Share

Bab. 7. Bonus Gagal

“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.

“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”

“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.

“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”

“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terbaik.” Sambil melerai pelukan Ibu, aku menjawab dua temanku itu dengan perasaan luar biasa senang. Meski, di akhir kalimatnya ada kata candaan. Aku tak peduli. Terpenting, hari ini aku bahagia.

“Selamat ulang tahu juga, ya Tika. Maaf kalau kerjaan Pak Dodot tadi bikin kamu merasa kesal.” Bu Ana menghampiriku perlahan, sambil mengulas senyum. Sementara tangannya terulur, menyodorkan sebuah kado. “Semoga suka, ya sama kadonya.”

“Duh, Bu. Padahal mah nggak perlu repot-repot begini. Yang banyak aja gitu kadonya sekalian. Ehehe!” Aku langsung menangkup mulut, merasa keterlaluan setelah keceplosan. “Mulutku! Maaf, Bu.”

“Nggak apa-apa. Insya Allah nanti, ya.” Bu Ana pun mengelus puncak kepalaku sebentar, setelah aku menerima kado darinya itu.

“Asyik!” Aku pun berlonjak senang. Tak mengira kalau candaan barusan, justru dikabulkan.

“Lha, alu sama Tania juga mau, Bu. Iya, nggak, Tan?” Kho langsung menyikut temannya itu sambil cengengesan.

“Iyalah, Bu. Ehehe!” Tania menyengir kikuk. Namun, belum sempat Bu Ana menimpali mereka berdua, Pak Dodot langsung membubarkan semuanya.

“Dah-dah! Balik kerja lagi sana,” titah Pak Dodot, seperti sengaja merusak suasana.

Namun, Tania dan Kho justru berbisik untuk mengerjai Pak Dodot yang nyebelinnya suka ngalah-ngalahin tokoh ibu mertua dalam sinetron ikan terbang. Aku mengangguk saja, tanpa berencana untuk ikut mengolesi Pak Dodot dengan cream di kue tart.

“Ok, Gays. Satu ... dua ... tiga. Let's go!” bisik Tania, seraya mencolek cream tersebut dengan Kho. Kemudian mengoleskannya ke pipi Pak Dodot sambil tergelak.

“Somplakers ...!” Pak Dodot pun berseru lantang sambil terpejam. “Bonus yang kalian minta hari ini batal, ya! BATAAAAALL ...!”

Mendengar perihal bonus yang dibatalkan Pak Dodot, pandanganku justru terpancing oleh senyum yang mengembang tipis juga sekilas dari bibir Kang Cihu. Dia, agaknya, sedari tadi memang dia di balik pintu kaca minimarket sembari memperhatikan apa yang terjadi di sini.

Aih! Kok, tetiba jadi mikirin dia? Jan-jangan! Jan-jangan! Jan-jangan ... Kang Cihu punya pelet?

***

“Gara-gara lu, sih!”

Kho mengomel begitu aku dan Tania menyusulnya keluar dari minimarket. Kesal dia gara-gara nggak jadi dapat bonus dari Pak Dodot. Aku kesel juga, sih. Tapi kejutan tadi, sukses mengembalikan semangatku kembali.

“Bukan rezeki kita. Nggak apa-apalah. Kita bisa rayu Pak Bos lagi nanti,” jawabku dengan santai.

“Bener, tuh kata si Tika. Tenang aja, sih.” Tania menyengir girang, begitu aku belain. Alisnya juga gerak-gerak saat menghibur Kho. Ada-ada saja mereka.

“Tapi sumpah, ya. Gue bener-bener berterima kasih sama kalian. Terima kasih juga karena sudah mengingat hari ulang tahun gue.” Aku merentangkan kedua tangan, hendak memeluk keduanya. “Kado dari kalian apalagi. Gue suka banget baju sama sepatunya. Cocok!”

“Duh! Kalian ini lagi ngapain, sih? Udah sana pulang! Bukan malah ngalangin jalan kayak gini!” seru Pak Dodot dari belakang. Tiap jam empat sore, dia memang selalu pulang. Barulah setelah magrib, dia kembali ke minimarket untuk menemani karyawan lelakinya sampai pukul sebelas malam.

Aku dan dua somplakers pun mendelik, memutar bola mata sambil berbalik menghadapnya. Dia sedang memelak pinggang. “Iya, Pak Bos. Kita mau pulang sekarang, kok. Bye!”

