Share

4. Kesepakatan

"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa.

"Iya Kak, fii Amanillah,"

"Aamiin."

"Kak, jangan lupa nanti operasi San pukul 20:30 WIB," ujar San.

"Iya ... iya .... Adik bawel!" jawab Fafa jengah. 

San langsung mendengus mendengar ucapan Fafa.

"Assalamu'alaykum," lanjut Fafa.

"Wa alaykumusalam." 

Fafa langsung keluar dari kamar inap San. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:15 WIB. Waktu yang lumayan lama untuk pulang membersihkan rumah sebelum kembali ke rumah sakit selepas isya.

Fafa segera menuju ke area parkir sepeda motor. Melajukan pelan sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Perjalanan tidak terlalu lama, karena jarak rumah dengan rumah sakit hanya tiga km.

Sesampainya di rumah, Fafa langsung membuka semua jendela, menyapu, dan mengepel lantai. Pekerjaan selesai menjelang maghrib. Setelah membersihkan diri, Fafa istirahat sembari membalas chat beberapa pelanggan loundry. Fafa menawarkan, apakah diantar atau diambil ke toko untuk pakaian yang sudah dia kerjakan. 

Fafa termenung, mengingat percakapannya tadi siang dengan Arni, tentang mengorbankan diri. Akan tetapi, jika bukan karena bantuan dari Ian! Apakah dirinya setenang sekarang! Tapi jika nanti bertanya apa tujuan Ian menikahinya, bukankah itu menunjukkan dia tak tau diri?

Fafa menggeleng pelan, kenapa pertanyaan absurd seperti ini muncul di otaknya! bukankah sudah jelas bahwa Ian meminta imbalan atas bantuan yang tidak gratis itu.

'Sudahlah, tidak seharusnya aku bimbang begini. Bukahkah aku harus banyak berterima kasih pada Mas Ian! Soal kuliah maupun sekolah San, nanti akan coba kubicarakan lagi, semoga ada jalan keluar dan aku tidah harus berhenti kuliah,' batin Fafa.

Fafa langsung bangkit dari duduknya, kemudian melaksanakan sholat maghrib. Selepasnya sholat maghrib, Fafa segera memeriksa chat, ternyata beberapa pelanggan minta pakaiannya diantarkan.

Setelah mengganti mukena yang dikenakan dengan gamis, kerudung panjang dan tak lupa memakai kaos kaki. Fafa segera menyiapkan pakaian yang akan dia antar.

'Biasanya setelah datang dari sholat magrib di masjid, San selalu ribut menggangguku. Kini rumah sangat sepi tidak ada San. Biasanya dia selalu membuatku gusar dengan godaannya,' batin Fafa. 

Huff'

Kenapa malah melamun,' batinnya. Fafa segera berangkat mengantar baju ke beberapa pelanggan loundry, untung rumahnya tidak terlalu jauh, jadi bisa sekalian langsung berangkat ke rumah sakit.

***

Kediaman Ian di Jakarta

Waktu sudah menunjukkan pukul 18:50 WIB, Rusdi bergegas menuju ke kamar Ian.

Tok tok

Handle pintu diputar, Rusdi langsung mendorong troli yang membawa makan malam Ian. 

"Aku BAB!" ujar Ian. 

Rusdi mengangguk, langsung membantu Ian pindah ke atas ranjang, kemudian melepaskan popok celana yang Ian kenakan, dan membersihkan pantatnya.

Setelah kering barulah Rusdi kenakan popok baru. Dengan cekatan, Rusdi melakukannya dan sudah terbiasa dengan ucapan Rian yang seperti sekarang. 

Selesai memakaikan celana panjang, Rusdi langsung menawari Ian makan malam. Melihat betapa lahapnya Ian menghabiskan makanan, Rusdi tersenyum lalu geleng-geleng. Biarpun sudah berusia hampir 30 tahun, Ian masih saja makan belepotan, apalagi jika bukan karena menu kesukaannya-ayam kampung penyet.

Dreett dreett

Suara getar ponsel Rusdi, membuat Ian menghentikan acara makannya.

"Di sini saja!" perintah Rian.

"Assalamu'alaykum, Paklik."

"Wa alaykumusalam, Nduk. Bagaimana?"

"Mohon doanya Paklik, satu jam lagi San dioperasi," pinta Fafa.

"Iya, Nduk. Semoga operasinya lancar." 

"Aamiin," 

"Oh iya, Paklik. Mengenai pernikahan itu, Fafa setuju." 

Rusdi langsung memejamkan mata. 'Fafa maafkan Paklik tidak bisa membantumu kali ini,' batin Rusdi.

"Paklik ... Paklik ...!" panggil Fafa berulang.

"Iya Nduk," jawab Rusdi singkat.

"Minta tolong bilang sama Mas Ian, Fafa ada permintaan."

"Iya, nanti Paklik sampaikan."

"Ya sudah Paklik begitu saja. Assalamu'alaykum,"

"Wa alaykumusalam."

Panggilan langsung terputus.

"Mas Ian, Fafa setuju," ucap Rusdi memandang lekat Ian. Seperti dugaannya, Ian tersenyum menyeringai.

"Tapi ... Fafa ada permintaan Mas Ian," lanjut Rusdi. 

Ian langsung menyelesaikan acara makan malam dengan sedikit menghentakkan piring di depannya.

"Apa!" seru Ian geram.

