Jawaban Chin Hwa sudah cukup bagi Qeiza untuk menebak siapa pengirim sebenarnya dari bunga itu. Entah kenapa dia agak kecewa mendapati kenyataan bukan Chin Hwa yang telah memberinya kejutan.'Ya Tuhan! Apa yang kuharapkan?' batin Qeiza. 'Hubungan kami baru saja dimulai. Bukankah tidak baik kalau bergerak terlalu cepat?'Qeiza geleng-geleng kepala, lalu tersenyum geli. Menertawakan pikiran konyolnya sendiri. Apa dia begitu bersemangat untuk balas dendam pada Ansel sampai-sampai dia berpikir bahwa setiap inci belahan bumi yang diinjaknya akan serta merta terbalut dalam warna merah muda?“Kau kecewa?” selidik Chin Hwa.Tiba-tiba tebersit sesal dalam hatinya. Kenapa dia tidak terpikir untuk menghadiahi Qeiza seikat bunga, atau paling tidak, sekuntum mawar merah sudah cukup untuk mewakili perasaannya. Dia benar-benar buta mengenai pengalaman memanjakan seorang wanita. Seharusnya dia berguru pada Mbah G****e.“Kecewa?” Qeiza tertawa canggung. “Tidak. Tidak sama sekali. Aku hanya tidak menyan
Sulit sekali menemukan seseorang yang dapat menjadi teman sejati, tetapi musuh sering kali muncul tanpa perlu dicari.***Dari meja kerjanya yang hanya terhalang dinding kaca, Chin Hwa menerbitkan senyuman dengan ujung alis yang terangkat tinggi. Ekspresi muka Qeiza yang mengerjapkan mata dengan cepat berulang kali sambil terus menatap komputer terlihat sangat menggemaskan dalam pandangan Chin Hwa.“Sepertinya seseorang baru saja memenangkan lotre.” Tahu-tahu Chin Hwa sudah berdiri tepat di depan Qeiza, memamerkan senyuman jahilnya. “Perlu dirayakan?”“Kau membuatku semakin gugup,” ketus Qeiza.“Kau belum membukanya?”Qeiza menggeleng. “Aku sedang menyiapkan mental untuk menghadapi kekalahan.”“Ternyata bukan hanya seleramu terhadap bunga yang unik,” komentar Chin Hwa. “Perlu kubantu?”“Tidak. Terima kasih,” tolak Qeiza. “Aku masih bisa membaca.”Setelah beberapa kali menarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan, Qeiza akhirnya membuka kotak masuk email-nya.“Ya Tuhan!” Wajah
Debaran hati Chin Hwa kebat-kebit menyaksikan reaksi tubuh Qeiza atas kelakar usilnya. Dia tidak bermaksud mempermalukan Qeiza. Menurutnya Qeiza sudah cukup dewasa untuk dapat menyikapi dengan santai guyonan ringan bernada dewasa. Tak disangka Qeiza malah masih sangat polos.Chin Hwa menahan pergelangan tangan Qeiza tatkala gadis itu akan menarik lepas sentuhannya.“Jangan gila!” sentak Qeiza, berjuang membebaskan tangannya dari cengkeraman Chin Hwa.Chin Hwa menatap nanar pada Qeiza. Sinar matanya lembut dan hangat, tetapi penuh dengan hasrat seorang pria.Qeiza menjadi gugup. Dia takut, membayangkan apa yang akan dilakukan Chin Hwa selanjutnya.“Maaf!”Chin Hwa melepaskan cekalannya. Tatapan gusar Qeiza melahirkan rasa bersalah dalam hatinya. Mereka baru saja berada di garis start, tidak sepatutnya dia membuat Qeiza ketakutan karena aksi nekatnya.“Aku akan segera kembali,” ujar Chin Hwa, mengelus kepala Qeiza. Sebelumnya dia berniat untuk mengecup telapak tangan Qeiza. Reaksi jari-
Mata dan telinga dapat menipu karena sering kali apa yang kita lihat dan dengar bukanlah kenyataan yang sebenarnya.***Aleta merasa panas hati lantaran Qeiza tak menggubris ancamannya. Gadis itu bahkan berani merobos pertahanannya dan membuatnya terjajar mundur sehingga menyebabkan punggungnya membentur dinding.Tak terima diperlakukan seperti itu, Aleta memburu Qeiza dan berhasil menarik tangannya dengan kasar.“Heh! Gadis tak tahu diri!” hardiknya. “Kau pikir kau siapa berani-beraninya menyerangku?!”“Lepaskan tangan Anda, Nona!” perintah Qeiza. “Selagi aku memintanya dengan baik-baik.”Qeiza benar-benar jengkel terhadap Aleta. Wanita itu datang-datang mengibarkan bendera perang, padahal mereka tidak saling kenal satu sama lain. Apa otak Aleta juga bermasalah, sama seperti Ansel?“Jangan mimpi!” Aleta memperkuat cengkeramannya.“Ada apa ini ribut-ribut?”Seorang lelaki usia akhir tiga puluhan keluar dari elevator dan segera menghampiri mereka. Qeiza segera mengenali lelaki itu sebag
