Yuna sudah kembali memakai kemeja navy dan rok hitam. Menatap pantulan wajahnya di depan cermin dengan helaan napas lelah. Dia tidak menyangka tubuh yang selalu dia tutup rapi dari pandangan laki-laki itu akhirnya tersentuh oleh kekasih sahabatnya.
“Jangan pulang dulu, Na. Gue udah pesen makanan buat kita.”
“Nggak usah, Bin. Aku buru-buru ke rumah Jisya. Dari tadi teleponku nggak diangkat. Aku khawatir kalau terjadi apa-apa sama dia.”
Abin yang awalnya duduk di tepian ranjang perlahan melangkah menghampiri Yuna. Tanpa permisi, Abin memeluk pinggang ramping Yuna dari belakang. “Makasih udah jadi sahabat yang baik buat Jisya.”
Yuna menepis tangan Abin dengan kuat, tapi Abin justru semakin mengeratkan pelukannya. Menyandarkan dagunya di bahu gadis itu. “Aku lebih dulu mengenal Jisya dari pada kamu, Bin. Nggak perlu kamu berterima kasih, semua itu udah jadi kewajiban aku jagain Jisya.”
Abin mengulum senyumnya menatap Yuna dari cermin. “Gue antar y
Setelah menurunkan Jisya, Abin meminta Yuna untuk pindah di depan. Jisya juga melihatnya, karena dia juga masih menunggu kepergian mobil Abin. Dia percaya Yuna tidak akan menggoda Abin. Dia tahu persis Yuna gadis seperti apa."Kamu cemburu ya?" tebak Abin ketika sudah mulai melajukan mobilnya.Yuna yang tengah sibuk memasang seatbeltnya pun menghentikan pergerakan tangannya dan menatap Abin dengan kerutan di kening. "Enggak. Ngapain cemburu? Emang aku siapa kamu?" Jawabannya terdengar tak acuh dengan pertanyaan Abin. Dia tidak mau membuat Abin jadi merasa terlalu percaya diri.Yuna juga sedikit heran Abin mengganti sebutan lo-gue menjadi aku-kamu. Biasanya dia memanggil Yuna dengan aku-kamu hanya di hadapan Jisya saja."Nggak usah bohong. Kelihatan tuh mukanya. Cemburu aja nggak apa-apa, kali. Aku malah seneng."Yuna terdiam ketika mendengar Abin mengatakan kalau
Padahal Jisya sudah merelakan waktu untuk bertemu dosen pembimbing, tapi ternyata dosennya ada kepentingan mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Dari pada menggerutu tidak jelas, Jisya memilih menenangkan diri di kantin kampus. Setidaknya, ada sesuatu yang masuk ke dalam lambungnya sedikit meredam emosinya sambil menunggu Yuna yang tengah mengurus administrasi kuliah.Kaki jenjangnya melangkah menuju meja kasir untuk memesan minuman. Ketika matcha latte dingin yang menjadi minuman favoritnya telah berhasil dia genggam, Jisya mengedarkan pandangannya mencari meja kosong. Hingga pandangannya tertuju pada salah satu meja di sudut kantin yang dekat dengan taman. Sambil mengaduk minumannya, gadis itu berjalan menuju meja itu.Namun, di pertengahan langkahnya, kaki Jisya tersandung oleh kaki seseorang hingga membuatnya jatuh tersungkur dan gelas plastik yang dia bawa pecah. Matcha latte yang baru saj
Jisya dan Yuna tengah berada dalam taksi yang sama. Yuna sibuk menenangkan Jisya yang masih emosi mengingat pertengkarannya dengan Linzy yang tak ada habisnya. Padahal biasanya Jisya paling hebat dalam masalah pengendalian emosi, tapi entah mengapa hanya mengahadapi seorang Linzy mampu membuatnya berapi-api."Udah lah, Sya... Jangan diinget-inget lagi. Kamu kan baru sembuh. Aku nggak mau lihat kamu sakit lagi gara-gara kepikiran cewek nggak waras tadi.Jisya berkali-kali menarik napas panjangnya untuk mengatur kembali emosinya. Benar yang dikatakan Yuna. Kalau dia terus-terusan mengingat Linzy, bisa-bisa membuat imunitasnya menurun. "Tapi, Yuna... Dia it---""Sssttt... Udah, lupain aja. Anggap kita nggak pernah kenal sama dia." Yuna sengaja memotong ucapan Jisya agar gadis itu tak semakin berlarut-larut mengingat tentang Linzy.
