Tiga tujuh
"Kau tenang dulu," ucap ayah Vian lagi setelah beberapa saat."Jika kau bicara dengan keras seperti tadi, ibumu mungkin mendengarnya, dia akan tahu kalau pernikahanmu dan Karin tidak terjadi sungguhan. Hal itu mungkin akan kembali mempengaruhi kesehatannya." "Tapi, Ayah ...," ucap Vian yang hendak membantah, tetapi lelaki paruh baya di depannya itu segera mengangkat tangan untuk menghentikan kata-katanya. "Ayah belum selesai bicara. Kau dengarkan ayah dulu," ucap lelaki itu lagi."Vian, kau mungkin tidak peduli dengan yang terjadi pada ibumu, tapi ayah sangat peduli. Ayah tidak mau dia sakit lagi." "Aku juga peduli, Ayah, aku juga tidak mau ibu sakit lagi," ujar Vian. "Baiklah, Ayah percaya padamu, tapi dengan kata-katamu yang keras tadi, jika dia mendengarnya maka ...." Ayah Vian berhenti bicara. Wajahnya menunduk dengan rona muram. "Ayah, aku minta mTiga delapan "Aku?" tanya Karin dengan nada tidak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Vian, kau memintaku untuk mendorong mobil?" Vian mengangguk. "Apa kau bercanda?" tukas Karin kemudian."Aku ini seorang gadis. Kau memintaku keluar di hutan belantara untuk mendorong mobil. Vian, kau bilang kau sudah tidak dendam padaku, tapi apa yang kaulakukan ini?" "Aku memang sudah tidak dendam padamu." "Lalu?" "Hanya saja tidak ada yang mendorong mobil selain dirimu." "Vian, bukankah masih ada dirimu? Kenapa? Apa kau tidak bisa melakukannya? Vian, kau yang mendorong mobil dan aku yang akan menyetir untukmu. Bagaimana?" "Kau menyuruh aku?" tanya Vian seperti tidak percaya mendengar ucapan Karin. "Lalu? Bukankah kau bilang tidak ada orang lain selain kita di sini? Jadi kalau bukan aku, tentu kau yang harus mendorong m
Tiga sembilan Pagi hari, Vian terbangun saat ia merasa ada sesuatu menindih tubuhnya, belum lagi seperti ada sesuatu yang melingkari tubuhnya. Saat membuka mata, ia terkejut melihat Karin tengah memeluk dia. Tubuh gadis itu bahkan berada persis di sampingnya. Kaki Karin juga melintang di atas tubuhnya. Vian tersenyum kecil. Ia kemudian menunduk untuk melihat wajah gadis itu. Ia kemudian menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah Karin. Gadis itu tampaknya benar-benar lelap. Karin kemudian malah meraih dan memeluk tangan Vian dengan erat. "Kau ini ...," ucap Vian sambil tersenyum. "Ayah, jangan tinggalkan aku," gumam Karin dengan mata terpejam rapat. 'Apa-apaan ini?' gerutu Vian dalam hati.'Kenapa dia malah berpikir kalau aku adalah ayahnya?'*** Setelah bangun dari tidur, Karin membersihkan diri dan menemani Vian untuk sarapan yang dibuat nenek untuk mer
Empat puluh Karin yang terbangun di pagi hari terkejut melihat sosok Vian berada di sampingnya. Lebih terkejut lagi saat mendapati mereka tanpa busana, hanya tertutupi selembar selimut, sedang pakaian yang semula dikenakan berserakan di lantai samping tempat tidur. Karin bergegas beranjak dari tempat tidur. Ia kemudian segera mengenakan pakaian. Vian juga bangun. Karin segera berbalik dan menatap tajam padanya. "Kenakan pakaianmu, kita harus bicara," ucap Karin. "Semua terjadi begitu saja, aku memang salah melakukannya, tapi itu semua terjadi karena kau menggodaku lebih dulu," tukas Vian sambil mengejar Karin yang telah keluar dari kamar. "Jadi kau menganggap ini adalah salahku? Vian, kau tahu yang terjadi. Minuman itu apa kau yang merencanakannya?" tanya Karin. "Tidak, bukan seperti itu." "Tapi kau tetap melakukannya, kau tidak berusaha menyadarkan aku, tapi malah mengambil kesemp
Satu "Vian *oppa, wo ai ni, saranghae* !" Teriakan-teriakan tersebut terdengar lumayan keras dari para gadis yang tengah berkerumun di halaman luas nan terbuka tersebut. Namun, tidak hanya di sana. Di sebuah rumah, di depan layar televisi, seorang gadis juga meneriakkan kata-kata yang sama. "Vian oppa, saranghae, saranghamida. Vian oppa, my honey, bunny, sweety, love you very much ...!" BUGH! Sebuah bantal berukuran besar melayang dan menimpa wajah gadis tersebut. "Berisik amat sih!" keluh seorang gadis lain yang duduk tidak jauh dari gadis itu."Norak, lihat orang di layar aja teriak-teriak. Mending di sana kedengaran, kalau di sini, gak bakal juga dia dengar, kecuali dia punya pendengaran super." "PARK KARIN!" gertak gadis yang tadi berteriak-teriak tersebut sambil menatap tajam pada gadis yang baru menegur."Kamu itu sirik amat, sih. Kenapa? Kamu nggak suka Vian oppa? Kamu hatersnya, ya?" &nbs
