Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak harus menemuinya! Apa maksud dari ucapannya tadi! Kenapa dia ingin aku menemuinya di kantor?
Aku menggerutu ketika kakiku sudah menginjak halaman kantor. Ku putar badanku lagi. Berbalik ke belakang. Segala keraguan muncul di benakku.
"Tapi jika aku tidak menuruti perintahnya, apakah dia tidak akan melakukan perbuatan sesuai ancamannya kemarin?!"
Oh ...Tuhan! Tolong aku!
"Anandita!"
Panggilan seseorang menghentakku. Aku menoleh ke belakang. Perasaanku mulai tidak enak. Aku sangat mengenal suara itu. Perlahan aku membalikkan badan. Dan benar saja, Bryan sudah berdiri tak jauh di belakangku. Tepatnya di depan pintu masuk kantor. Berdiri tegak dengan kedua tangannya yang tersembunyi di masing-masing saku celana.
Seperti yang pernah aku katakan sebelumnya, bagaimanapun pesona yang dia tunjukkan kepadaku, kedua bola mataku hanya melihat sosok iblis ketika memandangnya.
"Anandita." Dia mulai melangkahkan kakiny
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Aku keluar dari ruangan Bryan yang di mataku sudah seperti neraka jahanam. Sesekali aku melihat ke belakang, menilik Bryan. Wanti-wanti jika laki-laki itu tiba-tiba mengikuti langkahku. Namun, sepertinya Bryan tidak berniat menghentikan langkah kakiku. Itu terbukti karena Bryan tidak muncul di balik pintu."Permisi Pak!" pamitku membungkukkan badan kepada pak satpam penjaga pintu masuk kantor."Iya Neng!" balas pak satpam sembari ikut membungkukkan badannya. Dia tersenyum.Aku langsung keluar dari gedung kantor, berusaha mencari taksi, atau ojek atau apa sajalah yang bisa membawaku pergi jauh dari tempat ini.***"Terima kasih, Kang!" ucapku setelah turun dari motor kang ojek. "Ini!" Aku menyerahkan beberapa lembar uang kepada tukang ojek. Dia menerimanya."Terima kasih, Neng!""Sama-sama Kang!"Lantas kang ojek berlalu dengan motor bebeknya. Ku pandangi punggungnya
Mentari pagi menyapa dunia. Sinarnya menghangatkan seisi bumi, tapi tidak berhasil menghangatkan hatiku yang sudah membeku. Tetesan embun yang berada di setiap kelopak bunga terlihat sangat indah, sangat menyejukkan mata. Udara pagi yang masih lembab menyapa dan membelai wajah serta rambutku. Ah! Semerbak harumnya bunga-bunga ini sedikit menenangkan pikiranku yang sedang kacau.Aku duduk di gazebo belakang rumah. Di sini terdapat banyak tanaman hias yang sengaja ditanam oleh ibuku. Pagi ini aku sama sekali tidak berniat kemanapun. Aku bahkan sudah memutuskan untuk tidak lagi bekerja. Tidak mau bertemu banyak orang apalagi sampai berjumpa dengan supervisor brengsek itu.Dalam kekacauan hatiku, aku berharap mendapatkan ketenangan disisa usiaku. Aku sudah tidak tahu lagi akan kemana langkah kaki ini akan aku gerakan. Aku merasa masa depanku musnah seketika. Aku merasa telah menjadi wanita paling hina di dunia ini. Jikapun beribu kata penyesalan aku ucapkan, apakah itu aka
Belum lagi aku mengizinkan Mang Deden untuk mempersilakannya menemuiku. Bryan sudah muncul di hadapanku. Membuat mataku terbelalak kaget dengan perasaan yang bercampur aduk. Kesal setengah mati."Mau apa kau kemari! Ibu sedang tidak ada di rumah! Silakan pergi dari sini sekarang juga!"Mang Deden langsung bergegas meninggalkan kami, sementara laki-laki brengsek ini, masih tetap tegak berdiri menatapku dengan tatapan mata yang serius. Jujur, aku mengangumi ketampanannya. Dia terlihat begitu gagah dan berwibawa. Wajahnya yang maskulin dengan sedikit brewok yang mengelilingi rahangnya semakin membuat dirinya terlihat sensual. Garang. Tapi tetap cool. Namun, semua rasa kagum itu musnah, ketika aku mengingat kembali perbuatan bejatnya kepadaku beberapa hari yang lalu."Aku tidak mencari ibumu, Anandita. Aku sengaja datang kemari hanya untuk menemuimu." Bryan melangkah mendekatiku. Aku gemetaran. Kemudian, mundur dengan perlahan. Tapi dia semakin mendekat ke arahku.
