai ponselnya bergetar berkali-kali pun masih diabaikannya. 'Paling papa atau Adam, biarin lah.'
Baru setelah beberapa saat kemudian, getaran ponselnya tidak juga berhenti dan akhirnya Yara mengalah untuk mengecek siapa sang penelepon. "Astaga! Kak B
Adam berjalan tergesa menuju restoran yang ada di Lantai 2, hotel tempatnya bekerja. Beberapa menit sebelumnya, ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk, dan ia langsung meneguk salivanya ketika membaca pesan itu. Papanya Yara: Adam, lagi sibuk nggak? Adam mengetik dengan cepat balasan untuk lelaki paruh baya yang sampai detik itu masih sangat diseganinya. Adam: Nggak terlalu om, ada apa ya om? Papanya Yara: Om baru kelar meeting di restoran hotel tempat kamu kerja Papanya Yara: Bisa temenin om makan siang? Adam: Ok om, saya ke sana sekarang Pasti ada hubungannya dengan dirinya yang memaksa Yara pulang malam sebelumnya. Tidak mungkin dengan iseng seorang Narendra Rafardhan Candra mengajak makan siang mantan pacar anaknya. Mudah untuk menemukan sosok lelaki paruh baya yang akan ditemuinya itu. Adam harus mengakui kalau postur tubuh dan sikap yang ditunjukkan lelaki itu memiliki kharisma yang sulit terelakkan.
"Kenapa aku nggak tenang ya?" Adam mondar-mandir di dalam kamar apartemennya dengan gelisah. Ucapan Yara yang akan membalas kelakuan Bisma lah yang menjadi alasannya. Wanita itu, sepanjang pengetahuannya bisa melakukan hal-hal gila ketika ia merasa diusik. Kadang hal gila itu berakhir membahayakan bagi dirinya sendiri. Seperti ketika Yara dulu dirundung kakak kelasnya di SMA, Yara memilih diam. Namun entah bagaimana caranya, beberapa hari setelahnya Yara berhasil memacari satu per satu pacar atau incaran dari setiap kakak kelas yang merundungnya. Cara itu cukup berhasil mempecundangi kakak kelasnya, tapi kemudian Yara kesulitan sendiri saat akan menghempaskan para laki-laki yang sebenarnya ia pacari hanya untuk membalas dendam. Bagaimana kalau kali ini Yara menggunakan cara absurd lagi untuk membalas dendam? Karena rasa tidak tenangnya itu, Adam akhirnya menghubungi Yara. Panggilannya baru diangkat setelah dua kali ia mencoba. 'Dasar, sok sibu
"Babe, semalem ke mana? Whatsappku nggak kamu bales?" Pagi itu Adam menyempatkan waktunya untuk menghubungi Lintang yang semakin lama semakin susah dihubungi. "Sorry, Babe. Ada klien yang minta ketemu sambil makan malam. Abis pulang aku kecapekan, langsung tidur jadinya." "Oooh, lain kali kasih tau ya, aku khawatir." "Iya. Udah ya, Babe, aku ada meeting sama supplier habis ini." "Ok, ya udah. Nanti aku telepon lagi." "Hmm." Usai Lintang memutus panggilan telepon itu, Adam memandang layar ponsel dan mengulir history chat-nya dengan Lintang akhir-akhir ini. Entah dia yang terlalu sensitif karena memikirkan interior rumah dan persiapan pernikahan mereka, atau memang Lintang belakangan ini seperti berjarak darinya. Setiap pesan yang dikirimnya, baru dibalas Lintang beberapa jam kemudian, kadang malah tidak berbalas. Telepon juga hanya di saat-saat tertentu diangkat Lintang, sisanya pasti menjadi panggilan tak terjaw
"It's not your business, Yara!" gumam Yara untuk mengingatkan dirinya sendiri. "Itu urusan dia, mau diselingkuhin kek, mau dianya yang selingkuh, itu urusan Adam, yang cuma seorang mantan. Fokus Ra! Fokus!" Sejak ia melihat Lintang bersama Sakti di depan lift hotel, otaknya terus membuat berbagai pertanyaan dan asumsi. Pertemuannya dengan kliennya yang seorang influencer terkenal berjalan lancar, walau ia terpaksa mengeluarkan recorder karena otaknya sedang tidak fokus. Biasanya catatan-catatan hasil meeting-nya dengan klien cukup ia catat dalam notes-nya, tapi kali ini benar-benar tidak bisa. Ia khawatir ada detai yang tertinggal karena ketidakfokusannya. Sampai saat ia sudah kembali ke kantor dan berhadapan dengan komputernya pun, pikiran Yara masih terusik dengan apa yang disaksikannya siang tadi. Beruntung dering ponselnya berhasil membuyarkan lamunannya. "Kenapa, Yan?" tanya Yara begitu mengetahui kalau sahabatnya lah yang menghubungi.
