Share

Bab. 6. Kejutan Di Hari Spesial

“Kejutaaaaan!”

Serempak orang-orang yang berdiri, berjejer di hadapanku itu berseru. Pak Dodot dengan wajah juteknya memasang senyum tipis juga tampak terpaksa sambil memegang dua balon bertuliskan HBD di tangan kiri dan kanannya. Bosku, wajahmu itu tampak aneh sekarang. Entah kenapa. Tapi mungkin karena balon yang harus kamu pegang. Ah, aku bahagia karena sudah menjadi bagian dari keluarga di minimarket ini.

Sementara Tania dan juga Kho yang memakai seragam sama persis denganku itu berdiri di kedua sisi Ibu. Mereka memegang kado dan kue tart, masing-masing satu biji. Air mukanya berbinar, tampak begitu senang dari senyum yang tersungging lebar. Sahabatku, terima kasih. Aku bahagia karena bisa mengenal kalian.

Namun, yang lebih mengejutkan lagi, ada Bu Ana di antara mereka. Istri dari Pak Dodot itu hampir tak pernah datang ke sini. Karena dia juga punya kesibukan sendiri, yang tak lain adalah mengontrol cabang minimarket di lokasi yang sudah tentu jauh dari sini. Ia tersenyum riang padaku, seiring tatapan penuh binar sayang.

“Ini maksudnya apa?” Jelaslah aku heran. Kenapa Ibu bisa sama mereka coba? Ngapain? Bukannya tadi masih di rumah?

“Ya, elah. Ada kue tart, kado, terus ... balon. Masa nggak ngeuh ini apa?” Tania menggeleng-geleng, seiring dengan bibirnya yang tak henti bergerak karena tertawa-tawa pelan.

“Ulang tahun? Gue ulang tahun? Dan kalian bikin ini buat gue?” Macam ember bolong, merembes sudah air mataku. Tak menyangka sama sekali dengan kejutan yang mereka buat di tengah-tengah kejengkelanku hari ini.

Atau, kejengkelan hari ini memang sengaja mereka buat? Ah ... resek emang! Tapi tak apa. Sekarang aku senang karena ternyata, mereka susah menyiapkannya kejutan ini. Sekali lagi terima kasih.

“Iyalah!” timpal Kho, seolah tak mau kalah. Dia berlagak songong dengan menggerak-gerakkan sebelah alisnya itu. “Lu lupa emang? Hilih! Sama tanggal ulang tahun sendiri aja lupa. Padahal sering dikasih kejutan-kejutan gini kan dulu?”

“Emang sekarang udah tanggal enam belas gitu? Serius? O my God!” Aku menangkup wajah sambil menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Benar-benar perlahan, karena takut kalau sampai ada sesuatu yang keluar juga dari belakang. “Sumpah gue nggak ingat sama sekali.”

“Galau mulu, sih!” timpal Pak Dodot. Kali ini sambil tertawa-tawa. Senang betul dia, kalau soal olok-mengolok. Apalagi yang dioloknya itu aku.

Ish! Benar-benar kudu dipajak emang.

“Gosah kompor! Baru juga merasa bahagia! Tapi ... makasih sebelumnya karena kalian udah sempat-sempatnya bikin ginian. Di waktu-waktu yang sangat menyakitkan hatiku pula. Huhu. Terutama buat Bu Ana yang sudah nyempetin datang ke sini buat aku. Padahal Bu Ana, kan, sibuk, ya? Ish! kalian juga benar-benar tega sama gue, ya. Udah tahu kalau gue lagi galau, lagi potek, lagi ... apalah itu namanya. Eh, malah dibikin dongkol sendirian di sini.”

Layaknya kereta api yang sedang lepas landas, begitulah ocehanku terlontar. Melaku tanpa henti. Tapi, itu beneran dari hati. Bukan sekadar ucapan atau omong-kosong.

Bu Ana pun langsung mengangguk masygul sambil tertawa tipis. Dia memang sedikit kalem, bahkan terbilang cuek, tapi aslinya mah beuh ... jangan ditanya! Baik banget sumpah. Aku, Tania sama Kho itu karyawan Pak Dodot. Tapi tiap lebaran, justru Bu Ana yang selalu ngasih bonus agak banyakan.