“Bagus!” timpalnya sambil berjalan maju, menerobos sampai membuat aku, Tania, dan Kho menyingkir lebih ke pinggir untuk memberi jalan.

Hadeuh! Punya bos kok gini amat, ya? Amat aja nggak gini, kok.

“Hati-hati di jalan, Pak. Semoga selamat sampai tujuan. Titip salam buat Bu Bos, ya.” Tania melambaikan tangannya ke arah mobil, begitu Pak Dodot masuk dan menyalakan mesin. “Bilangin juga biar Bu Bos sering-sering main ke sini.”

“Dih! Apa, sih?” Kho menyikutnya. Dia memang kurang menyukai Bu Ana, karena kejutekannya yang hakiki. Padahal, Bu Ana hanya sedikit pendiam. Terap saja, Tania tak begitu menyukainya. Kecuali tiap kali dikasih bonus.

Mata duitan emang!

“Biar Bu Bos tahu, kalau lakinya itu super nyebelin!” timpal Tania sambil tergelak.

“Dah-dah. Kita pulang sekarang, yuk? Gue udah berasa mandi keringat ini. Pen berendam sumpah.”

“Let’s go, Tik. Kita cabut sekarang!” Kho pun mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi sambil mengepal, tanpa sadar kalau keteknya itu super basah.

Ups!

“Nggak mau jajan cihu dulu gitu, Neng geulis?”

Aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Kang cihu yang tampangnya lumayan itu sedang menggoreng cihu, sambil mencuri-curi pandang ke arahku. Duh ... kok berasa aneh ya ditatap gitu?

“Ditanya tuh Neng geulis.” Tiba-tiba si Kho tergelak. “Mau jajan cihu dulu nggak katanya?”

“Eh. Ng-nggak! Besok-besok lagi aja, ya Kang.”

Lalu aku berjalan lebih dulu ke motor, meninggalkan Kho dan Tania yang justru tertawa-tawa. “Kalian nggak mau pulang sekarang?” tanyaku, seraya memasang tampang kikuk.

“Maulah!”

Kho dan Tania pun menaiki motornya masih-masing, lalu melesat dari halaman minimarket, setelah aku lebih dulu keluar. Rumah kami bertiga memang tak sejalan. Itu kenapa, tiap hari ya bawa motor sendiri.

Dan yang paling jauh dari minimarket, ya aku. Makanya, kesalku bukan main saat disuruh datang pagi-pagi sekali, tapi yang mau mengantar barang malah nggak datang-datang. Mana ketemu Bian juga lagi di jalan. Kesel!

“Tapi, sudahlah ya. Semoga aja kali ini gue nggak ketemu dia lagi di jalan.”

Namun, belum kering ludah di bibir, aku justru melihat Bian sedang membonceng seorang perempuan dari belokan sebelah kanan. Mana nemplok banget, udah kayak Persani super jumbo.

“Astaga! Gue harus apa sekarang? Melesat jangan?” rutukku, dengan lutut bergetar. “Tapi di depan macet. Mati gue kalau sampai nabrak atau ditabrak orang!”

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuangnya perlahan. Berusaha setenang mungkin, biar jantung dan hati nggak lari ke mana-mana. Repot juga kalau tiba-tiba jantung atau hatinya loncat, kan? Duh!

“Tapi gue nggak mau lihat mereka dari belakang gini. Pemandangan macam apaan coba?” Perasaanku semakin kesal. “Pemandangan romantis sepasang jodohnya orang gitu? Ya ampun. Nggak mau gue!”

Daripada terjadi apa-apa, aku langsung memutuskan untuk menepi ke sisi jalan. Seraya beristirahat barang sebentar, sekalian biar si Bian jauh dari pandangan dulu. Atau, setidaknya berjarak cukup jauh denganku.

“Resek emang! Bikin dada gue sesek napas aja kerjaannya.”

Aku mengomel sambil menumpukkan dagu pada setang, lalu menandang ke sembarang tempat. Sore-sore begini, jalanan memang selalu ramai. Nggak mobil, nggak motor, yang pakai sepeda juga ada. Banyak di antaranya justru nongkrong di pinggir jalan. Berkumpul ramai-ramai bersama teman, dan ... pacar.

Huft! Aku membuang napas kasar sambil terpejam. Menghindar dari pemandangan romantis sepasang jodohnya orang, eh ... malah liat muda-mudi lagi pacaran.

Jujur ... ngenes, Gaes.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status