“Abin, jangan ngerokok terus!”
Seorang gadis berambut cokelat sepinggang merebut korek api yang hampir menyulut sebatang rokok yang terselip di bibir seorang laki-laki.Gadis itu berkacak pinggang seraya memelototkan mata. Bibir tipisnya tertekuk hingga pipi tirusnya itu menggembung. “Iya, Jisya sayang ...." Laki-laki bernama Abin itu terkekeh seraya menekan pipi gadis itu dengan kedua telapak tangannya.“Kan udah aku bilang, kalau rokok itu nggak baik buat kesehatan. Kamu nggak kasihan sama paru-paru? Nggak kasihan sama aku juga kalau kena asapnya? Perokok aktif sama perokok pasif itu lebih berisiko perokok pasif, Abin.... Kamu mau aku mati muda?”Sementara Jisya berceloteh panjang lebar, Abin hanya menopang pipi menatapnya dengan tersenyum. Ingin rasanya menggigit pipi chubby kekasihnya itu saking menggemaskannya .Sadar ditatap Abin dengan tatapan tak biasa, Jisya langsung mengatupkan mulutnya. “Ih, Abin! Kok ngelihatian nya gitu sih?”Senyuman Abin perlahan berubah menjadi kekehan ringan yang menawan. “Cie, salting ya?” goda laki-laki itu dengan mencolek dagu Jisya. Apa daya Jisya yang imannya lemah, tak kuasa menahan semburat merah muda di pipiya. Dia tersipu dengan perlakuan kecil dari Abin.“Enggak. Siapa juga yang salting?” Bagaimana pun Jisya tetap mempertahankan gengsinya di hadapan Abin. Tidak mau membiarkan Abin semakin menggodanya kalau tahu dia tengah salah tingkah.“Oh ... yakin, nggak salting?”“Abin, apaan sih? Kamu jangan ngalihin pembicaraan! Kita lagi bahas rokok, oke?”Abin berdeham tiga kali seperti orang yang hendak mengawali sebuah pidato. “Gini ya, Jisya sayangku ... rokok itu udah jadi kebutuhan buat aku. Kalau aku nggak ngerokok, rasanya tuh kayak ada yang kurang. Kayak kamu yang hobinya shopping. Emangnya kamu bisa tahan buat nggak shopping?” ucap Abin seraya menyisipkan helai demi helai rambut kebelakang daun telinga Jisya.Jisya membalas perlakuan Abin dengan merapikan rambut Abin yang berantakan. Mengusap peluh di sekitar pelipisnya dan berakhir menagkup kedua pipi laki-laki itu. “Itu namanya kamu udah kecanduan, Abin sayang …. Kalau kamu nggak berhenti dari sekarang, nanti lebih susah lho ngilanginnya. Lagian, aku kan nggak suka shopping. Nggak perlu kamu cari pembanding yang sia-sia.”Abin mengorek telinga kanannya dengan telunjuk. Seolah mendegarkan ceramah Jisya lama-lama bisa membuat gendang telinganya pecah. Sudah satu bulan berpacaran, selalu itu itu saja yang mereka bahas. Seperti tidak ada pembahasan lain saja. Dan selama itu juga Abin tetap tidak berubah. Ucapan Jisya hanya seperti angin lalu baginya.Yang lebih ajaib lagi, meskipun jenuh dengan ocehan Jisya, Abin tetap dengan sabar mendengarkannya. Entah dia akan menurutinya atau tidak, itu urusan belakangan. Yang terpenting ketika Jisya bicara dia merasa didengarkan.“Ya udah, gini aja, kalau kamu kasih aku kiss sekali aja, aku bakal berhenti ngerokok. Gimana?” Abin mengetuk-ngetuk bibirnya menggoda Jisya. Jisya pun seolah memberikan reaksi untuk tawaran Abin. Dia memutar-mutarkan pandangannya seperti mempertimbangkan sesuatu.“Hm ….” Jisya menggantungkan kalimatnya membuat Abin semakin tidak sabar.“Gimana? Mau nggak?” tawar Abin lagi.Dan Jisya hanya menjawabnya dengan satu kata. “Enggak.”Penolakan Jisya itu membuat Abin menghela napas dengan kecewa. “Ya udah, kalau gitu aku tetep ngerokok,” jawab Abin berpura-pura tak acuh dan kembali mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya.“Abin!”Melihat Jisya membentaknya dengan pelototan tajam, Abin benar-benar tak bisa berkutik. Dia memasukkan kembali batang rokok itu ke dalam kotak dan meletakkannya di atas meja. “Bercanda, Sayang …,” rayunya kembali.Jisya kembali menekuk bibirnya dengan kesal. Abin itu masuk dalam kategori bad boy. Suka merokok, mabuk-mabukan, bahkan bolos kuliah. Berpacaran dengannya membuat Jisya mengelus dada setiap hari. Dia bertekad ingin mengubah laki-laki itu menjadi lebih baik.Di saat Abin berusaha merayu Jisya, tiba-tiba ponsel yang dia letakkan di atas meja bergetar dan memunculkan panggilan dari kontak bernama Leo. Jisya yang menyandarkan bahunya dengan tangan terlipat di depan dada melirik ponsel Abin dan tanpa sengaja membaca nama kontak yang meneleponnya. Bukannya menerima pangilan itu, Abin justru menggeser tombol merah.