“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.
“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”
“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.
“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”
“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terbaik.” Sambil melerai pelukan Ibu, aku menjawab dua temanku itu dengan perasaan luar biasa senang. Meski, di akhir kalimatnya ada kata candaan. Aku tak peduli. Terpenting, hari ini aku bahagia.
“Selamat ulang tahu juga, ya Tika. Maaf kalau kerjaan Pak Dodot tadi bikin kamu merasa kesal.” Bu Ana menghampiriku perlahan, sambil mengulas senyum. Sementara tangannya terulur, menyodorkan sebuah kado. “Semoga suka, ya sama kadonya.”
“Duh, Bu. Padahal mah nggak perlu repot-repot begini. Yang banyak aja gitu kadonya sekalian. Ehehe!” Aku langsung menangkup mulut, merasa keterlaluan setelah keceplosan. “Mulutku! Maaf, Bu.”
“Nggak apa-apa. Insya Allah nanti, ya.” Bu Ana pun mengelus puncak kepalaku sebentar, setelah aku menerima kado darinya itu.
“Asyik!” Aku pun berlonjak senang. Tak mengira kalau candaan barusan, justru dikabulkan.
“Lha, alu sama Tania juga mau, Bu. Iya, nggak, Tan?” Kho langsung menyikut temannya itu sambil cengengesan.
“Iyalah, Bu. Ehehe!” Tania menyengir kikuk. Namun, belum sempat Bu Ana menimpali mereka berdua, Pak Dodot langsung membubarkan semuanya.
“Dah-dah! Balik kerja lagi sana,” titah Pak Dodot, seperti sengaja merusak suasana.
Namun, Tania dan Kho justru berbisik untuk mengerjai Pak Dodot yang nyebelinnya suka ngalah-ngalahin tokoh ibu mertua dalam sinetron ikan terbang. Aku mengangguk saja, tanpa berencana untuk ikut mengolesi Pak Dodot dengan cream di kue tart.
“Ok, Gays. Satu ... dua ... tiga. Let's go!” bisik Tania, seraya mencolek cream tersebut dengan Kho. Kemudian mengoleskannya ke pipi Pak Dodot sambil tergelak.
“Somplakers ...!” Pak Dodot pun berseru lantang sambil terpejam. “Bonus yang kalian minta hari ini batal, ya! BATAAAAALL ...!”
Mendengar perihal bonus yang dibatalkan Pak Dodot, pandanganku justru terpancing oleh senyum yang mengembang tipis juga sekilas dari bibir Kang Cihu. Dia, agaknya, sedari tadi memang dia di balik pintu kaca minimarket sembari memperhatikan apa yang terjadi di sini.
Aih! Kok, tetiba jadi mikirin dia? Jan-jangan! Jan-jangan! Jan-jangan ... Kang Cihu punya pelet?
***
“Gara-gara lu, sih!”
Kho mengomel begitu aku dan Tania menyusulnya keluar dari minimarket. Kesal dia gara-gara nggak jadi dapat bonus dari Pak Dodot. Aku kesel juga, sih. Tapi kejutan tadi, sukses mengembalikan semangatku kembali.
“Bukan rezeki kita. Nggak apa-apalah. Kita bisa rayu Pak Bos lagi nanti,” jawabku dengan santai.
“Bener, tuh kata si Tika. Tenang aja, sih.” Tania menyengir girang, begitu aku belain. Alisnya juga gerak-gerak saat menghibur Kho. Ada-ada saja mereka.
“Tapi sumpah, ya. Gue bener-bener berterima kasih sama kalian. Terima kasih juga karena sudah mengingat hari ulang tahun gue.” Aku merentangkan kedua tangan, hendak memeluk keduanya. “Kado dari kalian apalagi. Gue suka banget baju sama sepatunya. Cocok!”
“Duh! Kalian ini lagi ngapain, sih? Udah sana pulang! Bukan malah ngalangin jalan kayak gini!” seru Pak Dodot dari belakang. Tiap jam empat sore, dia memang selalu pulang. Barulah setelah magrib, dia kembali ke minimarket untuk menemani karyawan lelakinya sampai pukul sebelas malam.
Aku dan dua somplakers pun mendelik, memutar bola mata sambil berbalik menghadapnya. Dia sedang memelak pinggang. “Iya, Pak Bos. Kita mau pulang sekarang, kok. Bye!”