Pagi-pagi Yuna sudah mengerjapkan matanya karena cahaya matahari lamat-lamat mulai memasuki penglihatannya melalui celah jendela kaca. Terbangun tanpa sehelai benang pun yang membungkus tubuhnya di balik semut tebal bersama dengan Abin yang masih setia melingkarkan tangan di perutnya. Perlahan Yuna melepas tagan Abin dan mulai memunguti potongan-potongan pakaiannya, lantas memasuki kamar mandi.Merosotkan tubuhnya di balik pintu dengan perlahan. Meremas rambutnya dengan kuat dan isakan yang tertahan. Lagi-lagi Yuna melakukan kesalahan dengan Abin. Dia terpaksa melakukannya atas tawaran Abin yang ingin menjadikannya teman saling menguntungkan. Abin berjanji akan membayar semua biaya kuliahnya dan membantu pengobatan orang tuanya di kampung halaman jika Yuna bersedia menjadi teman untuk melampiaskan nafsunya.Awalnya Yuna menolak sangat keras tawaran Abin. Tapi, karena sudah terdesak, Yuna tidak punya pilihan lagi. Toh, Ab
Kebetulan sekali Yuna dan Jisya sedang tidak ada jadwal konsultasi dengan dosen. Mereka sudah mengatur jadwal untuk bertemu dengan Dion selaku CEO agensi yang menaungi Jisya di dunia permodelan. Seperti janjinya pada Jisya, Dion langsung menerima Yuna sebagai model di agensinya tanpa seleksi. Dari awal Dion memang sudah tertarik dengan aura Yuna, hanya saja perempuan itu selalu menolak tawarannya."Minggu depan kamu bisa mulai pemotretan lipstik. Gue udah taken kontrak sama brandnya. Kamu banyak-banyak latihan sama Jisya. Gue yakin kamu gampang diarahin."Di ruangannya, Dion mengajak Yuna dan Jisya mengobrol santai. Baru saja bergabung, Yuna sudah ditawari pekerjaan. Otomatis Jisya bertepuk tangan gembira karena sahabatnya tak butuh waktu lama untuk masa pelatihan. Tapi, di tengah acara Jisya mendapat telepon dari dosennya untuk segera ke kampus dan terpaksa meninggalkan Yuna sendiri dengan Dion.Sementa
Setelah diterima menjadi model, Yuna memutuskan untuk mengakhiri perjanjiannya dengan Abin. Dia sudah menghubungi Abin dan meminta untuk bertemu. Kebetulan juga suasana hati Abin sedang tidak nyaman. Dia ingin Yuna menemaninya, bahkan mengusir Linzy secara halus dengan alasan latihan band.Yuna yang telah diberi kebebasan oleh Abin untuk mengakses apartemennya membuka pintu dengan ragu-ragu. Ketika masuk dia melihat Abin duduk di sofa dengan wajah berantakan. "Bin...," panggilnya dengan suara lirih.Mendengar suara merdu Yuna, Abin langsung bangkit dan memintanya untuk duduk bersebelahan. "Tumben kamu mau ketemu aku?" tanya Abin ketika Yuna sudah duduk di sebelahnya memangku kedua tangnnya."Ada yang mau aku bicarakan sama kamu, Bin.""Bicara apa, hm?" tanya Abin sambil menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga Yuna dan sesekali mengendus leher perempuan itu. Yuna yang masih belum t
Akhirnya Abin mau berhenti juga dan kembali menaikkan celana dalam Yuna. Yuna pun bangkit bersamaan dengan Abin yang memakai kembali pakaiannya. Perempuan itu mengaitkan kembali branya dengan susah payah. Abin yang bisa membaca maksud Yuna pun langsung mengambil alih untuk membantunya.Yuna menatap nanar kemeja putihnya yang sudah tidak karuan. Semua kancingnya terlepas dan tidak bisa dikaitkan lagi. "Aku pulangnya gimana, Bin?"Abin langsung berdiri dan masuk ke dalam kamarnya. Tak berselang lama dia keluar dengan membawa kemeja putih wanita. "Pakai ini aja."Yuna mengernyitkan keningnya ketika menerima kemeja itu. "Punya siapa?""Punya mantan aku."Yuna meletakkan kembali kemeja itu dengan raut wajah masam. "Kamu katanya baru ngelakuin sama aku?"Melihat wajah cemburu Yuna membuat Abin terkekeh. Dia menangkup kedua pipi perempuan itu dengan telapak tan
Jisya tengah sibuk menghapus make up setelah sesi pemotretan. Tak lupa juga melepas perhiasan yang dia pakai dibantu seorang perempuan yang menjadi assistannya. Di sebelahnya juga ada Yuna yang masih mempersiapkan diri untuk pemotretan pertamanya."Jisya, aku nervous banget nih. Gimna kalau pemotretannya gagal?""Makanya jangan nervous. Kalau kamu nervous, hasilnya nggak bakal maksimal. Santai aja, Yuna. Kamu pasti bisa kok. Percaya deh sama aku."Yuna mengulas senyumnya dengan manis. Jisya selalu membuatnya merasa tenang. "Makasih, Sya.""Itu kan gunanya teman? Kalau nggak saling support buat apa?""Yuna, lima menit lagi take." Manager Jisya yang sekaligus menjadi manajer Yuna memberi aba-aba untuk Yuna agar segera bersiap.Ketika Yuna meninggalkan ruangan itu, Abin tiba-tiba datang meghampiri Jisya dengan menutup mata perempuan itu dari belakang. "Abin...," peringat Jisya dengan lembut.Abin melepas tangannya dan t