Freud menghela napas panjang. Sangat melelahkan berdebat dengan wanita berhati batu seperti Aleta. Sejak awal dia tidak pernah suka pada kepribadian Aleta. Wanita itu memang cerdas dan sangat berbakat, tetapi juga sedikit culas.“Anda boleh saja tidak percaya pada Nona Kim, tapi wanita itu benar-benar asisten pribadi Tuan Song.”“Apa?!”Aleta tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Penjelasan Freud seperti dentuman meriam di telinganya. Dia sudah lama menawarkan diri untuk menduduki posisi tersebut, tetapi Chin Hwa tidak pernah memberinya kesempatan. Kenapa tiba-tiba saat dia cuti Chin Hwa malah menerima orang lain?“Wanita itu pasti sudah memainkan trik yang sangat licik!” Aleta membatin geram. Hatinya semakin menghitam oleh rasa iri dan dengki.Hari ini Aleta hanya berencana untuk menyapa Chin Hwa dan memberitahu kepulangannya yang lebih cepat dari jadwal seharusnya. Kalau begini keadaannya, dia berharap hari segera berganti dan Chin Hwa lekas kembali. Dia tidak akan membi
Tidak usah terlalu bersedih bila seseorang mengabaikanmu. Bersabarlah! Bisa jadi dia akan membutuhkanmu suatu hari nanti.***Lirik lagu My Love yang disenandungkan Westlife mendayu-dayu dan menyusup lembut ke dalam gendang telinga Qeiza. Lazuardi memayungi bumi dengan warna biru lembutnya. Semburat warna jingga tirai senja belum berkibar di ufuk Barat.Kesyahduan kidung romantis dibalut kelembutan warna biru bumantara membawa angan Qeiza berkelana menyusuri taman rasa yang menjadi dambaan kaum muda. Taman di mana bunga cinta dan rindu saling berpadu dalam kalbu.Qeiza bukan perempuan sentimental, tetapi kejadian-kejadian buruk yang ditemuinya sepanjang hari membuatnya perlu menenangkan diri. Jalan terbaik adalah dengan mendengarkan lagu-lagu penggugah rasa sembari memanjakan mata dengan keindahan dunia.Puncak Menara Eiffel seakan memanggil jiwa Qeiza untuk segera melabuhkan decak kekaguman kepadanya. Qeiza berdiri di sudut lapangan dengan rerumputan hijau yang membentang bak karpet b
Qeiza menunggu apa yang akan dikatakan Abbas. Dia terlalu malas untuk berbasa-basi walaupun hanya sekadar bertanya tentang kabar Abbas ataupun keluarganya. Batinnya tidak merasa terikat pada satu pun dari mereka.Bagi Qeiza, Abbas dan keluarganya hanyalah orang asing. Lelaki itu bukan seorang paman yang bertanggung jawab.“Aku butuh bantuanmu, Qeiza,” ujar Abbas. “Perusahaan sedang dalam masalah. Bisakah kau memberi pinjaman lima ratus juta?”Qeiza menyeringai sinis. 'Lelucon macam apa ini?' pikirnya. Tak ada kabar setelah menikahkannya dengan Ansel, tiba-tiba sekarang lelaki itu muncul hendak meminta bantuan pinjaman uang.“Maaf, aku tidak bisa,” tolak Qeiza mentah-mentah tanpa merasa simpati sama sekali. Kesulitan keuangan perusahaan Abbas tidak ada hubungannya dengan dirinya. Dia tidak punya uang sebanyak itu. Kalaupun ada, dia juga tidak berminat untuk membantu Abbas.“Qeiza, bagaimana bisa kau menolak permintaanku tanpa mempertimbangkannya lebih dulu?”“Aku tidak punya uang seban
Melarikan diri bukan jalan terbaik untuk menghindari seseorang yang telah membuat kita terluka. Hadapi saja dan berdamailah dengan masa lalu.***“Anda sendirian, Nona?”Qeiza mendengar seseorang menyapanya disertai derap langkah kaki yang kian mendekat. Qeiza pun memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Dia agak terkesiap saat berhasil mengenali wajah sang penyapa di bawah temaram pendar rembulan.“Tuan Xander? Aku tidak menyangka akan bertemu Anda di sini.” Qeiza berkata datar.“Ah, ternyata penglihatanku tidak salah,” sahut Xander. “Aku sudah lama melihat Anda dari kejauhan, tapi aku sedikit ragu apakah itu benar-benar Anda, Nona Kim.” Xander tersenyum ramah.“Sepertinya Anda berbakat menjadi mata-mata.”“Astaga! Tidak begitu juga, Nona,” sangkal Xander. “Aku hanya takut salah orang, jadi aku harus meyakinkan diriku sendiri sebelum mendekati Anda.”“Whatever! Sepertinya Anda juga sendirian.” Qeiza kembali memutar tubuhnya dan memusatkan perhatiannya pada pesona malam di tepian Sunga