“Kok direject?” Jisya heran saja dengan Abin yang seenaknya menolak panggilan orang lain. “Dianggkat dong, Abin! Siapa tahu penting.”Bukannya menjawab pertanyaan Jisya, Abin justru tersenyum jail dan mencolek dagu gadis itu. “Udah nggak ngambek lagi nih ceritanya?” Jisya menangkis tangan Abin. “Pokoknya kalau kamu masih ngerokok, kita putus aja. Aku nggak mau deket-deket sama perokok.”Abin tahu Jisya tidak serius mengatakannya. Abin juga tahu Jisya itu tidak bisa jauh-jauh darinya. Lebih dari dua puluh tahun dia hidup, dia belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang laki-laki. Ayahnya sudah meninggal semenjak dia masih di dalam kandungan. Dan kehadiran Abin membuatnya merasa selalu nyaman dan dilindungi.Jisya memang bisa mengendalikan perilaku Abin. Bahkan dia membuat Abin kesal dan gemas dalam satu waktu. Sebaliknya, Abin juga bisa mengendalikan hati Jisya. Dia bisa membuat Jisya was-was dan kasmaran dalam waktu bersamaan. Mana bisa Jisya memutuskan Abin kalau seperti itu.Lagi-Lagi ponsel Abin bergetar mendapat panggilan dari orang yang sama untuk kedua kalinya. “Diangkat, Abin!” Abin tetap tidak peduli dengan perintah Jisya. Dia kembali menggeser tombol merah, lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.Setelah itu dia menarik lengan Jisya agar gadis berdiri dari tempatnya. Jisya yang masih dalam mode merajuk dengan malas mebiarkan tubuhnya mengikuti pergerakan Abin. “Udah sore. Yuk, aku antar pulang. Nanti dimarahi Mama lho,” ucap Abin seraya merapikan rambut pajang Jisya yang berantakan.Jisya menatap Abin dengan menahan senyumannya. Dia benar-benar tidak bisa lama-lama marah pada laki-laki berwajah cuek itu. Bagaimana bisa marah jika dia selalu memperlakukan Jisya bak putri raja.“Biasa aja ngelihatinnya. Aku tahu kalau aku ganteng.” Dengan mudahnya Abin mencubit hidung mancung Jisya. Jisya pun langsung memutuskan pandangannya dari Abin dan melihat ke arah lain. “Leo itu siapa sih? Kok aku nggak pernah tahu kamu punya teman namanya Leo?” tanya Jisya penasaran.Abin tetap melanjutkan acaranya merapikan seragam Jisya dan berganti mengusap rok belakang Jisya yang berdebu. “Temen aku kan banyak. Emang kamu hafal semua temen aku?”“Ya, enggak sih. Tapi mau dong dikenalin sama temen kamu yang namanya Leo itu. Aku suka banget kalau ada cowok namanya Leo. Pasti keren banget orangnya.”Mendengar permintaan dari Jisya, Abin seketika menghentikan pergerakannya dan menjauhkan tangannya dari rok Jisya. “Jangan! Nanti kamu malah suka lagi sama dia.” Jisya memang selalu suka melihat wajah cemburu Abin. Ketika laki-laki itu cemburu, Jisya merasa menjadi gadis paling cantik sedunia.Setelah memastikan seragam Jisya sudah rapi kembali, Abin mengambil jaket hitam yang dia gantung di stand hanger. Satu persatu lengan jaketnya dia pakaikan pada Jisya dengan penuh perhatian. Sudah biasa bagi Jisya mendapat perlakuan manis Abin.Mungkin mereka baru satu bulan berpacaran dan bahkan belum saling mengenal semakin dalam, tapi Jisya semakin yakin Abin adalah sosok yang pantas untuknya. Tumbuh dengan sisi lain yang manja mebuatnya merasa cocok bersama Abin yang perhatian dengan hal-hal kecil tentangnya.Abin menyelipkan kelima jarinya di sela-sela jemari Jisya. Menuntunnya keluar dari ruangan itu untuk segera mengantarkannya pulang. Sejak pulang sekolah Abin langsung mengajak Jiysa ke rumahnya untuk menyaksikan bandnya berlatih. Di rumahnya memang ada studio musik yang sudah disiapkan oleh ayahnya yang juga merupakan pecinta musik.Abin dan dua temannya memberi nama bandnya dengan nama AFK. Bukan berarti