"Fafa akan menyampaikan sendiri pada Mas Ian." 

"Hhmm," dehem Ian.

"Paman undur diri dulu, Mas. Mungkin ada lagi yang harus paman siapkan sebelum keluar," Ucap Rusdi.

"Nggak," 

"Baik, Mas Ian." Rusdi langsung mendorong troli makanan keluar kamar.

Ian masih dengan posisi semua, duduk bersandar pada kepala ranjang. 'Apa permintaannya?' batin Ian.

Ian segera memeriksa chat dari Rusdi. Nomor ponsel Fafa dan nomor rekening bank sudah dikirimkan Rusdi sejak kemarin. Ian segera menyimpan nomor ponsel Fafa, sekaligus transfer ke rekening Fafa-setelah mendengar adiknya dioperasi.

Ian ingin segera menikahinya. Menyukai gadis itu? Ahh tidak juga, tapi ada yang menarik padanya. Apa karena status yang sama dengannya? Mungkin juga. Entahlah, Ian sendiri juga tidak tahu. Bagaimana beberapa hari lalu, dengan tiba-tiba menyanggupi membantu Rusdi. Tidak ada masalah dengan bantuan itu, uangnya juga sedikit dan tidak ada artinya bagi Ian. Terbit senyum di wajah Ian, senyum yang sangat jarang terlihat. Bahkan akhir-akhir ini, Ian tidak menyadari bahwa dia sekarang sering tersenyum sendiri. Senyum yang hanya Ian sendiri tahu artinya.

Ting

Bunyi notifikasi chat di ponsel Ian. "Frans," gumamnya. Tanpa membalas chat itu, Ian langsung melakukan panggilan.

"Halo, Ian" sapa Frans.

"Hhmm," dehem Rian.

"Ada apa?" tanya Frans.

"Aku akan menikah!"

"Hahh! Beneran kamu mau menikah?" tanya Frans tak percaya. 

Frans adalah teman Ian. Sama seperti David, bedanya Frans berteman sejak SD. Frans adalah pengacara perusahaan Ian. 

"Ya, kau urus semua, tanya pada Paman!" tanya Rian.

"Siap, Bos." 

Ian langsung memutus panggilan. Frans hanya geleng-geleng menghadapi setiap sikap sahabatnya itu.

Frans tersentak. Menikah? dengan siapa! Tak buang waktu Frans langsung menghubungi David. Beberapa kali panggilannya belum tersambung. Frans langsung mengetik pesan, "Call me back, stupid!"

Frans membayangkan jika David membaca isi chat-nya, senyum seujung bibir langsung tersungging. David pasti akan mengumpatnya habis-habisan. 

Dreett dreett

'David calling,' batin Frans.

"Ha-,"

"Dasar kamu Frans!" Frans mengernyitkan dahinya. Tumben sekali David tidak mengumpatnya.

"Tumben!"

"Mak gue di sini!" jawab David.

"Ha ha ha ...," tawa Frans pecah membayangkan ekspresi frustasi David, membuatnya urung menanyakan tentang Ian.

"Ya sudah, kalo mak udah balik aja," lanjut Frans langsung memutuskan panggilannya.

Dan di tempat lain, tepatnya kediaman Ian.

Tampak Ian termenung, sibuk dengan pikirannya sendiri. Sebetulnya untuk apa dia, meminta syarat menikah? Bukankah selama ini semua kebutuhannya telah terpenuhi? Ada Rusdi yang siap melayaninya 24 jam. Ahh, karena si dia, Ian langsung melirik ke arah lab.

'Aku harus cepat mengikat gadis itu, semua harus berjalan mulus!' serunya dalam hati. 

Ian langsung mencari kontak Fafa dan hendak menelpon. Sebelum itu, dilihatnya jam dinding masih menunjukkan pukul 21:05 WIB.

Langsung saja men-dial kontak Fafa. Sesuai dugaan, tidak berapa lama, langsung di angkat.

"Assalamu'alaykum," sapa Fafa.

"Hhmm," dehem Ian.

"Maaf dengan siapa!" tanya Fafa.

"Ian," jawab Rian singkat.

"Ma-mas Ian?" tanya Fafa.

"Ya."

Fafa tidak menyangka jika Ian suaranya berat dan serak seperti ini. 'Kenapa tiba-tiba begidik begini, suaranya terdengar seksi!' batin Fafa.

"Ada apa!" tanya Ian singkat.

Fafa binggung, maksudnya ada apa bagaimana? Aku tidak menelponnya, ta-. Ah, Fafa ingat pembicaraannya dengan Rusdi.

"I-iya itu, Mas Ian. Sa-saya setuju," ucap Fafa tergagap.

Ian diam saja, menikmati kegugupan Fafa.

"Lalu ...,"

"Bo-bolehkah saya meminta sesuatu!" tanya Fafa hati-hati.

"Ck, apa lagi! apa masih kurang!" hardik Ian.

"Ng-nggak Mas Ian. Tapi apakah boleh setelah menikah, saya tetap kuliah?" tanya Fafa sedikit gentar.

"Ya. Dana sudah masuk, cek sana!" ucap Ian dengan datar.

"I-iya, terima kas-."

Fafa terjengkit, kala melihat layar ponselnya, Ian telah mematikan panggilan. Berarti tadi dia ngomong sendiri! Sebenarnya orang macam apa yang akan dia nikahi ini. Kenapa seenaknya saja. 

Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status