"Kenapa aku nggak tenang ya?" Adam mondar-mandir di dalam kamar apartemennya dengan gelisah. Ucapan Yara yang akan membalas kelakuan Bisma lah yang menjadi alasannya.
Wanita itu, sepanjang pengetahuannya bisa melakukan hal-hal gila ketika ia merasa diusik. Kadang hal gila itu berakhir membahayakan bagi dirinya sendiri.
Seperti ketika Yara dulu dirundung kakak kelasnya di SMA, Yara memilih diam. Namun entah bagaimana caranya, beberapa hari setelahnya Yara berhasil memacari satu per satu pacar atau incaran dari setiap kakak kelas yang merundungnya.
Cara itu cukup berhasil mempecundangi kakak kelasnya, tapi kemudian Yara kesulitan sendiri saat akan menghempaskan para laki-laki yang sebenarnya ia pacari hanya untuk membalas dendam.
Bagaimana kalau kali ini Yara menggunakan cara absurd lagi untuk membalas dendam?
Karena rasa tidak tenangnya itu, Adam akhirnya menghubungi Yara. Panggilannya baru diangkat setelah dua kali ia mencoba. 'Dasar, sok sibu
"Babe, semalem ke mana? Whatsappku nggak kamu bales?" Pagi itu Adam menyempatkan waktunya untuk menghubungi Lintang yang semakin lama semakin susah dihubungi. "Sorry, Babe. Ada klien yang minta ketemu sambil makan malam. Abis pulang aku kecapekan, langsung tidur jadinya." "Oooh, lain kali kasih tau ya, aku khawatir." "Iya. Udah ya, Babe, aku ada meeting sama supplier habis ini." "Ok, ya udah. Nanti aku telepon lagi." "Hmm." Usai Lintang memutus panggilan telepon itu, Adam memandang layar ponsel dan mengulir history chat-nya dengan Lintang akhir-akhir ini. Entah dia yang terlalu sensitif karena memikirkan interior rumah dan persiapan pernikahan mereka, atau memang Lintang belakangan ini seperti berjarak darinya. Setiap pesan yang dikirimnya, baru dibalas Lintang beberapa jam kemudian, kadang malah tidak berbalas. Telepon juga hanya di saat-saat tertentu diangkat Lintang, sisanya pasti menjadi panggilan tak terjaw
"It's not your business, Yara!" gumam Yara untuk mengingatkan dirinya sendiri. "Itu urusan dia, mau diselingkuhin kek, mau dianya yang selingkuh, itu urusan Adam, yang cuma seorang mantan. Fokus Ra! Fokus!" Sejak ia melihat Lintang bersama Sakti di depan lift hotel, otaknya terus membuat berbagai pertanyaan dan asumsi. Pertemuannya dengan kliennya yang seorang influencer terkenal berjalan lancar, walau ia terpaksa mengeluarkan recorder karena otaknya sedang tidak fokus. Biasanya catatan-catatan hasil meeting-nya dengan klien cukup ia catat dalam notes-nya, tapi kali ini benar-benar tidak bisa. Ia khawatir ada detai yang tertinggal karena ketidakfokusannya. Sampai saat ia sudah kembali ke kantor dan berhadapan dengan komputernya pun, pikiran Yara masih terusik dengan apa yang disaksikannya siang tadi. Beruntung dering ponselnya berhasil membuyarkan lamunannya. "Kenapa, Yan?" tanya Yara begitu mengetahui kalau sahabatnya lah yang menghubungi.
"Kenapa, Dam?" tanya Yara saat melihat Adam meneleponnya. Saat ini Yara sedang dalam perjalanan menuju salah satu kantor kontraktor yang akan membangun sebuah apartemen di kawasan pinggiran Jakarta. Bosnya yang tidak lain adalah omnya, meminta asistensinya karena pegawainya yang seharusnya meng-handle proyek itu sedang sakit. "Kapan jadinya kamu bisa lihat rumahku?" "Oh iya, sebenernya ini aku lagi keluar, gantiin temen kantorku yang lagi sakit. Kalau setelah makan siang bisa?" "Hmm ... Jam dua atau setengah tiga bisa, Ra? Aku ada janji sama WO soalnya pas makan siang, takutnya lama ketemunya." Yara terdiam, ingatannya tentang Lintang beberapa hari sebelumnya tiba-tiba menyapanya. 'Bukan urusanmu, Yara!' "Yara? Bisa nggak?" "Oh, iya, iya, bisa. Share loc ya nanti." "Kamu bawa mobil sendiri?" "Iya, aku bawa mobil kok." "Ok, nanti aku share loc, nggak terlalu susah kok daerahnya." Setelah memutuska
"Serius amat, Ra," sindir Nana begitu melihat Yara yang sudah memelototi layar komputer padahal biasanya Yara memilih menghabiskan waktu di pantry, menyesap kopi sembari menunggu jam masuk kerja daripada berkutat dengan pekerjaan sebelum jam masuk yang sebenarnya. Yara tidak mau memperkaya omnya yang sering mengeksploitasi kemampuan dan tenaganya. "Buset, lo baca peraturan? Gue pikir lagi ngerjain desain." "Totalitas, Na. Lo tau kan kalo proyek yang ada hubungannya sama pemerintah itu ribet." "Emang lo ngerti baca peraturan gitu?" "Nggak juga sih." Keduanya lantas terbahak. "Buset, ini bahasanya muter-muter. Mending gue baca novel deh." "Ya terus apa yang lo pantengin dari tadi?" "Susunan huruf-huruf yang membentuk kata dan terangkai jadi satu kalimat, tapi sayangnya gagal gue pahami." Tawa Nana kian meledak setelah mendengar betapa absurd-nya Yara. "Ngopi di pantry aja yuk ah. Nggak usah sok-sokan deh l