kalah, melainkan diambil dari insial ketiga personilnya. Abin vokalis, Fras gitaris dan Kaffa yang menjadi drummer. Meskipun pada umumnya vokalis yang mendapat perhatian lebih dari fansnya, tapi di AFK mereka sama rata. Tidak ada yang lebih populer, tidak ada yang paling tenggelam.Setelah memasang helmnya dengan benar, Jisya naik ke atas motor Harley Davidson milik Abin. Dari kaca spionnya, Abin bisa melihat Jisya sudah duduk manis dengan melingkarkan tangan di pinggangnya. Dia pun melajukan motornya dengan kecepatan maksimal. Menyusuri lalu lintas ibu kota yang semakin ramai karena bertepatan dengan karyawan-karyawan yang juga pulang bekerja.Jisya menyandarkan kepalanya di punggung Abin dengan mata terpejam. Dia selau takut setiap diajak Abin kebut-kebutan. Tentu saja Jisya masih sayang nyawa. Dia masih ingin pulang dengan keadaan selamat dan melihat senyuman mamanya. Sedangkan Abin yang menjadi tersangka ketakutan Jisya, hanya mengulas senyum tak berdosa sambil melirik Jisya dari kaca spion.Ketika Abin menurunkannya di depan rumah, Jisya tak berhenti menggerutu pada Abin. “Udah dibilangin, kalau naik motor jangan ngebut susah banget sih, Abin? Aku nggak mau ya mati muda!”Seperti biasa, ketika Jisya mengomel panjang lebar, Abin hanya memandanginya saja dengan senyuman yang menawan membiarkan gadisnya itu menyelesaikn ucapannya sediri. “Ih, Abin! Kamu denger nggak sih?” kesal Jisya.“Iya, Jisya… aku denger kok. Ya udah, masuk, gih! Besok aku jemput. Bye, Sayang….” Abin segera melepas helm yang dipakai Jisya. Cara itu berhasil membuat Jisya berhenti mengomel dan menarik napas panjang.“Ya udah, kamu buruan pulang. Jangan lupa, besok antar aku pemotretan.”Baru membuka gerbangnya, Jisya kembali menoleh ke Abin. “Inget ya, jangan ngebut-ngebut!”Setelah Jisya benar-benar memasuki rumahnya, ponsel Abin kembali bergetar dan lagi-lagi mendapatkan panggilan dari kontak bernama Leo. “Iya, Sayang…. Maaf ya tadi masih latihan band. Jadi, nggak bisa angkat telepon kamu. Ini aku udah di jalan buat jemput kamu." Abin melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul lima lebih lima menit. "Kamu tunggu di sana. Sepuluh menit lagi aku sampai.”Pagi itu Yuna sudah membersihkan diri dan tengah mengeringkan rambut di depan cermin. Hari terakhir mereka di bali. Tak bosan mereka menghabiskan malam berdua dengan melakukan hubungan suami istri sekalipun mereka belum sah secara hukum maupun agama. Namun, beberapa hari terakhir dia dibuat uring-uringan pasca melihat panggilan dari Linzy di kontak Abin. Abin keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit piganggya. Bibirnya tersenyum menatap pantulan wajah Yuna dari cermin. Dia tak pernah bosan mengakui kecantikan Yuna. Namun, dia belum bisa memutuskan pada siapa menjatuhkan hati. "Linzy siapa sih, Bin?" tanya Yuna dengan wajah terlihat sinis. "Mantan aku. Kenapa?" Jawaban Abin terdengar meyakinkan. Seolah memang yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. Kalau seperti itu sulit untuk Yuna tidak percaya. Namun, yang namanya wanita, dia mudah sekali mencemburui. "Oh. Masih saling contact ya?" Abin jelas tahu Yuna cemburu. Dia hanya menutupinya saja. Wajah cemburu Yuna yang
Hari-hari Jisya semakin terasa sepi. Dia mendapat kabar bahwa Yuna sedang ada Pemotretan di Bali untuk satu minggu ke depan dan Abin masih saja tidak menghubungi. Kalau perempuan lain, pasti sudah minta untuk putus. Untunya, dia Jisya. Perempuan yang memiliki pikiran selalu positif dan selalu sabar.Yuna sudah sampai Bali bersama crew dan Abin. Dia bahkan sudah menyelesaikan pemotretan hari pertama dengan sangat sempurna.Sore itu Yuna sudah mengganti pakaiannya dengan gaun berwarna putih sedikit transparan dan berjalan di bibir pantai tanpa alas kaki seraya menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam.Dari kejauhan Abin yang kebetulan membawa kamera, lantas mengarahkan lensanya untuk menangkap potret perempuan cantik itu. Tidak salah Dion sangat membanggakan Yuna karena dalam situasi apa pun, foto-foto Yuna selalu bagus, sekalipun tanpa diedit.Bibir Abin melengkungkan sebuah senyuman seraya berlari mengejar Yuna dan langsung memeluknya dari belakan
