Qeiza tersentak. Mau tidak mau, dia harus mengakui bahwa Ansel memang sudah sangat berjasa dalam hidupnya selama empat tahun berstatus sebagai suaminya. Meskipun tidak pernah menemuinya ataupun berbicara dengannya, Ansel selalu mengirimkan uang untuk biaya hidup dan kuliahnya melalui Xander yang menjadi tangan kanannya.Teringat pada hal tersebut, Qeiza mengembuskan napas kencang. Tidak ada salahnya jika dia sedikit bersimpati pada Ansel. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena lelaki itu tidak sepenuhnya mengabaikan dirinya, walaupun faktanya dia juga tidak pernah menggunakan segala fasilitas yang sediakan Ansel untuknya.Dari tempatnya berbaring, Ansel melayangkan tatapan harap-harap cemas pada Qeiza. Sudut bibirnya sedikit melengkung, membentuk seringai kemenangan. Di sisi lain, relung hatinya berdebar kencang. Dia takut gadis itu akan melarikan diri dari ruangan itu dan dia tidak punya kekuatan untuk mengejarnya.Ansel memejamkan mata. Menghadapkan jiwanya pada Sang Pemilik
Jangan biarkan mimpi buruk masa lalu mengacaukan masa depanmu!***Alih-alih kembali ke kantor, setelah melarikan diri dari rumah sakit, Qeiza malah meminta sang sopir taksi untuk mengantarnya ke tepian Sungai Seine.Dia berjalan di sepanjang tepian Sungai Seine dengan rasa hati tak menentu. Matanya menyapu keindahan puncak menara Eiffel yang terlihat jelas. Berharap pesona menakjubkan itu mampu mengusir segala gundah yang bercokol di dadanya.Sungguh ia tak mengerti mengapa takdir masih ingin terus mempermainkan dirinya. Bertahun-tahun ia bersabar dalam penantian. Memupuk asa bahwa suatu saat Ansel akan membuka hati untuknya sebagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama saat menonton lelaki itu mengucapkan ijab kabul pada hari pernikahan mereka.Namun, semua penantian itu hanya mengantarnya pada secarik luka. Ketika akhirnya Ansel bersedia mengangkat panggilan teleponnya, yang berdengung di telinganya hanyalah suara manja seorang wanita beserta kecupan mesra.Hati Qeiza hancur ber
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Oppa,” kata Qeiza.Dia berbicara dengan nada datar dan ekspresi wajah yang terlihat biasa saja, tetapi kilat yang membias dari kedua manik matanya sarat dengan nuansa penyelidikan.“Oh, itu ….” Chin Hwa berusaha tenang. “Kebetulan tadi aku ada pertemuan dengan klien di sekitar sini,” tukasnya.Qeiza mengernyit. Instingnya merasakan sesuatu yang aneh dalam nada bicara Chin Hwa. Namun, dia tidak ingin mempertanyakannya.“Oh.” Qeiza hanya menyahut singkat, lalu meraih cangkir kopi yang baru saja tersaji di atas meja.Chin Hwa mendesah lega. Syukurlah Qeiza tidak tertarik untuk melanjutkan obrolan itu. Ia merasa tidak enak hati dan benar-benar dihantui rasa bersalah bila harus mengarang kebohongan lagi kepada gadis itu jika Qeiza bertanya lebih jauh.“Kau ke mana saja tadi?” tanya Chin Hwa. “Kau pergi buru-buru.”“Tidak ke mana-mana,” sahut Qeiza. “Sedang apes saja.”“Huh?” Chin Hwa menatap datar pada Qeiza. Sorot matanya menyimpan rasa tak percaya.“Ck! K
Jika kau melepaskan seekor kijang kembali ke rimba, maka jangan pernah berharap kau akan kembali menangkapnya dengan mudah.***Qeiza baru saja selesai mandi. Tubuhnya bahkan masih berbalut handuk. Namun, suara gedoran di pintu apartemennya benar-benar sangat mengganggu.Suara itu terdengar tergesa-gesa dan sangat tidak sabar. Membuat Qeiza jengah di balik rasa herannya.'Biar saja!' pikir Qeiza. 'Mungkin ada tetangga yang sedang mabuk.'Teringat pengalaman pernah ada penghuni apartemen lain yang melakukan hal seperti itu di saat dia sedang mabuk, Qeiza menjadi lebih tenang. Dia meneruskan langkahnya menuju lemari pakaian.Dia tersenyum lega ketika tak lagi terdengar suara berisik dari pintu apartemennya. Mungkin orang itu sudah pergi. Begitu yang ada di pikiran Qeiza.“Ae Ri! Buka pintunya!”Kelegaan Qeiza ternyata hanya berlangsung sesaat. Gedoran bertubi-tubi pada pintu apartemennya kembali terdengar, disertai teriakan lantang seorang pria yang memanggil namanya.“Ansel?” gumam Qeiz