Devan POV~ Sesaat setelah aku keluar dari gerbang rumah Anandita, dari kaca spion mobil, tak sengaja aku melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah megah itu. Aku menyipitkan mata. Melihat dengan baik siapa pemilik mobil tersebut. Pria yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, turun dari mobil tersebut. Mendekati pos satpam, dia terlihat sedang menyampaikan sesuatu. Sekelumit pertanyaan menyerang batinku. Siapakah pria itu? Tidak berapa lama kemudian, salah satu satpam mendekati mang Deden yang sedang menyiram tanaman. Entah apa yang dia sampaikan. Yang jelas didetik berikutnya, mang Deden bergegas masuk ke dalam rumah dan pria itu mengikuti langkahnya. Batinku semakin bertanya-tanya, untuk apa pria itu masuk ke dalam rumah Anandita, yang aku tahu ibu Anandita sedang tidak berada di rumah. Hanya ada Anandita dan beberapa asisten rumah tangga di dalam rumah tersebut. Tidak mungkinkan pria yang berstelan rapi itu ingi
Anandita POV~Aku menunduk saat kedua bola mata Devan menyorot seakan ingin membunuhku. Biarlah dia menganggapku sebagai perempuan murahan. Asal perdebatan ini selesai. Tapi, sepertinya malah akan lebih rumit lagi. Aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan Bryan ketika dia mendengar ucapanku tadi. Aku sudah pasrah pada keadaan.Bukan tidak ada alasan aku mengatakan itu pada Devan. Bohong, jika aku menikmati persetubuhan yang didasari keterpaksaan itu. Malah aku sangat membencinya. Ketika aku mengingat kejadian itu, ingin rasanya aku meludahi diriku sendiri. Jijik!Ku lihat Devan sangat serius dengan ucapannya tadi. Bahwa dia ingin melaporkan hal yang menimpaku ini kepada pihak yang berwajib. Langsung aku teringat pada ancaman Bryan yang mengatakan kalau sampai perbuatannya terbongkar dan sampai menjadi urusan polisi, maka dia tidak segan-segan menyebarkan rekaman panas kami. Bahkan, masih jelas terngiang di telingaku, saat dia mengatakan akan meny
"Ibu, dia pasti becanda.""Tidak, Anandita. Bryan serius dengan ucapannya." Ibu mengusap lenganku. Tersenyum sekilas."Kalau begitu, dia pasti sudah gila! Ibu jangan semudah itu percaya dengan omongannya!"Ibu tertawa kecil. Bangkit dari duduknya menuju pembatas balkon. Menyandarkan tangannya di sana sambil memandang ke bawah. Melihat ke halaman depan rumah. Lantas, ku lihat dia menghela nafas."Bryan serius dengan ucapannya Anandita. Ibu sangat mengenalinya. Dia tidak pernah main-main dengan ucapannya." Sejenak ibu memejamkan matanya. Lalu, melanjutkan ucapannya kembali. "Dia ingin kamu menjadi kekasihnya."Deg!Mataku terbelalak. Dadaku semakin bergemuruh. Laki-laki itu benar-benar keterlaluan. Untuk apa dia mengatakan itu pada ibu."Tidak Ibu!" Aku bangkit. Berjalan mendekati ibu. "Ibu jangan berkata seperti itu. Ibu belum sebulan mengenalnya, dari mana Ibu tahu kalau dia itu adalah pria yang tegas pada ucapannya? Bisa saja kan dia
Bola basket mulai berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Melayang sesuai lemparan. Tim A adalah tim Devan beserta teman-teman kuliahnya. Sedangkan tim B, aku tidak tahu mereka berasal dari mana.Sorak sorai penonton riuh ketika Devan melakukan Slam dunk ke gawang lawan hingga bola tersebut masuk dengan mudahnya."Wah ... kereeen ...!" Aku menautkan jari-jariku. Tersenyum setengah memejam.Plak!Aw!"Biasa aja kali!"Aku mengelus kepalaku yang ditoyor oleh Melda, cewek berkacamata ini selalu saja membuatku sebal."Sakit tau! Emang salahku di mana sih?!" ucapku pelan dengan bibir manyun."Ya, gak ada yang salah dari kamu. Tapi, aku geli lihat ekspresimu seperti tadi! Seumur-umur baru kali ini kamu mengagumi seseorang sampai segitunya!" Melda mencibir."His!" Aku memalingkan muka menghindari wajah Melda yang membuatku semakin kesal. Seenaknya saja main toyor-toyor orang. Kembali menonton pertandingan dengan
Kalian boleh mengatakan kalau aku ini benar-benar plin-plan dalam mengambil sikap. Kenapa begitu? Karena saat ini aku sedang berada di sebuah tepi danau, yang aku sendiri tidak tahu ini di daerah mana. Dan, kalian tahu siapa yang membawaku? Ya! Yang membawaku ke sini adalah ... Bryan! Aku sedang bersama laki-laki ini sekarang.Suasana hatiku sedang kacau. Aku seperti selembar daun yang mengikuti kemana arah angin berhembus. Masih terus terngiang di telingaku kata-kata Devan yang menusuk jantungku tadi. Aku merasa rendah. Merasa kalau diri ini sudah tidak ada artinya lagi. Setidaknya dia telah menguatkan pandangan buruk kepadaku. Begitulah yang aku rasakan.Duduk di tepi danau sambil memeluk lutut, menatap lurus ke depan. Mencoba tidak lagi terisak dalam tangis, itulah yang sedang aku lakukan. Berharap ucapan Devan tidak lagi menari-nari di telingaku."Mau minum?" Bryan yang baru saja kembali dari mobil, menyodorkan sekaleng mi