Share

Chapter 3 - Althaf

Althaf menggantung jas dokternya, pria itu melonggarkan dasi yang dia kenakan. Pria itu duduk di balik meja kerjanya, menyalakan komputer untuk memeriksa hasil kesehatan pasien yang dia rawat.

Setelah memeriksa semua laporan, Althaf mematikan komputernya lalu bersiap pulang. Sekarang sudah menunjukkan pukul satu dini hari, waktu yang sangat tidak pas untuk pulang. Seharusnya, dia bisa pulang pukul sepuluh tadi tetapi tiba-tiba ada operasi mendadak dari UGD dan karena dia dokter bedah terakhir yang berada di rumah sakit, Althaf tidak ada pilihan lain selain mengambil alih pasien itu.

Althaf mematikan lampu ruang kerjanya lalu keluardari rumah sakit. Pria itu masuk ke dalam mobil dan meletakkan tas kerjanya di kursi penumpang. Althaf sangat lelah dan mengantuk, terlebih lagi dia sangat lapar.

Pria itu memutuskan untuk singgah dan makan malam di restoran yang buka dua puluh empat jam. Setelah itu, Althaf pulang ke rumahnya yang berada di salah satu kompleks perumahan di Jakarta pusat.

Dia memarkirkan mobilnya lalu masuk ke dalam rumah, rumah itu terasa sangat sepi karena dia tinggal sendiri. Keluarganya tinggal berbeda pulau dengannya, mereka ada di Makassar dan hanya dia yang berada di Jakarta untuk bekerja.

Althaf langsung berjalan menuju kamarnya lalu membersihkan diri, setelah bercukur dia langsung berbaring di tempat tidur dan mengisi daya ponselnya agar tetap penuh dan menyala. Itu berfungsi sangat penting ketika dia memiliki panggilan darurat dari rumah sakit.

Althaf merasa baru saja tertidur ketika mendengar suara ponselnya berbunyi sangat keras. Dia mengambil ponselnya dan mendengarkan orang berbicara dengan kesadaran yang belum terkumpul.

“Dok, baru saja ada kecelakaan di persimpangan tengah kota. Ada dua pasien yang meninggal di tempat dan tiga orang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Salah satunya mendapatkan luka di dada.” Ucap seroang perawat melalui panggilan suara.

Seketika kesadaran Althaf pulih, pria itu mengaktifkan pengeras suara di ponselnya sembari beranjak dari tempat tidur.

“Berapa menit lagi mereka sampai di rumah sakit?” tanya Althaf kepada perawat itu sembari meraih kemeja di dalam lemari pakaiannya.

Perawat itu terdiam beberapa detik sebelum kembali bersuara, “Kira-kira delapan menit, Dok. Hujan deras menyebabkan jalanan licin jadi almbulans juga snagat berhati-hati membawa mereka.”

“Baiklah, aku akan segera menuju rumah sakit. Jika mereka sampai duluan, segera masukkan pasien ke ruang operasi. Siapkan semua keperluan dan tim operasi, aku ingin semua siap ketika aku sampai di sana.” Ucap Althaf tegas.

“Baik, Dok.”

Panggilan itu terputus ebebrapa detik kemudian, Althaf memakai pakaian seadaanya dan hanya memakai sandal biasa ke rumah sakit. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi, dia seharusnya tadi menginap di rumah sakit.

Althaf segera mengendarai mobilnya ke rumah sakit, dia bahkan memacu mobilnya seecpat yang dia bisa serta menyalakan lampu hati-hati agar pegnendara lain tahu jika dia sedang terburu-buru.

Usahanya berhasil dan ia sampai di rumah sakit sepuluh menit kemudian. Althaf bahkan melewati lokasi kecelakaan, dia meringis ketika melihat empat buah mobil dan satu motor rusak parah di pinggir jalan. Di sana masih banyak petugas kepolisan dan mengamankan tempat kejadian.

Seorang perawat menyambutnya dengan memberikan keterangan kondisi pasien. Althaf menghela napas panjang ketika mendengar kondisi pasien tidak terlalu stabil dan sedang berada dalam kondisi kritis.

Althaf langsung menuju ruang operasi dan mencuci tangannya dengan sabun khusus lalu memasuki ruang operasi. Dia sedikit kagum dengan kesiapan perawat ketika dia masuk ke ruangan operasi mereka langsung memakaikannya pakaian steril serta sarung tangan dan seketika dia siap untuk melakukan operasi.

