Share

6. Kebimbangan

Ian menatap kedua kakinya. Senyuman lagi dan lagi nampak diwajahnya. 

Sudah 20 tahun terakhir tidak merasakan apapun. Beberapa hari ini merasakan nyeri walaupun samar. Apakah mulai ada tanda-tanda syarafnya bekerja kembali. 

Hidung Ian mencium aroma tidak sedap. Padahal tadi sore sudah keluar sangat banyak. Ian segera menekan tombol. Tak berapa lama Rusdi datang tergopoh-gopoh.

Tok tok

Pintu langsung terbuka lebar.

"Mas Ian!" 

"Paman ...!" 

Rusdi yang sudah paham, langsung mendekati Ian. Membantu pindah ke ranjang dan langsung melepas popok yang dikenakan. Rusdi membersihkan BAB dan BAK yang tercampur. Sebenarnya sudah ada kursi roda khusus untuk BAB dan BAK. Akan tetapi dengan kondisi Rian yang lumpuh total mulai dari pinggang sampai kaki, tentu saja alat itu kurang efektif digunakan. Jadi tetap menggunakan popok sehari-harinya.

"Paman kenapa beberapa hari terakhir seperti ini!" keluh Ian.

"Mas Ian ...," suara Rusdi tercekat.

Jika mengatakan sabar, Ian sangat sabar. Jika mengatakan kuat, Ian sangat kuat. Jika tidak, bagaimana selama 20 tahun terakhir menjalani hidup seperti ini. Rusdi sangat memaklumi jika sikap Ian yang semena-mena. Baginya, Ian adalah orang sangat tabah dibalik sikapnya yang semena-mena itu. Sebuah keberuntungan tersendiri bagi Rusdi dan Tini diberi kesempatan mengabdi pada keluarga mendiang Andrinof.

"Mas Ian, apakah paman harus menghubungi dokter Thomas?" 

"Iya Paman," jawab Ian singkat. Rusdi mengangguk dan tetap melanjutkan aktifitasnya membersihkan bagian bawah badan Ian.

"Sudah selesai, silahkan istirahat kembali!" ujar Rusdi.

"Hhmm ...," dehem Ian. Rusdi langsung menoleh dan memperhatikan Ian.

"Iya Mas Ian, ada lagi yang bisa paman bantu!" tawar Rusdi.

"Apa paman akan kembali ke paviliun?"

"Kalau mas Ian masih menginginkan saya di sini, paman tidak akan kembali," ujar Rusdi.

Rian membuang napas kasar, lalu melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 00:40 WIB dini hari.

"Ada yang mengganggu pikiran Mas Ian!" lanjut Rusdi hati-hati. Ian menggeleng pelan.

"Paman apakah keputusanku menikahi keponakanmu itu tepat!" ujar Ian.

Rusdi tersenyum kecil, terjawab sudah rasa penasarannya beberapa hari terakhir selalu melihat Ian termenung dan jarang memerintahnya. Jadi ini yang menghantui Ian beberapa hari terakhir.

"Paman tidak memiliki jawabannya Mas Ian. Hanya saja, keponakan paman itu, seorang gadis yang sopan, penurut, dan penyayang. In syaa Allah semoga Mas Ian dan Fafa berjodoh,"

"Apakah Paman tidak merasa jika aku hanya memanfaatkan keponakanmu saja!" sahut Ian.

"Soal itu, hanya Mas Ian sendiri yang tahu jawabannya. Akan tetapi jika seorang laki-laki dan perempuan itu menikah, keduanya di sebut suami istri. Jadi istilah memanfaatkan itu tidak ada, yang ada adalah saling melengkapi demi kejayaan rumah tangga." Ian mengangguk mendengarkan penjelasan Rusdi.

"Apakah keponakanmu masih mau menjadi istriku dengan kondisiku seperti ini?"

"Apa Mas Ian belum mengatakan pada Fafa?" tanya Rusdi.

"Ck, belum. Menurut Paman, apakah aku harus mengatakan sekarang atau setelah menikah saja?" 

"Lepas dari Fafa adalah keponakan paman. Menurut paman, sebaiknya dibicarakan dahu-," 

"Bagaimana jika dia menolak dan tidak mau!" potong Ian.

"Masalah mau atau tidak, itu juga terserah pada keputusan Fafa. In syaa Allah apapun bisa terjadi Mas Ian. Paman mendoakan semoga Mas Rian dan Fafa berjodoh," ujar Rusdi.

"Kalau begitu katakan saja padanya, Paman. Kita lihat saja nanti. Apakah keponakanmu seperti yang Paman bilang atau memang dia hanya mau karena uangku saja!" Rusdi mengangguk dan mulai merasakan aura Ian yang sebenarnya telah kembali. Dengan segera mengakhiri percakapan ini.

"Maaf Mas Ian, ada lagi ya-," Nah benar bukan! pertanyaan Rusdi belum selesai sudah dipotong Ian.

"Sudah, sana istirahat!" 

"Siap, Mas Ian. Paman undur diri."