“Tapi senang kan lu akhirnya?!” Kho mengolokku juga.

“Ya, iya. Tapi gue nggak mau tahu. Sebagai ganti karena udah bikin gue BT, kalian harus dan wajib banget buat ngasih gue duit. Seorang, seratus!”

Terserah! Tapi, sekarang waktunya aku untuk bersaksi. Eh, beraksi. Pak Dodot dan semua yang sudah berkompromi untuk mengerjaiku ini, harus mau dan berani membayar.

“Idenya Pak Bos, tuh! Minta aja sama dia.” Tania pun berkomentar sambil mengacungkan jempolnya, tepat ke depan hidung Pak Dodot. Sampai-sampai, wajah bosku itu sedikit terenyak ke belakang.

“Iya, tuh!” timpal Kho, lagi-lagi seolah tak mau kalah.

“Loh, loh ... kalian, kok, malah nyalahin Bos?” Pak Dodot memelak pinggang seraya menatap Kho dan Tania bergantian. Membuat balon yang dia pegang seketika beterbangan. “Mau saya—“

“Ampun, Pak. “ Tania dan Kho pun langsung berlari dan berdiri di samping kiri dan kanan Pak Dodot. Lalu menangkupkan tangan dengan kado di tengah-tengahnya, memohon maaf. “Kami cuman bercanda, Pak. Iya, kan, Bu?” tanya keduanya pada Bu Ana. Mereka tentu meminta perlindungan.

Ahaha! Emang dasar asem.

“Iya aja ibu mah,” timpalnya kalem, sambil menangkup mulut. Heran mungkin melihat karyawan suaminya yang aneh-aneh.

“Sudah-sudah,” sela Ibu sebelum Pak Dodot membuka mulutnya lagi. “Ibu pegal ini megangin kue dari tadi. Mana udah ngeces liat lumeran cokelat juga Cherry-nya. Mending kita tiup sama-sama lilinnya.” Tatapan Ibu, benar-benar tajam pada kue yang dipegangnya. Dia, memang pencinta makanan manis, termasuk kue tart seperti itu.

“Bener, tuh!” Kho dan Tania beralih, berdiri di samping Ibu lagi.

“Ya, sudah buruan. Habis itu kalian kerja lagi.” Pak Dodot pun beranjak dan berdiri di samping Kho sambil memonyongkan bibirnya, hendak meniup lilin.

“Bapak mau ngapain?” tanya Tania, sinis. Matamu yang tadi terlihat takut, sekarang sok berani lagi. Padahal, kalau Pak Dodot mengaum macam singa kembali, nyali Tania pasti ciut.

“Tiup lilinlah!” Pak Dodot langsung menyeringai seram.

“Yang ulah tahun si Tika, Pak. Bukan Bapak!” Kho mendelik. “Lagian, Bapak tuh nggak baik dekat-dekat cewek! Nanti Bu Bos marah, loh.”

“Oh, iya. Lupa!” timpalnya yang kemudian kembali mundur. Lalu menyeringai pada istrinya yang seketika menggeleng. “Buruan tiup lilinya, Tik. Keburu banyak orang yang mau belanja ntar.”

“Iya-iya. Sabar!” Aku mengoceh usai memperhatikan semuanya dengan tawa tertahan. “Orang sabar jodohnya diembat orang.”

“Kamu tuh yang harusnya sabar. Saya mah sudah punya jodoh! Iya nggak, Bu?” tanyanya pada Bu Ana, Seraya menyikut jahil pada istrinya itu. Bu Ana makin tertawa, meski tak selebar Kho dan Tania.

“Ya, kali Pak Bos mau nambahin jodoh. Eh!” timpalku sambil berjalan maju, menghampiri Ibu sambil tersenyum. “Maaf Bu Ana. Aku bercanda, kok. Pis!”

Samar, kudengar Pak Bos mendesiskan sesuatu pada istrinya. Dahlah biarin. Terpenting sekarang, aku harus berdoa agar umurku panjang, rezekiku lapang, dan jodohku segera datang. Aamiin, Ya Allah. Kabulin, ya. Please.

Byuh! Lilin bertuliskan angka dua puluh lima itu pun padam.

“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.

“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status