Setelah noda kopi itu menghilang, aku kemudian mengibas-ngibaskan kemeja itu agar bagian yang aku basuh tadi segera mengering. Semerbak harum parfum dari kemeja yang ku pegang saat ini tiba-tiba menyapa hidungku. Aku menghirupnya dalam-dalam. Ah! Benar-benar sangat memanjakan hidung dan pikiranku. Untuk beberapa saat, aku terdiam dalam lamunan. Tapi, lamunanku tiba-tiba buyar ketika seseorang masuk ke dalam toilet. Aku tersadar. Kepalaku langsung menggeleng-geleng tak menentu. Sebisa mungkin aku membuang pikiran kotor yang bersarang di kepalaku.
Ku lihat wanita yang baru masuk ke dalam toilet tadi menaikkan satu alisnya ke arahku. Mungkin dia heran melihatku karena mendapati aku yang sedang menghirup udara di dalam toilet, padahal aku sedang menikmati harumnya parfum dari baju supervisorku ini. Tanpa mempedulikan tanggapan dari wanita yang juga tim leader di kantorku ini, aku langsung melangkah keluar menuju ruangan supervisorku kembali.
Tok tok tok...
Aku mengetuk pintu supervisorku.
"Masuk!" teriak pak Bryan dari dalam.
Ceklek!
Aku langsung membuka pintu itu, dan masuk ke dalam ruangan pak Bryan lalu menutup dan mengunci pintu itu kembali. Dengan langkah gontai, aku berjalan mendekati supervisorku yang sedang duduk bertelanjang dada!
"Maaf, membuat Bapak lama menunggu! Ini pakaian Bapak!" ucapku memelas sambil menyerahkan pakaian itu kepada pak Bryan.
Pak Bryan menerima pakaiannya yang baru saja ku basuh itu. Dia memperhatikan pakaiannya dengan seksama. Tapi ku lihat, wajah tampannya tiba-tiba mengkerut. Pak Bryan memutar-mutar kemeja itu. Dan dengan raut wajah yang menegang, dia mendongakkan kepalanya ke arahku yang sedang berdiri kaku di sebelah tempat duduknya.
"Kenapa baju saya jadi kusut begini?! Bagaimana mungkin saya bisa memakai baju yang sudah kusut begini?! Apa yang kamu lakukan pada pakaian saya?! Kamu sengaja ya membuat saya tidak dapat menghadiri meeting kali ini! Kamu pasti dendam sama saya kan, karena saya menyuruhmu untuk membasuh pakaian saya ini? Ha?" kecam pak Bryan kepadaku.
Yaelah, Pak! Kusut dikit doang segitu murkanya! Lagian, gimana gak kusut tu baju, lah kan tu baju tadi aku kucek-kucek. Ya sudah pastilah bakalan kusut!
Aku menggigit bibir bawahku. Ku lihat sorot mata pak Bryan sudah menyala-nyala menatap ke arahku. Baju itu hanya di bagian yang aku kucek saja yang terlihat kusut, sementara di bagian lainnya terlihat rapi sama seperti awal pak Bryan kenakan sebelum ini.
"Ma-maaf Pak! Tadikan baju itu memang saya kucek, makanya jadi kusut begitu! Sekali lagi saya mohon maaf Pak!"
Maaf, maaf dan maaf! Sepertinya dari tadi kata itu yang selalu keluar dari mulutku. Harus bagaimana lagi aku bersikap di depan atasanku ini? Kenapa sepertinya dia dari tadi mengecamku terus! Andai aku tidak memikirkan adab dan sopan santun, pasti aku sudah langsung kabur dari sini. Rasanya aku ingin berlari saja dari ruangan ini, meninggalkan pak Bryan dalam amarahnya.
"Jika kerjamu benar dan teliti, pasti baju saya tidak akan kusut seperti ini! Seharusnya kamu tidak menguceknya dengan kuat, kalau kamu melakukannya dengan kelembutan ... pasti baju saya masih dalam keadaan rapi seperti tadi!" paparnya lagi.
Aku tersentak mendengar perkataannya barusan. Apa yang dia katakan? Dia menuduhku tidak benar dan tidak teliti dalam membersihkan noda di pakaiannya? Dan dia juga mengatakan kalau seharusnya aku tidak menguceknya dengan kuat? Apa aku tidak salah? Oh, God! Jelas-jelas dia yang menyuruhku untuk membasuh noda kopi itu, ya tentu saja dong aku bakalan menguceknya. Kalau hanya sekedar membasuh saja, mana mungkin noda kopi itu bakalan hilang. Yah ... walaupun noda itu masih membekas sedikit sih, tapi setidaknya tidak kelihatan seperti sebelumnya.
"Lalu saya harus bagaimana lagi Pak! Kan Bapak sendiri yang menyuruh saya untuk membasuh noda kopi itu, dan saya menurutinya. Kalau hanya dengan membasuh saja, tidak akan mungkin bisa menyamarkan noda kopi itu Pak, makanya tadi saya menguceknya dengan kuat!" Kali ini aku memberanikan diri untuk berbicara lantang kepadanya.