"Hhmm."

Hingga tiba pagi hari, Ian tetap tidak bisa memejamkan matanya. Banyak masalah yang terus bermain dipikirannya. Hal itulah yang membuat emosinya lebih labil akhir-akhir ini. Ketika sudah mulai bisa sedikit menutup mata, terdengar olehnya ketukan pintu.

Tok tok

Rusdi langsung membuka pintu kamar Ian.

"Paman," panggil Ian.

"Mas Ian, ini dokter Thomas sudah datang."

"Jam berapa ini?" tanya Ian.

"Pukul 06:00 WIB."

"Suruh masuk saja!"

Tak berapa lama terdengar sapaan dari dokter Thomas.

"Selamat pagi," 

"Hhmm," 

"Bagaimana keadaan anda sekarang ini?" tanya dokter Thomas.

"Seperti saranmu dokter, aku mencoba menaikkan voltase-nya. Kakiku sekarang memang ada sedikit nyeri dan ada perubahan dalam BAB dan BAK. Apa ini efek dari FES atau yang lain?"

"Kalau hal itu perlu dilakukan pengujian lagi melalui serangkaian test, Mas Ian," jawab dokter Thomas.

Dokter Thomas adalah dokter keluarga Ian sejak mending ayah dan ibunya dahulu. Jadi sudah sangat hapal dengan segala yang menyangkut kesehatan keluarga Andrinof. Awalnya sangat terkejut mengetahui Ian akan menjalani terapi FES lagi. Beberapa hari terakhir Ian rajin melakukan kembali di kamarnya. Kabar yang sangat menyenangkan buat semua yang selama ini berada disekitar Ian. Muak adalah jawaban terakhir yang didengar dokter Thomas kala itu. 

Terapi FES (Fungsional Electrical Stimulation) adalah sebuah terapi yang dilakukan untuk membangunkan kembali otot-otot yang lemah pada bagian yang lumpuh, selain itu juga berguna untuk membantu membantu meningkatkan metabolisme tubuh. Jadi pada bagian kaki ditempeli elektroda yang akan dialiri arus listrik bertegangan kecil.

"Dok, apakah aku bisa memiliki anak!" tanya Ian. Dokter Thomas langsung mengangguk.

"Ada perempuan mau menikah denganku. Sekarang aku berpikir, bisakah membuatnya hamil meskipun tanpa cara konvensional!" lanjut Ian.

"Kalau hal itu nanti bisa kita lakukan general chek up dulu mas Ian," jawab dokter Thomas.

"Aku berharap generasi Andrinof tidak berhenti padaku. Oya, dokter Thomas datang saja ke pernikahanku jumat minggu ini!" 

"Baik Mas Ian."

"Ada lagi!" ujar Ian.

"Tidak ada, resep nanti akan langsung saya serahkan ke Rusdi. Terapinya tetap saja dilakukan, tetapi jangan terlalu sering. Mengenai keturunan, nanti bisa dibicarakan setelah pernikahan saja," papar dokter Thomas.

"Hhmm,"

"Untuk sekarang sudah cukup, saya pamit dulu." Ian hanya mengangguk.

Dokter Thomas keluar kamar. Tak lama kemudian Rusdi masuk dan membantu Ian berpindah ke kursi rodanya. Mengganti sprei dan merapikan kamar Ian.

"Paman sudah menghubungi keponakanmu!"

"Belum Mas Ian. Rencana nanti siang."

"Hhmm."

Rusdi mendorong kursi roda Ian masuk ke kamar mandi. Membiarkan Ian membersihkan dirinya sendiri. Rusdi beranjak keluar kamar untuk mengambilkan sarapan Ian. Seperti inilah rutinitas pagi Rusdi dan Ian hingga pukul 09:00 WIB.

Setelah meletakkan nampan di meja yang ada di kamar, Rusdi langsung membantu Ian memakai baju, kemudian mendorong kursi roda Ian ke arah meja yang diatasnya telah terhidang sarapan. Rusdi langsung berpamitan kelar kamar. Ian hanya mengangguk dan tetap meneruskan acara sarapannya. Setelah keluar kamar, Rusdi langsung menuju dapur. Duduk di kursi, sembari menemani Tini yang membersihkan peralatan memasak. Rusdi mengambil ponsel di saku celananya, lalu men-dial nomor ponsel Fafa.


***

Kota Kediri

"Assalamu'alaykum, Fa."

"Wa alaykumusalam, Paklik."

"Nduk, apakah sudah bersiap!" tanya Rusdi.

"In syaa Allah, sudah Paklik. Kemungkinan esok hari Fafa mau ke rumah sakit lagi untuk memeriksakan Ikhsan."

"Bukannya besok baru hari Rabu, Nduk,"

"Iya Paklik, jadwal kunjungan Ikhsan harusnya hari Jumat. Tapi dimajukan besok, karena dokternya hari Jumat ada acara seminar." 

"Apakah San sudah mengetahuinya?"

"Sudah Paklik."

"Baiklah, jika begitu. Besok Paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status