Share

5. Penjelasan

Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu. 

Ian tidak menyadari bahwa nama Fafa sudah membuat dia tertawa berulangkali walaupun dengan interaksi yang sangat minim. Bagaimana jadinya jika Fafa benar-benar hadir dihadapannya, sepanjang waktu berinteraksi. Bukankah julukan gila akan semakin melekat pada dia. Sepertinya Fafa adalah oase yang telah lama didamba jiwa Ian.

***

Kota Kediri

Sekarang ini, tepat dua hari setelah operasi lutut Ikhsan. Hasil operasi sejauh ini bagus dan tidak ada keluhan. Siang ini, Ikhsan di perbolehkan pulang dan kembali lima hari lagi.

Fafa menuju ke bagian kasir untuk menyelesaikan semua biaya perawatan. Antrian tidak terlalu banyak, setelah menunggu 20 menit. Semua sudah selesai, segera Fafa menuju ke kamar inap Ikhsan. Dari kejauhan, tampak adiknya duduk di depan kamar inap ngobrol dengan Hisyam.

"Assalamu'alaykum," sapa Fafa.

"Wa alaykumusalam," jawab keduanya bersamaan.

"Gimana Kak?" tanya Ikhsan.

"Sudah Dik. Kenapa menatap kakak begitu!" hardik Fafa.

"Kakak tidak sedang menyembunyikan sesuatu bukan!" 

Huff

Inilah yang kurang disukai Fafa dari adiknya-peka.

"Nggak, emang ada apa Dik?" selidik Fafa, apakah adiknya ini sudah mengetahuinya.

"Kakak tadi tidak bawa ponsel. Paklik telpon, San terima aja. Paklik bilang kirim foto calon suami kak Fa, memang kak Fa mau menikah?" 

Fafa membeku mendengarkan uraian adiknya. Paklik Di kirim foto Mas Ian.

"Dik, kamu ngeliat fotonya?" tanya Fafa.

"He he iya kak, maaf. Kurang jelas, nggak otomatis ke buka," ujar Ikhsan menyesal.

"Gak papa, nanti di rumah kakak jelaskan semua." Ikhsan mengangguk.

"Jadi pulang sekarang kak?" tanya Hisyam.

"Iya, Syam. Menunggu obat saja. Dik ayo ganti baju," 

Fafa langsung masuk ke kamar inap diikuti oleh Ikhsan dan Hisyam. Dia mengambil celana pendek dan kaos lengan panjang untuk Ikhsan. Hisyam langsung membantu Ikhsan memakai baju, sedangkan Fafa membereskan peralatan mandi, kue, dan buah dari tetangga kala menjenguk Ikhsan.

Setelah menerima obat dari perawat, ketiganya langsung keluar rawat inap. Hisyam membonceng Ikhsan dengan motornya, sedangkan Fafa naik motor sendiri membawa barang bawaan.

Perjalanan hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai di rumah Fafa. Hisyam hanya mengantarkan Ikhsan, setelah itu langsung pamit pulang. 

Setelah membantu Ikhsan duduk di teras, Fafa segera membuka semua pintu dan jendela rumah. Menyapu kemudian mengepel lantai. Semua pekerjaan rumah baru selesai hingga menjelang maghib. Dengan berjalan pelan-pelan Fafa membantu Ikhsan masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar. Maklum saja, Ikhsan belum terbiasa menggunakan kruk untuk berjalan.

Fafa menghela napas kasar, dia tahu Ikhsan mendiamkan karena menuntut penjelasan mengenai chat dari Rusdi. Banyak pertanyaan yang harus segera dijawab.

Fafa menunggu sehabis sholat isya untuk bercerita. Fafa segera menyiapkan makan malam, sesaat setelah melaksanakan sholat isya, keduanya makan dalam diam. Tidak ada obrolan dan candaan seperti biasa. Selesai makan malam, Ikhsan berjalan tertatih menggunakan kruk menuju sofa di ruang tengah untuk menonton televisi. Fafa langsung menghampiri adiknya.

"Dik," Ikhsan langsung menoleh.

"Ada yang harus kakak bicarakan denganmu."

Ikhsan mengangguk, langsung meraih remote televisi kemudian mematikan. Fafa langsung duduk di samping Ikhsan, dengan posisi bersila menghadap Ikhsan.

"San, ada yang mau ditanyakan nggak?" tanya Fafa.

"Nggak Kak," jawab Ikhsan kemudian menggeser sedikit kakinya yang cedera hingga bisa berhadapan dengan Fafa.

"Baiklah, kakak akan cerita, tapi jangan menyela dulu sebelum selesai, ya!"

"Ya," Fafa menghela napas dalam sebelum memulai bercerita.