“Bagus!” timpalnya sambil berjalan maju, menerobos sampai membuat aku, Tania, dan Kho menyingkir lebih ke pinggir untuk memberi jalan.
Hadeuh! Punya bos kok gini amat, ya? Amat aja nggak gini, kok.
“Hati-hati di jalan, Pak. Semoga selamat sampai tujuan. Titip salam buat Bu Bos, ya.” Tania melambaikan tangannya ke arah mobil, begitu Pak Dodot masuk dan menyalakan mesin. “Bilangin juga biar Bu Bos sering-sering main ke sini.”
“Dih! Apa, sih?” Kho menyikutnya. Dia memang kurang menyukai Bu Ana, karena kejutekannya yang hakiki. Padahal, Bu Ana hanya sedikit pendiam. Terap saja, Tania tak begitu menyukainya. Kecuali tiap kali dikasih bonus.
Mata duitan emang!
“Biar Bu Bos tahu, kalau lakinya itu super nyebelin!” timpal Tania sambil tergelak.
“Dah-dah. Kita pulang sekarang, yuk? Gue udah berasa mandi keringat ini. Pen berendam sumpah.”
“Let’s go, Tik. Kita cabut sekarang!” Kho pun mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi sambil mengepal, tanpa sadar kalau keteknya itu super basah.
Ups!
“Nggak mau jajan cihu dulu gitu, Neng geulis?”
Aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Kang cihu yang tampangnya lumayan itu sedang menggoreng cihu, sambil mencuri-curi pandang ke arahku. Duh ... kok berasa aneh ya ditatap gitu?
“Ditanya tuh Neng geulis.” Tiba-tiba si Kho tergelak. “Mau jajan cihu dulu nggak katanya?”
“Eh. Ng-nggak! Besok-besok lagi aja, ya Kang.”
Lalu aku berjalan lebih dulu ke motor, meninggalkan Kho dan Tania yang justru tertawa-tawa. “Kalian nggak mau pulang sekarang?” tanyaku, seraya memasang tampang kikuk.
“Maulah!”
Kho dan Tania pun menaiki motornya masih-masing, lalu melesat dari halaman minimarket, setelah aku lebih dulu keluar. Rumah kami bertiga memang tak sejalan. Itu kenapa, tiap hari ya bawa motor sendiri.
Dan yang paling jauh dari minimarket, ya aku. Makanya, kesalku bukan main saat disuruh datang pagi-pagi sekali, tapi yang mau mengantar barang malah nggak datang-datang. Mana ketemu Bian juga lagi di jalan. Kesel!
“Tapi, sudahlah ya. Semoga aja kali ini gue nggak ketemu dia lagi di jalan.”
Namun, belum kering ludah di bibir, aku justru melihat Bian sedang membonceng seorang perempuan dari belokan sebelah kanan. Mana nemplok banget, udah kayak Persani super jumbo.
“Astaga! Gue harus apa sekarang? Melesat jangan?” rutukku, dengan lutut bergetar. “Tapi di depan macet. Mati gue kalau sampai nabrak atau ditabrak orang!”
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuangnya perlahan. Berusaha setenang mungkin, biar jantung dan hati nggak lari ke mana-mana. Repot juga kalau tiba-tiba jantung atau hatinya loncat, kan? Duh!
“Tapi gue nggak mau lihat mereka dari belakang gini. Pemandangan macam apaan coba?” Perasaanku semakin kesal. “Pemandangan romantis sepasang jodohnya orang gitu? Ya ampun. Nggak mau gue!”
Daripada terjadi apa-apa, aku langsung memutuskan untuk menepi ke sisi jalan. Seraya beristirahat barang sebentar, sekalian biar si Bian jauh dari pandangan dulu. Atau, setidaknya berjarak cukup jauh denganku.
“Resek emang! Bikin dada gue sesek napas aja kerjaannya.”
Aku mengomel sambil menumpukkan dagu pada setang, lalu menandang ke sembarang tempat. Sore-sore begini, jalanan memang selalu ramai. Nggak mobil, nggak motor, yang pakai sepeda juga ada. Banyak di antaranya justru nongkrong di pinggir jalan. Berkumpul ramai-ramai bersama teman, dan ... pacar.
Huft! Aku membuang napas kasar sambil terpejam. Menghindar dari pemandangan romantis sepasang jodohnya orang, eh ... malah liat muda-mudi lagi pacaran.
Jujur ... ngenes, Gaes.
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&