"Kenapa, Dam?" tanya Yara saat melihat Adam meneleponnya. Saat ini Yara sedang dalam perjalanan menuju salah satu kantor kontraktor yang akan membangun sebuah apartemen di kawasan pinggiran Jakarta. Bosnya yang tidak lain adalah omnya, meminta asistensinya karena pegawainya yang seharusnya meng-handle proyek itu sedang sakit. "Kapan jadinya kamu bisa lihat rumahku?" "Oh iya, sebenernya ini aku lagi keluar, gantiin temen kantorku yang lagi sakit. Kalau setelah makan siang bisa?" "Hmm ... Jam dua atau setengah tiga bisa, Ra? Aku ada janji sama WO soalnya pas makan siang, takutnya lama ketemunya." Yara terdiam, ingatannya tentang Lintang beberapa hari sebelumnya tiba-tiba menyapanya. 'Bukan urusanmu, Yara!' "Yara? Bisa nggak?" "Oh, iya, iya, bisa. Share loc ya nanti." "Kamu bawa mobil sendiri?" "Iya, aku bawa mobil kok." "Ok, nanti aku share loc, nggak terlalu susah kok daerahnya." Setelah memutuska
"Serius amat, Ra," sindir Nana begitu melihat Yara yang sudah memelototi layar komputer padahal biasanya Yara memilih menghabiskan waktu di pantry, menyesap kopi sembari menunggu jam masuk kerja daripada berkutat dengan pekerjaan sebelum jam masuk yang sebenarnya. Yara tidak mau memperkaya omnya yang sering mengeksploitasi kemampuan dan tenaganya. "Buset, lo baca peraturan? Gue pikir lagi ngerjain desain." "Totalitas, Na. Lo tau kan kalo proyek yang ada hubungannya sama pemerintah itu ribet." "Emang lo ngerti baca peraturan gitu?" "Nggak juga sih." Keduanya lantas terbahak. "Buset, ini bahasanya muter-muter. Mending gue baca novel deh." "Ya terus apa yang lo pantengin dari tadi?" "Susunan huruf-huruf yang membentuk kata dan terangkai jadi satu kalimat, tapi sayangnya gagal gue pahami." Tawa Nana kian meledak setelah mendengar betapa absurd-nya Yara. "Ngopi di pantry aja yuk ah. Nggak usah sok-sokan deh l
"Yara? Shit!" Wanita yang akhirnya menyadari keberadaan Yara itu langsung merapikan kemeja chiffon miliknya yang sudah hampir tertanggalkan dari tubuhnya. Lelaki yang masih berada di pelukan wanita itu pun tidak kalah terkejut, lantas ikut merapikan kemejanya. Yara menutup matanya, tanpa bicara ia melangkah pergi. "Yara!" panggil seseorang dari dalam rumah saat Yara hampir menjangkau gerbang. Yara tidak peduli, ia masih meneruskan langkahnya. Satu langkah lagi ia akan menjangkau pintu gerbang, tapi tangan seseorang lebih dulu mencekalnya. "Yara, please, dengerin aku dulu." Mau tidak mau Yara terpaksa berhenti dan menunggu wanita itu bicara. Dengan rasa jijik yang kentara, Yara melepaskan cekalan tangan Lintang, calon istri Adam. "Yara, ini nggak kayak yang kamu lihat. Aku tadi--" "Apa? Lagi cosplay jadi pemeran Fifty Shade of Grey?" "Yara! Jangan kurang ajar kamu ya, mentang-mentang kamu temennya Adam."
"Yaraaa!" Sumpah! Yara ingin mengumpati Rian yang mengganggu tidurnya dengan suara cemprengnya itu. Seorang Rian tentu saja bisa bebas keluar masuk ke rumah Yara karena semua anggota keluarganya bahkan ART-nya telah mengenal baik siapa Rian, sahabatnya sejak SMP. "Apaan sih? Hari Sabtu juga. Berisilk lo ah." Yara kembali menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya. "Yaraaa, banguuun. Ayo pergi." "Nggak mau. Ngantuk." Yara memang bergadang semalaman untuk menonton beberapa episode Lakorn (Series Thailand) yang memang disukainya semata-mata karena bisa membuatnya tertawa. Setelah kejadian Lintang yang berlutut di depannya, tentu saja pikirannya kacau, terjebak antara rasa bersalah pada Adam dan permintaan Lintang. Ia ingin menonton apa pun atau melakukan apa pun yang mampu membuatnya tertawa. "Ayo ah, Eka, Rani, Bagus, pokoknya temen-temen kelas satu SMA kita pada mau ngumpul. Lo nggak buka w******p group ya?" Rian menarik selim