BAM!Terdengar suara pintu dibanting keras seiring dengan tubuh Ansel yang tertarik mundur. Seseorang telah mencengkeram kerah bajunya dengan kuat.“Bukan seperti itu caranya bertamu,” sindir sebuah suara bernada dingin.“Lepaskan bajuku!” perintah Ansel. Darahnya menggelegak. Usahanya nyaris berada di ambang keberhasilan ketika seseorang mengacaukan segalanya.“Urus saja urusanmu sendiri!” omel Ansel.Dia balik badan, tepat pada saat ia merasakan tangan sang pengganggu telah terlepas dari kerah bajunya.“Kau!”Ansel melotot tidak senang begitu mengetahui siapa sosok yang telah menggagalkan perjuangannya.“Ya, aku!”Chin Hwa tersenyum santai dengan kedua tangan yang telah terselip dalam saku celana.“Kau tak berhak ikut campur dalam urusanku,” tegas Ansel.“Siapa yang tertarik untuk melibatkan diri dalam permasalahanmu?” ledek Chin Hwa. “Aku hanya melindungi milikku.”Chin Hwa berkata tidak kalah tegasnya dari Ansel. Raut mukanya yang semula tenang dan ramah, kini terlihat serius dan t
Apa pun yang kau tanam, maka engkaulah yang akan memetik hasilnya.***“Itu paket yang dikirimkan pengacara Nona Qeiza,” sahut Xander. “Tentu kau yang lebih berhak untuk membukanya.”Ansel menghela napas panjang. “Simpan saja!” titahnya.Dia sudah bisa menebak apa isi paket itu. Pastilah akta cerainya. Semua sudah berakhir sekarang. Beban yang selama ini mengimpit dadanya sudah hilang tak berbekas.“Kau yakin tidak mau mengeceknya?” tanya Xander.Amplop itu kini sudah berada dalam genggaman tangannya lagi. Keningnya mengerut ketika merasakan sesuatu yang aneh di dalam amplop itu.“Untuk apa?” timpal Ansel, masih dengan nada enggan. “Paling cuma akta cerai.”Xander mengguncang amplop itu di dekat telinganya. “Kurasa bukan hanya itu,” sangkalnya.“Bunyinya aneh!” imbuhnya lagi.Telinga Ansel juga menangkap suara aneh yang timbul dari guncangan tangan Xander itu. Dia pun duduk di atas sofa. Mengode Xander dengan matanya.Xander ikut duduk di hadapan Ansel. “Jadi, benaran dibuka nih?” tany
Dengan tangan gemetar, Ansel membuka paket yang diberikan Xander. Beberapa kali ia terlihat menarik napas panjang dan dalam.Kedua matanya mendadak berembun tatkala sebuah kotak hitam kini berada dalam genggaman tangannya.“Dia juga tidak memakai perhiasan ini,” gumam Ansel.Satu set perhiasan berlian yang menghuni kotak itu tetap utuh, seperti tidak pernah disentuh. Dada Ansel semakin sesak saat menyadari mantan istrinya itu sama sekali berbeda jauh dari perkiraannya, padahal semua perhiasan itu adalah mahar perkawinan mereka.Meskipun bercerai, bukankah tak seharusnya wanita itu mengembalikannya? Dia berhak atas mahar itu, apalagi harga perhiasan itu sangat mahal. Bagaimana seorang wanita tidak tergoda dengan semua kemewahan yang diberikannya?“Masih ada lagi,” seru Xander, mengejutkan lamunan Ansel.Sahabatnya itu baru saja mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam paket yang diletakkan Ansel di atas meja. Lelaki itu hanya fokus pada kotak berukuran besar dan tidak begitu memperhat
Adakalanya kita perlu mengambil keputusan yang berani.***[Siapa kau?]Ansel membalas pesan yang diterimanya dengan rasa penasaran tingkat dewa. Dia benar-benar ingin tahu siapa orang yang baru saja berinteraksi dengannya itu. Namun, pesannya tak kunjung mendapat balasan. Tak kehilangan akal, Ansel pun menekan tombol dial.“Aaargh!”Kembali Ansel menjerit geram. Panggilannya hanya disambut suara operator jaringan seluler. Pengirim pesan itu telah menonaktifkan nomor teleponnya. Bisa jadi juga dia hanya memakai nomor sekali pakai.Ansel menyambar jaketnya, berniat ingin keluar untuk mencari angin segar. Namun, rasa nyeri pada punggungnya menahan ayunan langkahnya. Dia berdiri kaku di belakang pintu. Sambil meringis, dia kembali ke ranjang dan merebahkan diri dengan gerakan perlahan.“Tahan, Ansel! Kau harus bersabar sampai kondisimu benar-benar pulih.”Ansel menyemangati dirinya sendiri. Kalau saja bukan karena keteledoran seorang ibu yang membiarkan anak lelakinya berlari bebas di sek