"Yara? Shit!" Wanita yang akhirnya menyadari keberadaan Yara itu langsung merapikan kemeja chiffon miliknya yang sudah hampir tertanggalkan dari tubuhnya. Lelaki yang masih berada di pelukan wanita itu pun tidak kalah terkejut, lantas ikut merapikan kemejanya. Yara menutup matanya, tanpa bicara ia melangkah pergi. "Yara!" panggil seseorang dari dalam rumah saat Yara hampir menjangkau gerbang. Yara tidak peduli, ia masih meneruskan langkahnya. Satu langkah lagi ia akan menjangkau pintu gerbang, tapi tangan seseorang lebih dulu mencekalnya. "Yara, please, dengerin aku dulu." Mau tidak mau Yara terpaksa berhenti dan menunggu wanita itu bicara. Dengan rasa jijik yang kentara, Yara melepaskan cekalan tangan Lintang, calon istri Adam. "Yara, ini nggak kayak yang kamu lihat. Aku tadi--" "Apa? Lagi cosplay jadi pemeran Fifty Shade of Grey?" "Yara! Jangan kurang ajar kamu ya, mentang-mentang kamu temennya Adam."
"Yaraaa!" Sumpah! Yara ingin mengumpati Rian yang mengganggu tidurnya dengan suara cemprengnya itu. Seorang Rian tentu saja bisa bebas keluar masuk ke rumah Yara karena semua anggota keluarganya bahkan ART-nya telah mengenal baik siapa Rian, sahabatnya sejak SMP. "Apaan sih? Hari Sabtu juga. Berisilk lo ah." Yara kembali menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya. "Yaraaa, banguuun. Ayo pergi." "Nggak mau. Ngantuk." Yara memang bergadang semalaman untuk menonton beberapa episode Lakorn (Series Thailand) yang memang disukainya semata-mata karena bisa membuatnya tertawa. Setelah kejadian Lintang yang berlutut di depannya, tentu saja pikirannya kacau, terjebak antara rasa bersalah pada Adam dan permintaan Lintang. Ia ingin menonton apa pun atau melakukan apa pun yang mampu membuatnya tertawa. "Ayo ah, Eka, Rani, Bagus, pokoknya temen-temen kelas satu SMA kita pada mau ngumpul. Lo nggak buka w******p group ya?" Rian menarik selim
"Eeeeh, ada bos aku main ke rumah," sindir Yara begitu melihat keberadaan lelaki yang setiap hari Senin sampai Juma dilihatnya di kantor, kini merebahkan diri dengan santai di sofa rumahnya. Meskipun mereka sering berdebat, sering perang dingin, tapi kalau sudah di luar ranah pekerjaan, Yara menaruh hormat pada omnya dan kadang bermanja (kalau sedang khilaf). Yara mendekat dan mencium punggung tangan omnya. "Coba, kalo di kantor manis kayak gini, nggak ngajak debat terus, Om naikin gaji kamu." Yara memutar kedua bola matanya dengan malas. "Om pikir perusahaan Om maju sepesat ini karena apa?" "Bukan karena kamu pastinya," jawab Ranu santai, masih memejamkan matanya. "Siapa yang mau bilang karena aku? Perusahaan Om itu berkembang pesat karena seringnya kita debat sampai kita menemukan pemecahan masalah yang brilian. Perusahaan kita jadinya dinamis, kreatif, penuh strategi, inovatif. Nggak kayak perusahaan lain yang stafnya iya-iya aja ke atasan,
"Pagi, Pak Ranu." Yara sengaja menemui omnya di pagi hari sambil membawakan carrot cake buatan mamanya untuk menyogok omnya demi permintaan yang beberapa detik lagi akan diucapkannya. Sebelum masuk ruangan bosnya, Yara sengaja menenangkan diri dan bertekad tidak akan menimbulkan perdebatan sengit pagi itu. "Pasti ada maunya." Ranu sudah mengenal Yara sejak lahir, tentu saja ia tahu gerak-gerik Yara dan segala makna tersirat di baliknya. "Ini loh Pak, mamaku tercinta bawain carrot cake buat adiknya tersayang," ucap Yara sambil meletakkan satu kotak makan besar di meja. Sebuah senyuman langsung membingkai wajah Ranu ketika melihat kotak makan di hadapannya. "My sister is thr best." "Hmm. Indeed. Jadi, Om--" Yara melirik ke arah Ranu yang terlihat mulai sibuk membuka kotak makan dan mencomot sepotong carrot cake, barulah Yara melanjutkan ucapannya. "Ini progress report semua kerjaan aku. Aku sekarang lagi megang empat proyek, salah satunya yang rumah Ada