Brakk!
Aku kaget bukan main, mataku terbelalak. pak Bryan memukul meja kerjanya dengan kuat. Dia bangkit dari duduknya dan menatapku nanar. Ada emosi yang terpancar dari mata dan raut wajahnya. Dia pasti tidak senang atas ucapanku tadi. Aku gelagapan. Salah tingkah, itu sudah pasti. Apalagi ku lihat pak Bryan mulai berjalan pelan ke arahku. Oh ... Tuhan! Tolong aku!
"Apa kau tidak senang dengan perintahku tadi?" ucapannya tidak lagi lembut seperti sebelumnya. Dia gusar. Pak Bryan terus melangkah pelan mendekatiku, sadar akan hal itu, aku pun segera melangkah mundur ke belakang.
"Ti-tidak Pak!" jawabku terbata-bata. Pak Bryan terus berjalan mendekatiku. Aku terus dan terus melangkah mundur.
"Lalu, kenapa kau bicara lantang seperti tadi! Bukankah kau yang bersalah? Kenapa kau menumpahkan kopi ke pakaianku? Kau tahu ... gara-gara ulahmu, aku sampai ketinggalan jam meeting! Meetingku dipercepat! Aku terpaksa permisi kepada atasanku dengan alasan aku kurang enak badan dan meminta izin untuk segera pulang! Itu semua aku lakukan karena ulahmu! Apa kau sengaja? Kau sengaja kan melakukannya karena kau ingin lebih lama bersamaku di sini!"
Hah! Apa??!
Laki-laki ini bilang apa tadi? Dia bilang aku sengaja menumpahkan kopi ke pakaiannya agar aku bisa lebih lama bersamanya di sini? Wahh ... hebat sekali penilaianmu pak! Oke, aku akui memang aku salah karena sudah menumpahkan kopi hingga mengenai pakaianmu, aku juga mengakui kalau aku juga kagum kepadamu. Tapi seberapa pun kagumnya aku kepadamu, aku tidak pernah punya niat untuk berlama-lama berduaan bersamamu, apalagi di ruangan tertutup seperti ini.
Akkhhh ....!
Aku melenguh. Ku rasakan bagian tubuh belakangku sudah membentur tembok. Aku terkesiap tidak dapat mundur lagi. Sementara pak Bryan sudah berada beberapa centi di hadapanku dan mengunci tubuhku dengan kedua tangannya yang dia sandarkan ke tembok. Mataku melebar melihat ini. Apa yang mau dilakukannya terhadapku? Apa dia mau menghukumku? Tapi hukuman macam apa ini? Kenapa dia seakan ingin merapatkan tubuhnya ke tubuhku? Apa dia tidak sadar saat ini dia sedang bertelanjang dada? Ini sangat tidak enak dilihat. Bagaimana jika ada seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan ini! Bukankah nanti akan menimbulkan suatu kabar berita yang tidak tidak?
Semua pikiranku itu lenyap ketika aku tiba-tiba saja mengingat kalau pintu ruangan ini sudah terkunci. Dan yang mengunci pintu itu adalah AKU!!
***
(Bersambung)
Dalam samar-samar penglihatan, aku mencoba membuka mataku yang terasa berat. Tersenyum ketika melihat suami yang sedang duduk di tepi ranjang. Menggendong bayi mungil kami dengan raut wajah yang sumringah. Aku dan bayiku sudah dibolehkan pulang dua hari yang lalu. Dan tadi, aku disuruh Bryan istirahat sejenak. Dia yang menggantikan tugasku menjaga si baby. Kebetulan hari ini hari libur. Bryan bilang, aku harus banyak istirahat agar tidak terlalu lelah. Agar ASI eksklusif yang aku berikan kepada bayi kami tetap lancar. Maklum, memang belum seminggu aku menjadi seorang ibu. Tapi, semua tanggungjawab ini sudah membuatku kalang kabut. Sebab aku tidak punya pengalaman mengurus bayi. Jangankan bayi, menjaga adik saja aku tidak pernah. Sebab aku kan anak tunggal. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu, berusaha untuk duduk dan bersender di ranjang. Ngilu jahitan caesarku masih terasa. "Apa dia rew
Bintang-bintang terlihat begitu cantik menghiasi langit malam yang gelap. Ada bulan separuh di tengah-tengah mereka. Seakan menjadi ratu di antara hamparan bintang-bintang itu.Di balkon kamar, aku berdiri menengadah ke atas langit. Tersenyum dalam lamunan. Menyaksikan indahnya ciptaan Tuhan. Ku elus perutku yang sudah membuncit. Gerakan si jabang bayi langsung menyambut tanganku. Begitu kuat dan aktif. Membuatku tertawa dalam hati.Tidak terasa kini usia kehamilanku sudah memasuki usia 9 bulan. Hamil di usia muda tidak mudah bagiku. Aku sempat mengalami stres saat trimester pertama dan kedua. Panik memikirkan bagaimana rasanya persalinan nanti. Beruntung ibu dan suamiku selalu menyemangatiku, hingga aku dapat menyingkirkan pikiran buruk yang ada di otakku.Sekarang berat badanku naik dua kali lipat. Wajar saja, karena selama hamil, nafsu makanku naik dari biasanya. Ditambah lagi dengan sikap suami yang selalu mengingatk
