Semua staf berkumpul di bale pertemuan lantai 2. Sudah sejak sepuluh menit lalu Dania diberi tahu akan ada pengenalan pemilik perusahaan baru setelah seminggu lalu perusahaan ini dipindahalihkan. Dania enggan beranjak dari kursinya. Penyambutan pemilik baru sama saja seperti merayakan terdepaknya Alvin sebagai pemilik saham tertinggi di perusahaan ini.
"Dan, lo di mana?" tanya Clara ketika menelelon.
"Gue masih di kantor."
"Ya Tuhan, turun cepetan. Lo nggak mau lihat siapa owner baru perusahaan kita denger-denger cewek. Ayolah, gue sendiri nih, Vio di depan sama Pak Robbi." Clara terus memaksa.
Dania mendesah. "Iya sebentar lagi gue turun."
Setelah menutup panggilan dari Clara, dengan malas Dania beranjak menuju lift. Sebenarnya dia penasaran juga siapa sosok di balik hancurnya karir Alvin.
Ketika sampai di ruang yang lebih mirip aula, dia mencari sosok Clara. Staf yang berkumpul lumayan banyak. Jadi
Dania tertegun di tempat. Dia sama sekali tidak membalas pelukan Alex. Jujur, dia masih bingung kenapa lelaki ini bisa ada di gedung kantornya?"Sayang, kok diam aja? Kamu nggak kangen sama aku?" tanya Alex melepas pelukannya. "Kita udah lama banget nggak ketemu loh."Dania menatap sejenak pria di hadapannya. "Aku ... aku sibuk, Tin. Bisa aku keluar?"Alex menyipitkan mata mendengarnya. Ada apa? Ini bukan Dania seperti yang dia kenal. "Sayang, ada apa? Kamu nggak seneng ketemu aku?""Tapi ini kantor, dan ini jam kerja, Tin.""Ya, aku tau. Tapi apa kamu nggak senang bertemu denganku?" tanya Alex mulai merasakan hal aneh pada wanitanya itu."Aku senang, tentu aja, Tin. Cuma waktunya nggak tepat.""Lalu tepatnya kapan? Kami bahkan menolak tiap kali aku minta bertemu. Sebenarnya ada apa sama kamu? Apa kamu menghindariku?" tanya Alex tak habis mengerti."Aku nggak lagi menghindari kamu
Harap maklum kalau banyak typo. Benar-benar on the spot tanpa edit. ^^Happy reading, gaes. Yang punya IG bisa follow IG ku @yuli_f_riyadi atau tiktok @yuliriyadi. Biasanya aku up spoiler novel-novel on goingku di sana. Thanks._____________________"Serius lo?!" Mata Clara hampir saja keluar mendengar kabar dari Dania soal Alex yang ternyata pemilik asli perusahaan tempat mereka bekerja."Gue baru masuk ngasih tau lo, Dan." Viona menimpali. "Gue juga tahu dari mas Robbi."Clara menoleh. "Lo udah tau juga, Vi? Jadi, cuma gue nih yang kudet." Clara menjatuhkan kepalanya ke meja seolah hal yang teman-temannya sampaikan sesuatu yang sangat penting. Eh memang penting ding. Setidaknya Clara tahu siapa pemimpin sebenarnya sekarang ini."Terus wanita bernama Laras itu siapa dong?" tanya Clara."Dia itu pimpinan manajemen di sini doang. Jabatannya ada di atas Mas Robbi," sahut Viona.Clara me
"Anda bisa mendengar denyut jantungnya?"Dania mengangguk haru mendengar pertanyaan dokter itu."Astaga, itu serius denyut jantung orok?" Viona tampak terkejut."Ya iyalah, lo pikir apa?" timpal Clara.Saat ini mereka bertiga sedang ada di ruang pemeriksaan poli kandungan untuk memastikan kehamilan Dania. Faktanya Dania benar-benar hamil dan usia kehamilannya sudah menginjak enam Minggu."Ibu sebaiknya banyak istirahat, ya. Saya akan memberikan vitamin untuk trimester pertama. Makan apa aja jangan ada pantangan yang penting tidak berlebihan."Dania mengangguk saja. Dia sudah tidak sabar memberi kabar baik ini kepada Alvin. Suaminya itu pasti akan senang mendengarnya."Akhirnya yang dulu nikah ogah-ogahan malah sekarang udah hamil aja," canda Clara begitu mereka keluar dari ruang pemeriksaan."Gue bilang juga apa. Yang selalu ada pasti akan menang. Cinta karena terbiasa. Udah nggak
Dania tahu kesalahannya memang fatal. Tidak ada seorang pun yang ingin pasangannya berkhianat. Namun, Dania melakukannya. Jika sudah seperti ini, dia benar-benar menyesal. Harusnya memang dari awal pernikahan dia memutuskan hubungan dengan Alex, meskipun saat itu masih berat. Mana dia tahu kalau pada akhirnya Dania malah berbalik jatuh cinta kepada Alvin? Ini di luar ekspektasinya. Dania pikir pernikahan terpaksa ini tidak akan menimbulkan perasaan apa pun."Kamu membohongiku. Aku pikir kamu benar-benar sudah menerimaku. Aku kira senyum yang selalu kamu berikan itu tulus. Aku beneran tertipu." Mata Alvin memerah, otot-otot lehernya menonjol menahan gumpalan emosi. Dia berjongkok dan mendekati Dania yang tergugu. Wanita itu masih terus menangis tanpa mau menjawab perkataan Alvin."Apa yang aku berikan selama ini kurang cukup? Apa yang dia berikan sama kamu yang aku nggak bisa memberikannya?"Dania hanya bisa menggeleng dengan air mata yang
