"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa.
"Iya Kak, fii Amanillah,"
"Aamiin."
"Kak, jangan lupa nanti operasi San pukul 20:30 WIB," ujar San.
"Iya ... iya .... Adik bawel!" jawab Fafa jengah.
San langsung mendengus mendengar ucapan Fafa.
"Assalamu'alaykum," lanjut Fafa.
"Wa alaykumusalam."
Fafa langsung keluar dari kamar inap San. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:15 WIB. Waktu yang lumayan lama untuk pulang membersihkan rumah sebelum kembali ke rumah sakit selepas isya.
Fafa segera menuju ke area parkir sepeda motor. Melajukan pelan sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Perjalanan tidak terlalu lama, karena jarak rumah dengan rumah sakit hanya tiga km.
Sesampainya di rumah, Fafa langsung membuka semua jendela, menyapu, dan mengepel lantai. Pekerjaan selesai menjelang maghrib. Setelah membersihkan diri, Fafa istirahat sembari membalas chat beberapa pelanggan loundry. Fafa menawarkan, apakah diantar atau diambil ke toko untuk pakaian yang sudah dia kerjakan.
Fafa termenung, mengingat percakapannya tadi siang dengan Arni, tentang mengorbankan diri. Akan tetapi, jika bukan karena bantuan dari Ian! Apakah dirinya setenang sekarang! Tapi jika nanti bertanya apa tujuan Ian menikahinya, bukankah itu menunjukkan dia tak tau diri?
Fafa menggeleng pelan, kenapa pertanyaan absurd seperti ini muncul di otaknya! bukankah sudah jelas bahwa Ian meminta imbalan atas bantuan yang tidak gratis itu.
'Sudahlah, tidak seharusnya aku bimbang begini. Bukahkah aku harus banyak berterima kasih pada Mas Ian! Soal kuliah maupun sekolah San, nanti akan coba kubicarakan lagi, semoga ada jalan keluar dan aku tidah harus berhenti kuliah,' batin Fafa.
Fafa langsung bangkit dari duduknya, kemudian melaksanakan sholat maghrib. Selepasnya sholat maghrib, Fafa segera memeriksa chat, ternyata beberapa pelanggan minta pakaiannya diantarkan.
Setelah mengganti mukena yang dikenakan dengan gamis, kerudung panjang dan tak lupa memakai kaos kaki. Fafa segera menyiapkan pakaian yang akan dia antar.
'Biasanya setelah datang dari sholat magrib di masjid, San selalu ribut menggangguku. Kini rumah sangat sepi tidak ada San. Biasanya dia selalu membuatku gusar dengan godaannya,' batin Fafa.
Huff'
Kenapa malah melamun,' batinnya. Fafa segera berangkat mengantar baju ke beberapa pelanggan loundry, untung rumahnya tidak terlalu jauh, jadi bisa sekalian langsung berangkat ke rumah sakit.
***
Kediaman Ian di Jakarta
Waktu sudah menunjukkan pukul 18:50 WIB, Rusdi bergegas menuju ke kamar Ian.
Tok tok
Handle pintu diputar, Rusdi langsung mendorong troli yang membawa makan malam Ian.
"Aku BAB!" ujar Ian.
Rusdi mengangguk, langsung membantu Ian pindah ke atas ranjang, kemudian melepaskan popok celana yang Ian kenakan, dan membersihkan pantatnya.
Setelah kering barulah Rusdi kenakan popok baru. Dengan cekatan, Rusdi melakukannya dan sudah terbiasa dengan ucapan Rian yang seperti sekarang.
Selesai memakaikan celana panjang, Rusdi langsung menawari Ian makan malam. Melihat betapa lahapnya Ian menghabiskan makanan, Rusdi tersenyum lalu geleng-geleng. Biarpun sudah berusia hampir 30 tahun, Ian masih saja makan belepotan, apalagi jika bukan karena menu kesukaannya-ayam kampung penyet.
Dreett dreett
Suara getar ponsel Rusdi, membuat Ian menghentikan acara makannya.
"Di sini saja!" perintah Rian.
"Assalamu'alaykum, Paklik."
"Wa alaykumusalam, Nduk. Bagaimana?"
"Mohon doanya Paklik, satu jam lagi San dioperasi," pinta Fafa.
"Iya, Nduk. Semoga operasinya lancar."
"Aamiin,"
"Oh iya, Paklik. Mengenai pernikahan itu, Fafa setuju."
Rusdi langsung memejamkan mata. 'Fafa maafkan Paklik tidak bisa membantumu kali ini,' batin Rusdi.
"Paklik ... Paklik ...!" panggil Fafa berulang.
"Iya Nduk," jawab Rusdi singkat.
"Minta tolong bilang sama Mas Ian, Fafa ada permintaan."
"Iya, nanti Paklik sampaikan."
"Ya sudah Paklik begitu saja. Assalamu'alaykum,"
"Wa alaykumusalam."
Panggilan langsung terputus.
"Mas Ian, Fafa setuju," ucap Rusdi memandang lekat Ian. Seperti dugaannya, Ian tersenyum menyeringai.