Perutku benar-benar sedang keroncongan sekarang. Sampai badanku gemetaran karena menahan lapar. Setelah tadi makan siangku tertunda karena jengkel dengan bik Sumi, sekarang aku harus kembali menunda untuk makan. Sebab aku sedang menunggu makanan yang ingin aku cicipi. Nasi goreng kampung buatan suami dadakanku sedang bergumul dalam wajan.Tak pernah ku sangka, aku akan menghadapi hari-hari seperti ini. Rumahku terasa ramai dengan kehadiran suami dadakanku. Bagaimana tidak, dia selalu saja membuatku jengkel. Begitu juga dengan bi Sumi. Mereka bagaikan dua kubu yang berbeda jenis tapi satu haluan. Mahir sekali membuatku kesal.Akan tetapi, kekesalan itu kini berubah 180 derajat. Sepertinya tingkah kedua orang ini sekarang berubah menjadi semacam hiburan bagiku. Sebab aku tidak lagi merasakan yang namanya kesunyian di rumah ini seperti hari-hari sebelumnya. Bryan dan bi Sumi berhasil mengembalikan senyumku.Klentang, klenteng!Suara sendok dan wajan pe
Anandita POV~Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Perutku keroncongan. Pantas saja tidurku terganggu, aku kan belum makan siang. Ketika aku membuka mata, tak sengaja pandanganku tertoleh ke samping. Mataku langsung menangkap sosok Bryan yang tertidur pulas di sampingku. Tepatnya di bahuku. Kepalanya bertengger di bahu polosku yang tanpa alas.Melihat keberadaannya, baru aku sadar kenapa tubuhku terasa lelah tak karuan. Aku baru ingat tadi Bryan menjelajahi seluruh lekuk tubuhku hingga akhirnya dia kembali menggauliku. Aku terhanyut dalam sentuhannya, terbuai pada indahnya surga dunia. Meski masih terasa perih, tapi aku menikmati permainannya. Sebab dia melakukannya dengan lembut. Tidak seperti ketika pertama kali dia menjamahku. Begitu kasar dan sama sekali tidak memikirkan kesakitan yang aku rasakan saat itu.Aku mengeliatkan tubuh. Badanku terasa remuk. Persetubuhan yang kami lakukan tadi benar-benar menguras tenaga. Hingga tanpa sengaja kami
Bryan POV~"Kau sudah sadar?" tanyaku ketika Anandita sudah sempurna membuka matanya.Anandita langsung kaget ketika menyadari keberadaanku yang tepat berada di atasnya. Aku duduk di tepi ranjang dengan separuh badan yang mengurung tubuh mungilnya."Kau?""Ssshh ...."Cepat aku menahannya, menenangkannya agar tidak mengamuk seperti biasa. Dan untungnya, dia menurut. Anandita kembali tenang. Meski matanya menyiratkan sebuah ketakutan yang tak menutup kemungkinan adanya pertanyaan di sana."Tenanglah! Kau jangan terlalu banyak bergerak," ucapanku pelan. Mengelus kening atasnya dengan lembut."A-apa yang terjadi padaku? Dan kenapa aku tiba-tiba bisa ada di kamar ini?" tanyanya dengan suara parau."Kau pingsan. Makanya aku membaringkanmu di ranjang.""Pingsan?"Aku mengangguk cepa
Anandita POV~Perutku terasa begah karena memaksakan diri menghabiskan sepiring nasi goreng. Posisiku masih sama seperti tadi. Berhadapan dengannya yang juga telah selesai menyantap sajian bi Sumi. Bahkan saat makan pun, dia tetap fokus melihatku. Mengawasiku agar aku menghabiskan makanan ini. Anehnya, kenapa aku harus takut? Aku benar-benar payah! Sangat pengecut, seperti anak kecil yang takut dimarahi oleh orang tuanya. Oh ... God!Aku mendorong kursi, bangkit dari duduk."Aku mau mandi. Kau tetaplah di sini sampai aku selesai!" titahku pada Bryan.Bryan yang baru saja meneguk segelas air putih, langsung mendongak melihatku."Ngapain aku di sini? Kalau aku ikut denganmu, emang kenapa?" tanyanya menyelidik.Aku mendesah. Melipat kedua tangan ke dada."Kalo kau ikut masuk ke kamar, bagaimana bisa aku memakai pakaianku! Aku tidak terbiasa memakai baju di dalam toilet!" keluhku. Berharap dia mau memahami.Bryan berdehem, menyerin