“Bagaimana keadaan pasien?” tanya Althaf berdiri di depan meja operasi dengan pasien yang sudah tidak sadarkan diri.

Seorang Dokter lain yang baru saja menjalani pelatihan dua tahun menoleh cepat ke arahnya. “Pendarahan di dadanya sangat banyak, aku pikir ada pembulu darah yang pecah. Hasil ronsen memperlihatkan tulang rusuknya patah,”

Penjelasan itu terhenti ketika suara ‘bib’ berbunyi panjang. “Dok, pasien menagalami gagal jantung!”

Suasana di ruangan itu menjadi tegang, perawat segera memberikan alat kejut jantung kepada Althaf. Pria itu langsung mengisi daya listrik dan menyuruh semua orang minggir ketika dia menempelkan di dada pasien.

Sekarang, mereka tidak bisa melakukan banyak, apalagi pijat jantung karena itu akan membahayakan keadaan jantung pasien. Usaha pertamanya tidak mengbuahkan hasil, dia menyuruh untuk mengisi daya di tingkat yang lebih tinggi. “Mundur!” ucap Althaf lalu menempelkan dua alat itu ke dada pasien.

Althaf menghela napas panjang ketika usaha keduanya berhasil dan mengembalikan detak jantung pasien. “Kita tidak boleh tinggal terlalu lama, pasien harus segera di operasi! Pisau bedah!” ucapnya tegas sembari mengulurkan tangan.

Perawat yang berada di sisi kanan Althaf langsung memberikannya alat yang dia minta. Mereka langsung melakukan operasi dan baru selesai sekitar jam delapan pagi.

Althaf baru lega setelah pasien itu dalam kondisi stabil dan dipindahkan ke ruangan ICU. Althaf mengcapkan terimakasih kepada semua orang yang membantu selama operasi, mereka saling bertepuk tangan untuk menyemangati diri masing-masing.

Althaf membuka masker dan pakaian operasinya lalu memasukkannya ke tempat sampah. Setelah itu, dia berjalan ke arah kulkas pendingin gratis yang terletak hampir di bebrapa tempat di dalam rumah sakit.

Dia memilih mengambil kopi instan kaleng untuk memasok kafein di dalam tubuhnya. Althaf kaget ketika dia diberikan sebuah kotak makan, dia mendongakkan kepalanya dan melihat seorang dokter yang menjadi rekannya di ruang operasi tadi tersenyum sembari memberikannya kotak makan itu.

Thanks, Gil.” Ucap Althaf kepada pria itu.

Gilang mengangguk lalu duduk tepat di kursi disebelah Althaf, dia membuka kotak makanan yang berisi bubur lengkap denan suiran ayam dan beberapa bumbu pelengkap lain di dalamnya.

Althaf kembali berdiri dan memberikan air mineral dingin kepada salah satu anak asuhnya itu. Mereka makan dengan cepat tanpa berbasa-basi akrena sudah terbiasa untuk melakukannya. Makan untuk mereka merupakan salah satu kebahagiaan tersendiri karena terkadang mereka hanya makan satu kali atau bahkan tidak sama sekali selama satu hari.

“Apa kau sudah tidur?” tanya Althaf kepada Gilang.

Pria itu menggelengkan kepalanya lalu menguap. “Belum sempat, Dok.”

Althaf menepuk pundak Gilang, “Ya, sudah. Tidur dulu sana, biar saya yang tangani pasien untuk sementara. Saya tidak mau kamu tiba-tiba roboh saat memeriksa keadaan pasien.

Gilang tersenyum girang, “Terimakasih, dok.” Ucapnya lalu pergi setengah berlari ke ruangan istirahat khusus dokter dan perawat di bagian bedah.

Althaf mengusap kepalanya lalu berjalan ke ruangannya. Dia merupakan seorang dokter tetap di rumah sakit ini, semua itu dia peroleh karena ketekunan dan kerja kerasnya.

Althaf mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi di ruangannya. Dia bersiap untuk mandi agar lebih segar sebelum berkeliling untuk mengecek keadaan pasien.