"Tapi ... Fafa ada permintaan Mas Ian," lanjut Rusdi.
Ian langsung menyelesaikan acara makan malam dengan sedikit menghentakkan piring di depannya.
"Apa!" seru Ian geram.
"Fafa akan menyampaikan sendiri pada Mas Ian."
"Hhmm," dehem Ian.
"Paman undur diri dulu, Mas. Mungkin ada lagi yang harus paman siapkan sebelum keluar," Ucap Rusdi.
"Nggak,"
"Baik, Mas Ian." Rusdi langsung mendorong troli makanan keluar kamar.
Ian masih dengan posisi semua, duduk bersandar pada kepala ranjang. 'Apa permintaannya?' batin Ian.
Ian segera memeriksa chat dari Rusdi. Nomor ponsel Fafa dan nomor rekening bank sudah dikirimkan Rusdi sejak kemarin. Ian segera menyimpan nomor ponsel Fafa, sekaligus transfer ke rekening Fafa-setelah mendengar adiknya dioperasi.
Ian ingin segera menikahinya. Menyukai gadis itu? Ahh tidak juga, tapi ada yang menarik padanya. Apa karena status yang sama dengannya? Mungkin juga. Entahlah, Ian sendiri juga tidak tahu. Bagaimana beberapa hari lalu, dengan tiba-tiba menyanggupi membantu Rusdi. Tidak ada masalah dengan bantuan itu, uangnya juga sedikit dan tidak ada artinya bagi Ian. Terbit senyum di wajah Ian, senyum yang sangat jarang terlihat. Bahkan akhir-akhir ini, Ian tidak menyadari bahwa dia sekarang sering tersenyum sendiri. Senyum yang hanya Ian sendiri tahu artinya.
Ting
Bunyi notifikasi chat di ponsel Ian. "Frans," gumamnya. Tanpa membalas chat itu, Ian langsung melakukan panggilan.
"Halo, Ian" sapa Frans.
"Hhmm," dehem Rian.
"Ada apa?" tanya Frans.
"Aku akan menikah!"
"Hahh! Beneran kamu mau menikah?" tanya Frans tak percaya.
Frans adalah teman Ian. Sama seperti David, bedanya Frans berteman sejak SD. Frans adalah pengacara perusahaan Ian.
"Ya, kau urus semua, tanya pada Paman!" tanya Rian.
"Siap, Bos."
Ian langsung memutus panggilan. Frans hanya geleng-geleng menghadapi setiap sikap sahabatnya itu.
Frans tersentak. Menikah? dengan siapa! Tak buang waktu Frans langsung menghubungi David. Beberapa kali panggilannya belum tersambung. Frans langsung mengetik pesan, "Call me back, stupid!"
Frans membayangkan jika David membaca isi chat-nya, senyum seujung bibir langsung tersungging. David pasti akan mengumpatnya habis-habisan.
Dreett dreett
'David calling,' batin Frans.
"Ha-,"
"Dasar kamu Frans!" Frans mengernyitkan dahinya. Tumben sekali David tidak mengumpatnya.
"Tumben!"
"Mak gue di sini!" jawab David.
"Ha ha ha ...," tawa Frans pecah membayangkan ekspresi frustasi David, membuatnya urung menanyakan tentang Ian.
"Ya sudah, kalo mak udah balik aja," lanjut Frans langsung memutuskan panggilannya.
Dan di tempat lain, tepatnya kediaman Ian.
Tampak Ian termenung, sibuk dengan pikirannya sendiri. Sebetulnya untuk apa dia, meminta syarat menikah? Bukankah selama ini semua kebutuhannya telah terpenuhi? Ada Rusdi yang siap melayaninya 24 jam. Ahh, karena si dia, Ian langsung melirik ke arah lab.
'Aku harus cepat mengikat gadis itu, semua harus berjalan mulus!' serunya dalam hati.
Ian langsung mencari kontak Fafa dan hendak menelpon. Sebelum itu, dilihatnya jam dinding masih menunjukkan pukul 21:05 WIB.
Langsung saja men-dial kontak Fafa. Sesuai dugaan, tidak berapa lama, langsung di angkat.
"Assalamu'alaykum," sapa Fafa.
"Hhmm," dehem Ian.
"Maaf dengan siapa!" tanya Fafa.
"Ian," jawab Rian singkat.
"Ma-mas Ian?" tanya Fafa.
"Ya."
Fafa tidak menyangka jika Ian suaranya berat dan serak seperti ini. 'Kenapa tiba-tiba begidik begini, suaranya terdengar seksi!' batin Fafa.
"Ada apa!" tanya Ian singkat.
Fafa binggung, maksudnya ada apa bagaimana? Aku tidak menelponnya, ta-. Ah, Fafa ingat pembicaraannya dengan Rusdi.
"I-iya itu, Mas Ian. Sa-saya setuju," ucap Fafa tergagap.
Ian diam saja, menikmati kegugupan Fafa.
"Lalu ...,"
"Bo-bolehkah saya meminta sesuatu!" tanya Fafa hati-hati.
"Ck, apa lagi! apa masih kurang!" hardik Ian.