"Apa kau marah padaku? Benar juga, aku seharusnya tidak bertanya begitu. Kau sudah pasti marah dan kecewa sekali padaku," ucap Karin. "Karin, mana mungkin aku marah padamu? Kau adalah orang terdekat dan orang yang paling berarti untukku," ucap Edwin. "Tapi kau pasti kecewa padaku." "Tidak," ucap Edwin sambil membelai kepala Karin."Aku yakin yang terjadi adalah bukan salahmu." Karin menghela napas perlahan."Tapi aku tetap merasa bersalah. Aku sudah menghancurkan proyek penting ini." "Karin, kau tahu apa yang paling aku khawatirkan? Kau terluka seperti sekarang ini. Aku tidak mau mrlihatmu terluka." Karin tersenyum."Ini hanya luka ringan. Aku baik-baik saja." "Kau ini harus menjaga dirimu. Jangan membuat aku khawatir lagi!" Karin bangun dari tidurnya dan menghormat. "Siap, Bos!" serunya. Edwin tersenyum dan mengacak rambut Karin. Tanpa
"Dia adalah seorang perancang bangunan. Jangan khawatir, saya akan mengatasi dia," ucap Jason, asisten Vian. Vian menatap ke layar di mana foto Karin terpampang jelas."Tidak perlu, aku akan melakukannya sendiri." "Tapi ...." "Ini adalah balas dendamku. Aku yang akan menangani sendiri."*** Karin sedang sibuk merancang maket di kantornya saat Edwin berjalan masuk. "Pekerjaan yang bagus. Kau melakukannya dengan baik," puji pria itu. "Sebaiknya kita tidak bertemu berdua saja seperti sekarang. Aku tidak mau Anna marah lagi padaku," sahut Karin yang terus melihat pada maket di depannya. Ia tidak menoleh sedikitpun pada Edwin. "Karin, aku sungguh menyukaimu," ucap Edwin sambil meraih tangan Karin. "Edwin, aku sudah bilang aku hanya menganggapmu teman. Teman yang sangat baik. Aku tidak mau merusak persahabatan kita dengan perasaan lebih dari itu."&
Karin datang ke restoran untuk bertemu dengan Vian. Ia melihat pria itu tengah duduk dengan topi dan kacamata hitam. Awalnya ia tidak mengenali jika Vian tidak melambaikan tangan lebih dulu. Di depan pria itu, hanya tersaji sebotol air mineral. Tampaknya meski karir mengalami kemunduran, menjaga penampilan tetap menjadi hal utama bagi pria itu. Karin segera duduk di hadapan Vian. Ia merasa lega. Pertemuan di tempat umum seperti sekarang lebih nyaman daripada di tempat tertutup seperti kantor Edwin kemarin. Yang mengatakan Vian pria yang sopan, maka menurut Karin itu adalah bohong belaka. Pria itu bahkan berani bersikap kurang ajar padanya di kantor itu. "Apa kau ingin memesan sesuatu?" tanya Vian sambil tersenyum ramah. Karin menggeleng. Ia kemudian segera membuka tas hitam yang dia bawa. Tangannya terulur untuk mengambil sketsa. Akan tetapi, Vian yang telah berdiri di depan gadis itu, membungkuk dan memegang tangan Karin.
"Kau ini sedang apa?" tegur Karin sambil berusaha melepaskan rangkulan Vian di pinggangnya."Jangan macam-macam atau aku keluar dari proyek ini!" Vian melihat gadis itu sesaat kemudian mengangkat bahu dan melangkah pergi.'Ada apa sih dengannya?' gerutu Karin dalam hati.'Seenaknya saja main rangkul pinggang orang.' Vian yang melangkah menjauh juga merasa kesal. Entah apa yang terjadi padanya, saat Karin berbicara dengan pria lain, ia merasa tidak senang. Karena itu, tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri dan meraih pinggang gadis itu. 'Pikiranku pasti sudah kacau. Setelah proyek ini selesai, mungkin sebaiknya aku tidak bertemu atau bicara dengan Karin.'*** Karin datang ke kantor keesokan hari untuk melaporkan kemajuan proyek dia dengan Vian. Akan tetapi, Edwin malah menyuruh dia untuk berhenti dari proyek itu. "Kenapa? Proyek ini telah hampir berhasil. Cafetaria itu sebentar la