Setengah jam kemudian, dia sudah berjalan untuk mengunjungi pasien yang berada di bawah yuridikasinya. Ketika dia sedang berjalan untuk memeriksa pasien terakhir, Althaf melihat seorang perempuan yang sangat familiar untuknya.

Althaf berhenti di tempatnya, dia membeku dan hanya memandangi gadis yang sedang terlihat tertawa kepada seseorang pria yang berada di sebuah kursi roda. Hati Althaf panas melihat pria itu mencubit gemas pipi gadis itu.

“Nadhara?” panggil Althaf dengan suara yang nyaris seperti berbisik.

Ketika panggilannya itu terucap, gadis itu langsung menegakkan tubuh dan mendongak menatapnya. Althaf menunggu reaksi gadis itu dan apa yang dia lihat membuatnya sadar jika gadis itu membencinya.

Nadhara mendengar seseroang memanggilnya, sebenarnya hari ini dia menyempatkan datang ke rumah sakit untuk menjenguk sahabatnya yang baru saja operasi usus buntu. Nadhara mendongakkan kepalanya dan sempurna terkejut ketika melihat seorang pria sedang berdiri tidak jauh darinya.

Nadhara melebarkan matanya, gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Dia sangat syok ketika melihat pria yang baru saja memangginya. Dia buru-buru memalingkan tatapan lalu membawa Ferdi pergi dari sana.

Althaf tidak sempat untuk menghalangi kepergian Nadhara karena tiba-tiba ada perawat yang mendatanginya dan mengatakan jika pasien kecelakaan semalam kembali kritis.

Althaf kembali menoleh melihat tempat di mana Nadhara tadi berdiri tetapi gadis itu sudah menghilang. Althaf menghela napas panjang, jantungnya masih berdebar tetapi segera berlari menuju ruangan ICU untuk mengecek pasiennya.

Nadhara masih terkejut, dia mengembalikan Ferdi kepada keluarganya. Setelah itu, dia buru-buru pamit kepada mereka denan alasan memiliki urusan mendesak. Jantung Nadhara bedetak kencang, itu akibat melihat pria yang sama sekali dia tidak sangka berada di sini.

Ketika dia sudah mencapai pintu keluar, tiba-tiba tangannya di tahan dan tubuhnya tertarik kebelakang. Nadhara segera menepis lengan dari orang yang memegangnya.

“Lepas!” ucap Nadhara dengan tegas.

Althaf tidak ingin melepas lengan Nadhara, dia sudah mencari gadis itu ke segala penjuru rumah sakit setelah menangani pasiennya yang kritis. Althaf tidak bisa membiarkan gadis itu pergi begitu saja.

Nadhara meringis pelan ketika merasa lengannya perih karena Althaf memegangnya terlalu erat. Karena kesal, Nadhara melayangkan tangannya untuk menampar pipi Althaf tetapi pria itu dengan sigap menepisnya.

Apa yang mereka lakukan di pintu rumah sakit membuat banyak orang memperhatikan mereka. Althaf langsung membuka pintu dan menggiring Nadhara dengan memegang pundaknya.

Althaf membawa gadis itu ke tempat parkir yang jauh dari keramaian, ketika mereka berhenti melangkah Nadhara menampar Althaf dengan amarah memuncak, Althaf kaget karena tamparan gadis itu sangat keras. Pandangannya terpaku melihat wajah Nadhara yang memerah karena marah.

Gadis itu melihat pergelangan tangannya yang memerah karena

“Nad, aku minta maaf.” Ucap Althaf menyadari jika dia baru saja melukai gadis itu.

Nadhara mendongakkan kepalanya, “Oke, aku memaafkanmu. Tapi, berpura-pura saja kita tidak saling mengenal. Jangan pernah menemiku lagi” Ucap Nadhara dengan bibir bergetar.

Althaf menghela napas, “Tapi, Nad. Aku rindu kamu, aku pikir tadi cuma khayalan tapi aku bersyukur kalau aku benar-benar menemukanmu.”

“Nggak,Al. Pertemuan ini salah.” ucap Nadhara lalu berbalik.

Althaf memegang bahu Nadhara, mencegah gadis itu pergi. “Please, kita bicara lebih lama ya.”

“Kamu tuli atau bodoh? Aku nggak mau, Al. Lepas!” ucap Nadhara tanpa menoleh kebelakang.