"Ng-nggak Mas Ian. Tapi apakah boleh setelah menikah, saya tetap kuliah?" tanya Fafa sedikit gentar.
"Ya. Dana sudah masuk, cek sana!" ucap Ian dengan datar.
"I-iya, terima kas-."
Fafa terjengkit, kala melihat layar ponselnya, Ian telah mematikan panggilan. Berarti tadi dia ngomong sendiri! Sebenarnya orang macam apa yang akan dia nikahi ini. Kenapa seenaknya saja.
Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu.
Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu.Ian tidak menyadari bahwa nama Fafa sudah membuat dia tertawa berulangkali walaupun dengan interaksi yang sangat minim. Bagaimana jadinya jika Fafa benar-benar hadir dihadapannya, sepanjang waktu berinteraksi. Bukankah julukan gila akan semakin melekat pada dia. Sepertinya Fafa adalah oase yang telah lama didamba jiwa Ian.***Kota KediriSekarang ini, tepat dua hari setelah operasi lutut Ikhsan. Hasil operasi sejauh ini bagus dan tidak ada keluhan. Siang ini, Ikhsan di perbolehkan pulang dan kembali lima hari lagi.Fafa menuju ke bagian kasir untuk menyelesaikan semua biaya perawatan. Antrian tidak terlalu banyak, setelah menunggu 20 menit. Semua sudah selesai, segera Fafa menuju ke kamar inap Ikhsan. Dari kejauhan, tampak adiknya duduk di depan kamar inap ngobrol dengan Hisyam."Assalamu'alayku
Ian menatap kedua kakinya. Senyuman lagi dan lagi nampak diwajahnya.Sudah 20 tahun terakhir tidak merasakan apapun. Beberapa hari ini merasakan nyeri walaupun samar. Apakah mulai ada tanda-tanda syarafnya bekerja kembali.Hidung Ian mencium aroma tidak sedap. Padahal tadi sore sudah keluar sangat banyak. Ian segera menekan tombol. Tak berapa lama Rusdi datang tergopoh-gopoh.Tok tokPintu langsung terbuka lebar."Mas Ian!""Paman ...!"Rusdi yang sudah paham, langsung mendekati Ian. Membantu pindah ke ranjang dan langsung melepas popok yang dikenakan. Rusdi membersihkan BAB dan BAK yang tercampur. Sebenarnya sudah ada kursi roda khusus untuk BAB dan BAK. Akan tetapi dengan kondisi Rian yang lumpuh total mulai dari pinggang sampai kaki, tentu saja alat itu kurang efektif digunakan. Jadi tetap menggunakan popok sehari-harinya."Paman kenapa beberapa hari terakhir seperti ini!" keluh Ian."Mas Ian ...," suar
"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!""Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik."Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi."Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa."Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa."I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap."Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa."Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,""Wa alaykumusam, Paklik Di."Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,'
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.***Keesokan harinyaAktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa
Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya."Fa, duduk sini!" ujarnya.Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita.Dua pasang mata sama-sama menjatuhkan pandangan. Terkunci untuk beberapa saat. Seketika ruang tengah hening. Ian menatap intens Fafa. Mendapatkan tatapan seperti ini, seketika Fafa beku, seolah-olah terpaku di tempat berdirinya sekarang.'Jadi, ini yang namanya Mas Ian. Benarkah dia calon suamiku?' batin Fafa. Sedangkan Ian sendiri merasa takjub dengan pemandangan di depannya. 'Benarkah dia calon istriku,' batin Ian.Deg degDetak jantung Ian berkerja lebih cepat dari biasanya. Apakah dia sekarang benar-benar terkena serangan jantung? Dadanya serasa mau meledak dan napasnya sesak, sangat tidak baik jika terus seperti ini. Ingatkan Ian untuk segera memanggil dokter Thomas setelah ini. Fafa, jangan ditanyakan lagi. Saat ini benar-benar pikirannya tidak menentu. Sungguh,
Dai langsung berdiri mengajak Fafa masuk ke rumah utama. Saat Fafa akan masuk ke dalam rumah, langkahnya langsung terhenti.Fafa gugup, seolah kakinya enggan diperintah melangkah. Masih terpaku di depan pintu. Dilihatnya Ian juga menuju ke meja makan. Merasa diperhatikan Ian lantas menghentikan laju otomatis kursi rodanya. Sedangkan yang lain langsung menuju meja makan. Fafa tetap terpaku di tempatnya. Perlahan Ian mendekati Fafa."Masuk!" perintah Ian.Tanpa menjawabnya, Fafa langsung berjalan dibelakang Ian.HuffFafa menghembuskan napas lega. Berada di dekat Ian, seakan mencekiknya. Bagaimana jika sudah menikah?BruggFafa menabrak kursi roda Ian yang berhenti mendadak."Maaf," cicit Fafa."Hhmm," Ian hanya berdehem.Keduanya telah sampai di meja makan. Ian tersenyum tipis, hatinya menghangat. Setelah 20 tahun, baru terjadi sekali ini. Rumah besar yang biasanya selalu sepi dan hari ini b