Jemari lentik Linzy sibuk mengetikkan kombinasi angka untuk membuka pintu apartemen Abin. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka hingga membuatnya menghentakkan kaki dengan kesal. Sebelum-sebelumnya dia bisa leluasa mengakses tempat pribadi tunangannya itu. Tapi, sejak Abin sering membawa Yuna keluar masuk, dia sengaja mengganti kodenya agar Linzy tak sembarangan masuk dan bisa-bisa mengetahui kelakuan bejatnya. "Ini kenapa diganti sih passwordnya?" kesal Linzy seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya.Dia akhirnya menyerah dan memilih untuk menghubungi Abin. "Hallo, Bin! Kok passwordnya diganti sih? Aku kan jadi nggak bisa masuk! Aku capek tahu dari tadi ngetik passwordnya nggak kebuka juga! Kamu tahu nggak sih kalau kaki sama jari aku sampai pegel gini? Sekarang kamu di mana? Di dalem, kan? Atau lagi di luar? Ini passwordnya berapa? Aku mau masuk, buruan!" "Ck, berisik banget sih kamu, Zy!" Belum juga Linzy menutup teleponnya, Abin tiba-
Pagi itu Jisya tengah berjalan gontai di koridor rumah sakit dengan menggenggam selembar surat hasil tes laboratorium. Kepalanya menunduk menatap lantai yang dia pijak, seolah tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dia yang biasanya selalu ceria dan semangat, kini menjadi pemurung. Bruk! Tiba-tiba ada seorang yang dengan sengaja membenturkan diri padanya hingga surat hasil laboratorium itu jatuh. "Ups! Sorry, sengaja." Jisya membungkukkan badannya untuk meraih kembali hasil tesnya. Namun, lagi-lagi orang itu membenturkan diri lagi hingga Jisya tersungkur di lantai. Jisya memejamkan matanya untuk menahan segala emosi yang melanda. Tangannya mengepal dengan berkali-kali menghela napas panjang. Demi menghindari adu mulut dengan perempuan itu, Jisya memilih untuk melanjutkan langkah tanpa memedulikannya. "Heh, tunggu!"
Sudah seharian Jisya tidak mendapat kabar dari Yuna maupun Abin. Bukannya apa-apa, hanya saja tidak biasanya Yuna melupakannya. Terlebih dia mendapatkan kabar baik karena berkerja sama dengan designer luar negri. Biasanya dia akan curhat pada Jisya tentang hari-harinya. Abin pun juga begitu. Tidak ada sekali saja niat menanyakan kabar Jisya. Tidak tahu kalau gadis itu tengah menahan tubuhnya yang tengah sakit. Ditambah lagi sudah berhari-hari mamanya tidak pulang. Dia harus merawat dirinya sediri yang lemah. Masih memandangi layar ponsel, tiba-tiba saja darah menetes melalui hidungnya dan mengenai selimut. Dalam hatinya sangat panik dengan hal itu, hanya saja Jisya mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Nggak apa-apa, Jisya... Cuma mimisan kok," monolognya seraya meraih tisu di atas nakas untuk mengusap hidungnya. Bukannya berhenti, darahnya justru semakin banyak menetes hingga Jisya berkali-kali
Jisya sampai rumah dengan selamat. Beruntung sebelum baterai ponselnya habis, taksi online yang dia pesan tiba di waktu yang tepat. Hanya saja karena kehujanan gadis itu mendadak terserang flu. Sejak malam sampai pagi hanya bergelut dengan selimut tebal dan tidak berhenti bersin hingga hidungnya memerah. Bahkan dia terpaksa membatalkan jadwal bertemu dengan designer yang bekerja sama dengannya karena kondisinya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Ketidakprofesionalan Jisya membuat Dion murka sampai harus meneleponnya pagi-pagi. "Kamu, gimana, Jisya? Udah gue bilangin, jaga kesehatan. Jangan sampai pas ada jadwal kamu seenaknya batalin! Ini project penting lho, Sya! Jangan sampai cuma gara-gara kamu mereka cabut kontraknya." "Maaf, Mas... Aku janji cuma kali ini aja aku izin," jawab Jisya. Suaranya bahkan terdengar lemah dan berkali-kali menarik ingusnya. Tapi, Dion seolah tak mau tahu dengan