Althaf tetap memegang bahu Nadhara, ada sebersit rasa bersalah yang meluap di hatinya. Melihat Nadhara sudah tidak ingin lagi memandangnya membuat hatinya tercubit.

Akhirnya, Althaf melepaskan bahu Nadhara lalu membiarkan gadis itu pergi. Dia tidak bergerak sama sekali dari tempatnya, Althaf hanya memandang Nadhara menghilang setelah memasuki taksi.

Althaf memegang pipinya, rasa terbakar akibat tamparan Nadhara masih terasa. Seolah-olah gadis itu sudah memendam banyak amarah lalu menamparnya. Althaf mengusap rambutnya kasar, dia ingin meledak tetapi harus mengontrol dirinya karena dia sedang berada di tempat kerjanya.

Althaf kembali masuk ke dalam rumah sakit setelah menenangkan diri. Dia kembali ke ruangannya, suasana Althaf berubah menjadi suntuk dan kepalanya hanay di penuhi oleh gadis itu. Nadhara, satu-satunya gadis yang berhasil merebut hatinya sampai sekarang.

Althaf duduk tegak ketika mendengar pintu ruangannya di ketuk. “Masuk.”

Seorang perawat masuk dengna membawa table pekeriksaan. “Dok, keadaan pasien yang tadi pagi di operasi sudah menunjukkan kemajuan. Begitu juga dengan pasien lain.”

“Bagus, tetap awasi mereka. Bagaimana dengan Dokter Gilang? Apa dia sudah bangun?” tanya Althaf.

Perawat itu menganggukkan kepala, “Iya, Dok. Saya suruh menghadap ke sini?”

“Jangan, suruh Gilang melanjutkan pemeriksaan pasien yang tadi tertunda.” Ucap Althaf.

“Baik, Dok.”

Althaf melihat perawat itu keluar setelah menyampaikan laporan yang dia minta. Dia kembali menghela napas panjang lalu meraba pipinya, Althaf sebenarnya tidak percya bisa bertemu lagi dengan Nadhara, gadis yang dia cari selama bertahun-tahun dan akhirnya bisa bertemu dengan cara seperti ini.

Dia merogoh dompetnya lalu membuka benda itu dengan perlahan. Di sana, ada fotonya dengan seorang gadis, di dalam foto mereka tampak terlihat sangat bahagia, senyum terukir di wajah keduanya. Itu adalah fotonya bersama Nadhara, gadis itu sudah tumbuh menjadi sangat cantik.

Walaupun dulu, gadis itu sudah cantik luar biasa. Tetapi, sekarang Nadhara sudah berubah menjadi lebih dewasa dan matang, Althaf bahkan hampir salah menebak, tetapi dia berhasil mengenali gadis itu karena senyumnya yang sangat khas dan kedua lesum pipinya.

Nadhara berusaha menormalkan napasnya, jantungnya berdetak luar biasa cepat. Dia sedang duduk di bangku penumpang dari taksi yang membawanya pulang, Nadhara mengangkat tangannya, di sana masih tercetak jelas warna kemerahan tepat di telapak tangannya akibat menampar Althaf.

Tiba-tiba dia menghkawatirkan keadaan Althaf karena sepertinya dia menampar pria itu terlalu keras. Nadhara berdecak, seharusnya dia tidak perlu memikirkan pria itu. Dia memejamkan matanya dan fokus untuk menenangkan diri sebelum dia sampai di tokonya.

Nadhara menarik napas panjang sebelum masuk ke dalam toko, sama seperti sebelumnya toko itu selalu ramai. Dia sempat menyapa para pelanggan tokonya sebelum ke dapur.

“Mika, Daffa?” panggil Nadhara.

Kedua orang itu langsung menoleh, “Eh, sudah pulang Nad?” tanya Mika.

Nadhara mengangguk, “Handle dulu ya hari ini? tiba-tiba nggak enak badan.”

Kedua orang itu mengangguk, mereka ingin bertanya tetapi mengurungkan niat ketika melihat ekspresi murung Nadhara. Setelah itu, Nadhara naik ke lantai tiga, lantai yang menjadi rumahnya.

Nadhara langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur, ternyata dia tidak berhasil menenagkan dirinya. Jantungnya itu masih berdetak kencang dan kepalanya tidak berhenti memikirkan wajah Althaf.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status