"Sebelum kamu dioperasi, kakak mencari tahu perkiraan biaya operasi lututmu. Kakak ke bagian informasi dan mendapat keterangan perkiraan kasar sekitar 50 juta. Kakak menghubungi paklik Di, ternyata tabungan paklik dan tabungan kakak pun jika digabungkan masih kurang banyak. Kamu tau sendiri jika kakak takut pinjam ke bank, pinjam ke Arni juga tidak mungkin karena kakak juga habis pinjam untuk bayar uang semesteran, mau menjual rumah ini, lalu kita tinggal di mana! Saat itu paklik berinisiatif meminta bantuan bosnya. Ternyata mau membantu dengan syarat kakak harus menikah dengannya. Kakak tidak tahu apa yang bisa kakak lakukan! sedangkan biaya rumah sakit harus dibayar bukan! Ada pertimbangan lain, kakak menyanggupi syarat itu. Selama ini paklik dan bulik kan tinggal di rumah itu. Kakak juga sudah mengajukan permintaan kalau kita tetap tinggal di sini setelah pernikahan dan dia mengijinkan. Sebetulnya agak aneh juga, bagaimana bisa dengan mudah dia mengiyakan permintaan kakak. Tadi pagi kakak chat paklik, mungkin karena itulah akhirnya dikirimi foto bosnya." Ikhsan membeku mendengarkan penjelasan Fafa. Dia sudah begitu keras berusaha mendapatkan uang sebanyak itu, bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri.

"Dik," panggil Fafa.

"Kak, San jahat ya!" Fafa mengerutkan dahinya-tak paham.

"Maksudnya!" tanya Fafa.

"San terus menerus merepotkan Kakak." Mendengar ucapan adiknya, hati Fafa langsung menghangat. Diusapnya puncak kepala Ikhsan dengan sayang.

"Nggak juga, Dik. Sudahlah nggak papa, tidak usah terlalu dipikirkan." Hibur Fafa dan Ikhsan tersenyum jahil. 'Apa yang direncanakannya! senyum itu,' batin Fafa.

"Kakak sudah lihat fotonya belum?" 

"Belum Dik,"

"Lihatlah sekarang Kak! Apa kakak tidak penasaran sama wajah calon suamimu," ujar Ikhsan.

"Iya bentar," Fafa langsung bangkit kemudian berjalan menuju kamar untuk mengambil ponsel dan kembali duduk di sebelah Ikhsan. Fafa langsung membuka chat dengan Rusdi. Matanya langsung terbelalak, tak percaya dengan yang dilihatnya. Suaranya tercekat di tenggorokan. Jadi seperti ini, wajah laki-laki itu, Fafa langsung begidik.

"Kenapa Kak!" San khawatir melihat reaksi kakaknya seperti itu. Fafa tidak menjawab, langsung menyerahkan ponsel pada Ikhsan.

"Ha ...," suara Ikhsan juga tercekat. 'Jadi seperti ini orang yang akan menjadi suami kakak! Menyeramkan,' batin Ikhsan.

"Kak Fa yakin mau menikah dengannya?" lanjut Ikhsan sembari menunjuk layar ponsel Fafa yang masih menampilkan foto Ian.

Fafa tetap diam. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sungguh dirinya tidak membayangkan jika bos dari pakliknya masih muda dan tampak menyeramkan. Dalam bayangan Fafa, bos pakliknya sudah tua dan dirinya akan menjadi istri kedua atau ketiga. Apakah akan mundur sekarang? Fafa menggeleng. Keputusan telah dibuatnya, Fafa harus menepatinya. Fafa tersentak kala merasakan Ikhsan menggoyang lengannya. Dia langsung melihat ke arah adiknya itu.

"Kakak tetap akan menikah dengannya, Dik!"

"Tapi ...,"

"Tidak akan ada apa-apa, gak perlu takut. Toh selama ini paklik juga baik-baik saja selama bekerja di sana. Ingat Dik, dia mengijinkan kita tetap tinggal disini meskipun nanti kakak sudah menikah."

"Tapi, kita tidak tahu Kak. Apa yang akan terjadi nanti. Apakah dia tetap mengijinkan atau tidak setelah kakak menjadi istrinya," sanggah Ikhsan.

"Ya, bukankah itu belum terjadi!" 

Ikhsan langsung terdiam mendengar jawaban Fafa.

"Sudahlah Dik, kakak sudah tidak mau membahasnya lagi. Biarlah terjadi yang seharusnya terjadi, sekarang kita cukup berdoa semoga dia tetap mengijinkan kakak di sini." Ikhsan mengangguk lemah.

"San, sudah malam. Ayo tidur," ajak Fafa setelah melihat jam di dinding sudah pukul 21:00 WIB. 

"Kak, San tidur di sini saja. Mau lihat bola dulu. Bentar lagi yang lain datang."

"Ya sudah. Kakak tidur dulu." Fafa langsung melangkah menuju kamarnya.

Tak berapa lama, teman-teman Ikhsan datang, ada empat orang: Hisyam, Budi, Arif, Dadang.

Di kediaman Ian

Dreett dreett

Ian segera mengambil ponselnya dari dalam saku kursi rodanya.

"Hhmm," dehem Ian.

"Ian, semua sudah beres!" 

"Ya," jawab Ian singkat dan langsung memutuskan panggilan itu. 

Ian menatap kedua kakinya. Senyuman lagi dan lagi nampak diwajahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status