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Clara begitu mobil sudah berjalan meninggalkan parkir gedung perkantorannya.Sudah Dania duga, Clara pasti akan menanyakan hal ini. Dania menghela napas panjang. Dia tidak ingin air matanya jatuh."Dan? Lo nggak baik-baik aja. Gue tau. C'mon, kita udah lama berteman. Apa yang terjadi? Alvin nyakitin lo?" Clara masih mendesak. Menuntut Dania membuka mulut.Inilah sebabnya dia menghindari kedua sahabatnya, karena Dania tahu dirinya tidak pandai menutupi perasaannya. Bahkan hanya karena Clara bertanya seperti itu saja, dadanya kembali bergemuruh, matanya membayang, dan hatinya merasakan sesak itu kembali. Dania benar-benar tidak mau menangis di depan Clara. Tapi, air mata sialan ini makin mendesak keluar.Dania bisa mendengar helaan napas Clara yang sedang konsen menyetir ketika akhirnya satu tetes air mata berhasil lolos dari kelopak matanya.Clara membelokkan kemudinya ke salah satu kafe. Ji
Viona meletakkan satu cup cendol ke meja Dania. Dari kemarin Dania ngidam minuman segar yang banyak digemari orang Indonesia itu."Cendol!" seru Dania tampak berbinar.Viona tersenyum lebar. "Demi bumil nih gue rela antri panjang buat dapetin es cendol yang lagi viral itu."Dania memasang wajah sok cute, dan merentang kedua tangan. "Unch, peyuuuk."Viona menggeleng lantas memeluk Dania yang kini perutnya sudah tampak membuncit."Makasih, ya, Vi," ucap Dania senang. Meski tidak ada Alvin di sisinya. Dia bersyukur masih ada kedua sahabatnya yang masih perhatian padanya."Gue nggak mau anak lo nanti ileran." Viona melepas pelukan Dania.Dania kembali melirik cendol di atas meja. Wanita itu kemudian meraihnya. "Gue minum ya, Vi.""Nggak, lo tonton aja. Biar awet."Dania terkekeh. Lantas menusuk tutup plastik cendol tersebut dengan sedotan berukuran besar. Sensasi segar dan mani
Dania dikejutkan dengan kehadiran Alex di kantornya. Dia tahu pria itu bisa datang kapan saja sesuka hati. Namun, entah mengapa dirinya tidak menyukai kedatangan Alex yang tiba-tiba. Pria itu tersenyum seraya menghampiri mejanya."Sayang, aku bawakan sesuatu untuk kamu." Alex meletakkan mini tote bag ke atas meja Dania.Kenapa? Kenapa pria itu masih menyebut Dania dengan panggilan sayang. Dulu mungkin Dania sangat senang jika Alex memanggilnya seperti itu, tapi tidak dengan sekarang. Kondisinya beda.Dania melirik tote bag tersebut. Ada apa lagi Alex menemuinya? Bukannya dia sudah berbahagia dengan janda itu?"Ada apa kamu ke sini?" tanya Dania datar. Tangannya masih sibuk mengecek dokumen yang sedang dia pegang.Alex tersenyum. Senyum yang masih terlihat manis di mata Dania. Ya, mata telanjangnya masih bisa memindai ketampanan pria itu."Aku kangen sama kamu." Alex tidak bohong, dia benar-benar merindukan
Tawaran Alex agar Dania mau menikah dengannya terus terngiang. Meski Dania tidak bisa menjawab apa-apa, tetapi hatinya sedikit terusik. Sudah hampir enam bulan suaminya pergi. Tinggal beberapa bulan anaknya akan lahir. Namun, kabar dari Alvin tidak pernah dia terima."Alvin, sebenarnya kamu di mana? Aku minta maaf."Kembali air matanya merembes. Tidak ada yang tahu kepiluan Dania setiap malam. Hanya doa yang bisa dia lakukan, berharap di mana pun Alvin berada, lelaki itu akan baik-baik saja.Dania pikir hanya hari itu saja Alex datang menemuinya. Namun, hari berikutnya dan berikutnya pria itu selalu menyambangi kantornya. Dania mulai bosan mengusir mantan pacarnya itu. Namun, pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu tak pernah berhenti datang. Jika bukan sosoknya yang datang, maka Alex akan mengirimkan makanan untuk Dania.Seperti siang ini. Dania meletakkan sebuah kotak makan tepat di kedua sahabatnya."Makan gih, Cla,"